Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindita Wicitra
"ABSTRAK
Latar Belakang: terapi injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pasien edema makula diabetik dengan ketebalan makula sentral lebih dari 400 µm dinilai kurang efektif. Kortikosteroid dinilai dapat membantu mencegah progresifitas edema makula diabetik terkait proses inflamasi.
Tujuan: Mengetahui hasil terapi injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason dibandingkan dengan injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang hingga berat
Metodologi: penelitian eksperimental randomisasi acak terkontrol dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi intravitreal bevacizumab 1,25mg (kelompok A) dan terapi injeksi intravitreal bevacizumab 1,25mg dan deksametason 0,5mg (kelompok B). Luaran sensitifitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dievaluasi pada minggu pertama dan keempat.
Hasil: sebanyak masing-masing 22 orang diteliti di kelompok A dan kelompok B. Median usia pada kelompok A adalah 53,1 + 8,4 dan kelompok B adalah 55,1 + 8. Terdapat perbaikan sensitifitas retina sebanyak 2,1 dB di kelompok A dan 2,03 dB di kelompok B (p=0,673). Perbaikan ketebalan makula sentral didapatkan sebanyak 217µ m pada kelompok A dan 249 µm pada kelompok B (p=0,992). Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada kelompok A sebanyak 8,5 huruf dan 7,5 huruf pada kelompok B (p=0,61). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan yang signifikan di masing-masing luaran penelitian pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan deksametason menjunjukkan perbaikan secara klinis pada luaran sensitivitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dengan koreksi. Perbandingan antara kedua grup tidak signifikan secara statistik. Tren positif tampak kategori adanya kista pada Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan pasien dengan Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR).

ABSTRACT
Background: Bevacizumab intravitreal injection therapy in patients with diabetic macular edema (DME) especially with a central macular thickness more than 400 μm is considered ineffective. Corticosteroid addition to the standard therapy can help prevent the inflammation that happens in the progression of diabetic macular edema
Objective: to compare the result of combination of bevacizumab and dexamethasone intravitreal injection with bevacizumab monotherapy in patient with moderate to severe diabetic macular edema.
Methods: randomized controlled trial in two parallel group. Group A received bevacizumab intravitreal 1.25mg in 0.05cc, group B received bevacizumab 1.25mg and dexamethasone 0.5mg. Retinal sensitivity, central macular thickness (CMT) and visual acuity (VA) are evaluated in first and fourth week after injection.
Result: 22 patients from each group were evaluated. Median of age was 53,1+ 8,4 in group A and 55,1 + 8 in group B. Improvement of retinal sensitivity was 2.1dB and 2.03dB in group A and B respectively (p=0,673). There was reduction in CMT about 217µm in group A and 249 µm in group B (p=0,992). Visual acuity (VA) outcomes showed little difference between groups; +8.5 letter and +7.5 letter in group A and group B respectively. Intragroup analysis shows significant differentiation in each outcome in both groups.
Conclusion: combination of intravitreal bevacizumab and dexamethasone clinically improved retinal sensitivity, CMT and VA in patient with DME. There was no statistical difference between in retinal sensitivity, CMT and VA after therapy in both groups. Positive trend was showed especially in patient with cyst appearance in Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (OCT) and Non-proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) patient. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ressa Yuneta
"Tujuan: menilai kadar Hypoxia-inducible Factor-1? HIF-1? dan Intercellular Adhesion Molecule-1 ICAM-1 vitreus pada retinopati diabetik proliferatif yang diberikan bevacizumab intravitreal, serta hubungan keduanya terhadap ketebalan makula sentral previtrektomi.
Metode: tiga puluh dua mata dirandomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu yang mendapatkan suntikan bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi dan kelompok kontrol langsung dilakukan vitrektomi . Penghitungan kadar HIF-1? dan ICAM-1 dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Ketebalan makula sentral diukur saat awal, previtrektomi, serta 2, 4, dan 12 minggu pascavitrektomi dengan menggunakan Stratus OCT.
Hasil: rerata kadar HIF-1? vitreus dalam ng/mg protein pada kelompok kontrol dan bevacizumab intravitreal masing-masing 0,020 0,006;0,077 dan 0,029 0,016;0,21 . Kadar ICAM-1 vitreus dalam ng/mL adalah 20,10 3,41;40,16 dan 23,33 0,63;68,5 . Rerata kadar HIF-1? dan ICAM-1 vitreus didapatkan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.
