Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Mitawati
Abstrak :
Dunia arkeologi Indonesia memiliki tantangan yang berat, selain mencapai tujuannya, yakni untuk mempertahankan datanya di dalam era pembangunan fisik (Mundardjito, 1993). Meskipun demikian, mempertahankan keberadaan data arkeologi, merupakan hakekat pelestarian, menjadi salah satu aspek penting arkeologi selain penelitian (Mundardjito, 1993). Pelestarian membutuhkan dana yang tidak sedikit dan sumber daya manusia berkualitas yang memadai kuantitasnya. Keterbatasan penyediaan hal di atas dapat diatasi dengan melakukan pemilihan bangunan-bangunan yang tingkat kepentingan pelestariannya tinggi. Pemilihan ini dapat dilaksanakan melalui penilaian. Banyak pihak, termasuk Undang-Undang Benda Cagar Budaya telah membuat suatu alat penilaian yang terdiri dari beberapa variabel penilaian. Tetapi, alat penilaian itu kurang obyektif, karena tidak jelas dan rinci, sehingga bersifat intuisi. Selain itu, alat penilaian yang pernah dibuat hanya berdasarkan sudut pandang ilmu tertentu, sehingga kepentingan arkeologi misalnya, seringkali tidak tercakup. Berdasarkan pemikiran ini, maka perlu dibuat suatu sistem penilaian Baru yang lebih obyektif, yang ditandai dengan adanya nilai kuantitatif. Sistem penilaian benda cagar budaya terdiri dari variabel penilaian, kelas variabel penilaian, dan formula. Variabel penilaian bersifat tetap, artinya di manapun penilaian dilakukan, variabel yang dinilai adalah sama. Variabel penilaian dalam sistem ini terdiri dari enam, yakni: variabel usia, variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel manfaat, dan variabel kelangkaan. Selain keenam variabel penilaian tersebut, terdapat satu variabel lain yang juga bersifat tetap, yakni variabel kondisi fisik bangunan. Variabel ini berperan dalam menentukan bentuk formula. Dengan demikian, apabila formula telah tercipta, maka dalam penilaian pada bangunan-bangunan selanjutnya, dalam kawasan yang sama, variabel ini tidak termasuk. Variabel kondisi fisik bangunan memiliki empat aspek, yakni: aspek arsitektural, aspek struktural, aspek keterawatan, dan aspek lingkungan. Penelitian yang berkaitan dengan keempat aspek variabel ini terdiri dari dua tahap_ Penelitian tahap pertama, studi kelayakan arkeologi, yaitu penelitian untuk menentukan skala prioritas bangunan (termasuk melakukan penilaian). Penelitian tahap kedua dilakukan terhadap bangunan yang akan memeperoleh upaya pelestarian, berarti penelitian ini bersifat lebih mendalam dan detail. Penelitian tahap pertama hanya melibatkan tiga aspek pertama. Kelas-kelas variabel penilaian merupakan penurunan dari variabel penilaian. Berdasarkan metode penurunannya, variabel penilaian terdiri dari dua macam, yakni: variabel bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya tidak ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel manfaat) dan variabel tidak bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel usia, variabel kelangkaan, dan variabel kondisi fisik bangunan). Kemudian, sejumlah bangunan yang dinilai akan disusun skala prioritasnya, maka setiap kelas variabel diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, misalnya untuk variabel kondisi fisik bangunan, semakin buruk tingkat keterawatannya, maka semakin besar nilainya, yakni: 3. Sedangkan variabel yang kelas-kelasnya tidak dapat dibuat peringkat seperti variabel di atas, maka diberi nilai yang sama untuk setiap kelas, yakni: 1. Dengan demikian. maka diperlukan analisis hasil penilaian yang dapat memperlihatkan variasi kelas variabel, kemudian penilaian diberikan berdasarkan peringkat kepentingan variasi tersebut. Penilaian dimulai dari angka 1 dan seterusnya. Demikian seterusnya metode yang sama diperlakukan kepada variabel-variabel yang lain, tak terkecuali. Kemudian, dilakukan penjumlahan semua nilai dari setiap variabel dari suatu bangunan. Bangunan dengan jumlah nilai terbesar diurutkan dalam skala prioritas tertinggi diikuti bangunan-bangunan lain yang memiliki nilai semakin kecil. Komponen sistem penilaian yang terakhir adalah formula atau rumusan matematis yang digunakan untuk menentukan apakah suatu bangunan prioritas atau bukan prioritas dalam pelestarian. Formula ini digunakan pada bangunan selain kelompok bangunan yang telah disusun skala prioritasnya, seperti telah disebutkan terdahulu, tetapi masih dalam kawasan yang memiliki karakteristik kelas variabel yang sama. Formula diperoleh dari pengolahan , nilai-nilai yang telah ditentukan pada bangunan-bangunan yang menjadi data dalam program SPSS. Semua nilai variabel, kecuaii variabel kelangkaan, diolah dalam program SPSS pengolahan data regresi linear berganda. Variabel kondisi fisik bangunan dijadikan variabel prioritas atau variabel yang bersifat dependent (Y). Hasil pengolahan data yang diterapkan pada Kawasan Kembang Jepun, Surabaya adalah rumusan sebagai berkut: Y - 1,290 + 1,031 XI - 0,959 X2. 0,795 X3 + 0,489 X4 dengan X, : nilai variabel perubahan (1 atau 2) X2 : nilai variabel hubungan antarbangunan (0, 1 atau 2) X3 : nilai variabel usia (1 atau 2) Xi : nilai hubungan antara bangunan denngan wilayah (0, 1 atau 2) Hasil perhitungan dari formula tersebut, Y, terdiri dari 3 kemungkinan, yakni: 1, 2 atau 3. Nilai 1 berarti bukan prioritas dan nilai 3 berarti prioritas. Sedangkan nilai 2 berarti mengandung kemungkinan prioritas-bukan prioritas tergantung pada pelaksana pelestarian.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11421
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Yuniati
Abstrak :
ABSTRAK
Ragam hias wadasan dan mega mendung merupakan ragam hias yang banyak menghiasi bangunan-bangunan di Kepurbakalaan Islam Cirebon. Dianatara bangunan_bangunan kuno di cirebon, keraton merupakan salah satu bangunan yang dihiasi oleh kedua ragam hias. Terdapat tiga keraton di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Keraton Kacirebonan merupakan satu-satunya yang tidak dihiasi kedua ragam hias tersebut.

