Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dahrul Effendi
Abstrak :
ABSTRAK
Produksi Gas metana Batubara (GMB) dapat ditingkatkan dengan cara biologi, yaitu melalui teknik biostimulasi dan bioaugmentasi yang dapat dilakukan secara in situ atau ex situ. Penelitian ini memanfaatkan mikroba cairan rumen yang diambil dari limbah rumah potong hewan. Cairan rumen mengandung konsorsium mikroba yang terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi yang potensial dapat mendegradasi batubara untuk menghasilkan gas metana. Mikroba rumen memiliki kemampuan mencerna lignin dari tanaman yang merupakan materi asal mula batubara. Penelitian ini dilakukan dengan variasi konsentrasi campuran cairan rumen, jenis batubara, air formasi, suhu, dan tekanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroba cairan rumen memiliki kemampuan untuk memproduksi gas metana, Volume gas tertinggi didapatkan dari batubara peringkat subbituminous pada suhu 60oC, tekanan 400 psi dan salinitas 35.000 ppm, yaitu diperoleh gas metana sejumlah 256 cf/ton dengan lama inkubasi 75 hari. Sedangkan pada batubara lignit dengan kondisi tekanan dan temperatur ruang (ambient condition), menghasilkan gas metana sebanyak 73,39 cf/ton dalam waktu 95 hari inkubasi. Produksi gas metana akan terus mengalami peningkatan sejalan dengan lama inkubasi dan tersedianya substrat batubara. Mikroba cairan rumen telah terbukti memiliki kemampuan untuk mendegradasi batubara menjadi gas metana sehingga potensi implementasinya dapat ditingkatkan dari skala laboratorium ke skala lapangan bawah permukaan untuk sumur CBM non-produktif.
Jakarta: Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS", 2017
665 LPL 51:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ajeng Sarasputri
Abstrak :
ABSTRAK
Pencemaran minyak di wilayah pantai akibat tumpahan minyak di laut (oil spill) merupakan masalah lingkungan yang sangat penting. Tumpahan minyak di laut, terutama kecelakaan tumpahan minyak skala besar, telah memberikan ancaman besar dan menyebabkan kerusakan yang luas pada lingkungan pesisir. Kontaminan dapat terakumulasi di dalam tubuh organisme laut dan berbahaya bagi manusia yang memakannya. Untuk menanggulangi masalah pencemaran minyak di pantai atau coastal oil spill ini, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah bioremediasi yang merupakan proses pemulihan suatu wilayah seperti tanah, air, atau pantai yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai bakteri pemecah minyak. Terdapat dua pendekatan dalam bioremediasi. 1) bioaugmentation, di mana mikroorganisme pendegradasi minyak ditambahkan untuk menambahkan populasi mikroba yang telah ada, dan 2) biostimulation, di mana pertumbuhan pendegradasi minyak asli distimulasi dengan penambahan nutrisi atau cosubstrates pembataspertumbuhan lainnya dan/atau perubahan habitat. Penelitian yang dilakukan di Balai Teknologi Lingkungan BPPT ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan nutrisi dan mikroba terhadap proses degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme melalui perbandingan antara metode biostimulasi dan bioaugmentasi, serta pengaruh pasang surut air laut terhadap penurunan kandungan minyak di pantai. Eksperimen dilakukan dengan membuat simulasi pantai skala 5 kg yang dicampurkan minyak sebanyak 5% sebagai kandungan pencemar minyak awal dalam pasir pantai. Pada metode biostimulasi ditambahkan nutrisi dengan rasio C:N:P yaitu 100:10:1. Pada metode bioaugmentasi ditambahkan nutrisi dengan rasio yang sama dan mikroba yang berasal dari kultur biakan dan mikroba air laut. Simulasi air laut diberikan pada pantai yang terkena pengaruh pasang surut dengan periode tipe tunggal. Parameter yang diukur adalah temperatur, pH, kadar 6 air, dan TPH. Mikroba yang digunakan berjumlah antara (4,39 25,7) x 10CFU/ml. Secara umum, kadar TPH terendah dimiliki oleh metode bioaugmentasi pasang surut yaitu 2,189 % pada minggu ke 8 dan kadar TPH tertinggi yaitu 4,078 % yang dimiliki blanko tanpa pasang surut pada minggu ke 8. Perubahan kadar