Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rizky Priambodo Wisnubaroto
Abstrak :
Instrumentasi posterior mengharuskan dipertahankannya fiksasi stabil sekrup pedikel di tulang belakang untuk mencapai fusi. Hal ini dapat menjadi sulit terutama pada kondisi tertentu, misalnya pada penurunan densitas masa tulang pedikel. Teknik insersi sekrup dengan lintasan kortikal diharapkan menambah antarmuka sekrup dan tulang dengan meningkatkan engagement antara sekrup dengan korteks tulang. Lintasan sekrup dari arah kortikal infero-superior serta kortikal supero-inferior diharapkan memiliki keunggulan kekuatan cabut (pullout strength) dibandingkan dengan lintasan konvensional dalam mengatasi masalah ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil biomekanik awal lintasan kortikal dan perbedaan pull out strength lintasan konvensional (Weinstein, 1992), kortikal infero-superior (Santoni, 2009), dan kortikal supero-inferior. Metode: Sampel dari lumbal (L1-L5) babi Yorkshire (n=30) dilakukan pengukuran morfometri dan dibagi secara acak. Sampel dilakukan pengeboran dan sekrup dimasukkan ke dalam tulang dengan tiga lintasan: konvensional, kortikal infero-superior, dan kortikal supero-inferior. Arah lintasan diperiksa kembali dengan sinar-x. Dilakukan penarikan sekrup dengan arah sesuai aksis insersi sekrup dengan kecepatan translasi 5mm/menit. Hasil dicatat dengan satuan Newton (N). Hasil: Didapatkan rata-rata nilai uji tarik pada kelompok konvensional, infero-superior, dan supero-inferior masing-masing 491,72 (187.23) N, 822,16 (295.73) N, dan 644,14 (201.97) N. Lintasan kortikal infero-superior dan kortikal supero-inferior masing-masing mendapatkan nilai 67% dan 30% lebih tinggi dibandingkan dengan lintasan konvensional. Hasil uji ANOVA satu arah dan uji post-hoc Tukey menunjukkan perbedaan signifikan antara lintasan kortikal infero-superior dengan konvensional (p<0.01). Kesimpulan: Lintasan sekrup dalam tulang lumbal dapat memengaruhi nilai pullout sekrup. Keterlibatan tulang kortikal pada lintasan insersi sekrup baru ini bisa meningkatkan nilai pullout sekrup pedikel. Secara statistik pullout strength lintasan kortikal infero-superior dan kortikal supero-inferior tidak ada perbedaan. Studi ini menunjukkan nilai pullout yang lebih tinggi sebesar 30% dari lintasan yang disarankan peneliti dibandingkan dengan lintasan konvensional, walaupun tidak ada perbedaan signifikan secara statistik. ......Introduction: Posterior instrumentation is aimed to achieve spinal fusion which is helped by maintaining a stable pedicle screw insertion within the pedicle. This presents a challenge especially in conditions with low bone quality. Pedicle screw insertion with cortical bone trajectory is designed to add interface between the screw and the bone through engagement between pedicles and the cortex when compared to conventional pedicle screw insertion. Pedicle screw insertion trajectory from cortical infero-superior and the proposed cortical supero-inferior should obtain better pull out performance when compared with conventional pedicle trajectory. We aim to evaluate the pull out strength differences between conventional (Weinstein, 1992) pedicle screw trajectory, cortical infero-superior (Santoni, 2009), and a proposed cortical supero-inferior trajectory. Methods: Samples from Yorkshire porcine lumbar spine (L1-L5) (n=30) were relieved of soft tissue attachments and dried. Morphometric measurements were conducted and the samples were randomly assigned to three groups. The screws were inserted into the vertebrae by drilling with the three trajectories: conventional, cortical infero-superior, and cortical supero-inferior. The trajectory of the screws were examined using x-rays. Pull-out tests were conducted by applying uniaxial traction in line with the screw trajectory with a translational speed of 5mm/minutes. The results of the pull-out are measured in Newton (N). Results: We obtained a mean value of pullout force in conventional trajectory 491,72 (187.2) N, cortical infero-superior 822,16 (295.73) N, and cortical supero-inferior 644,14 (201.97) N. Cortical infero-superior trajectory and cortical supero-inferior trajectory attained 67% and 30% higher pullout mean respectively. Using one-way ANOVA and a post-hoc Tukey test revealed a significant difference between cortical infero-superior and conventional trajectory (p<0.01). Differing pull out strengths between cortical infero-superior and supero-inferior trajectory showed no statistical significance. Our study showed a 30% higher pull-out strength in our proposed trajectory compared with conventional trajectory although not statistically significant. Conclusion: The trajectory of the screws within the lumbar spine seemed to have an impact in pullout strength. Cortical bone engagement using the novel trajectories may increase screw pullout strength of pedicle screws.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wicaksono