Ragam hias wadasan telah ada sejak masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Hal itu terbukti dengan adanya wadasan pada area bekas Keraton Pakungwati. Sedangkan ragam bias mega mendung, menurut para ahli, merupakan ragam hias yang bentuknya dipengaruh kebudayaan Cina.

Penelitian terhadap aspek bentuk kedua ragam hias di kedua keraton menunjukkan adanya bentuk-bentuk khas yang dimiliki oleh masing-masing keraton, di samping bentuk-bentuk yang umum ditemui di kedua keraton. Bentuk-bentuk khas wadasan di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak membulat dan segitiga dengan puncak mendatar. Bentuk wadasan yang hanya terdapat di Keraton Kanoman adalah bentuk dasar belah ketupat dan kerucut. Bentuk wadasan yang terdapat di kedua keraton adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak meruncing.

Bentuk mega mendung yang hanya ada di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya vertikal. Keraton Kanoman tidak mempunyai bentuk mega mendung yang khas,'karena di keraton tersebut mega mendungnya adalah mega mendung yang berbentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya horisontal yang terdapat juga di Keraton Kasepuhan.

Selain perbedaan bentuk, terdapat perbedaan pemilihan bahan pembuat mega mendung pada kedua keraton. Di Keraton Kasepuhan hanya bahan tras tang dipilih untuk membentuk mega mendung, sedangkan di Keraton Kanoman, selain bahan tras, bahan kayu dan kulit binatang (sapi) juga dipakai untuk membuat mega mendung. Perbedaan pemilihan bahan tidak terlihat pada wadasan, karena wadasan di kedua keraton sama_sama dibuat dengan menggunanakan bahan kayu, tras, dan karang.

Perbedaan yang juga terlihat antara kedua aragam hias di kedua keraton juga terlihat pada keberadaan wadasan di masing-masing keraton. Di Keraton Kasepuhan, wadasan merupakan ragam hias yang lebih banyak terlihat sebagai bagian dari satu kelompok ragam hias, seperti pada relief yang memuat berbagai bentuk ragam hias, termasuk wadasan. Di Kanoman, wadasan lebih cenderung sebagai ragam hias yang mandiri, tidak menjadi bagian dari satu kelompok ragam hias.

