Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasan
Abstrak :
ABSTRAK Prevalensi H.pylori di Indonesia berbeda pada masing-masing daerah dan etnis di Indonesia. Prevalensi, faktor virulensi dan faktor risiko infeksi H.pylori di Indonesia timur belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data prevalensi infeksi H.pylori, faktor virulensi Cag Pathogenecity Island (Cag-PAI) yang dihubungkan dengan gambaran endoskopi dan histopatologi serta faktor risiko infeksi H.pylori di Indonesia timur. Penelitian ini menganalisis data secara retrospektif dari pengumpulan sampel di kota Kupang, Kolaka, Palu, Ternate dan Merauke. Data yang didapatkan berupa hasil wawancara, pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi, pemeriksaan histopatologi, dan pemeriksaan gen Cag-PAI pada kuman H.pylori. Data dari pemeriksaan rapid urease test, histopatologi dan dikonfirmasi dengan IHK mendapatkan angka prevalensi rata-rata adalah 16,6%. Prevalensi tertinggi didapatkan di Kupang (36,4%) diikuti Merauke (20%). Berdasarkan etnis prevalensi terbesar ditemukan pada etnis Timor (40%), etnis Bugis (20,8%) dan etnis Papua (20%). Gambaran endoskopi pada pasien dengan H.pylori positif yang paling banyak ditemukan adalah gastritis (64,7%) diikuti gambaran gastritis atrofik (26.5%) dimana proporsi gambaran gastritis atrofik lebih besar pada H.pylori positif. Pasien dengan H.pylori positif didapatkan memiliki derajat inflamasi dan atrofi yang lebih berat. Faktor virulensi Cag-PAI didapatkan di Kupang (39,4%), Merauke (20%) dan Kolaka (15,2%). Adanya faktor virulensi Cag-PAI secara signifikan bermakna terhadap derajat beratnya inflamasi dan atrofi (p<0.05). Faktor sosial ekonomi, sumber air, konsumsi alkohol dan merokok tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko infeksi H.pylori. Prevalensi H.yplori di Indonesia timur cukup tinggi jika dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Terdapat faktor virulensi Cag-PAI pada beberapa daerah di Indonesia timur yang berhubungan dengan derajat beratnya inflamasi dan atrofi gaster.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cusmarih
Abstrak :
ABSTRAK
Disuse atrofi merupakan jenis atrofi otot atau pengecilan otot yang mengacu pada penurunan dalam ukuran otot dalam tubuh.Berdasarkan dari hasil pengamatan bahwadisuse atrofi sering terjadi akibat tidak menggunakan otot atau pemutusan sinyal saraf ke otot. Kondisi ini sering terjadi setelah periode immobilisasipasca prosedur pembedahan besar, orang-orang dengan kaki di gips/traksi terpasang ORIF atau OREF. Oleh karena itu kurangnya menggunakan otot dan dampak yang diakibatkan oleh hal tersebut adalah pasien mengalami kelemahan yang pada akhirnya pasien tidak bisa untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik komparatif dengan pendekatan cross-sectional pada pasien paska operasi fraktur femur sebanyak 66 pasien di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya disuse atrofiadalahnyeridengan nilai p= 0,045 sedangkan untuk variabel yang lain pada pemodelan akhir dari multivariate adalah pengetahuan ROM dengan p=0,052, imobilisasi dngan p=0,052 dan motivasi dengan p=0,002. Berdasarkan hasil penelitian bahwa nyeri merupakan faktor yang paling mempengaruhi untuk terjadinya disuse atrofi pada pasien paska operasi fraktur femur. Kata kunci: Disuse atrofi, fraktur femur, imobilisasi, motivasi, dan pengetahuan ROM
ABSTRACT
Abstract Disuse atrophy is a type of muscle atrophy or muscle wasting that refers to a decrease in muscle size in the body. Based on the observation that disuse atrophy often occurs due to not using muscle or termination of nerve signals to muscle. This condition often occurs after immobilization period after large surgical procedure, people with legs in gypsy traction attached ORIF or OREF. Therefore the lack of muscle use and the impact caused by it is the patient experiencing weakness that ultimately the patient is unable to perform their daily activities. This study used a comparative analytic research design with cross sectional approach in post operative fracture patients as many as 66 patients in Indonesia. The results showed that the factors that influence the occurrence of disuse atrophy are pain with p value 0.045, while for other variables in the final modeling of multivariate is knowledge of ROM with p 0,052, immobilization with p 0,052 and motivation with p 0,002. Based on the results of the study that pain is the most influencing factor for the occurrence of disuse atrophy in post operative femur fracture patients. Keywords Disuse atrophy, femoral fracture, immobilization, motivation, and knowledge
2018
T49406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Firdausia
Abstrak :
