Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mees, C. A.
Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1967
499 MEE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wurm, Stephen Adolphe, 1922-
Canbera : Facific Linguistics, 1978
499 WUR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gorys
Jakarta: UI-Press, 1991
PGB-Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Gusdi Sastra
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsono
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press , 2016
499.221 MAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gorys
Abstrak :
Penelitian ini berusaha untuk membuktikan bahwa apa yang sejauh ini dikenal sebagai bahasa Austronesia Purba sebenarnya tidak ada. Bahasa Austronesia purba purba sebagai produk penerapan teori Stambaum yang lahir di Eropa tidak memperhatikan situasi dan kondisi di kawasan yang terletak di Afrika - Amerika Selatan, dan antara Asia dan Australia. Bila faktor-faktor geografis pada zaman purba hingga zaman modern dimasukkan dalam semua perhitungan mengenai bahasa di kawasan ini, maka kesimpulan sebagaimana diturunkan untuk bahasa-bahasa Indo-Eropa Purba, tidak akan berlaku. Teori Stammbaum dapat diterima sejauh menyangkut bahasa Indo-Eropa. Tetapi bila teori itu diterapkan pada bahasa austronesia purba, maka akan terdapat kepincangan, karena tidak memperhitungkan faktor-faktor lain diluar bahasa, dan unsur bahasa tertentu belum diperhitungkan secara maksimal. Bahasa-bahasa Austronesia menurut hasil penelitian ini diturunkan dari tiga ras induk: Kaukasoid, Mongoloid, dan Negroid, sebagai hasil percampuran karena keadaan terpaksa oleh perubahan geologi atau perubahan permukaan bumi, maka ketiga bahasa induk itu sudah tersebar memasuki kawasan ini sejak zaman purba. Karena itu sejalan dengan perubahan geologi atau permukaan bumi, maka ketiga bahasa induk itu secara berangsur-angsur bercampur satu sama lain, yang akhirnya menurunkan bahasa-bahasa Austronesia. Dengan demikian bahasa-bahasa Austronesia bukan merupakan sebuah bahasa yang berhubungan secara genealogis, tetapi berhubungan secara areal, atau membentuk sprachbunde. Unsur bahasa yang diperhitungkan dalam mengadakan rekonstruksi adalah bentuk-makna, yang dianggap merupakan warisan atau pantulan dari bahasa proto tersebut. Andaikata ada unsur semacam itu terdapat dalam semua bahasa Austronesia, bukanlah karena hasil dari satu bahasa proto, tetapi warisan dari salah satu bahasa purba yang menurunkna bahasa-bahasa Austronesia tersebut, yang dalam hal ini dihipotesakan sebagai warisan dari unsur Kaukasoid. Konsekuensi dari masalah tersebut adalah bahwa teori-teori mengenai akar kata dalam bahasa Indonesia Purba yang menurunkan kata-kata dalam bahasa Indonesia Kontemporer juga harus ditinjau kembali. Rekonstruksi yang mungkin diadakan sebagai unsur proto adalah rekonstruksi unsur Kaukasoid. Dan rekonstruksi itu hanya sampai dengan kata proto, bukan sampai ke akar kata.
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Triwurjani
Abstrak :
Austronesian diaspora shows that around 60% of Austronesian-speaking people live in Indonesia. Among the locations with traces of Austronesian cultural remains is the information about the diaspora of Research reveals that the continuing megalithic tradition. The problem is: if megalithic culture was brought by migrants in which Austronesian period did the menhirs should be placed, the proto-historic or recent Austronesian; how is the dispersal pattern of the menhirs; and who were the bearers of the culture. Therefore we have to reveal the form and dispersal of the megalithic culture and Austronesian migration in Lima Puluh Koto Area. The aim of this research is revealing cultural history through the migrant's adaptation within the perspective of Austronesian diaspora. Thus information about the diaspora of the Austronesians and the ethnogenesis of Indoneisan nation can be recognized. Research reveals that the continuing megalithic tradition which is used the qualitative method and assumed base on archaeological remains at Lima Puluh Koto area is a distribution of menhirs, that forms clusters in accordance with nagari (state) at certain area, and they are dispersed up to the hilly area. Some of these menhirs have sacred function but there are also those with profane functions like marks of village, house yard, or street boundaries, as well as the marker of village or hamlet roads.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2016
930 ARKEO 36:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fautngil, Christ