TPH dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pasang surut, faktor lingkungan, dan mikroba. Penurunan TPH pada pasir yang terkena pengaruh pasang surut dimungkinkan terjadi karena efek pencucian oleh arus pasang surut yang membawa kandungan minyak keluar. Pada bioremediasi tanpa pengaruh pasang surut, metode bioaugmentasi dapat menurunkan TPH lebih rendah dibandingkan dengan metode biostimulasi. pH umumnya mengalami penurunan sampai minggu keempat sebelum selanjutnya mengalami kenaikan. Temperatur pasir secara keseluruhan berkisar antara 27°C42°C. Pola perubahan temperatur pasir ini serupa dengan perubahan temperatur ambien sehingga diketahui bahwa temperatur pada pasir dipengaruhi oleh temperatur udara luar reaktor. Rasio C:N:P di awal penelitian adalah 100:10:1. Sedangkan rasio C:N:P di akhir penelitian mengalami penurunan. Hal ini yang menyebabkan degradasi TPH pada 4 minggu terakhir kurang siginifikan karena komposisi nutrisi pada pasir sudah kurang optimal.
ABSTRACT
Contaminated coastal as a result of oil spill accident are important environmental problem. Oil spills at sea, especially largescale oil spill accidents, has given a major threat and cause extensive damage to the coastal environment. Contaminants can accumulate in the body of marine organisms and harmful to humans who eat them. To overcome the problem of oil pollution on the beach or coastal oil spill, there are several ways we can do. One is bioremediation which is a process of recovery of an area such as soil, water, or beach that utilize microorganisms as oil degrading bacteria. There are two approaches in bioremediation. 1) bioaugmentation, in which oildegrading microorganisms are added to increase the number of an existing microbial population, and 2) biostimulation, in which the growth of indigenous oil degrading microbes stimulated by the addition of nutrients or other growthlimiting cosubstrates and/or habitat changes. This research which conducted at the Center of Environmental Technology BPPT aims to determine the effect of the addition of nutrients and microbes to the degradation of hydrocarbons by microorganisms through comparison between biostimulation and bioaugmentation methods, and the influence of the tides to the decrease of oil content on the beach. Experiments carried out by creating a 5 kg simulated beach scale mixed with oils as much as 5% as the initial oil content of contaminants in beach sand. In the biostimulation method, nutrients added in the ratio C:N:P is 100:10:1. In the bioaugmentation method, nutrients added with the same ratio and microbes from the freshwater and sea water culture. Simulation of sea water is given to beaches that are affected by tidal with a single type period. The parameters measured are temperature, pH, water content, and TPH. Number of microbes that used range from (4,39 25,7) x 106 CFU/ml. In general, the lowest levels of TPH are owned by the tidal bioaugmentation method which is 2.189% at 8 weeks and the highest TPH levels of 4.078% is owned by the blank with no tides at 8 weeks. Changes in levels of TPH is influenced by several factors, namely tidal, environmental factors, and microbes. TPH decrease in sand exposed to tidal influence is possible due to the effects of leaching by tidal currents that carry oil content out. In bioremediation without the influence of tides, TPH of bioaugmentation method is lower than the biostimulation method. pH generally decreased until the fourth week before the next increase. Overall temperature of the sand ranges between 27°C 42°C. The pattern of changes in sand temperature is similar to changes in ambient temperature so it is known that the temperature of the sand is affected by the temperature outside the reactor. While the ratio of C:N:P ratio at the end of the study was decrease from 100:10:1. This causes degradation of TPH in the last 4 weeks is less significant because of the nutritional composition of the sand is less than optimal.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S747
