Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggrainy Dwifitriana Kouwagam
"Latar Belakang:
Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan kondisi kompleks yang terjadi akibat defek pada struktur penyokong vagina. Kondisi ini dapat disebabkan oleh proses trauma pada otot penyokong levator ani yang menyebabkan melebarnya luas hiatus genital. Pelebaran hiatus genital ini disebut ballooning. Prevalensi POP berkisar antara 20-50%, dengan insidensi mencapai 1,5 – 1,8 per 1000 wanita per tahun dengan puncak usia 60 – 69 tahun. Kondisi POP memberi dampak terhadap kualitas hidup seorang wanita dan sering dikaitkan dengan gangguan berkemih, buang air besar hingga disfungsi seksual. Tatalaksana definitif dalam penanganan POP adalah tindakan pembedahan. Tindakan levatorplasty dapat dilakukan pada kasus penurunan kompartemen posterior, terutama pada pasien POP dengan hiatal ballooning. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko prolaps berulang di masa mendatang. Pasien dengan rencana operasi POP di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta yang disertai ballooning pada pemeriksaan USG pre-operatif dilakukan tambahan tindakan levatorplasty, namun belum ada penilaian pasca operasi mengenai perbaikan kondisi ballooning tersebut.
Objektif:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan ballooning sebelum dan setelah dilakukannya tindakan levatorplasty pada pasien dengan POP. Perbaikan yang dinilai berupa perbaikan luas dan panjang diameter anterioposterior hiatus levator, perbaikan panjang Gh + Pb, serta perubahan skor keluhan disfungsi dasar panggul sebelum dan sesudah tindakan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan USG 3 dan 2 dimensi untuk hiatus levator, pemeriksaan klinis Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) untuk panjang Gh + Pb, serta kuisioner Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) untuk penilaian keluhan klinis disfungsi dasar panggul.
Metode:
Studi analitik komparatif berpasangan dengan desain gabungan kohort retrospektif dan kohort prospektif yang dilakukan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data retrospektif dilakukan dari Oktober 2021 hingga April 2022, dengan pengumpulan data prospektif untuk dilakukan tindakan levatorplasty dilakukan dari Oktober 2021 hingga Januari 2022. Sampel penelitian adalah wanita dengan POP dan ballooning yang dinilai dengan pemeriksaan USG Transperineal serta POP-Q, dan akan menjalani operasi levatorplasty.
Hasil:
Tingkat keberhasilan levatorplasty pada pasien POP dengan ballooning dilihat dari penurunan derajat ballooning berdasarkan kategori Lh max pada 28 pasien (87,5%), Ap hiatal pada 26 pasien (81,25%), dan panjang Gh + Pb pada 25 pasien (78,1%). Parameter PFDI yang diukur juga mengalami perbaikan dengan penurunan nilai median PFDI mencapai 31,2 (p = 0,009), serta penurunan pada nilai median sub-bagian POPDI-6 hingga 20,8 (p = 0,009), CRADI-6 hingga 6,2 (p = 0,096), dan UDI-6 hingga 10,4 (p = 0,360).
Kesimpulan:
Prosedur levatorplasty ditemukan dapat memperbaiki kondisi ballooning pada pasien POP yang dinilai dari perbaikan nilai luas dan panjang diameter anteroposterior hiatus levator, perbaikan klinis secara objektif (yang dinilai dengan pemeriksaan POP-Q) serta secara subjektif (yang dinilai dengan kuisioner PFDI-20). Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bukti untuk penerapan prosedur levatorplasty untuk dapat dilakukan pada pasien-pasien POP yang disertai dengan ballooning di tempat praktik klinis di semua penjuru Indonesia.

Background:
Pelvic Organ Prolapse (POP) is a complex condition resulting from defects in the supporting structures of the vagina. This condition can be caused by a traumatic process to the supporting muscles of the levator ani which causes the widening of the genital hiatus. This widening process is called ballooning. The prevalence of POP ranges from 20-50%, with an incidence reaching 1.5-1.8 per 1000 women each year with a peak age of 60-69 years. POP conditions may have an impact on a woman's quality of life and are often associated with urinary and defecation disorders, and also sexual dysfunction. The definitive treatment for POP is surgery. Levatorplasty can be performed in cases of posterior compartment descent, especially in POP patients with Hiatal ballooning. This action aims to reduce the risk of recurrent prolapse in the future. At Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta, patients with POP who are found with Hiatal ballooning during pre-operative ultrasound examination will be planned for an additional levatorplasty procedure. But there was no postoperative assessment regarding the improvement of the ballooning condition.