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu pemetaan dan sebaran unsur-unsur leksikal bahasa-bahasa daerah di Lima wilayah kecamatan Kotamadya Jayapura dan sekitarnya. Pendekatan yang digunakan ialah perhitungan jarak kosa kata yang dikemukakan Seguy dengan persentase yang disarankan Guitar. Perhitungan ini diperkuat pula dengan penarikan garis-garis isoglos sebagaimana digunakan oleh Chambers & Trudgill. Interpretasi dipakai unsur-unsur bahasa, yaitu gejala-gejala kebahasaan, baik fonologis maupun morfologis dan latar belakang sejarah, geografi, dan sosial budaya. Hasil yang diperoleh antara lain (1) terdapat tujuh bahasa dalam lima wilayah kecamatan itu, (2) terdapat saling pengaruh antara bahasa-bahasa itu, (3) bahasa-bahasa yang ada sekarang ini merupakan hasil asimilasi dan hasil perkembangan bahasa-bahasa pada masa lalu. Dalam kaitan dengan tujuh bahasa itu, penelitian terdahulu menyatakan bahwa antara Kayu Pulau dan Tobati merupakan bahasa tersendiri, demikian halnya Kemtuk di Sabron dan Moi di Dosai-Hasil perhitungan jarak kosa kata dalam penelitian ini hanya sebesar 511 untuk Sabron-Dosai dan 54% untuk Kayu Pulau-Tobati. Terdapatnya rumpun bahasa Austronesia di Teluk Yos Sudarso, menurut penelitian terdahulu (yakni Orru, Kayu Pulau, dan Tobati), diasumsikan sebagai akibat pengaruh yang kuat dari sebelah barat, yakni pengaruh Ternate-Tidore melalui Raja Ampat dan Biak. Dengan pengaruh-pengaruh kuat tersebut, bahasa-bahasa di teluk itu yang dulunya diperkirakan serumpun dengan bahasa-bahasa di batik gunung Dobonsolo (yakni bahasa-bahasa Irian), akhirnya didominasi oleh rumpun Austronesia. Sebaran penduduk berdasarkan sejarah dimulai dari bagian timur, selatan, dan barat- Sebaran tersebut diperkirakan dalam dua tahapan besar, yakni kelompok timur, selatan, dan barat (dekat --> Demta) merupakan kelompok pertama dan kelompok yang datang dari daerah barat dan jaLinan kembali hubungan timur-barat seperti dikemukakan di atas sebagai kelompok kedua. Hubungan timur dan barat yang dekat masih berjalan terus hingga sekarang.
ABSTRACT This study has two main objectives: the mapping and distribution of lexical elements in five districts in Jayapura and the neighboring areas. This study used the technique created by Seguy for counting word distance, and word percentage created by Guiter (dialectometry). The dialectometry is also supported by techniques for drawing isglossis as used by Chambers and Trudgill. The interpretation of the results was based on linguistic phenomena both phonologically and morphologically, as well as and historical, geographical, and socio-cultural background. The results of the study are: (1) there are seven languages in the five districts, (2) there are linguistic influences among these languages, (3) the existing languages now are the results of the distribution of languages and the migration of the people in the past. In relation to seven languages, earlier studies claimed that the languages in Kayu Pulau and Tobati are separate languages and so are the Kemtuk language in Sabron and the Moi language in Dosai- The calculation and percentage of dialectometry is 51% for Sabron-Dosai and 64% for Kayu Pulau-Tobati. The languages in the Yos Sudarso Bay, that is, the Ormu language, the Kayu Pulau Language, and the Tobati language, according to earlier studies, belong to the Austronesian group because of the influences from western languages, like the Ternate-Tidore languages, which came through the Raja Ampat and Biak. Because of these strong influences, these languages around the bay, which were once the same group as those at the other side of Mount Dobonsolo namely the Papuan Languages, then changed to belong to the Austronesian group. The migration of people, according to history, began from the east, the south, and the west- This migration is thought to occur twice: the first group which is called the east, south, west group (Demta); the second group migration from the west and east as described above. The contact between east and west still exists today.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T 1857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada, 2000
499.12 PRO (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dianita Indrawati
Abstrak :
ABSTRAK
Makalah ini membahas refleksi konsonan Proto-Austronesia menjadi konsonan rangkap homorgan bahasa Madura dalam perspektif linguistik historis komparatif. Dalam bahasa Madura, konsonan rangkap atau gugus konsonan ada yang yang homorgan dan rangkap identik. Artinya, konsonan rangkap itu merupakan konsonan yang sama. Konsonan rangkap tersebut merupakan refleksi dari konsonan tunggal dan konsonan rangkap Proto-Austronesia. Hampir semua konsonan dalam bahasa Madura merupakan konsonan rangkap identik. Refleksi konsonan Proto-Austronesia menjadi konsonan rangkap bahasa Madura dapat melalui analogi, asimilasi, disimilasi, pewarisan linier, dan pewarisan dengan perubahan.
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>