Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Espe Dini Oktarini
"Keadaan masyarakat Indonesia setelah terjadi reformasi semakin memprihatinkan. Kebebasan yang diraih membuat masyarakat merasa gamang dan bingung harus bagaimana menyikapinya. Salah satu caranya adalah bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu. Menurut Fromm (1991) hal seperti ini merupakan suatu mekanisme pelarian diri dimana individu yang berada dalam situasi gamang tersebut cenderung untuk menghilangkan kemandiriannya dan berpegangan pada kekuatan diluar dirinya. Kekuatan tersebut bisa berupa orang atau lembaga.
Di antara berbagai kelompok masyarakat tersebut, salah samnya adalah partai politik. Pada saat diadakannya pemilu 1999 dan Sidang LTmum DPR/MPR dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden, bentrokan-bentrokan antara pendukung partai politik tidak dapat dihindarkan. Masing-masing pihak merasa dirinya atau kelompoknya yang paling benar dan merasa kekerasan-kekerasan yang dilakukan merupakan hal yang wajar. Semua itu dengan alasan membela kelompok dan pemimpinnya. Bentrokan-bentrokan tersebut baru bisa selesai bila ada tokoh otoritas yang memerintahkan untuk berhenti. Karakteristik di atas mengingatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Adomo et.al (1950) pada masa NAZI berkuasa.
Adomo yang meneliti kepribadian masyarakat pada saat itu yakin bahwa hal-hal tersebut merupakan suatu produk struktur kepribadian yaitu kepribadian authoritarian. Tiga partai politik yang pendukungnya diteliti adalah Partai Goikar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dipilihnya ketiga partai tersebut karena dalam sejarah kepartaian serta di dalam karakteristik pendukungnya terdapat ciri-ciri kepribadian authoritarian. Selain itu Partai Golkar dipilih karena partai ini mewakili pemerintah orde baru, PDI-P karena partai ini merupakan partai dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu 1999 dan PKB karena partai ini mewakili pemerintahan saat ini.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran kepribadian authoritarian pada pendukung tiga partai politik. Penulis ingin mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan pada kepribadian authoritarian pendukung ketiga partai politik tersebut di Jakarta.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode kuantitatif dengan tekhnik pengambilan data menggunakan kusioner. Kuesioner yang dipakai adalah California F Scale form 40 - 45 dari Adomo et.al (1950). Kuesioner terdiri dari 2 bagian yaitu data kontrol dan kuesioner California F scale. Pada data kontrol ditanyakan keadaan demografis subyek (jenis kelamin, usia, suku, pendidikan, pendidikan orang tua dan pekerjan). dan hal-hal yang diperkirakan mempengaruhi kepribadian authoritarian subyek (pola asuh keluarga dan pendapat pribadi mengenai kelompok).
Metode statistik yang digunakan untuk pengolahan data adalah frekuensi dan prosentase. Untuk menguji signifikansi perbedaan kepribadian authoritarian ini maka digunakan desain one-w/y anova. Kemudian bila ditemukan perbedaan yang signifikan, penulis akan melakukan posi hoc tesi untuk menentukan pendukung partai yang mana yang memiliki kepribadian authoritarian paling tinggi. Penulis juga mengadakan analisa tambahan dari variabel-variabel data kontrol untuk mengetahui hal-hal yang mungkin berpengaruh pada kepribadian authoritarian ini. Analisa tambahan ini memakai metode statistik analisis muliiple regression.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kepribadian pendukung keetiga partai politik di Jakarta. Pendukung partai politik yang memiliki kepribadian authoritarian yang paling tinggi adalah pendukung Partai Golkar. Untuk hasil analisa tambahan, pada partai Golkar ada 4 variabel yang mempengaruhi kepribadian authoritarian. Variabel-variabel tersebut adalah penerapan disiplin dalam keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, keanggotaan dalam partai dan pekerjaan. Pada PDI-P, tidak ada variabel yang mempengaruhi kepribadian authoritarian pendukungnya sementara pada PKB hanya variabel pelaksanaan keputusan kelompok yang mempengaruhi kepribadian authoritarian pendukungnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2991
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The media is often viewed as a primary gauge which reflects the changing political landscape as societies transition from authoritarian regimes to democracies. Chronicling the process through media analysis provides deeper insights into the relationship between technology, the state, and social forces that are reflected in the public's communications. This volume explores the challenges and political conditions that have shaped the media in several representative studies of the media in the Middle East, Asia, Eastern Europe, and Africa. The contributors analyse the legacy of the past on the development of the media in post-authoritarian regimes and explore the relationships between media, communication industries (public relations), and politics. The use of new communications technologies to manipulate the media and the public introduce a novel use of social media by populists as well as authoritarian regimes and their proxies. This book presents a comparative and global investigation of the role of the media in the realignment from established policies to an emerging milieu of new channels of communication that challenge traditional media practices."