Simpulan: bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi belum dapat membuat kadar HIF-1? lebih rendah daripada kelompok kontrol. Kadar ICAM-1 kelompok bevacizumab didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara ketebalan makula sentral previtrektomi terhadap kadar HIF-1? dan ICAM-1.

Purpose: To assess the levels of Hypoxia inducible factor 1 HIF 1 and intercellular adhesion molecule 1 ICAM 1 in vitreous of proliferative diabetic retinopathy patients which were given intravitreal bevacizumab IVB, as well as its relation to the central macular thickness CMT measured prior to vitrectomy.
Method: This was post test only randomized clinical trial open label, in which thirty two eyes were randomized into two groups, one that received an IVB injection at 1 2 weeks previtrectomy and the control group. Measurement of HIF 1 and ICAM 1 was conducted using enzyme linked immunosorbent assay ELISA. The CMT were measured at the initial visit, prior to vitrectomy, and at follow up time 2, 4, and 12 weeks postoperative using Stratus OCT.
Result: The mean levels of HIF 1 vitreous ng mg protein in the control group and IVB respectively 0.020 0.006 0.077 and 0.029 0.016 0.21 . Vitreous levels of ICAM 1 ng mL in control group and IVB group were 20.10 3.41 40.16 and 23.33 0.63 68.5. The mean levels of HIF 1 and ICAM 1 vitreous obtained did not differ significantly between the two groups.
Conclusion: Intravitreal bevacizumab 1 2 weeks prior to vitrectomy was not enough to make the levels of HIF 1 lower in IVB group. Median of ICAM 1 level in IVB group was higher than control group. There were no correlation between CMT with HIF 1 and ICAM 1 levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vega Casalita
"Latar Belakang: Terapi bevacizumab tunggal kurang efektif dalam mengobati edema makula diabetik (DME) derajat sedang-berat, sehingga berpotensi meningkatkan jumlah reinjeksi dan risiko kehilangan penglihatan permanen akibat edema makula berkepanjangan. Pada kasus tersebut diperlukan terapi adjuvan. Selain vascular endothelial growth factor (VEGF), mediator inflamasi juga berperan penting pada patogenesis DME.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan terbaik dengan koreksi (BCVA) sebelum dan sesudah pemberian injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason sodium fosfat (DSP) pada DME sedang-berat.
Metodologi: Pada studi eksperimental one group lengan tunggal ini, dilakukan injeksi kombinasi bevacizumab 1,25 mg dan DSP 0,5 mg intravitreal pada 18 mata DME dengan CMT >400 μm. Dilakukan evaluasi BCVA dan CMT pada 1 bulan pasca injeksi, serta peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan efek samping.
Hasil: Pada 1 bulan didapatkan penurunan CMT yang signifikan dari 572,8±119,3 μm menjadi 376,3±132,3 μm. Terdapat perbaikan BCVA yang signifikan dari 0,76(0,26-1,80) logMAR menjadi 0.56 (0.12-1.02) logMAR (p<0.001). Tidak terdapat peningkatan TIO dan derajat katarak yang bermakna pada semua subjek.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan DSP pada pasien DME derajat sedang-berat berpotensi meningkatkan efektivitas anatomis pada follow up 1 bulan. Terapi kombinasi bermanfaat dalam menurunkan edema segera serta meningkatkan dan stabilisasi tajam penglihatan.

Backgrounds: Bevacizumab monotherapy is less effective in treating moderate to severe diabetic macular edema (DME), thus potentially increasing the amount of reinjection and risk of permanent visual loss due to prolonged macular edema. In such cases adjuvant therapy is needed. In addition to vascular endothelial growth factor (VEGF), inflammatory mediators also play an important role in the pathogenesis of DME.
Objectives: To identify the response of intravitreal bevacizumab combined with dexamethasone sodium phosphate (DSP) in treating moderate to severe DME.
Methods: In this non comparative experimental study, 18 eyes with DME having CMT >400 μm received intravitreal bevacizumab (1.25 mg) combined with DSP (0.5 mg). Best corrected visual acuity (BCVA) and central macular thickness (CMT) were evaluated at 1 week and 1 month, as well as increased IOP and other side effects.
Results: Comparing across follow up periods (pre, one week, one month post injection) there were statistically significant differences of CMT (572.8±119.3 vs 432,44±103,45 vs 376.3±133.3 μm, p<0.001) and BCVA ( 0.76 (0.26-1.80) vs 0,55(0,14-1,80) vs 0.56 (0.12-1.02), p<0.001) LogMAR. No significant increase in IOP and degree of cataract were observed in all subjects.