Abstrak :
Pendahuluan: Deformitas hidung adalah tampilan klinis yang menonjol pada pasien bibir sumbing unilateral. Rhinoplasty primer adalah solusi terhadap deformitas tersebut. Masalah yang timbul pascaoperasi adalah kecenderungan lower lateral cartilage untuk kembali ke bentuk awal dan timbulnya jaringan parut sehingga timbul kembali deformitas hidung. Solusi yang dapat diambil adalah penggunaan retainer hidung selama minimal 6 bulan untuk mempertahankan bentuk hidung. Hasil yang didapat baik namun retainer hidung yang dijual di pasaran cukup mahal. Untuk mengatasi hal tersebut kami mengajukan alternatif yang lebih terjangkau, aman, dan memiliki karakteristik biomekanik dan biokompatibilitas yang menyerupai retainer hidung yang dijual di pasaran. Metode: Sampel berasal dari 3 kelompok, yang dibuat oleh institusi kami serta komersial dari Turki (mewakili Kaukasia) dan Taiwan (mewakili Asia). Terdapat 3 sampel setiap kelompok. Setiap sampel diuji biomekanika dengan perangkat uji mekanik dan uji toksisitas untuk karakteristik biokompatibilitas. Parameter yang dinilai adalah modulus elastisitas, tensile strength, toksisitas direk dan indirek. Data dianalisis dengan uji One- Way Anova dan Post Hoc untuk perbedaan rerata antara 3 kelompok. Hasil: Berdasarkan hasil tensile strength didapatkan nilai p yang signifikan (p <0.05) antara 3 kelompok berdasarkan uji One-Way Anova. Retainer yang kami buat kurang awet. Berdasarkan hasil modulus elastisitas didapatkan nilai p yang signifikan (p <0.05) antara 3 kelompok berdasarkan uji One-Way Anova. Modulus elastisitas pada retainer kami (2.76  0.41 MPa) menyerupai dengan lower lateral cartilage pada manusia (2.09 ± 0.81 MPa). Berdasarkan uji toksisitas direk dan indirek, dapat disimpulkan bahwa ketiga kelompok non toksik. Kesimpulan: Retainer hidung buatan kami memiliki karakteristik biomekanika yang mirip dengan komersial. Buatan kami ideal karena memiliki modulus elastisitas yang menyerupai dengan lower lateral cartilage pada manusia. Retainer hidung buatan kami memiliki karakteristik biokompatibilitas yang mirip dengan komersial dan non toksik. ......Background: Nasal deformity is one of the main features of the unilateral cleft lip. Primary rhinoplasty is currently the solution for nasal deformity. Problem encountered with this technique is a tendency for the lower lateral cartilage to retain its memory and healing of scar tissue, which subsequently recreate the preoperative nasal deformity. To manage this, nasal retainers often employed for at least 6 months to maintain position of the nose. The results are promising; however commercial nasal retainers made from silicone are quite expensive. To address this issue we propose an alternative nasal retainer that is affordable, safe, and have similar biomechanical and biocompatibility properties with silicone used in nasal retainers. Methods: Samples are from 3 groups, our self-made nasal retainers, commercial nasal retainers from Turkey (represent Caucasian) and Taiwan (represent Asian). There are 3 samples of each nasal retainer group. Each samples were tested using mechanical testing device for biomechanical properties and toxicity testing for biocompatibility properties. Elasticity modulus, tensile strength, direct and indirect toxicity were recorded. Data were analysed using One-Way Anova and Post Hoc test for mean difference of three groups. Results: Based on tensile strength results, overall p value has significant mean differences (p <0.05) between three groups based on One-Way Anova test. Our nasal retainer is least durable. Based on elastic modulus results, overall p value has significant mean differences (p <0.05) between three groups based on one-way Anova test. Our nasal retainer shows similar elastic modulus (2.76  0.41 MPa) compared to human lower lateral cartilage elastic modulus (2.09 ± 0.81 MPa). Based on direct and indirect toxicity testing, we can conclude that three sample groups are non-toxic. Conclusion: Our nasal retainer has similar mechanical properties with commercially available silicone nasal retainer. Our nasal retainer is ideal because it shows similar elastic modulus compared to human lower lateral cartilage. Our nasal retainer has similar biocompatibility with commercially available silicone nasal retainer and it is non-toxic.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika
