Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ais Nurbiyah Al-jum`ah
Abstrak :
Bissu dalam masyarakat Bugis tidak hanya dipandang sebatas identitas gendernya yang androgini. Masyarakat Bugis sangat menghormati dan memuliakan bissu karena posisi dan perannya. Pada masa pemberontakan Kahar Muzakkar, posisi bissu perlahan luntur dan terus mengalami perubahan hingga masa Reformasi. Tesis ini membahas transformasi bissu dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) karya Faisal Oddang melalui konsep objektifikasi dari Strelan & Hargreaves (2005), dan konsep gender dari Butler (1990). Penelitian ini berupaya membongkar transformasi bissu, yang dikenal sebagai manusia yang suci dan sakral. Hasil analisis menunjukkan bahwa bissu dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) mengalami transfomasi dari bissu yang suci dan sakral yang ditunjukkan melalui tokoh Puang Matua Sakka menjadi bissu yang menggugurkan kesakralan dan kesuciannya melalui tokoh Rusmini dan Mapata. Selain itu, transformasi bissu juga ditunjukkan melalui identitas gender para tokoh bissu. Bissu dalam tatanan gender masyarakat Bugis merupakan androgini, dan aseksual namun dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018), tokoh bissu diperlihatkan mengalami perubahan identitas gender dari androgini menjadi homoseksual. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) selain menunjukkan tranformasi bissu, dalam hal ini, bissu yang dulunya merupakan manusia sakral, dianggap sebagai perwakilan Dewata menjadi sosok yang tidak ada bedanya dengan manusia biasa yang memiliki naluri, gejolak perasaan, dan hasrat seksual. juga memperlihatkan kritik atas objektifikasi yang diterima bissu pada masa Kahar Muzakkar, Orde Baru, dan Reformasi. ...... Bissu in the Buginese community is not only a matter of gender identity who is androgyny. The Buginese community put a high attention to respect and glorify the bissu with respect to his position and role. In the years of rebellion by Kahar Muzakkar, the position of bissu slowly faded away and it continued to change until the era of Reformasi. This thesis looks at the transformation of bissu in the novel of Tiba Sebelum Berangkat (2018) which was written by Faisal Oddang by applying the concept of objectification by Strelan & Hargreaves (2005) and the gender concept by Butler (1990). This study attempts to dismantle the transformation of bissu who is well-known as holy and sacred. The analysis result shows that bissu in the novel of Tiba Sebelum Berangkat (2018) experiences the transformation from bissu who is holy and sacred shown by the figure of Puang Matua Sakka who releases is purity and sanctity through the figure of Rusmini dan Mapata. In addition, the transformation of bissu is also shown by the gender identity of bissu figures. With respect to the gender category in Bugis community, bissu is androgyny and asexual. However, in Tiba Sebelum Berangkat (2018), bissu figures are shown to experience the change of gender identity from androgyny to homosexual. Therefore, it can be concluded, that Tiba Sebelum Berangkat (2018) describes the transformation of the bissu, in this case, bissu who is considered the representation of Dewata is a figure who has no difference from the ordinary human being who possesses instinct, feeling, and sexual orientation, as well as displays criticism to the objectification by Kahar Muzakkar and government.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Warsidah Rahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses perubahan identitas tokoh Saidi yang berkaitan dengan konsep gender dalam budaya Bugis Budaya Bugis mengakui keberadaan transgender yang dikenal dengan penyebutan calabai, merujuk laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan, dan calalai merujuk kepada perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Selain calabai dan calalai, juga hadir bissu. Bissu adalah transgender yang menempati posisi pemangku adat. Pengakuan masyarakat akan keberadaan bissu terlihat dalam berbagai upacara adat. Permasalahan identitas transgender dalam budaya Bugis, diangkat Pepi Al-Bayqunie dalam Calabai 2016 . Novel Calabai ini mendiskusikan keberadaan bissu yang direpresentasikan melalui tokoh Saidi. Dengan menggunakan teori performativitas, Butler, penelitian ini menganalisis tokoh transgender dalam novel Calabai. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara ruang dan identitas. Perubahan ruang mempengaruhi identitas tokoh Saidi karena setiap ruang yang dihuninya memiliki budaya dan latar sosial yang berbeda. Dari performativitas Saidi sebagai bissu juga diperlihatkan sikap teks terkait kehadiran bissu. Teks memapankan identitas bissu dalam budaya Bugis yang berterima dalam masyarakat Segeri sebagai representasi penerimaan masyarakat Bugis. Di waktu yang bersamaan, teks juga mempertanyakan identitas bissu dalam pandangan Islam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru menyangkut isu transgender.
