Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oska Mesanti
"Latar Belakang: Kondisi dekompensata tanpa infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dapat meningkatkan kadar prokalsitonin (PCT). Belum ada penelitian yang secara khusus membandingkan kadar PCT berdasarkan kompensasi hati dan ada tidaknya infeksi bakteri.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dalam membantu menegakkan diagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap pasien sirosis hati yang berobat jalan dan dirawat inap di RSUPNCM Jakarta dari April sampai Mei 2016. Pada pasien dilakukan pemeriksaan PCT dan penentuan ada tidaknya infeksi bakteri berdasarkan pemeriksaan standar sesuai jenis infeksi yang dicurigai. Dilakukan analisis untuk mengetahui perbedaan rerata kadar PCT pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri dan yang terinfeksi bakteri, serta pencarian nilai titik potong PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada sirosis hati dekompensata dengan menggunakan receiver operating curve (ROC).
Hasil: Didapatkan 55 pasien sirosis hati, pria sebanyak 65,5%, dengan rerata usia 55,34±1,308 tahun. Sebanyak 38 (69,1%) pasien sirosis hati dekompensata yang 22 (57,9%) diantaranya tidak terinfeksi bakteri dan 16 (42,1%) terinfeksi bakteri. Pada pasien yang tidak terinfeksi bakteri terdapat perbedaan rerata kadar PCT yang bermakna antara pasien dekompensata (0,738ng/mL±1,185) dibandingkan dengan 17 pasien kompensata (0,065ng/mL±0,022). Rerata kadar PCT pasien dekompensata yang terinfeksi bakteri (3,607ng/mL±0,643) lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri(0,738ng/mL±1,185). Dari kurva ROC, kadar PCT pada pasien sirosis hati dekompensata didapatkan area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014) untuk diagnosis infeksi bakteri. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 86,4%.
Kesimpulan: Pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri, kadar PCT pasien dekompensata lebih tinggi dibandingkan dengan yang kompensata. Kadar PCT pasien sirosis hati dekompensata yang terinfeksi bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri. Sementara nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL.

Background: Liver decompensated without bacterial infection may increase procalcitonin (PCT) level in liver cirrhosis patients. Previous studies did not provide conclusive results about the differences of PCT level due to specific liver compensation and bacterial infection.
Objective: To examine the role of PCT in assisting the diagnosis of bacterial infection in liver cirrhosis patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in liver cirrhosis patients who were outpatients and admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between April and May 2016. Procalcitonin were examined and bacterial infection were identified using standard criteria for each type of infection being suspected. Analysis were performed to determine differences in the level of PCT among liver cirrhosis patients without bacterial infection and with bacterial infection, also to get cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients using receiver operating curve (ROC).
Results: There were 55 patients with liver cirrhosis, 65,5% male, with mean of age 55,34±1,308 years. A total of 38 (69,1%) patients had decompensated liver cirrhosis, while 22 (57,9%) of them without bacterial infection and 16 (42,1%) with bacterial infection. In the absence of bacterial infection, there was significant difference between PCT level in decompensated patients (0,738ng/mL±1,185) and 17 compensated patients(0,065ng/mL±0,022). Decompensated patients with bacterial infection (3,607ng/mL±0,643) had significantly higher PCT levels than those without bacterial infection(0,738ng/mL±1,185). From ROC, level of PCT for bacterial infection in decompensated liver cirrhosis was area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014). Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL with a sensitivity of 87.5% and specificity of 86,4%.