Conclusions: Adding intravitreal DSP as an adjuvant to bevacizumab for the treatment of moderate to severe DME potentially enhance anatomical effectiveness, especially in the first week after injection. Combination therapy is useful in reducing edema immediately and improvement and stabilization of visual acuity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Gracia Patricia
"ABSTRAK
Tujuan
Mengetahui efek jangka pendek pemberian anti-VEGF intravitreal bevacizumab (IVB) sebagai terapi ajuvan pada perubahan regresi neovaskularisasi iris dan perubahan tekanan intra okular (TIO) serta menilai hubungan antara kadar VEGF cairan akuos dengan perubahan TIO pada glaukoma neovaskular (NVG).
Desain
Peneitian ini merupakan uji klinis tunggal
Metode
Sebanyak 20 mata pada 18 subyek NVG dengan TIO tidak terkontrol dan neovaskularisasi iris dilakukan injeksi intravitreal bevacizumab 0.05mL(1.25mg) setelah dilakukan parasentesis sebelumnya
Hasil
Injeksi intravitreal bevacizumab secara klinis menyebabkan regresi neovaskularisasi iris pada seluruh pasien dengan NVG dan terjadi penurunan tekanan intra okular yang bermakna pada 1 minggu pasca injeksi (P=0.003). Kadar VEGF pre-injeksi yang tinggi berbanding lurus dengan TIO namun tidak bermakna secara statistik (r = 0.191, p=0.420)
Kesimpulan
Injeksi intravitreal bevacizumab terbukti efektif dalam regresi neovaskularisasi iris dan menurunkan TIO pada pasien glaukoma neovaskular

ABSTRACT
Purpose
To determine short term efficacy of intravitreal bevacizumab (IVB) against neovascularization regression and intraocular pressure (IOP) changes and its
correlation with vascular endothelial growth factor.
Design
Single arm study clinical trial
Method
Twenty eyes from 18 subjects of NVG patients with iris neovascularization and uncontrolled IOP received 0.05mL/1.25mg of IVB. Aqueous humor samples were
obtained through paracentesis just before IVB
Results
Intravitreal bevacizumab injection can remarkably reduce iris neovascularization in NVG patients. There is significant IOP reduction a week after injection
(p=0,003). High VEGF level before injection related linearly with IOP, but no statistically significance is found (r=0,191, p=0,420)
Conclusion
Intravitreal bevacizumab injection is proven effective to regress iris neovascularization and reduce IOP in NVG patients"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Archi Sri Ramandari
"Penelitian ini bertujuan menilai dan membandingkan efektivitas injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg dengan dosis 2.5 mg dalam menurunkan area neovaskularisasi kornea. Sampel adalah dua puluh empat pasien dengan neovaskularisasi kornea oleh karena berbagai etiologi. Pemeriksaan pada sampel dilakukan sebelum, satu minggu setelah injeksi dan empat minggu setelah injeksi yang meliputi penilaian area neovaskularisasi kornea dengan menggunakan image J analysis, pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, derajat kekeruhan kornea serta kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) air mata. Pada satu minggu dan empat minggu paska injeksi perubahan area neovaskularisasi kornea pada dosis 5 mg (5.21% dan 5.37%) lebih besar dibandingkan dosis 2.5 mg (3.77% dan 4.13%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada etiologi non-infeksi dan area neovaskularisasi kornea yang melibatkan lebih dari dua kuadran kornea. Pada keluaran sekunder yaitu tajam penglihatan, derajat kekeruhan kornea dan kadar VEGF air mata di kedua dosis cenderung stabil jika dibandingkan sebelum dan sesudah injeksi. Injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg menurunkan area neovaskularisasi kornea lebih banyak dibandingkan dosis 2.5 mg terutama pada etiologi non-infeksi dan keterlibatan kuadran kornea yang meliputi lebih dari dua kuadran.