London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2018
302.23 AUT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Reuter, Ora John
New York: Cambridge University Press, 2017
324.247 REU o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hsuan Su, Ching
"Authoritarian regimes rarely, if ever, implement human rights protection clauses inscribed in constitutions or follow the principle of checks and balances. Authoritarian rulers are also rarely constrained by their respective countries’constitutions. For these reasons, existing studies have paid little attention to the role of the constitution in authoritarian countries. Constitutions, nonetheless, can provide legality to authoritarian rule. Furthermore, the authoritarian ruler and
political elites can transform the constitution’s checks-and-balances principle into a legal basis for the distribution of power, according to which the ruler and the elites
cooperate in running the government. Because authoritarian governments neither protect human rights nor are not held accountable, the article refers to this practice as “authoritarian constitutional institutions.” This article takes the case of Chiang Kaishek in 1960 as an example to illustrate that he, in order to be re-elected for a third presidential term “legally,” followed constitutional norms to amend “the Temporary Provisions Effective During the Period of National Mobilization for Suppression of the Communist Rebellion.” Taking advantage of Chiang’s need to maintain the
legality of his rule, political elites not only bargained with the strongman to further their own interests but also used constitutional norms to restrain Chiang’s power. When political elites and the authoritarian ruler strictly adhered to authoritarian constitutional institutions in their political interactions, for power-sharing purposes, and during interest exchanges, not only was the restraining capacity of authoritarian constitutional institutions consolidated, but the authoritarian regime was also thereby
institutionalized. This article shows that after Chiang Kai-shek was elected for a third time, the Kuomintang’s authoritarian regime was further institutionalized by the amended “Temporary Provisions.”"
Taipei: Taiwan Foundation for Democracy, 2020
059 TDQ 17:3 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Aulia Maulana
"Penelitian ini memiliki argumen yang menyatakan bahwa praktik electoral authoritarian regime yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Hun Sen dan Cambodia Peoples Party CPP berdampak terhadap persaingannya dengan Cambodia National Rescue Party CNRP. Adapun, klaim tersebut didasarkan pada sejumlah temuan selama pemilu tahun 2013 berlangsung yang menunjukkan bahwa CPP cenderung menerapkan strategi intimidasi politik, penyalahgunaan sumber daya negara serta praktik-praktik kecurangan, seperti vote buying, manipulasi suara, hingga hal yang bersifat administratif seperti hilangnya nama sejumlah masyarakat Kamboja dari daftar pemilih. Hal tersebut yang kemudian turut memengaruhi munculnya persaingan yang tidak berimbang antara CPP dan CNRP. Untuk itu, perspektif teoritis yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori electoral authoritarian regime oleh Andrea Schedler dan teori competitive authoritarianism yang dicetuskan oleh Steven Levitsky dan Lucan Way.