Conclusion: In the absence of bacterial infection, PCT levels of decompensated patients was higher than compensated ones. Procalcitonin levels of decompensated liver cirrhosis patients with bacterial infection was higher than those without bacterial infection.Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wulandaru Sukmaning Pertiwi
"Angka kesintasan dan kualitas hidup anak dengan penyakit hepatobilier kronik meningkat seiring dengan berkembangnya transplantasi hati. Insidens infeksi bakteri 36–79% pada 6 bulan pascatransplantasi dan mortalitasnya 3,0–10,6% pada 3 bulan pascatransplantasi. Pencegahan infeksi bakteri yang adekuat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kesintasan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko infeksi bakteri pada anak pascatransplantasi hati di Indonesia. Penelitian kohort retrospektif ini melibatkan pasien anak pascatransplantasi hati di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) mulai Desember 2010 s/d April 2023 dengan metode total sampling. Subjek dibagi menjadi kelompok infeksi bakteri dan tanpa infeksi bakteri. Prevalens infeksi bakteri dari 63 subjek penelitian ini adalah 84,13%. Infeksi bakteri didominasi oleh hospital acquired infection (HAI) berupa infeksi daerah operasi (29,63%), ventilator-associated pneumonia (14,81%), dan catheter-related urinary tract infection (13,58%). Angka mortalitas terkait infeksi bakteri adalah 12,70%. Analisis multivariat menunjukkan lama rawat ICU ≥ 20 hari (RR 1,212, IK 95% 1,028 −1,426, p = 0,022) dan volume kehilangan darah selama operasi ≥ 70 mL/kg (RR 1,283, IK 95% 1,009 −1,631, p = 0,042) adalah faktor risiko infeksi bakteri pascatranspantasi hati. Besar post-hoc power dari masing-masing uji hipotesis yang digunakan adalah 5,07−71,50%. Hasil analisis subgrup menunjukkan lama rawat ICU ≥ 20 hari memiliki risiko 2,479 kali lebih besar untuk mengalami infeksi bakteri multi-drug resistance (IK 95% 1,185 – 5,187, p = 0,016). Sebagai kesimpulan, prevalens infeksi bakteri pada anak dalam kurun waktu 0–6 bulan pascatransplantasi hati di RSCM adalah sebesar 84,13%, dengan faktor risiko berupa lama rawat ICU ≥ 20 hari dan volume kehilangan darah selama operasi ≥ 70 mL/kg. Penelitian lanjutan dengan desain lebih baik dan subjek lebih banyak diperlukan.

Survival rate and quality of life of children with chronic hepatobiliary disease has improved since the development of liver transplantation. Incidence of bacterial infection is 36–79% at 6 months post-transplantation and mortality of 3.0–10.6% at 3 months post-transplantation. Adequate prevention of bacterial infection will reduce morbidity and mortality and increase survival. This study aimed to determine the risk factors for bacterial infection in children who underwent liver transplantation in Indonesia. This retrospective cohort study includes pediatric recipients who underwent liver transplantation in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) during December 2010 – April 2023 with total sampling method. Subjects were classified into groups with and without bacterial infection. Prevalence of bacterial infection of the 63 subjects was 84.13%. A majority of the bacterial infection cases were hospital-acquired infections (HAIs), comprising of surgical site infections (29.63%), ventilator-associated pneumonia (14.81%), and catheter-related urinary tract infections (13.58%). Multivariate analysis showed ICU length of stay ≥20 days (RR 1.212; CI 95% 1.028 −1.426; p = 0.022) and volume of blood loss volume during surgery ≥70 mL/kg (RR 1.283; CI 95% 1.009 −1.631; p = 0.042) were risk factors risk factors for bacterial infection following liver transplantation. Post-hoc power of each hypothesis test was 5.07−71.50%. Subgroup analysis presented ICU length of stay ≥20 days increased risk of multi-drug resistance bacterial infection by 2.479 times (CI 95% 1.185 – 5.187; p = 0.016). Conclusions, Bacterial infection prevalence at six-months post-liver transplantation of children in CMH was 84.13% with ICU length of stay ≥20 days and volume of blood loss volume during surgery ≥70 mL/kg  as risk factors. Further studies with better design and more participants are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Munaya Fauziah
"Vaginosis bakterial merupakan ISR semakin menjadi perhatian terutama oleh bidang kebidanan dan kandungan setelah ditemukannya hubungan antara vaginosis bakterial pada perempuan hamil dengan kejadian prematuritas atau endometritis pasca persalinan. Vaginosis bakterial ditemukan berhubungan dengan kelahiran preterm pada bayi BBLR dan keguguran pada kehamilan sebelumnya, dapat menjalar ke traktus genitalis bagian atas dan menyebabkan penyakit radang panggul dan dihubungkan dengan selulitis pada pasien pasca histerektomi jika sebelumnya dijumpai vaginosis bakterial. Vaginosis bakterial juga berkaitan erat dengan kejadian infeksi menular seksual yang perlu menjadi perhatian terutama pada era infeksi HIV saat ini. Sekitar 50% perempuan seksual aktif menderita vaginosis bakterial. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian AKDR dengan kejadian infeksi vaginosis bakterial pada klien klinik mobil Yayasan Sehati di Bali tahun 1998-2000.
Hasil penelitian pada 308 pasien menunjukkan prevalensi vaginosis bakterial sebesar 36,7% dan persentase pengguna AKDR 45,5%. Dari seluruh sampel, prevalensi trikomoniasis sebesar 15,9%, gonore 0,3%, klamidia 7,8% dan kandidiasis 7,8%. Sedangkan persentase pasien yang melakukan bilas vagina sebesar 5,5% dan suami/partner yang memiliki pasangan seks >1 dalam 3 bulan terakhir 15,3%.