This study aim to assess and compare the effectiveness of subconjunctival bevacizumab injection 5 mg with 2.5 mg in decreasing the area of corneal neovascularization. Samples consist of twenty-four patients with corneal neovascularization due to various etiologies. The examinations were taken at each visit before injection, 1 week after injection and 4 weeks after injection . Changes in neovascularization evaluated by using image J analysis, visual acuity, density of corneal haziness and level of vascular endothelial growth factor (VEGF) in tears were documented every visit. At 1 week and 4 weeks after injection, changes of neovascularization were higher in 5 mg (5.21% and 5.37%) compare to 2.5 mg (3.77% and 4.13%). The same results were also found in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. All of the secondary outcomes showed a stable result before and after injection between the two injections dose. Subconjunctival bevacizumab injection 5 mg is more effective in decreasing corneal neovascularization compare to 2.5 mg especially in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brenda Hayatulhaya
"ABSTRAK
Tujuan: Mengevaluasi efek injeksi anti-VEGF intravitreal, bevacizumab, terhadap kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dan meninjau korelasi antara kedua faktor tersebut.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi eksperimental satu kelompok dengan sampel dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau. Pemeriksaan oftalmologi lengkap, tekanan darah, laboratorium darah perifer lengkap, dan pemeriksaan kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dilakukan pada subjek sebelum injeksi dan 14 hari pasca injeksi bevacizumab intravitreal dosis 1,25 mg (0,05 cc).
Hasil: 33 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek, 63,6% adalah perempuan dan 36,4% adalah laki-laki dengan usia rata-rata 66,4 ± 8,3 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar VEGF plasma pre dan pasca injeksi (p=0,339). Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar cystatin C plasma pre dan pasca injeksi (p=0,709). Uji korelasi antara perubahan VEGF plasma dengan perubahan cystatin C plasma pre dan pasca injeksi menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p=0,142).
Kesimpulan: Kadar cystatin C plasma tidak berubah secara signifikan pre dan pasca injeksi bevacizumab pada injeksi satu kali. Tidak ditemukan adanya korelasi antara penurunan kadar VEGF plasma dengan peningkatan kadar cystatin C pada pasien AMD neovaskuler pasca injeksi bevacizumab.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the effect of intravitreal bevacizumab injection on plasma cystatin C and plasma VEGF levels and the correlation between the two factors.
Methodology: This research was a single arm study with samples selected consecutively from an assigned population. Ophthalmology examinations, blood pressure, complete blood count, and assessments of plasma cystatin C and plasma VEGF levels were carried out on subjects before and 14 days after intravitreal bevacizumab injection of 1.25 mg (0.05 cc).
Results: 33 subjects were included in this study. Of all subjects, 63.6% were women and 36.4% were men with an average age of 66.4±8.3 years. There was no statistically significant difference between pre and post injection plasma VEGF and plasma cystatin C levels (p=0.339 and 0.709 respectively). Correlation test between changes in plasma VEGF with changes in plasma cystatin C pre and post injection showed no significant correlations (p=0.142).
Conclusion: Plasma cystatin C levels did not change significantly before and after injection of bevacizumab on one-time injection. No correlation was found between decreasing plasma VEGF levels and increasing levels of cystatin C in patients with neovascular AMD after bevacizumab injection."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Sari Fadli
"Edema makula diabetik atau Diabetic Macular Edema (DME) merupakan penyebab utama kehilangan penglihatan pada pasien diabetes. Patofisiologi DME bersifat multifaktorial dan kompleks. Rusaknya sawar darah retina mengakibatkan penumpukan carian abnormal dan penebalan makula retina yang diinduksi oleh berbagai faktor seperti iskemia, peningkatan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), radikal bebas, disfungsi perisit dan endotel, serta inflamasi. Penelitian ini menilai efektivitas injeksi loading dose bevacizumab dengan kombinasi inisial deksametason dibandingkan loading dose bevacizumab. Pada studi ini dilakukan uji klinis acak terkontrol dengan randomisasi pada dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi loading dose bevacizumab 1,25mg dengan kombinasi inisial deksametason 0,5mg (studi) dan injeksi loading dose bevacizumab 1,25mg (kontrol). Luaran sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT dievaluasi pada minggu pertama, keempat, kedelapan dan keduabelas. Sebanyak 22 orang diteliti di kelompok studi dan 21 orang kelompok kontrol. Median usia kelompok studi 53,3 + 10,9 dan kontrol 54,1 + 7,3. Dilakukan analisa terhadap sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT pada kelompok studi (10 orang) dan kontrol (13 orang). Terdapat perbaikan ketebalan makula sentral 205,5μm (studi) dan 87 μm (kontrol) dengan p=0,010. Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada studi 13,5 huruf dan 3 huruf pada kelompok kontrol (p=0,23). Terdapat perbaikan sensitifitas retina 1.02 dB di kelompok studi dan 0,68 dB pada kontrol (p=0,832). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan signifikan pada pemeriksaan CMT kedua kelompok dan pada pemeriksaan tajam penglihatan pada kelompok studi. Berdasarkan analisa pendahuluan ini dapat memberikan bukti adanya potensi untuk dilakukan penyelesaian seluruh jumlah sampel hingga akhir dimana terdapat kecendrungan perbaikan secara klinis pada setiap luaran.