This research argues that the electoral authoritarian regime run by Hun Sen and the Cambodia Peoples Party CPP had an impact on his competition with the Cambodia National Rescue Party CNRP. This argument is based on the findings during the 2013 elections, in which the CPP were guilty of political intimidation, abuse of state resources, vote buying and administrative matters such as the loss of the names of several Cambodian people from the voter list. All these things resulted in an unfair competition between the CPP and the CNRP. The theoretical perspective used in this research is the electoral authoritarian regime theory Andrea Schedler and competitive authoritarianism theory by Steven Levitsky dan Lucan Way.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhie Subandri
"Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan penelitian yaitu tentang kategori sistem politik Indonesia serta pengaruhnya terhadap kedudukan dan fungsi kepolisian serta ketahanan. Penelitian ini menjadikan bahan pustaka sebagai landasan utamanya, sehingga penelitian ini lebih merupakan sebuah penelitian dokumen (documentary study). Penelitian lapangan dilakukan juga dalam bentuk wawancara, untuk mendapakan konfirmasi dan pendapat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sistem politik pemerintahan Circle Baru, adalah sistem politik yang memiliki ciri-ciri model rezim birokratik otoritarian (otoritarian birokratik), dan model korporatis negara. Ciri-ciri tersebut adalah : pertama, dipimpin oleh rniliter sebagai suatu lembaga, bekerjasama dengan para teknokrat sipil; kedua, penyusunan kebijaksanaan nasional bersifat teknokratik birokratik; ketiga, massa dimobilisasi melalui pembentukan perwakilan kepentingan; keempat, tindakan represif dilakukan untuk mengendalikan oposisi; kelima, peran yang sangat dominan lembaga kepresidenan. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sistem politik Orde Baru diatas membawa implikasi terhadap kedudukan dan fungsi kepolisian. Terhadap kedudukan Polri, pada masa Orde Baru, Kepolisian Negara diintegrasikan secara penuh kedalam wadah Angkatan Bersenjata. Pada masa Orde Baru, Polri tidak semata-mata sebagai alat penegak hukum dan pemelihara ketertiban melainkan juga sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial politik.
Konsekuensi dari kedudukan dan fungsi tersebut, telah menyebabkan Polri tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kinerja Polri, sebagaimana dipersepsikan oleh masyarakat melalui berbagai penelitian. Sementara itu, sistem politik yang otoriter dan rendahnya kinerja Polri menyebabkan lemahnya penegakkan hukum, dan adanya kesenjangan sosial ekonomi, yang muaranya memberikan kontribusi terhadap lemahnya ketahanan nasional pada masa Orde Baru."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harishmawan Heryadi
"Skripsi ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan proses pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan Pemerintah Sri Lanka atas LTTE di tahun 2009. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pembentukan rezim authoritarian developmentalism Mahinda Rajapaksa pasca kemenangan pemerintah Sri Lanka atas LTTE. Penelitian ini adalah deskriptif yang menggunakan metode kualitatif. Teori authoritarian developmentalism (Kenichi Ohno) dan nasionalisme serta hegemoni mayoritas (Jack Snyder) menjadi kerangka yang digunakan untuk menganalisis proses pembentukan rezim otoriter tersebut. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa terdapat faktor endogen yang mendorong pembentukan rezim otoriter Mahinda Rajapaksa tersebut yaitu kepemimpinan kepemimpinan Rajapaksa yang kuat, pembangunan sebagai tujuan, ideologi, nasional, elit teknokrat yang merancang dan mengeksekusi kebijakan, dan pembangunan ekonomi yang menjadi sumber legitimasi. Terdapat pula faktor eksogen yang meliputi faktor sejarah perang sipil dan konsekuensinya dan faktor ideologi nasionalis Buddha Sinhala.

This thesis describes the establishment of Mahinda Rajapaksa’s authoritarian regime after the victory of Government of Sri Lanka over Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) in 2009. Problem studied in this thesis is how Mahinda Rajapaksa’s authoritarian developmentalism regime established after the victory of Government of Sri Lanka over LTTE. This research is a descriptive research using qualitative methods. Theory of authoritarian developmentalism (Kenichi Ohno) and nationalism and majority hegemony (Jack Snyder) becomes the framework to analyze the process. This thesis identifies that there are endogenous factors that promotes the establishment of the authoritarian developmentalism regime which consists of Rajapaksa’s strong leadership, development as National goal, obsession, and ideology, elite technocrat group to support the leader in designing and executing policies, and economic development that becomes the source of legitimacy. There are also exogenous factors which consists of civil war history and its consequences and the Sinhala Buddhist nationalist ideology."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Sulaiman Nugraha
"Fokus penelitian ini adalah konstruksi gender non-biner terhadap gaya kepemimpinan, karakteristik pemimpin, dan stereotipe, yang tergambar dalam karakter The Adjudicator dalam film John Wick: Chapter 3 – Parabellum. Selain itu, perbandingan antara karakteristik dan stereotip kepemimpinan pria & wanita dan non-biner termasuk dalam artikel ini. Ini juga bertujuan untuk mengeksplorasi karakteristik dan stereotip baru yang dapat ditarik dari pemimpin non-biner yang digambarkan oleh karakter dalam film. Penelitian ini menggunakan analisis tekstual dan juga tinjauan pustaka dari referensi terkait, seperti artikel akademik, jurnal, dan buku-buku dari bidang studi terkait. Analisis menunjukkan bahwa pemimpin non-biner yang berjenis kelamin perempuan cenderung campuran laki-laki dan perempuan dari cara mereka menggunakan bahasa mereka, cara mereka tampil di depan umum, dan cara mereka menjadi pemimpin. Artikel ini dapat membuka diskusi baru tentang masalah serupa sejak orang mulai menyambut gender lain di masyarakat. Selain itu, artikel ini akan memberikan perspektif lain bahwa peluang gender lain, terutama non-biner, untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat dalam waktu dekat sangat mungkin.

