Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muslim, translator
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Streptomisin adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral pada pasien TB paru kategori dua dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan dari streptomisin adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Tuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Penggunaan obat ini masih menjadi dilema, karena efek samping streptomisin dapat menyebabkan tuli sensorineural, sedangkan obat ini perlu diberikan pada penderita TB paru kategori dua dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang melibatkan 46 sampel, pasien TB paru setelah terapi Streptomisin sulfat yang mengalami penurunan pendengaran >15 dB pada frekuensi 8000 Hz sebanyak 12 sampel (26,1%) dan secara statistik bermakna.

ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a health problem in the world, especially in developing countries. Streptomycin is an aminoglycoside class of antibiotics that must be given parenterally in patients with category two of pulmonary tuberculosis and working to prevent the growth of extracellular organisms. Disadvantages of streptomycin is toxic side effects on the eighth cranial nerve that can cause vestibular dysfunction and / or loss of hearing. Ototoxic has long been known as a side effect of treatment with increasing medical and drugs more potent, ototoxic drugs list growing. Deafness due to ototoxic persistent can occur days, weeks or months after completion of treatment. The use of these drugs is still a dilemma, because the side effects of streptomycin can cause sensorineural hearing loss, whereas these drugs should be given to category two of pulmonary tuberculosis patients within a certain period. In this study, involving 46 samples, pulmonary tuberculosis patients after therapy Streptomycin sulfate experiencing hearing loss > 15 dB at a frequency of 8000 Hz as many as 12 samples (26.1%) and statistically significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Irma Nova Prihatini
"ABSTRAK
Latar belakang: Bising dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Selain intensitas bising, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah jenis bising. Jenis bising yang berbeda akan menyebabkan efek pendengaran yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan gambaran audiogram antara pekerja yang terpajan bising kontinu dan bising intermiten, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian Cross Sectional Comparative dilakukan pada pekerja bagian fabrication dan assembling di industri alat berat. Data yang diperoleh dari kuesioner dan rekam medis berupa umur, status pernikahan, masa kerja, kadar gula darah, tekanan darah, kebiasaan merokok, hobi, dan hasil pemeriksaan audiometri.
Hasil: Dari 167 orang pekerja, terdapat 15 orang (9%) yang mengalami peningkatan gambaran audiogram. Dari 15 orang pekerja tersebut, 13 orang (86,7%) terpajan bising kontinu dan 2 orang (13,3%) terpajan bising intermiten. Pekerja dengan umur > 40 tahun mempunyai risiko peningkatan gambaran audiogram sebesar lebih dari 4 kali lipat (OR = 4,44, 95% CI = 1,21-16,4, p = 0,016). Mereka yang memiliki masa kerja > 3,9 tahun berisiko lebih tinggi mengalami gambaran audiogram yang meningkat. Dan mereka yang mendapat pajanan bising kontinu dibandingkan bising intermiten memiliki risiko sebesar hampir 5 kali lipat mengalami peningkatan gambaran audiogram (OR = 4,73, 95% CI = 1,03-21,7, p = 0,030).
Kesimpulan: Umur yang tua, masa kerja yang lama, dan pajanan terhadap bising kontinu meningkatkan risiko terjadinya peningkatan gambaran audiogram pada pekerja.

ABSTRACT
Background: Noise may cause hearing disorder. Not only its intensity, the types of noise are also contributing factors that need to be considered. Different types of noise may cause different auditory effects. This study aimed to compare the audiograms between workers who are exposed to continuous noise and intermittent noise, along with its contributing factors.
Methods: A cross sectional comparative study was conducted on heavy equipment industry workers in fabrication and assembling department. Data that collected from questionnaires and medical records were age, marital status, work period, blood sugar level, blood pressure, smoking habbit, hobby, and the results of audiometric examination.
Results: Amongst 167 workers, there were 15 people (9%) who had an increase of audiogram image. Out of these 15 workers, 13 people (86,7%) exposed to continuous noise and 2 people (13,3%) exposed to intermittent noise. Workers at age above 40 had risk more than 4-fold of having an increase of audiogram image (OR = 4,44, 95% CI = 1,21-16,4, p = 0,016). Those who had work period more than 3,9 years were at high risk in having an increase of audiogram image. And those who were exposed to continuous noise compare to intermittent noise had risk nearly 5-fold of having an increase of audiogram image (OR = 4,73, 95% CI = 1,03-21,7, p = 0,030).
Conclusion: Old age, long working period, and exposure of continuous noise increase risk of an increased audiogram image on workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library