Abstrak :
ABSTRAK
Latihan naik turun bangku LNTB dan latihan jalan kaki LJK adalah aktivitas bersifat weight bearing yang dapat meningkatkan massa tulang. Kedua latihan fisik tersebut memiliki karakter biomekanik yang berbeda yang akan memengaruhi proses formasi dan resorbsi tulang. Densitas massa tulang rendah berhubungan dengan polimorfisme gen TNFSF11 dan TNFRSF11B.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perbedaan peningkatan kadar osteokalsin sebagai petanda formasi dan penurunan CTX-1 sebagai petanda resorbsi setelah LNTB dan LJK dan pengaruh polimorfisme gen TNFSF11 SNPs-290C>T, -643C>T, -693G>C dan gen TNFRSF11B SNPs 163A>G, 950T>C, 1181G>C terhadap perbedaan peningkatan kedua petanda. Disain penelitian adalah studi eksperimental. Subjek penelitian adalah perempuan osteopenia sebanyak 59 orang yang diberi LNTB 30 subjek dan LJK 29 subjek dan ditentukan secara acak. Kadar osteokalsin dan serum diukur pra dan pascalatihan setelah 12 sesi selama 3 bulan latihan. Identifikasi polimorfisme gen TNFSF11 dan gen TNFRSF11B dianalisis dengan metode PCR dilanjutkan RFLP. Perbedaan peningkatan kadar osteokalsin dan CTX-1 diuji dengan uji T-tidak berpasangan. Hubungan polimorfisme dengan perubahan kadar osteokalsin dan CTX-1 dianalisis dengan odds ratio. Analisis haplotype dan uji Kruskall Wallis dilakukan untuk melihat hubungan pasangan haplotype dengan kadar osteokalsin dan CTX-1. Kadar osteokalsin dan CTX-1 setelah latihan pada kedua kelompok latihan meningkat p < 0,05 . Peningkatan CTX-1 setelah LNTB lebih kecil dibanding LJK p < 0,05 . Tidak ditemukan hubungan antara polimorfisme gen TNFSF11 dan gen TNFRSF11B dengan perubahan kadar osteokalsin dan CTX-1 p>0,05 Meskipun tidak bermakna, terdapat kecenderungan alel heterozigot/resesif berhubungan dengan peningkatan kadar osteokalsin, alel homozigot dominan berhubungan penurunan kadar CTX-1, serta haplotype gen TNFRSF11B dan haplotype gen TNFSF11 dengan perubahan osteokalsin dan CTX-1. Kedua latihan fisik terbukti dapat meningkatkan formasi tulang. LNTB mencegah resorbsi tulang lebih baik dibanding LJK. Polimorfisme mungkin memengaruhi formasi dan resorbsi tulang akibat latihan fisik. LNTB dan LJK meningkatkan osteokalsin. Peningkatan CTX-1 setelah LNTB lebih rendah dari LJK. Perubahan osteokalsin tidak berhubungan dengan polimorfisme gen TNFSF11 dan TNFRSF11B sedangkan perubahan CTX-1 tidak dipengaruhi polimorfisme gen TNFSF11 tetapi terdapat hubungan antara haplotype ATG dengan ACG dan GCC gen TNFRSF11B dengan perubahan CTX-1. Kata Kunci: gen TNFRSF11B, gen TNFSF11, karakter biomekanik, latihan naik turun bangku, polimorfisme, remodeling tulang
Bench step exercise BSE and walking exercise WE have a different biomechanical characteristics that can affect bone formation and resorbtion. Low bone mass density was associated with TNFSF11 SNPs 290C T, 643C T, 693G C and TNFRSF11B 163A G, 950T C, 1181G C genes polymorphism.The purpose of the studi is to analyze the difference effect of BSE and WE on changes in bone formation osteocalcin and bone resorbtion CTX 1 markers and the association of TNFSF11 and TNFRSF11B genes polymorphism. This is an experimetal study involving 59 postmenopausal women with osteopenia. Participants were grouped randomly according to the type of exercise bench step exercise 30 subjects and walking exercise 29 subjects . Subjects performed exercise for 12 sessions in 3 months. Osteocalcin and CTX 1 serum was measured pre and post exercise. The TNFSF11 gene and TNFRSF11B gene polymorphism was identified by PCR and RLFP methods. The difference in changes on osteocalcin and CTX 1 between groups were analysed by independent T test. Association between changes in osteocalcin and CTX 1 polymorphism and