Latar Belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat. Proses tersebut mengakibatkan penurunan volume, tidak hanya di substansia alba namun juga di substansia grisea. Laju atrofi tersebut berlangsung lebih cepat 0,5-1,3% per tahun dibandingkan orang normal 0,1-0,4% per tahun. Proses inflamasi dan atrofi tersebut menyebabkan semakin beratnya disabilitas pada pasien dan nantinya memengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara atrofi baik di substansia alba dan grisea dengan derajat disabilitasnya serta mencari faktor-faktor yang memengaruhi atrofi. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif potong lintang yang melibatkan 28 pasien MS. Seluruh pasien MS dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EDSS, pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal, dan MRI kepala kontras. Gambaran MRI potongan 3DT1 diambil dan dilakukan penghitungan volume otak dengan piranti lunak freesurfer 6.0. Hasil: Volume substansia alba maupun grisea pasien MS lebih rendah signifikan dibandingkan kontrol sehat (p<0,001 dan p=0,001). Untuk proporsi atrofi juga lebih banyak dibandingkan kontrol sehat. EDSS pasien dengan atrofi substansia alba berbeda bermakna dibandingkan dengan yang tidak atrofi (p=0,009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia alba adalah usia, usia onset, jenis kelamin, pendidikan, tipe MS, dan jumlah lokasi lesi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia grisea adalah jumlah lokasi lesi. Kesimpulan: Volume substansia alba dan grisea pasien MS lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. Atrofi substansia alba memengaruhi disabilitas pasien. ......Background : Multiple sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination in the central nervous system. The process resulted in a decrease in volume, not only in the white matter but also in the gray matter. The rate of atrophy is 0.5-1.3% per year faster than normal people 0.1-0.4% per year. These inflammatory and atrophic processes cause more severe disability in patients and later affect the quality of life of patients. This study aims to assess the relationship between atrophy both in gray and white matter with the degree of disability and to look for factors that influence atrophy. Methods : This research was a cross-sectional descriptive study involving 28 MS patients. All patients underwent history taking, physical examination and EDSS examination, laboratory tests of kidney function, and contrast head MRI. MRI images of 3DT1 pieces were taken and the brain volume was calculated using freesurfer 6.0 software. Results : The volume of white and gray matter of MS patients was significantly lower than healthy controls (p <0.001 and p = 0.001). For the proportion of atrophy also more than healthy controls. EDSS of patients with white matter atrophy was significantly different compared to those without atrophy (p = 0.009). Factors related to white matter atrophy are age, age of onset, sex, education, type of MS, and number of lesion locations. Factors associated with gray matter atrophy are the number of lesion sites. Conclusions: The volume of white and gray matter of MS patients is lower than that of healthy controls. Atrophy of the substance of the alba affects the disability of the patient.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardelia Nada
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Keilitis angular dan glositis atrofi merupakan manifestasi di rongga mulut akibat kekurangan nutrisi mikro seperti zat besi, vitamin B2, vitamin B12, niasin, dan folat. Salah satu kelompok yang paling rentan mengalami kekurangan nutrisi mikro adalah kelompok anak-anak dalam masa pertumbuhan. Tujuan: Melihat status gizi, keadaan keilitis angular dan glositis atrofi pada murid sekolah dasar di Desa Setu, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor tahun 2018. Metode: Penelitian deskriptif menggunakan desain studi observasional cross-sectional dengan mengambil data langsung pada partisipan murid Sekolah Dasar di Desa Setu tahun 2018. Perhitungan status gizi menggunakan pengukuran antropometri dan penilaian keadaan keilitis angular dan glositis atrofi dengan pemeriksaan klinis. Hasil: Total partisipan yang sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 200 partisipan. Nilai status gizi sebanyak 155 (77,5%) partisipan adalah normal, 15 (7,5%) partisipan adalah kurus, 6 (3%) partisipan adalah sangat kurus, 14 (7%) partisipan adalah gemuk, dan 10 (5%) partisipan adalah obesitas. Partisipan dengan kelainan pada sudut mulut berupa keilitis angular berjumlah 6 (3%) partisipan. Partisipan dengan kelainan di dorsum lidah berupa glositis atrofi berjumlah 1 (0,5%) partisipan. Kesimpulan: Status gizi pada murid sekolah dasar di Desa Setu mayoritas memiliki status gizi normal dengan jumlah partisipan yang mengalami keilitis angular berjumlah 6 (3%) partisipan dan glositis atrofi berjumlah 1 (0,5%) partisipan.