Persamaan yang teramati, selain persamaan pemilihan bahan wadasan, pola persebaran kedua jenis ragam hias. Baik( wadasan maupun mega mendung sama-sama tersebar pada bangunan-bangunan dan benda-benda yang terletak di halaman III (halaman paling selatan kompleks bangunan) kedua keraton, kecuali wadasan yang menempel pada tembok pembatas halaman II dan III KeratonKanoman.

Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mungkin didorong oleh pengaruh kekuasaan raja dan penghuni masing-masing keraton. Sedangkan persamaan-persamaan yang timbul agaknya dipengaruhi oleh keberadaan kaidah-kaidah yang dijadikan pegangan oleh para seniman dalam membuat atau penempatkan ragam hias wadasan dan mega mendung di keraton Kasepuhan dan Kanoman. kaidah-kaidah tersebut bisa berupa tradisi atau kebiasaan turun temurun.
2001
S11844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Erika Rahma
Abstrak :
Gedung B Galeri Nasional Indonesia adalah salah satu bangunan kolonial yang terletak di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Gedung B GNI sendiri sudah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005, namun dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik bagaimana latar sejarah serta nilai penting yang terdapat pada Gedung B GNI. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apa nilai penting yang terdapat pada Gedung B GNI, serta apa nilai penting Gedung B GNI menurut persepsi masyarakat yang menyebabkan Gedung tersebut layak ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya?”. Penelitian ini menggunakan metode arkeologi yang terdiri dari tiga tahap yaitu pengumpulan data dengan melakukan studi kepustakaan, wawancara, dan menyebarkan kuesioner, pengolahan data dilakukan dengan metode analisis deskriptif, dan kemudian penyimpulan data yaitu tahapan terakhir untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil analisis nilai penting pada Gedung B GNI menunjukkan bahwa bangunan tersebut memiliki aspek nilai penting yang berupa nilai penting sejarah, pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. ......Gedung B National Gallery of Indonesia is one of the colonial buildings located on Jalan Medan Merdeka, Central Jakarta. Gedung B GNI itself has been designated as a Cultural Heritage building as stated in the Regulation of the Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata in 2005, but the regulation does not specifically mention the historical background and important values contained in Gedung B GNI. Based on this explanation, the problem in this study is "What are the important values contained in Gedung B GNI, as well as what are the important values of Gedung B GNI according to the public's perception that causes the building to be designated as a Cultural Conservation building?". This research was carried out using the archaeological method which consisted of three stages, namely data collection by conducting literature studies, interview, and distributing questionnaires, data processing was carried out using descriptive analysis methods, and then data inference, namely the last stage to answer research problems. The results of the analysis of significant values in Gedung B GNI show that the building has important value aspects in the form of important historical, knowledge, educational and cultural values.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmalia Hidayati
Abstrak :
Sebuah negara yang baik adalah negara yang menghargai jasa-jasa para pahlawanya. Untuk itu kita harus menjaga sejarah peninggalan masa lalu. Dengan menghargai jasa para pahlawan, kita dapat mempelajari nilai-nilai perjuangan mereka yang dapat berarti bagi kehidupan di masa yang akan datang. Namun sayangnya, benda-benda peninggalan bersejarah saat ini keadaannya memprihatinkan. Banyak yang mengalami kerusakan. Salah satu benda bersejarah adalah berupa bangunan kuno. Agar kerusakan tidak semakin parah, maka perlu dilakukan tindakkan pelestarian berupa perbaikan pada bagian yang mengalami kerusakan. Setelah diperbaiki, agar dapat tetap terjaga kelestariannya bangunan dapat dimanfaatkan kembali. Fungsi yang diterapkan harus disesuai dengan pola ruang yang sudah ada. Perbaikan serta perubahan yang dilakukan untuk penyesuaian dengan fungsi baru tidak boleh sampai menghilangkan sejarah dari bangunan tersebut. Dengan demikian maka nilai-nilai sejarah dapat tetap terjaga dan dilestarikan.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51619
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library