haplotype were analysed using odss ratio and Kruskall Wallis, respectively. Osteocalcin and CTX 1 increased significantly after BSE and WE P 0.05 , with no difference between group. BSE increased CTX 1 lower than WE P 0.05 . There is no association between polymorphism and the changes on osteocalcin and CTX 1 levels after BSE and WE P 0.05 . However, some tendencies were observed. Heterozygous recessive alleles had association with increased osteocalcin, homozygous dominant alleles had association with decreased CTX 1, haplotype TNFRSF11B gene had associaton with changes in osteocalcin and CTX 1 levels, whereas haplotype TNFSF11 gene with changes in CTX 1 level only. This results indicate that both BSE and WE increased bone formation. TNFSF11 gene polymorphism did not affect changes in formation and resorbtion after BSE and WE. Both exercises increased osteocalcin but was not different even though level of CTX 1 in BSE is lesser compared to WE. TNFSF11 gene polymorphism did not associate to the changes in osteocalcin and TNFRSF11B gene polymorphism did not associate to the changes in osteocalcin despite haplotype ATG had association with ACG and GCC in TNFSF11B gene for the changes in CTX 1 level after BSE and WE. Keywords Bench step exercise, biomechanical character, bone remodelling, gene TNFRSF11B, gene TNFSF11, polymorphism
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsanto Triwidodo
Abstrak :
Kordoma adalah jenis tumor ganas dan langka yang biasanya terjadi di tulang belakang, terutama sakrum atau lumbosakrum. Tumor tersebut mengakibatkan gangguan struktur anatomi tulang belakang yang mengarah ke kondisi cacat ketika daerah yang terkena diangkat. Operasi rekonstruksi menggunakan implan tulang belakang yang terdiri atas kombinasi batang dan sekrup saat ini masih menunjukkan tingkat kegagalan dan kompleksitas pembedahan yang tinggi. Selain itu, hanya sedikit prostesis yang dapat memfasilitasi preservasi saraf dan rekonstruksi parsial. Oleh karena itu diperlukan prostesis baru untuk memenuhi kebutuhan rekonstruksi tulang belakang. Penelitian ini merupakan proses pengembangan desain baru prostesis lumbal dan sakrum berdasarkan studi antropometri yang berpotensi untuk diproduksi dalam skala besar dan memfasilitasi preservasi saraf maupun rekonstruksi parsial. Desain dikembangkan dengan tahapan identifikasi kebutuhan, pembuatan konsep, pemilihan konsep dan material, pengembangan detail desain, dan tahap akhir berupa pembuatan prototipe. Pada tahap akhir dilakukan pengujian fisik dan instalasi pada kadaver menggunakan bahan polylactic acid (PLA) dan aluminium serta pengujian virtual dengan finite element method (FEM). Proses ini dilanjutkan dengan diskusi ahli dan uji biomekanik menggunakan prostesis berbahan dasar titanium. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Anatomi Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Laboratorium Teknik Mesin Fakultas Mesin Universitas Indonesia (FTUI) pada Januari 2020–Juni 2022. Dimensi ukuran morfometri tulang lumbal laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, kecuali parameter spinal canal depth, vertebral body height anterior, ventral straight breadth, dan transverse diameter of the base (p < 0,05). Pada proses pengembangan desain dan konsep, terdapat 3 spesifikasi produk utama yaitu desain yang menyerupai anatomi asli, sistem modular, dan implan dengan beberapa ukuran. Ti-6Al-4V dipilih untuk material berdasarkan skor terbaik untuk evaluasi material dan persyaratan kinerja kepadatan rendah, kekuatan tarik tinggi, kekuatan luluh tinggi, young modulus rendah, ketahanan aus tinggi, ketahanan korosi tinggi, dan biaya rendah. Pembobotan faktor properti dilakukan menggunakan metode logika digital. Selanjutnya pada pengujian FEM, desain yang telah dikembangkan memenuhi kriteria untuk penggunaan sehari-hari dengan tegangan tertinggi 149,53 MPa dan faktor keamanan 2,56 kali. Berdasarkan uji biomekanik kondisi nyata, tegangan terkoreksi terbesar untuk prostesis adalah pada kondisi pembebanan fleksi 118,6 MPa pada komponen sakrum S2 kanan. Semua kondisi pembebanan pada masing-masing komponen menunjukkan ketahanan terhadap tegangan dan tidak mengalami kegagalan sama sekali. Prostesis lumbosakral yang baru dirancang ini menunjukkan hasil yang memuaskan dari segi teknik bedah, pemasangan, maupun uji biomekanik serta dapat