Dari hasil analisis bivariat, terdapat empat variabel yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna terhadap infeksi vaginosis bakterial yaitu: 1) AKDR (POR=1,72; 95% CI: 1,08-2,75), 2) Kandidiasis (POR=0,07; 0,01 - 0,50), 3) Klarnidia (POR= 2,18; 95%CI: 0,94 - 5,03), 4) Bilas vagina (POR= 0,22; 95% CI: 0,05-0,96).
Hasil analisis multivariat menunjukkan tidak ada interaksi antara variabel independen utama AKDR dengan kovariat lain dan tidak ditemukannya variabel confounding pada hubungan antara penggunaan AKDR dengan kejadian infeksi vaginosis bakterial. Kesimpulan dari penelitian ini penggunaan AKDR berhubungan dengan peningkatan peluang infeksi bakterial vaginosis (POR=1,72; 95%CI: 1,08-2,75). Secara statistik hubungan ini bermakna dengan nilai-p=0,023.
Mengingat dampaknya yang cukup serius maka perlu dilakukan pelatihan pelatihan secara terus menerus untuk upaya deteksi dan penatalaksanaan ISR khususnya vaginosis bakterial pada tenaga kesehatan yang bertugas dalam pelayanan KB. Saran kepada petugas pelayanan kesehatan reproduksi agar dilakukan upaya skrining pada saat pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim maupun pada saat dilakukannya kontrol. Saran kepada para peneliti agar melakukan penelitian dengan menggunakan desain yang lebih kuat dalam mengukur sebab akibat seperti desain cohort dan mencari faktor-faktor lain yang memiliki kemungkinan hubungan dengan vaginosis bakterial yang belum diteliti pada penelitian ini serta melakukan penelitian secara luas pada IMS lain.
Daftar Bacaan: 58 (1982-2004)

The Association of Intrauterine Device Use and Vaginosis Bacterial Infection Among Clients of Mobile Clinic of Sehati Foundation, Bali 1998-2000Bacterial vaginosis have been associated with prematurity and endometritis and become major concern particularly by obstetric and gynecology division. The presence of bacterial vaginosis was related to preterm delivery low birth weight infant, and the loss of an earlier pregnancy and infection of upper genital tract. Bacterial vaginosis was related to sexually transmitted disease, which become major concern in the era of HIV/IDS nowadays. About 50% sexually active women infected with bacterial vaginosis. The goal of this cross sectional study design is to know the effect of intrauterine device to bacterial vaginosis among clients of Sehati Foundation mobile clinic in Bali 1998-2000.
This study found that among total sample (308), the prevalence of bacterial vaginosis is 36,7% and proportion intrauterine device use is 45,5%. Prevalence of trichomoniasis is 5,9%, gonorrhea is 0,3%, chlamydia is 7,8% and candidiasis is 7,8%. Women who douch is 5,5% and husband/partner who have more than one sexual in the past three months is 15,3%.
Bivariat analysis show 4 variable which have significant association with bacterial vaginosis, they are: I) IUD (POR=1,72; 95% CI: 1,08-2,75), 2) Candidiasis (POR=0,07; 0,01 - 0,50), 3) Chlamydia (POR= 2,18; 95%CI: 0,94 - 5,03), 4) Douch (POR= 0,22; 95% CI: 0,05-0,96).
The result of the study that IUD uses is associated with the raise of bacterial vaginosis infection risk (POR=1,72; 95%CI: 1,08-2,75). This association significant statistically with p-value =0,023. In a multivariate analysis there is no association between IUD and other covariates and there are not variables, which confound the relation between IUD and bacterial vaginosis.
Based on the result above, it is recommended to do a sustainable training on detection program on sexually transmitted infection particularly bacterial vaginosis to the health official in the family planning clinic. The health official before IUD insertion and when it is controlled should do screening. Future study should be done to review the variable which have not study in this research with design which can give more strength association to estimate the causal and effect relation, for example is cohort study, and to review sexually transmitted infection comprehensively.