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lany Nurhayati
Abstrak :
ABSTRAK
Undang-undang RI No. 19 tahun 2009, pengesahan konvensi Stockholm tentang bahan pencemar organik yang persisten, dan telah melarang penggunaan kategori insektisida yaitu aldrin, klordan, dieldrin, endrin, heptaklor, heksaklorobenzena, mirex, toxaphene dan poliklorinatbifenil (PCB), serta membatasi penggunaan insektisida diklorodifenildikloroetana (DDT). Faktanya, keberadaan insektisida organoklorin tersebut masih ditemukan di tanah sawah Kabupaten Karawang yaitu aldrin, DDT, endosulfan, endrin, heptaklor dan lindan dengan konsentrasi berkisar antara 1,5 ng/g sampai dengan 5,37 ng/g. Teknologi pengendalian residu pestisida dapat dilakukan melalui ameliorasi secara biologi dengan bioremediasi, secara fisika dengan adsorpsi arang aktif, sedangkan, secara kimia melalui penambahan alum dan lain-lain. Bioaugmentasi adalah introduksi mikroba tertentu pada daerah yang akan diremediasi. Bakteri tempatan potensial pendegradasi heptaklor hasil isolasi adalah Citrobacter sp. Setelah diidentifikasi dengan 16S rRNA, bakteri tersebut adalah Raoultella ornithinolytica B4, bakteri ini golongan Enterobacteriaceae, Gram negatif, dan menghasilkan enzim katalase. Biochar tempurung kelapa (BTK) memiliki sifat adsorben berdasarkan nilai daya serap iod sebesar 570,22 mg/g, luas permukaannya 371,943 m2/g, dan diameter pori 0,4-7,0 mm karena proses karbonasi 300 oC menghasilkan ukuran makropori. Hasil uji adsorpsi BTK 5% (b/b) terhadap heptaklor 2 mg/L secara adsorpsi fisik, terlihat dari persamaan Langmuir memiliki linearitas y=1,704x ? 0,002, kapasitas adsorpsinya 1,704 mg/g, dengan efisiensi adsorpsinya sebesar 75,01%. Proses bioaugmentasi tanah sawah tercemar heptaklor oleh bakteri tempatan Raoultella ornithinolytica B4 dengan bantuan BTK 5%, menghasilkan degradasi heptaklor (Rt 11,31 menit) menjadi 1-hidroksiklordene (Rt 12,38 menit), dengan nilai efisiensi remediasi sebesar 75,38%.
ABSTRACT
The regulation of Republic of Indonesia No. 19 in 2009, about the ratification of the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutans (POPs), that bann the use of insecticides category, namely aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex, toxaphene and polychlorinated biphenyls (PCB), and as well as the restriction use of insecticide dichlorodiphenyldichloroethane (DDT). In fact, the presence of insecticides organochlorine are still found on paddy filed, from nine villages and sub-districts in Karawang contained seven types, they are aldrin, DDT, endosulfan, endrin, heptachlor and lindane concentrations in the district ranges from 0.3 ng/g in up to 5.37 ng/g. Bioaugmentation is the applications of indigenous or allochthonous wide type or genetically modified microorganisms to hazardous waste polluted sites in order to accelerate the removal of undesired compounds. Indigenous Bacteria that is potential to degrade heptachlor is obtained from the isolation of Citrobacter sp and finally identified by 16S rRNA identification technique, that this bacteria is Raoultella ornithinolytica B4 which is classified as a group of bacteria of Enterobacteriaceae, as a Gram-negative, and produce the enzyme catalase. Biochar coconut shell (BCS) as adsorbent was tested for its quality by SNI-06-3730-1995 method. It has a water content of 11.88% (w/w), ash content of 3.32%, an easily evaporated substance content of 13.61%, bounded carbon to 71.20%, and iod number of 570.22 mg/g. The adsorption result of BCS 5% (w/w) to heptachlor was 2 mg/L which was fit with physical adsorption of Langmuir equation with adsorption linearity y = 1,704x - 0,002, adsorption capacity of 1.704 mg / g, so BCS can adsorb heptachlor well. Bioaugmentation using single strain of R. ornithinolytica B4 successful for removal of heptachlor with efficiency was observed in 35 days incubation was 75.38%, and heptachlor (11,31 minute) degraded to 1-hydroxychlordene (12,38 minute).
2016
D2256
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library