menjadi pilihan metode bedah untuk rekonstruksi defek tulang vertebra. ......Cordoma is a rare and malignant type of tumor that usually occurs in the spine, especially the sacrum or lumbosacrum. The tumor resulted in disruption of the anatomical structure of the spine leading to a deformed condition when the affected area was removed. Reconstructive surgery using spinal implants consisting of a combination of rods and screws currently still shows a high failure rate and surgical complexity. Moreover, few prostheses can facilitate nerve preservation and partial reconstruction. Therefore a new prosthesis is needed to meet the needs of spinal reconstruction. This research is the process of developing a new design of lumbar and sacral prostheses based on anthropometric studies that have the potential to be produced on a large scale and facilitate nerve preservation and partial reconstruction. The design is developed with the stages of needs identification, concepts generation, concepts and materials selection, detailed designs development, and prototype production. In the final stage, physical testing and installation was carried out on the cadaver using polylactic acid (PLA) and aluminum as well as virtual testing using the finite element method (FEM). This process was followed by expert discussions and biomechanical tests using titanium-based prostheses. This research was conducted at the Anatomy Laboratory of the Department of Anatomy, Faculty of Medicine, University of Indonesia (FMUI) and Mechanical Engineering Laboratory, Faculty of Engineering, University of Indonesia (FEUI) in January 2020–June 2022. The morphometric dimensions of the male lumbar spine were larger than those of the female, except for the parameters spinal canal depth, anterior vertebral body height, ventral straight breadth, and transverse diameter of the base (p <0.05). In the design and concept development process, there are 3 main product specifications, namely designs that mimic the original anatomy, modular systems, and implants of several sizes. Ti-6Al-4V was selected for the material based on the best score for material evaluation and performance requirements of low density, high tensile strength, high yield strength, low young modulus, high wear resistance, high corrosion resistance and low cost. Property factor weighting is done using a digital logic method. Furthermore, in the FEM test, the design that has been developed meets the criteria for daily use with a maximum stress of 149.53 MPa and a safety factor of 2.56 times. Based on real-condition biomechanical tests, the largest corrected stress for the prosthesis is at a flexion load of 118.6 MPa on the right sacral component S2. All loading conditions on each component show resistance to stress and no failure at all. This newly designed lumbosacral prosthesis has shown satisfactory results in terms of surgical technique, fitting, and biomechanical tests and can be the preferred surgical method for reconstruction of vertebral defects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Prasetyanugraheni Kreshanti
Abstrak :
Fraktur mandibula merupakan fraktur kraniomaksilofasial yang paling umum dan seringkali menyebabkan gangguan mengunyah. Tata laksana definitif fraktur mandibula adalah reduksi terbuka dan fiksasi interna menggunakan plat dan sekrup sistem 2.0, seperti plat tiga dimensi (3D). Namun, desain plat 3D konvensional memiliki keterbatasan karena bentuknya yang tidak dapat diubah, sehingga sulit menghindari garis fraktur atau struktur anatomi penting seperti akar gigi dan saraf saat melakukan pemasangan sekrup. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan desain plat 3D yang dapat diubah konfigurasinya. Oleh karena itu, dikembangkanlah desain plat 3D interlocking. Berbeda dengan plat 3D yang sudah ada selama ini, plat 3D interlocking memiliki kebaruan yaitu plat ini dapat dirangkai dari beberapa jenis plat dengan menumpuk 2 buah plat menjadi 1 kesatuan plat. Sambungan kedua buah plat ini tidak menambah ketebalan plat dan dapat diubah konfigurasinya dengan menyesuaikan sudut antara plat horizontal dan plat vertikal. Finite Element Analysis (FEA) dilakukan untuk menentukan kelayakan desain plat 3D interlocking. Setelah FEA memastikan kelayakan desain, purwarupa yang diproduksi dilakukan pengujian biomekanik menggunakan sepuluh mandibula