Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfiana Qisthi
Abstrak :
ABSTRAK
Sampai saat ini, Indonesia masih belum menjadi anggota dari Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Kondisi ini mengakibatkan penanganan pencari suaka di Indonesia tidak memiliki kerangka hukum yang yang memadai dalam menjamin perlindungan hak-hak mereka ketika masuk ke wilayah Indonesia. Penanganan Pencari Suaka di Indonesia masuk kedalam lingkup keimigrasian, yang mengkategorikan pencari suaka sebagai Imigran Ilegal, karena masuk ke wilayah Indonesi tanp adokumen yang sah. Pengkategorian sbagai Imigran Ilegal, menjadikan Pencari Suaka berisiko untuk ditahan di Rumah Detensi Imigrasi. Penahanan di Rumah Detensi Imigrasi ini bisa bertahun-tahun lamanya tanpa kepastian yang jelas. Penyiksaanpun kerap terjadi selama masa penahanan. Skripsi ini menjelaskan mengenai perlindungan pencari suska ditinjau dari instrumen hukum internasional yang dianalisis melalu peristiwa penahanan pencari suak yang terjadi di Indonesia. Melalui metode penelitian hukum normatif dan metode analisis pendekatan yuridis normatif dengan cara menganalisa data kualitatif. Analisis ini menyimpulkan bahwa tindakan penahanan dalam menangani pencari suak a akibat dari ketiadaan kerangka hukum nasional yang mengatur secra akhusus mengenai penanganan pencari suaka yang masuk ke wilayah Indonesia merupakan pelanggaran hak asasi manusia baik dari instrumen hukum internasional maupun nasional.
ABSTRACT
until now, Indonesia is still non-signatory the Refugee Convention 1951 and Protocol 1967. This condition cause there is no national legal frameworks which ensure the protection in handling the asylum seekers which enter Indonesia. So that, Asylum Seekers handling in Indonesia fall into the Immigration framework, which categorizes Asylum Seekers as the Illegal Immigrant because of illegal entry (undocumented). Categorizing as Illegal Imiigrant makes Asylum Seekers in danger. They subjected to detention in Immigration Detention. This detention could be for years without certainty. Torture often occur along the detention. This thesis explain the protection of the asylum seekers by the detention case that occur in Indonesia, through normative legal research method of method of analyzing the data is qualititative data analysis. This analysis concluded that the detention as in handling asylum seekers is a result of the absence of specific national framework in handlig asylum seekers who enter Indonesian territory, and this detention is arbitrary and violate human rights.
Universitas Indonesia, 2016
S65314
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Liliansa
Abstrak :
Being a non-party to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees (“1951 Refugee Convention”) and 1967 Protocol relating to the Status of Refugees (“1967 Protocol”), Indonesia does not have legal obligations to provide permanent resettlement for asylum seeker and/or refugee. However, as a transit country for those seeking shelter in Australia, Indonesia undergoes a myriad of issues resulting from illegal entrance by asylum seeker and/or refugee. Besides having neither legal framework nor domestic mechanism to handle asylum seekers and/or refugee, Indonesia’s immigration law identifies every foreigner including asylum seeker and refugee who unlawfully enter Indonesia’s territory into the same box as illegal migrant. It then leads to the arrest of asylum seeker and/or refugee to be put in an over-capacity detention center or other places. This paper will analyze various issues related to asylum seeker and refugee in Indonesia and to weigh whether it is indispensable for Indonesia to accede to the 1951 Refugee Convention and its 1967 Protocol.

Sebagai negara yang tidak menjadi peserta dari Convention relating to the Status of Refugees (“Konvensi Pengungsi”) dan Protokolnya, Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan penempatan permanen bagi pencari suaka dan/atau pengungsi. Namun demikian, sebagai negara transit bagi mereka yang mencari suaka ke Australia, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan akibat illegal entrance yang dilakukan oleh pencari suaka dan/atau pengungsi. Di samping Indonesia tidak memiliki kerangka hukum ataupun mekanisme untuk mengatasi pencari suaka dan/atau pengungsi, hukum imigrasi Indonesia mengkategorikan setiap orang asing termasuk pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia dengan melawan hukum sebagai migran illegal. Hal ini mengakibatkan penahanan pencari suaka dan/atau pengungsi yang kemudian ditempatkan di rumah detensi atau tempat lain yang sudah melebihi kapasitas jumlah orang. Tulisan ini mengkaji pelbagai permasalahan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia serta menilai ada atau tidaknya urgensi bagi Indonesia untuk melakukan aksesi atas Konvensi Pengungsi dan protokolnya.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrul Rizal Razak
Abstrak :

