Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hsuan Su, Ching
"Authoritarian regimes rarely, if ever, implement human rights protection clauses inscribed in constitutions or follow the principle of checks and balances. Authoritarian rulers are also rarely constrained by their respective countries’constitutions. For these reasons, existing studies have paid little attention to the role of the constitution in authoritarian countries. Constitutions, nonetheless, can provide legality to authoritarian rule. Furthermore, the authoritarian ruler and
political elites can transform the constitution’s checks-and-balances principle into a legal basis for the distribution of power, according to which the ruler and the elites
cooperate in running the government. Because authoritarian governments neither protect human rights nor are not held accountable, the article refers to this practice as “authoritarian constitutional institutions.” This article takes the case of Chiang Kaishek in 1960 as an example to illustrate that he, in order to be re-elected for a third presidential term “legally,” followed constitutional norms to amend “the Temporary Provisions Effective During the Period of National Mobilization for Suppression of the Communist Rebellion.” Taking advantage of Chiang’s need to maintain the
legality of his rule, political elites not only bargained with the strongman to further their own interests but also used constitutional norms to restrain Chiang’s power. When political elites and the authoritarian ruler strictly adhered to authoritarian constitutional institutions in their political interactions, for power-sharing purposes, and during interest exchanges, not only was the restraining capacity of authoritarian constitutional institutions consolidated, but the authoritarian regime was also thereby
institutionalized. This article shows that after Chiang Kai-shek was elected for a third time, the Kuomintang’s authoritarian regime was further institutionalized by the amended “Temporary Provisions.”"
Taipei: Taiwan Foundation for Democracy, 2020
059 TDQ 17:3 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Aulia Maulana
"Penelitian ini memiliki argumen yang menyatakan bahwa praktik electoral authoritarian regime yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Hun Sen dan Cambodia Peoples Party CPP berdampak terhadap persaingannya dengan Cambodia National Rescue Party CNRP. Adapun, klaim tersebut didasarkan pada sejumlah temuan selama pemilu tahun 2013 berlangsung yang menunjukkan bahwa CPP cenderung menerapkan strategi intimidasi politik, penyalahgunaan sumber daya negara serta praktik-praktik kecurangan, seperti vote buying, manipulasi suara, hingga hal yang bersifat administratif seperti hilangnya nama sejumlah masyarakat Kamboja dari daftar pemilih. Hal tersebut yang kemudian turut memengaruhi munculnya persaingan yang tidak berimbang antara CPP dan CNRP. Untuk itu, perspektif teoritis yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori electoral authoritarian regime oleh Andrea Schedler dan teori competitive authoritarianism yang dicetuskan oleh Steven Levitsky dan Lucan Way.

This research argues that the electoral authoritarian regime run by Hun Sen and the Cambodia Peoples Party CPP had an impact on his competition with the Cambodia National Rescue Party CNRP. This argument is based on the findings during the 2013 elections, in which the CPP were guilty of political intimidation, abuse of state resources, vote buying and administrative matters such as the loss of the names of several Cambodian people from the voter list. All these things resulted in an unfair competition between the CPP and the CNRP. The theoretical perspective used in this research is the electoral authoritarian regime theory Andrea Schedler and competitive authoritarianism theory by Steven Levitsky dan Lucan Way.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farizan Fajari
"ABSTRAK
Kamboja merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh partai penguasa, Cambodia People's Party (CPP), sebagai sarana untuk mendominasi kursi parlemen Kamboja hingga pemilu tahun 2008. Namun, peta kekuatan partai politik di Kamboja mengalami perubahan pada pemilu tahun 2013. Pada pemilu tersebut, perolehan kursi CPP mengalami penurunan signifikan dan menjadi hasil terburuk bagi mereka sejak pemilu tahun 1998. Penurunan tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh kegagalan CPP dalam mendapatkan kursi terbanyak di empat wilayah urban Kamboja: Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, yang memiliki proporsi jumlah kursi terbanyak. Padahal, CPP sebelumnya tidak pernah mengalami kekalahan di keempat wilayah tersebut secara bersamaan. Artikel ini berargumen bahwa kekalahan CPP dalam rezim otoriter disebabkan oleh kondisi-kondisi penting yang terjadi di Kamboja. Dengan mengelaborasi teori Dominant Party Authoritarian Regimes dan konsep pengawas pemilu internasional, artikel ini melihat tiga kondisi penting yang terjadi di Kamboja yang menjadi penyebab menurunnya suara CPP di perkotaan, yaitu: kebijakan pemerintahan Hun Sen yang menyebabkan permasalahan dalam masyarakat, menguatnya partai oposisi dan keberhasilan isu dan strategi kampanye yang digunakan, dan peran pengawas pemilu internasional dalam menurunkan praktik intimidasi politik oleh militer. Dalam mengumpulkan data, artikel ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan analisis data sekunder dari kajian literatur."
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library