kambing untuk menilai kekuatan mekanik dan stabilitas plat 3D interlocking. Biokompatibilitas dan penyembuhan tulang dievaluasi dalam uji hewan coba yang melibatkan 28 kambing. Biokompatibilitas dinilai dengan mengevaluasi respons inflamasi dari uji radiologik dan histopatologik (pewarnaan Hematoxylin-Eosin). Penyembuhan tulang dinilai melalui berbagai metode, termasuk uji radiologik yang mengukur kepadatan tulang, uji histopatologik menggunakan pewarnaan Mason Trichome, dan analisis penanda tulang melalui imunohistokimia dan ELISA. Selain itu, uji kemudahan penggunaan dilakukan dengan sembilan Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik untuk menilai tingkat kenyamanan dan durasi yang diperlukan untuk mengaplikasikan plat pada model mandibula sintetik. Uji biomekanik juga dilakukan pada uji kemudahan penggunaan sebagai komponen evaluasi objektif. Dalam uji biomekanik, plat 3D interlocking menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan stabilitas fraktur yang memungkinkan gerakan mikro yang terkendali. Selanjutnya, uji biokompatibilitas menunjukkan bahwa kelompok plat 3D interlocking menghasilkan reaksi jaringan dan respons inflamasi yang lebih rendah dibandingkan plat tolok ukur pada uji hewan coba. Selain itu, plat 3D interlocking juga mempercepat proses penyembuhan tulang, terbukti dari peningkatan bermakna dalam pembentukan dan kepadatan tulang pada uji hewan coba. Hasil uji kemudahan penggunaan menunjukkan bahwa plat 3D interlocking dapat digunakan dengan mudah seperti halnya plat tolok ukur. Secara keseluruhan, plat 3D interlocking menunjukkan potensi sebagai alternatif yang layak untuk tata laksana fraktur mandibula. ......Mandibular fractures are the most common craniomaxillofacial fractures, often resulting in mastication disturbances. Mandibular fracture management typically involves the use of 2.0 system plates and screws, such as three-dimensional (3D) plates. However, the conventional 3D plate designs for mandibular fracture management have limitations. Their fixed shape makes it challenging to avoid fracture lines or vital anatomical structures, such as dental roots and nerves when placing screws. A 3D plate design that allows for configuration changes is needed to address this issue. Therefore the interlocking 3D plate was developed. This novel design features components that can be adjusted to avoid critical anatomical structures and fracture lines while still offering the stability of a 3D plate, enhancing its utility in mandibular fracture management. Finite element analysis was performed to establish the feasibility of the interlocking 3D plate design. Once that was established, biomechanical evaluation was conducted using ten goat mandibles to assess the mechanical strength and stability of the interlocking 3D plate. Biocompatibility and bone healing properties were evaluated in an animal study involving 28 goats. Biocompatibility was assessed by evaluating inflammatory responses from radiological and histopathological (Hematoxylin-Eosin staining) study. Bone healing properties were assessed through various methods, including radiological study measuring bone density, histopathological study using Mason Trichome staining, and analyzing bone markers through immunohistochemistry and ELISA. Additionally, usability study were conducted with nine plastic surgeons to assess the level of comfort and the duration required to apply the plate on a synthetic mandibular model. These findings were correlated with biomechanical test results. The biomechanical evaluation revealed that the interlocking 3D plate design better-maintained fracture stability while allowing controlled micro-movement. Regarding biocompatibility, the interlocking 3D plate exhibited better results than the standard plate, as indicated by lower tissue reaction and inflammatory response in animal study. The interlocking 3D plate also facilitated faster bone healing, with significant bone formation and bone density improvements in animal study. Usability study demonstrated that the interlocking 3D plate was as easy to use as the standard plate, with no significant differences in application time. Overall, the interlocking 3D plate demonstrates significant potential as a viable alternative for managing mandibular fractures.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library