Tulisan ini menganalisis pengambilan kebijakan militer dalam menanggulangi isu Irregular Maritime Arrival (IMA) di Australia dalam Pemilu Australia tahun 2013. Beberapa kajian terdahulu yang membahas topik ini memberikan gambaran dari sudut pandang sekuritisasi, bahwa telah terjadi proses sekuritisasi isu IMA sehingga penanganan terhadap ancaman IMA membutuhkan intervensi angkatan perang Australia melalui operasi militer di perbatasan. Namun, dalam konteks Pemilu Australia 2013, kajian-kajian terdahulu tersebut belum menjelaskan mengapa isu ini disekuritisasi oleh Koalisi Partai Liberal-Nasional sehingga menghasilkan kebijakan yang koersif dalam penanganan IMA. Dengan menggunakan strands of securitization, tulisan ini menganalisis tujuan apa saja yang ingin dicapai oleh aktor sekuritisasi dari sekuritisasi isu IMA di Australia. Temuan tulisan ini menunjukan bahwa sekuritisasi yang dilakukan sejak masa kampanye hingga periode Pemerintahan Tony Abbot ditujukan untuk mengangkat isu IMA dalam agenda keamanan nasional karena kedaruratan isu ini dan legitimasi atas diambilnya tindakan luar biasa melalui Operation Sovereign Borders (OSB) untuk mengeliminir ancaman dari kedatangan imigran ilegal ke Australia. Melalui OSB, pemerintah juga berharap dapat memunculkan efek penggentaran kepada para pencari suaka yang berpotensi datang secara ilegal ke Australia melalui laut.


This article analyzes military policy making made by Australian Governmentto tackle the issue of Irregular Maritime Arrival (IMA) in Australia during the Australian Federal Election in 2013. Some of existing studies on the topic illustrate from the point of view of securitization, that IMA issue has been securitized and requires the intervention of the Australian army through millitary operation in the Australian border. However, in the context of the 2013 Australian Federal Elections, these earlier studies have not explained the objectives of securitization resulting in an assertive policy towards IMA. By employing the strands of securitization concept, this paper analyzes what objectives the securitizing actor wants to achieve from the securitization of IMA in Australia. The findings of this paper indicate that the securitization was aimed at raising the issue of illegal immigrants on the national security agenda due to the emergence of this issue and to gain legitimacy of extraordinary measures to eliminate the threat possesed by IMA. This securitization also aimed to create deterrence effect towards the asylum seekers who are planning to go to Australia by boat illegally.

2019
T52938
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyra Dewanti Kumala Raden
Abstrak :
Indonesia sebagai negara bukan anggota dari Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi (Konvensi Pengungsi) sering kali disalahkan atas ketidakmampuannya dalam pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak. Posisi hukum suatu negara terhadap suatu konvensi merupakan landasan dari terbentuknya kewajiban negara tersebut atas ketentuan yang terdapat didalamnya. Adanya keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi hak asasi manusia lainnya menyebabkan ketidakpastian atas standarisasi pemenuhan hak pendidikan anak berdasarkan statusnya sebagai pencari suaka maupun pengungsi. Maka, berdasarkan masalah ini, peneliti melakukan penelitian berdasarkan metode penelitian hukum normatif kualitatif melalui studi kepustakaan. Selanjutnya penemuan atas penelitian bahwa dalam hal kewajiban negara bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi terhadap hak pendidikan anak, terdapat 2 kewajiban yaitu penerimaan berdasarkan non-refoulement dan penghormatan atas hak asasi manusia yang keduanya merupakan bagian dari hukum adat internasional. Sebagaimana hasil penelitian, seharusnya komunitas internasional membantu secara aktif upaya pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak melalui kontribusi nyata baik secara langsung maupun tidak langsung dan bukannya menuntut pemenuhan hak tersebut secara sepihak kepada negara-negara bukan pihak, yang dalam hal ini salah satunya adalah Indonesia. ......Indonesia as a non-party to the 1951 Convention on the Status of Refugees (the Refugee Convention) is often blamed for its inability to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees. The legal position of a country towards a convention is the basis for the formation of the country's obligations for the provisions contained therein. The existence of Indonesia's participation in another human rights conventions causes uncertainty over the standardization of the fulfillment of children's education rights based on their status as asylum seekers or refugees. Therefore, based on this problem, the researcher conducts research based on qualitative normative legal research methods through literature study. Furthermore, the findings from the research show that in terms of the obligations of a country that is not a party to the Refugee Convention towards  children's education rights, there are 2 obligations, namely acceptance based on non-refoulement and respect for human rights, both of which are parts of international customary law. As the research results, the international community should actively assist efforts to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees through real contributions, either directly or indirectly, instead of demanding the fulfillment of these rights unilaterally to non-parties, which in this case is Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library