Objective:
This study aims to determine the improvement of ballooning after the levatorplasty procedure in patients with POP. The improvements assessed were the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, the length of Gh + Pb, and complaints improvement for pelvic floor dysfunction. The assessment was done using 3- and 2-dimensional ultrasound for levator hiatus, clinical examination of the Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) for length Gh + Pb, and the Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) questionnaire to assess clinical complaints of pelvic floor dysfunction.
Methods:
A paired comparative analytic study with a combined retrospective and prospective cohort design was carried out at the Obstetrics and Gynecology Outpatient Unit, Division of Urogynecology and Reconstruction, Department of Obstetrics and Gynecology, dr. Cipto Mangunkusumo Central General Hospital Jakarta. Retrospective data was collected from October 2021 to April 2022, with prospective data for levatorplasty performed from October 2021 to January 2022. The study sample was women with POP and ballooning who were assessed by transperineal ultrasound examination and POP-Q examination and will undergo levatorplasty procedure.
Result:
The success rate of levatorplasty in POP patients with ballooning was seen from the decrease in the degree of ballooning by the measurement of Lh max in 28 patients (87.5%), Ap hiatal in 26 patients (81.25%), and the length of Gh + Pb in 25 patients (78, 1%). The measured PFDI parameters also improved with a decrease in the median value of PFDI reaching 31.2 (p = 0.009), as well as a decrease in the median value of the POPDI-6 subsection to 20.8 (p = 0.009), CRADI-6 to 6.2 (p = 0.096), and UDI-6 to 10.4 (p = 0.360).
Conclusion:
The levatorplasty procedure is proven to repair the ballooning conditions in POP patients as assessed by improvements in the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, clinical improvement objectively (as assessed by the POP-Q examination), and subjectively (as assessed by the PFDI-20 questionnaire). The results of this study are expected to be evidence for the application of the levatorplasty procedure to be performed on POP patients accompanied by ballooning in many clinical practices throughout Indonesia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Fikri Ali Akbar
"Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) merupakan perubahan posisi organ-organ penyusun panggul dari posisi normal. Ballooning atau distensi otot levator ani dinilai menjadi penyebab POP. Penentuan balloning sejauh ini masih menggunakan USG 3D/4D yang tidak banyak ada di Indonesia. Diperlukan penelitian perbandingan ballooning dan non-ballooning dengan USG 2D untuk menentukan ballooning dengan panjang antero-posterior (AP) hiatus levator ani. Metode Digunakan metode deskriptif analitik menggunakan perbandingan rerata dengan desain penelitian potong lintang retrospektif dan pemilihan sampel penelitian secara konsekutif. Didapatkan sebanyak 72 subjek dengan 37 orang berada pada kelompok ballooning. Hasil Usia kelompok ballooning dan non-ballooning berada pada usia dewasa tua (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 tahun, p=0.096), obesitas (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), aktivitas berat (51.3% vs 65.7%, p=0.217), pekerjaan ibu rumah tangga (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparitas (72.9% vs 60.0%, p=0.210), menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892), bayi lahir terberat ≥ 3500 gram (56.7% vs 45.7%, p=0.349), dan persalinan normal (83.7% vs 88.5%, p=0.420). Rerata anteroposterior ballooning lebih besar dibandingkan non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) dengan seluruh subjek ballooning memiliki panjang AP di atas 6 cm (<0.001). Kesimpulan Obesitas dan berat badan berhubungan dengan adanya ballooning pada pasien POP. Perbandingan AP hiatus levator ani menunjukkan perbedaan sehingga skrining ballooning berdasarkan panjang AP hiatus dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction Pelvic organ prolapse (POP) is a change in the position of the organs that make up the pelvis from their normal position. Ballooning or distension of the levator ani muscle is considered to cause POP. This determination of ballooning still uses 3D/4D ultrasound, which is not widely available in Indonesia. Comparative research between ballooning and non-ballooning with 2D ultrasound is needed to determine the ballooning through anteroposterior (AP) length of the levator ani hiatus. Method The analytical descriptive method was used using mean comparisons with a retrospective cross-sectional research design and consecutive research sample selection. There were 72 subjects with 37 people in the ballooning group. Results The ages of the ballooning and non-ballooning groups were older adults (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 years, p=0.096), obesity (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), heavy activity (51.3% vs 65.7%, p=0.217), housewife work (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparity (72.9% vs 60.0%, p=0.210), after menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892) , the heaviest baby born ≥ 3500 grams (56.7% vs 45.7%, p=0.349), and normal delivery (83.7% vs 88.5%, p=0.420). The mean anteroposterior ballooning was greater than non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) with all ballooning subjects having an AP length above 6 cm (<0.001). Conclusion Obesity and body weight are associated with ballooning in POP patients. Comparison of the AP hiatus of the levator ani shows differences so that ballooning screening based on the length of the AP hiatus can be performed to differentiate the two groups."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandi
"Disfungsi dasar panggul disebabkan tersering oleh trauma otot dasar panggul persalinan. Platelet rich plasma (PRP) adalah serum darah yang disertifugasi sehingga mengandung konsentrasi platelet dan growth factors yang tinggi. Terapi PRP mudah dilakukan dan aman untuk proses regenerasi trauma otot levator ani pascasalin. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran PRP dalam mendukung pemulihan trauma otot dasar panggul pascasalin.