Diabetic Macular Edema is a major cause of vision loss in diabetic patients. The pathophysiology is multifactorial and complex. The damage of the retinal blood barrier results in a buildup of fluid and thickening of the macula that induced by ischemia, Vascular Endothelial Growth Factor, free radicals, pericyte, endothelial dysfunction, and inflammation. This study assessed the effectiveness of bevacizumab loading dose with initial combination versus a bevacizumab monotherapy. In this study, a randomized controlled trial was carried out in two groups, a 1.25 mg bevacizumab loading dose with a combination of the initial 0.5 mg dexamethasone (study) and a 1.25 mg bevacizumab loading dose (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were evaluated at the first, fourth, eighth and twelfth weeks. A total of 22 people (study) and 21 people (control). The median age of was 53.3 + 10.9 (study) and 54.1 + 7.3 (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were analyzed in study group (10 people) and (13 people) control group. There was an improvement in CMT 205.5μm (study) and 87μm (control) with p = 0.010. Visual acuity improvement 13.5 letters (study) and 3 letters (control) with p = 0.23 and retinal sensitivity 1.02 dB (study) 0.68 dB (control) with p = 0.832. Intragroup analysis showed significant improvements of the CMT examination in both groups and in the visual acuity examination in study group. Based on this preliminary analysis, it can provide the potential for completion of the entire sample size until the end where there is a tendency for clinical improvement in each outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Aurora Sicilia
"Edema makula diabetik (EMD) merupakan penyebab tersering hilangnya penglihatan
pada pasien retinopati diabetik. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF)
diketahui dapat memberikan perbaikan anatomi dan tajam penglihatan pada EMD.
Namun mayoritas kasus membutuhkan injeksi anti-VEGF berulang. Penelitian ini
menilai perubahan central macular thickness (CMT) dan tajam penglihatan setelah
terapi kombinasi intravitreal Bevacizumab (IVB) dan panretinal photocoagulation
(PRP) dibandingkan dengan monoterapi IVB berulang pada EMD. Dua puluh delapan
mata dengan EMD pada Nonproliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) berat
dirandomisasi ke dalam kelompok IVB berulang (n=14) dan kelompok IVB + PRP
(n=14). CMT dan best-corrected visual acuity (BCVA) dinilai sebelum dan 1, 2 dan 3
bulan setelah terapi. Median CMT menurun secara signifikan pada kelompok IVB
berulang (-136.5 μm) dan kelompok IVB + PRP (-114 μm). Median BCVA
meningkat secara signifikan pada kelompok IVB berulang (9 hutuf) dan kelompok
IVB + PRP (9 huruf). Tidak ditemukan perbedaan CMT dan BCVA yang bermakna
antara kedua kelompok studi pada akhir follow-up."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Mangema Junias Robert
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dalam beberapa dekade terakhir telah dikembangkan terapi paliatif yang bertujuan untuk mengeliminasi metastasis. Kemoterapi paliatif banyak dipilih menjadi terapi standar pada tatalaksana kanker kolorektal stadium lanjut. Pemberian 5-fluorouracil 5-FU intravena ditambah dengan leucovorin LV dan targeted therapy bevacizumab telah menjadi terapi paliatif standar dalam beberapa tahun terakhir. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membandingkan efektifitas pemberian regimen kemoterapi Bevacizumab mFOLFOX6 dan Bevacizumab XELOX. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 15 pasien karsinoma kolorektal dengan metastasis hati dengan 11 pasien menjalani protokol Bevacizumab mFOLFOX6 dan 4 pasien menjalani protokol Bevacizumab XELOX. Efektifitas respons dilihat dengan menggunakan kadar CEA dan hasil CT scan. Hasil: Dengan menggunakan protokol kemoterapi Bevacizumab mFOLFOX6 81,8 subjek memberikan respons stable disease dan 54,5 subjek memberikan respons progressive disease. Sementara itu, dengan menggunakan protokol kemoterapi Bevacizumab XELOX 75,0 subjek memberikan respons stable disease dan 50,0 subjek memberikan respons partial response. Efektivitas kemoterapi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan regimen/protokol kemoterapi yang digunakan Bevacizumab mFOLFOX6 dan Bevacizumab XELOX, baik berdasarkan respon CT Scan p = 0,993 maupun kadar CEA 0,774 . Tidak terdapat pula hubungan antara variabel faktor dengan efektivitas kemoterapi. Kesimpulan: Efektivitas kemoterapi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan regimen/protokol kemoterapi yang digunakan. Selain itu, variabel usia, jenis kelamin, IMT, SGA, skor Karnofsky, lokasi tumor primer, jenis operasi, waktu kemoterapi dan tipe histopatologi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan efektivitas kemoterapi.