References: 58 (1982-2004)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novrina Heragandhi
"Penyakit infeksi kulit bakterial pada anak masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Di Indonesia penyakit kulit menempati urutan ke-3 setelah infeksi saluran napas dan diare. Walaupun dapat mengenai semua orang, beberapa kelompok tertentu yang memiliki faktor predisposisi akan rentan terhadap penyakit infeksi kulit. Penyebaran penyakit ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain status imun pejamu, kuman penyebab, penyakit kulit lain yang menyertai, dan higiene. Data jumlah kunjungan pasien ke poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) selama tahun 2001 menunjukkan pasien pioderma anak sebesar 362 kasus (18,53%) dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati urutan ke-2 setelah dermatitis atopik. Sedangkan pada tahun 2002 terdapat 328 kasus (16,72%) dari 1962 kunjungan baru. Pioderma primer terbanyak secara berturut-turut adalah furunkulosis (19,32%), impetigo krustosa (15,0%), impetigo vesikobulosa (14,02%), dan ektima (11,59%). infeksi sekunder terbanyak dijumpai pada skabies dan dermatitis atopik. Data dari 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001 didapatkan 13,86% dari 8919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah pioderma. Yang terbanyak adalah furunkulosis (26,35%), diikuti impetigo vesikobulosa (23,76%), dan impetigo krustosa (22,79%).5 Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis) dan subkutan yang disebabkan oleh kuman stafilokokus dark streptokokus atau oleh keduanya. Terdiri atas beberapa bentuk klinis, yaitu impetigo, ektima, folikulitis, furunkel dan karbunkel, abses, erisipelas, selulitis, sefta infeksi sekunder pada kelainan kulit yang sudah ada. Pioderma superfisialis (PS) menggambarkan infeksi terjadi di bawah stratum korneum sampai dermis, atau di folikel rambut, sehingga semua bentuk di atas dapat dimasukkan ke dalam pioderma superfisialis, kecuali abses, erisipelas dan selulitis. Menurut beberapa kepustakaan bentuk PS yang tersering dijumpai adalah impetigo, sedangkan di Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK FKUI/RSCM penyakit ini menempati urutan kedua setelah furunkulosis. Impetigo terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus (S. aureus) dan kadang oleh Streptococcus pyogenes grup A (S. pyogenes). Penelitian Murniati (1996) terhadap pasien impetigo anak, didapatkan kuman penyebab terbanyak adalah S. aureus (70,41%) dan S. aureus bersama S. pyogenes (15,32%). Pengobatan pioderma diberikan atas dasar pengetahuan empiris yakni hasil beberapa penelitian yang telah ada mengenai kuman penyebab tersering dan golongan antibiotik yang efektif untuk kuman tersebut. Obat pilihan lini pertama dalam dua dekade terakhir untuk S. aureus dan S. pyogenes adalah eritromisin, dikloksasilin, kloksasilin, dan sefaleksin. Klindamisin dipakai untuk kasus yang berulang atau rekalsitran terhadap pengobatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Gustawan
"ABSTRAK
Latar belakang. Adanya peningkatan angka kematian anak di negara berkembang, masih tingginya insiden penyakit infeksi bakteri serius (IBS) pada anak, beragamnya variabel klinis yang menjadi faktor risiko terjadinya IBS, model skoring yang ada belum teruji dalam mendeteksi IBS di sarana pelayanan terbatas.
Tujuan. Untuk mengetahui validitas Skor RCPCH dalam mendeteksi adanya infeksi bakteri serius pada anak dengan demam serta mencari faktor prediktor terjadinya infeksi tersebut.
Metode. Uji diagnostik untuk mengetahui validitas Skor RCPCH dalam mendeteksi adanya infeksi serius pada anak dengan demam dan kohort prospektif untuk mencari faktor prediktor. Baku emas adalah diagnosis akhir sesuai ICD-10. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara buta (tersamar).
Hasil. Didapatkan 260 subyek penelitian. Tujuh pasien rawat jalan tidak dapat dihubungi sehingga analisis dilakukan pada 253 subyek (97,3%). Laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan rasio 1,14: 1. Kelompok umur lebih banyak didapatkan pada kelompok > 36 bulan (51,4%). Diagnosis IBS didapatkan pada 28,9% subyek dengan diagnosis terbanyak pneumonia (19%). Skor RCPCH mempunyai sensitifitas 58,9%, spesifisitas 86,7%, nilai duga positif 64,2%, nilai duga negatif 83,8%, rasio kemungkinan positif 4,42, rasio kemungkinan negatif 0,47, post test probability 64,23%, area under ROC curve 72,8%. Batuk, sesak napas, mencret, kejang, umur 1-36 bulan, suhu tubuh ≥ 37,50 C, hipoksia, dan takipnea merupakan faktor prediktor terjadinya IBS.
Simpulan. Skor RCPCH dapat digunakan untuk memprediksi infeksi bakteri serius pada anak umur 1 bulan–12 tahun. Batuk, sesak napas, mencret, kejang, umur 1-36 bulan, suhu tubuh ≥ 37,50 C, hipoksia, dan takipnea merupakan faktor prediktor terjadinya IBS.