The focus of this research is the construction of non-binary gender towards leadership style, leader characteristics, and stereotypes, which are depicted in the character of the Adjudicator in the film John Wick: Chapter 3 – Parabellum. Moreover, comparisons between male & female and non-binary leadership characteristics and stereotypes are included in this article. It also aims to explore new characteristics and stereotypes that can be drawn from non-binary leaders depicted by the character in the movie. This research uses textual analysis and also literature reviews from related references, such as academic articles, journals, and books from related fields of study. The analysis shows that a non-binary leader, whose sex is female, tends to be a mixture of male and female from the way they use their language, the way they appear in the public, and the way they become a leader. This article could open new discussions on similar issues since people start welcoming other genders in society. Also, this article will give another perspective that the chance of other genders, especially non-binary, will become leaders in society near future is very possible."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rizzah Aulifia
"Perubahan iklim yang mengancam berbagai lini kehidupan mendesak negara-negara untuk mewujudkan komitmennya dalam Perjanjian Paris, utamanya dalam menekan serta menurunkan rata-rata suhu global hingga 2°C, melalui kebijakan domestiknya masing-masing. Upaya mencapai target suhu tersebut salah satunya ditempuh dengan menekan laju emisi di tiap negara. Laju emisi mayoritasnya dihasilkan dari sektor energi melalui konsumsi listrik dan karenanya, pengurangan emisi di sektor ini menjadi langkah yang determinan. Singapura merupakan salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Paris sekaligus menjadi negara yang mengelola sekaligus mengkonsumsi energi hasil olahan gas alam secara intens. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk mengatur ulang strategi pemanfaatan gas alam agar tidak menghasilkan emisi dalam jumlah yang masif melalui kerangka Long-Term Low Emissions Development Strategy (LEDS). Profilnya sebagai negara pembangunan (developmental state) berikut dengan rekam jejak efektivitas dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut berimplikasi terhadap pengelolaan lingkungannya yang dilakukan secara otoritarian (authoritarian environmentalism). Tata kelola lingkungan seperti ini ditempuh dan dipertahankan dengan harapan Singapura dapat mencapai target kebijakan iklimnya secara efektif tanpa mengorbankan perekonomiannya. Temuan dalam riset ini adalah tata kelola authoritarian environmentalism yang berorientasi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam kebijakan iklim mampu memberikan manfaat bagi perekonomian dan lingkungan sehingga pengelolaan ini terus dipertahankan guna mencapai dasar cita-cita pembangunan Singapura.

Climate change that threatens all over existence urges all countries to realising their commitments in Paris Agreement, foremost in suppressing and lowering global average temperatures by 2°C through their own domestic policies. One of the measures to achieve the climate target is by pressing down the emissions growth rate in each country. Major contributions of emissions come from the energy sector by means of electricity consumption and hence, emissions reduction in this sector will be a prominent step. Singapore is one of the countries that signed Paris Agreement yet becomes a country that carries out as well as consuming energy that is generated by natural gas intensely. This condition insists the government to re-regulate the natural gas utilization strategy to pressing down its emissions through the Long-Term Low Emissions Development Strategy (LEDS) framework. Singapore’s country profile as a developmental state as well as its track record in achieving their policies effectively has implications for its environmental governance that is carried out in an authoritarian way (authoritarian environmentalism). This kind of environmental governance is undertaken and maintained with an aim that Singapore will realize its climate policies effectively without sacrificing its economy. The finding of this research shows that climate policies under authoritarian environmental governance, which is oriented toward economic growth and economic development can bring either economic or environmental benefits for Singapore, hence this management is being sustained to achieve Singapore’s primary vision of development."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>