ABSTRACT
Background: Angular cheilitis and atrophic glossitis are manifestations in oral region due to lack of micronutrients such as iron, vitamin B2, vitamin B12, niacin, and folate. The group of children in their growth period is one of some groups that are the most vulnerable to micronutrient deficiencies. Objective: To observe nutritional status, angular cheilitis and atrophic glossitis on elementary school students in Setu Village, Jasinga District, Bogor Regency in 2018. Method: This research used descriptive study with cross-sectional observational design through taking direct data on the participants of children in 2018. The calculation of nutritional status uses anthropometric measurements and the assessment of angular cheilitis and atrophic glossitis by clinical examination. Result: The number of participants corresponding to the inclusion criteria was 200 participants. The nutritional status of 155 (77.5%) participants was normal, 15 (7.5%) participants was thin, 6 (3%) participants was very thin, 14 (7%) participants was fat, and 10 (5%) participants was obese. Participants with abnormalities on the corners of  the mouth in the form of angular cheilitis amounted to 6 (3%) participants. Participants with abnormalities on the dorsum of tongue in the form of atrophic glossitis amounted to 1 (0.5%) participant. Conclusions: The nutritional status of the elementary school students in Setu village, the majority had normal nutritional status with the number of participants with angular cheilitis 6 (3%) participants and glossitis atrophic 1 (0.5%) participant.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Hermawan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Penurunan fungsi kognitif terjadi seiring bertambahnya usia dengan gangguan kualitas hidup yang menyertai. MRI kepala dapat melihat proses neurodegeneratif struktural dan patologi vaskular otak sebagai faktor etiologis melalui gambaran atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri. Kekuatan korelasi temuan MRI kepala tersebut terhadap nilai fungsi kognitif perlu diteliti lebih lanjut. Metode : Uji korelasi dengan pendekatan potong lintang pada skor derajat temuan atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri pada MRI kepala terhadap nilai fungsi kognitif pada 32 subyek dengan gangguan fungsi kognitif dan penyakit serebrovaskular non hemmorhagik. Hasil : Terdapat korelasi negatif yang signifikan
ABSTRACT
"Background and purpose Cognitive impairment occurs with age along with life quality impairment. Brain MRI detects neurodegenerative and brain vascular pathology associated with cognitive impairment through various findings such as , white matter hyperintensity and infarction. Correlation between those MRI abnormalities to the cognitive impairment value needs to be examined. Method Correlative test in cross sectional study on the degree score of cerebral atrophy, white matter hyperintensity, and infarction in brain MRI against cognitive function value in 32 subjects with cognitive function impairment and non hemmorhagic cerebrovascular disease. Result There is significant negative correlation p
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Gangguan fungsi kognitif, mulai dari gangguan ringan hingga demensia, yang prevalensinya semakin meningkat seiring dengan peningkatan angka harapan hidup, akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Hingga saat ini, minimnya pemanfaatan pemeriksaan patologi untuk menegakkan diagnosis definitif menjadikan pemeriksaan fungsi luhur sebagai pemeriksaan baku emas dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Seiring kemajuan teknologi kedokteran, MRI kepala mulai digunakan secara luas untuk menilai proses neurodenegeratif dan patologi vaskular otak yang berkorelasi kuat dengan gangguan fungsi kognitif. Penilaian temuan kelainan dengan metode skala pengukuran visual yang menggabungkan temuan atrofi dan lesi vaskular terbukti memberikan hasil yang baik dalam penegakkan diagnosis dan prediksi prognosis gangguan fungsi kognitif. Titik potong baku dan valid untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi adanya gangguan fungsi kognitif perlu diteliti untuk meningkatkan peran MRI kepala dalam penilaian fungsi kognitif.Metode: Uji deskriptif dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui nilai titik potong skor atrofi serebri, skor lesi substansia alba, dan skor infark serebri pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan data pemeriksaan fungsi kognitif dan MRI kepala terhadap 76 subjek penelitian dalam kurun waktu Januari 2014 hingga Desember 2016.Hasil: Skala pengukuran visual dapat menggambarkan perubahan struktur otak pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Dengan perhitungan receiver operation curve ROC dari skor atrofi, lesi vaskular, dan skor visual gabungan pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan didapatkan bahwa skor visual gabungan memiliki nilai akurasi diagnostik terbaik dengan nilai AUC 78,3 95 IK 68,1 -88,6 . Kemudian didapatkan titik potong skor visual gabungan sebesar 8,5 sensitivitas 55,6 , spesifisitas 82,5 dengan tingkat spesifisitas tertinggi dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan.Kesimpulan: Skor visual gabungan mempunyai nilai akurasi diagnostik sedang dan dapat digunakan pada praktik klinis dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan
ABSTRACT Background and objective Impaired cognitive function, ranging from mild impairment to dementia, whose prevalence increases with increasing life expectancy, will affects the quality of life. Until now, the lack of utilization of pathology examination to make a definitive diagnosis makes the neuropsychological screening instruments as a gold standard examination with good sensitivity and specificity. As medical technology advances, head MRIs are beginning to be widely used to assess neurodegenerative processes and brain vascular pathology that are strongly correlated with cognitive impairment. Assessing findings of abnormalities by a visual measurement scale method that combines the findings of atrophy and vascular lesions proved to provide good results in the diagnosis and prediction of cognitive function impairment prognosis. Standard and valid cutoff points for diagnosis and predicting cognitive dysfunction need to be investigated to improve the role of head MRI in cognitive function assessment. Methods A descriptive test with a cross sectional approach to determine the value of the cutoff point of cerebral atrophy, white matter lesion, and cerebral infarct score in patients with dementia and mild cognitive impairment. The examination was performed based on cognitive function and head MRI examination data on 76 subjects in the period from January 2014 to December 2016. Result The scale of visual measurements can describe changes in brain structure in patients with cognitive impairment. With the calculation of receiver operation curve ROC of atrophic scores, vascular lesions, and combined visual scores in patients with dementia and mild cognitive impairment, AUC 78.3 95 CI 68.1 88.6 was obtained with cut point cut point 8.5 with the highest level of specificity sensitivity 55.6 , specificity 82.5 in distinguishing patients with dementia and mild cognitive impairment. Conclusion The combined visual score cutoff point has a moderate diagnostic value of accuracy and can help to distinguish patients with dementia and mild cognitive impairment in clinical practice.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Mediciani
Abstrak :
ABSTRAK Epilepsi lobus temporal mesial adalah sindrom epilepsi yang banyak diderita oleh dewasa yang sering mengalami refrakter dalam pengobatan. Atrofi hipokampus yang terlihat melalui MRI kepala dapat ditemukan sebanyak 87% pada pasien epilepsi lobus temporal mesial dan memiliki respon yang baik dengan operasi epilepsi. Salah satu syarat operasi epilepsi adalah EEG monitoring untuk mencari EEG iktal untuk mencari fokus epileptik, walaupun sudah didapatkan adanya gelombang interiktal sebelumnya. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan dan kesesuaian antara abnormalitas gelombang EEG dengan sisi atrofi hipokampus dan untuk mengetahui prevalensi atrofi hipokampus pada epilepsi lobus temporal mesial. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 37 subyek epilepsi lobus temporal mesial, yang terbukti secara klinis dan EEG. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala 1,5T untuk melihat ada atau tidaknya atrofi hipokampus secara visual. Kemudian dibandingkan antara abnormalitas gelombang EEG interiktal dengan sisi atrofi hipokampus. Onset usia bangkitan, frekuensi bangkitan, riwayat kejang demam, lama menderita epilepsi dan penggunaan obat entiepilepsi dianalisis sebagai data demografi klinis. Hasil: Prevalensi atrofi hipokampus sebesar 64,8% dengan 64,8% subyek ditemukan gambaran EEG berupa gelombang epileptiform dan 45,8% gelombang lambat. Didapatkan kesesuaian yang kuat antara lateralisasi EEG interiktal, yaitu gelombang epileptiform, dengan MRI (p 0,000; nilai kappa 1,00) dan didapatkan keseuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan atrofi hipokampus (p 0,500; nilai kappa 0,689, p 0,008). Simpulan: Pada penelitian ini, didapatkan keseuaian yang kuat antara lateralisasi gelombang epileptiform dengan sisi atrofi hipokampus dan kesesuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan sisi atrofi hipokampus.
ABSTRACT Mesial temporal lobe epilepsy (mTLE) is the most common epilepsy syndrome in adults and often refractory in medical treatment. The Magnetic resonance imaging (MRI) showed hippocampal atrophy present in 87% patients with mesial temporal lobe epilepsy and have good respons with surgery. EEG monitoring is needed to find ictal EEG although interictal EEG already obtained as one of the requirements of epilepsy surgery for localize the epileptic region. Objective: To investigate the concordance between abnormalities EEG and side of hippocampal atrophy in patients with mesial temporal lobe epilepsy. To determine prevalance of hippocampal atrophy. Methods: We reviewed 37 consecutive patients with mesial temporal lobe epilepsy defined by clinical and EEG criteria and had 1,5T MRI visually analyzed by radiologist. We compared the interictal EEG and side of hippocampal atrophy. Age of seizure onset, seizure frequency, history of febrile seizure, antiepileptic drug and duration of epilepsy were analyzed as clinical demographic data. Results: The prevalence hippocampal atrophy was 64,8%. With 64,8% had epileptiform discharge and 45,8% had slow wave associated with hippocampal atrophy. There was significant concordance between MRI lateralization and interictal EEG (p 0,000, Kappa value 1,00). There was weak concordance between hippocampal atrophy and focal slow wave (p 0,500; Kappa value 0,689, p 0,008). Conclusions: We found strong concordance between MRI lateralization and interictal EEG in patients with mTLE and weak concordance between hippocampal atrophy and interictal slow wave.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library