ABSTRACT
This study aims to see the process of transformation of Saidi related to the concept of gender in Bugis culture. Bugis culture acknowledge the existence of transgender named calabai, referring to men who behave womanly, while calalai refers to women who behave men look alike. In addition to calabai and calalai, there is an existence of bissu. Bissu is a transgender that occupies the position in tribal council. Public recognition of the existence of bissu is proven in various traditional ceremonies. Problems of transgender identity in Bugis culture is appointed by Pepi Al Bayqunie in Calabai 2016 . This novel discussed the existence of bissu represented through the character Saidi. By using the theory of performativity, this research tried to analyze the transgender character in Calabai novel. The performance analysis showed that there was a connection between sphere and identity. Spatial changes affected the identity of Saidi because every space occupied had a different culture and social setting. Saidi 39 s performance as a bissu also showed the point of view of the text related to bissu as an identity. The text established the identity of bissu regarding to their acceptance in Bugis culture in Segeri society as a representation of Bugis society acceptance as a whole. However, the text actually questioned the identity of bissu in Islam perspective. The results of this study were expected to provide a new perspective on transgender issues.
2018
T49979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arristo Herbawono
Abstrak :
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kelompok minoritas gender merupakan kelompok yang rentan terhadap viktimisasi. Kerentanan ini dapat dilihat dengan jelas manakala kelompok minoritas gender ini menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat yang memiliki kultur heteronormatif. Di Indonesia sendiri adanya kultur heteronormatif ini dipengaruhi oleh keberadaan agama-agama samawi, khususnya Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Kelompok Bissu yang merupakan bagian dari tradisi lima gender di dalam kebudayaan Bugis telah terbukti mengalami viktimisasi yang terjadi hingga saat ini. Hal tersebut dikarenakan Bissu yang eksis pada saat ini adalah mereka yang dahulunya adalah seorang Calabai (laki-laki berjiwa perempuan), walaupun pada hakikatnya semua bentuk gender dapat menjadi seorang Bissu. Secara historis, eksistensi Bissu sebagai salah satu kelompok minoritas gender telah mengalami pergolakan sejak fase pertama kali Islam masuk di Sulawesi Selatan hingga fase revitalisasi yang berlangsung hingga saat ini. Hal ini tidak terlepas dari kultur heteronormatif yang juga dibawa oleh Islam pada saat penyebarannya di Indonesia. Bissu yang sudah menjadi tradisi Masyarakat Bugis selama ratusan tahunpun terancam eksistensinya dan dikhawatirkan mengalami kepunahan. Namun, eksistensi Bissu yang dapat dijumpai hingga saat ini menunjukkan bahwa Bissu melakukan resistensi atas viktimisasi yang mereka alami. Penelitian ini ingin membuktikan apakah viktimisasi yang dialami Bissu berpengaruh terhadap kehidupan Bissu dan apakah viktimisasi tersebut memiliki hubungan dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender melalui studi kualitatif-partisipatoris. ......It is undeniably that gender minority groups are vulnerable to victimization. This vulnerability becomes evident when these gender minority groups assert their existence in societies with a heteronormative culture. In Indonesia, the presence of this heteronormative culture is influenced by the existence of Abrahamic religions, particularly Islam, which is the most widely practiced religion in Indonesian society. The Bissu community as part of the five-gender tradition in Bugis culture, has been proven to experience victimization that persists to this day. This is because the current Bissu individuals were formerly Calabai (feminine men), although, in essence, individuals of any gender can become Bissu. Historically, the existence of Bissu as one of the gender minority groups has undergone turmoil since the early phases of Islam's entry into South Sulawesi, continuing through the ongoing revitalization phase. This is closely tied to the heteronormative culture brought by Islam during its spread in Indonesia. The Bissu, a tradition in Bugis society for centuries, is now at risk of extinction due to the heteronormative influences. However, the continued existence of Bissu individuals indicates their resistance to the victimization they face. This research aims to prove whether the victimization experienced by Bissu has an impact on their lives and whether this victimization is related to discrimination against gender minority groups through a qualitative-participatory study.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library