ABSTRACT
Background. The increase of child mortality in developing country, the high incidence of serious bacterial infection in children, the variety of risk factors of serious infections, current scoring model has not been tested in limited health care centre.
Objective. To know the validity of of Royal College of Paediatrics and Child Health (RCPCH) Score to predict serious bacterial infection in children with fever and to find predictor factors of the serious infection.
Method. Diagnostic study was used to find validity of RCPCH Score and cohort prospective study to find predictor factors of the serious infection. Gold standard was the latest diagnosis noted on medical record based on ICD-10. All tests were done blind.
Results. There were 260 subjects. Seven patients of out-patient department could not be reached so analysis was done on 253 subjects (97.3%). There were more male than female with the ratio of 1.14:1. Age group of >36 months dominated the subject population (51.4%). Serious bacterial infection was found on 28.9% subject with the most diagnosis was pneumonia (19%). Sensitivity of SBI score was 58.9%, specificity was 86.7%, positive predictive value was 64.2%, negative predictive value was 83.8%, positive likelihood ratio was 4.42, negative likelihood ratio was 0.47, post test probability was 64,23%, and area under ROC curve was 72,8%. Cough, dyspnea, diarrhea, seizure, age of 1-36 month, body temperature ≥ 37.50 C, hypoxia, tachypnea were the risk factors for SBI.
Conclusion. RCPCH Score can used to predict serious bacterial infection in children aged 1 month- 12 years. Cough, dyspnea, diarrhea, seizure, age of 1-36 months, body temperature ≥ 37.50 C, hypoxia, and tachypnea were the risk factors for SBI"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artati Murwaningrum
"Latar Belakang: Infeksi HAP oleh bakteri multidrug-resistant (MDR) menyebabkan mortalitas yang tinggi, lama rawat yang memanjang dan biaya perawatan yang tinggi. Karena itu perlu diketahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP.
Tujuan: Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dengan desain Kohort retrospektif menggunakan rekam medik pasien HAP yang memiliki hasil kultur sputum di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 dengan metode total sampling. Pasien HAP diklasifikasikan menjadi terinfeksi bakteri MDR dan terinfeksi bakteri bukan MDR berdasarkan kategori resistensi isolat yang paling resisten pada sputum yang pertama kali didiagnosis MDR. Evaluasi gambaran faktor risiko dilakukan kepada semua subjek. Seluruh analisis dilakukan menggunakan program Microsoft Excel.
Hasil: Proporsi HAP selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 6,12 dan 6,15/1000 admisi. Proporsi pasien HAP yang terinfeksi bakteri MDR selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1%. Gambaran proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 mulai dari yang paling tinggi ke yang paling rendah berturut-turut adalah riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis (100%), albumin <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), usia> 60 (95,2%), lama rawat> 5 hari (92,5%), riwayat pemasangan NGT (92,1%), riwayat perawatan ICU/HCU sebelumnya (81,8%) dan penggunaan steroid setara prednison>10 mg/hari atau ekivalen selama>14 hari (28,6%).
Simpulan: Proporsi infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1% dengan proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR yang paling tinggi adalah pada pasien dengan riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis dan albumin <2.5 g/dL.
>
Background: Multi-drug Resistant (MDR) Hospital-acquired Pneumonia (HAP) is associated with high mortality, prolonged hospital stay and high cost. Therefore, it is important to have description risk factors distribution for MDR HAP.
Aim: To have description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria in HAP patients hospitalized in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: A Cohort retrospective study with total sampling methode was conducted to collect medical records of HAP patients hospitalized in 2015-2016. Patients were classified as infected with MDR bacteria and infected with non-MDR bacteria based on the most resistant category of the sputum firstly diagnosed infected with multidrug-resistant bacteria. Risk factors evaluation were conducted to all subjects. All analysis was done using Microsoft Excel.
Results: Proportion of HAP during 2015 and 2016 respectively were 6.12 per 1000 admission and 6.15 per 1000 admission. Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. Description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria from the highest to lowest respectively were prior antibiotic use 90 days before diagnosis (100%), albumin level <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), age >60 years (95,2%), hospitalization>5 days (92,5%), NGT insertion (92,1%), prior ICU/HCU hospitalization in the last 90 days (81,8%) and prior steroid use equivalent to prednisone >10 mg/day for >14 days (28,6%).
Conclusion: Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively with the highest risk factors proportion for infection with multidrug-resistant bacteria were prior antibiotic use in 90 days before diagnosis and albumin <2,5 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library