Studi prospektif, penyamaran tunggal, uji acak terkendali merupakan studi yang melibatkan wanita hamil anak pertama, dilakukan di kamar bersalin di Rumah Sakit tempat rujukan berjenjang, Puskesmas Lingkungan Suku Dinas, dan praktik bidan mandiri. Subjek diinjeksi dengan PRP autologus atau plasebo pada otot levator ani selama perineorafi pascasalin. Pemeriksaan utrasonografi transperienal dan perineometri dilakukan untuk menilai luas hiatus genital dan kekuatan otot levator ani pada kehamilan trimester 3, 40 hari pascasalin, dan 3 bulan pascasalin. Uji Mann-Whitney dan Wilcoxon signed-rank digunakan untuk analisis.
Dari total 116 subejk, 58 subjek memenuhi syarat untuk analisis. Penurunan kekuatan otot pada 3 bulan pascasalin bermakna secara statistik dari 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) menjadi 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O pada kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi penurunan dari 37.45 (IQR = 13.89) menjadi 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.001 vs p = 0.29). Sub-kelompok kasus ballooning menunjukkan peningkatan luas hiatus genital pada kelompok intervensi dari 26/59 (IQR = 7.53) menjadi 20.25 (IQR = 8.47) cm2, secara kontras terjadi perburukan pada kelompok kontrol dari 22.45 (IQR = 6.59) menjadi 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (uji Wilcoxon, p = 0.047 vs p = 0.508). Selain itu, secara bermakna kekuatan otot levator ani menurun dari 47.1(IQR = 24.9) menjadi 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok intervensi yang mengalami penurunan dari 38.5 (IQR=17.2) menjadi 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.038 vs p = 0.878).
Simpulan: Platelet rich plasma dapat menjadi terapi alternatif menjanjikan untuk trauma mikro atau ballooning otot dasar panggul pada wanita pascasalin anak pertama.

Pelvic floor dysfunction (PFD) is mostly caused by childbirth pelvic floor muscle trauma. Platelet rich plasma (PRP) is centrifugated blood which contains concentrated platelets and high level of growth factors. PRP can be a feasible and safe therapy for post-partum levator ani muscle trauma regeneration process. This study aims to explore the role of PRP in supporting pelvic floor muscle recovery after childbirth trauma.
A prospective, single blind, randomized control trial was enrolling primigravid women at 21 health facilities in Jakarta, Indonesia, from November 2016 to July 2019. Subjects were injected with autologous PRP or placebo at levator anal muscles (LAM) during perineorraphy after childbirth. Transperineal ultrasound and perineometry was used to asses the levator hiatal area and LAM strength at third trimester of pregnancy,40 days post-partum and three months post-partum. Mann- Whitney U-test and Wilcoxon signed-rank test were used to analyze.
Among 116 primigravid women, 58 women were eligible for analysis. Muscle strength reduction three months after childbirth was found statistically significant from 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) to 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O in control group, not in intervention group which reduction only from 37.45 (IQR = 13.89) to 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.001 vs p = 0.29). In ballooning subgroup case analysis showed hiatal area improvement in intervention group from 26.59 (IQR = 7.53) to 20.25 (IQR = 8.47) cm2, in contrast with worsening in control group from 22.45 (IQR = 6.59) to 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (Wilcoxon test, p= 0.047 vs p = 0.508). Also, significant LAM strength reduction was also found from 47.1 (IQR = 24.9) to 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O in control group compared to intervention group which only from 38.5 (IQR = 17.2) to 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.038 vs p = 0.878).
Conclusion: Platelet rich plasma can be a promising alternative therapy for micro trauma or ballooning of pelvic muscle injury in primiparous women.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library