ABSTRACT
Background In the last few decades, palliative therapy has been developed to eliminate metastasis. Palliative chemotherapy has become a standard therapy in the treatment of late stage colorectal cancer. Treatment with 5 fluorouracil 5 FU plus leucovorin intravenous LV and targeted therapies bevacizumab has become a standard palliative therapy in recent years. In Indonesia, there were no study comparing the effectiveness of Bevacizumab mFOLFOX6 and Bevacizumab XELOX chemotherapy regimens. Method This study used a cross sectional design in 15 patients with liver metastatic colorectal carcinoma which 11 patients were treated with Bevacizumab mFOLFOX6 protocol and 4 patients were treated with Bevacizumab XELOX protocol. The effectiveness of the response were measured using CEA concentration and CT scan result. Results With the Bevacizumab mFOLFOX6 protocol 81.8 of the subjects responded as stable disease and 54.5 responded as progressive disease. Meanwhile, with the Bevacizumab XELOX protocols 75.0 of the subjects responded as stable disease and 50.0 responded as partial response. Effectiveness of chemotherapy did not have a relationship with the chemotherapy protocols used Bevacizumab mFOLFOX6 and XELOX , based on CT scans p 0.993 and CEA levels 0.774 . In addition, there is no relationship between variable factors and the effectiveness of chemotherapy. Conclusions Effectiveness of chemotherapy did not have a relationship with the chemotherapy protocols used. In addition, the variables of age, sex, BMI, SGA, score Karnofsky, primary tumor site, type of surgery, chemotherapy and histopathology type of time did not have a relationship with the effectiveness of chemotherapy. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Rahayu
"Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran tajam penglihatan dan ketebalan makula sentral paska terapi loading dose bevacizumab intravitreal pasien age-related macular degeneration AMD neovaskular antara yang memiliki karakter predominan subretinal dengan intraretinal fluid. Metode yang digunakan adalah Uji klinis pre-post intervensi bevacizumab intravitreal pada dua kelompok AMD yang berbeda. Sampling secara konsekutif membagi 38 subyek penelitian menjadi 2 kelompok AMD dengan hasil OCT predominan subretinal fluid SRF 20 mata dan intraretinal fluid IRF 18 mata . Evaluasi luaran tajam penglihatan, ketebalan makula sentral, dan perubahannya dilakukan sepanjang dan sesudah loading dose selesai. Rerata tajam penglihatan pada baseline berbeda signifikan antara kelompok SRF 56,41 huruf ETDRS dan IRF 43,72 huruf ETDRS . Paska loading dose tidak terdapat perbedaan bermakna dari perubahan tajam penglihatan maupun ketebalan makula sentral antara kedua kelompok, tetapi luaran tajam penglihatan pada kelompok SRF tetap lebih tinggi dan didapati ketebalan makula sentral kelompok SRF lebih rendah secara signifikan. AMD neovaskular baik dengan gambaran SRF maupun IRF saat baseline, mendapat manfaat yang sebanding dari terapi bevacizumab intravitreal meskipun rerata tajam penglihatan dan penurunan ketebalan makula sentral lebih baik jika terdapat SRF.

This study aimed to compare visual acuity VA and central macular thickness CMT outcome of loading dose intravitreal bevacizumab treatment between neovascular age related macular degeneration AMD patients with character of predominant subretinal and intraretinal fluid. This study performed pre post interventional clinical study of two different AMD groups, treated with loading dose intravitreal bevacizumab. Consecutive sampling distributed 38 samples based on OCT into group with predominant subretinal fluid SRF group 20 eyes and intraretinal fluid IRF 18 eyes VA, CMT, and their changes were evaluated during and after loading dose was completed. Mean VA at baseline eventually was significantly different where SRF group 56,41 letters were better than IRF group 43,72 letters . No statistically significant difference of mean VA change or CMT change between group, however VA in SRF group remained higher and CMT in SRF group were lower than IRF group. Neovascular AMD, with both SRF and IRF at baseline, benefits from loading dose intravitreal bevacizumab treatment although mean visual acuity and mean central retinal thickness are better in those with SRF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>