Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Rufinus
"ABSTRAK
Konduktivitas termal k adalah harga konstanta proporsionalitas dari suatu zat atau material padat, dimana jika k berharga nol maka material tidak dapat menghantar panas, kemudian semakin tinggi harga k kemampuannya semakin tinggi menghantar panas. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa lagging efficiency untuk fibreglass besarnya 64, 69% dan untuk asbestos besarnya 38, 36%, jadi bisa disimpulkan fibreglass lebih baik dari asbestos sebagai isolasi. Kemudian hasil lainnya yaitu hasil analisis diperoleh untuk perubahan tekanan dan temperatur uap sebagai media penghantar panas yang dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan signifikan untuk harga konduktivitas termal k. Untuk fibreglass harga k= 0,170-0,298 W/mk dan untuk asbestos harga k= 0,268-0,762 W/mK. Jadi disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh tekanan dan temperatur uap. Pemakaian bahan yang tepat untuk perpindahan panas atau mengisolasi panas akan dapat menghemat kerugian-kerugian terjadi."
Medan: Politeknik Negeri Medan, 2017
338 PLMD 20:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bismo Sanyoto
"Setelah IARC (The International Agency for Research on Cancer) pada tahun 1977 menyatakan bahwa asbes putih (chrysotile) memiliki sifat carcinogenic, penggunaannya mulai dilarang di negara industri maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, Chili, Arab Saudi dan negara lain. Sejak saat itu perdagangan asbes putih bergeser ke negara-negara berkembang. Saat ini, WHO memperkirakan sekitar 125 juta orang di seluruh dunia terpapar asbes dan 90.000 orang diantaranya akan meninggal dunia setiap tahun akibat penyakit asbestosis, kanker paru dan mesothelioma. Kanada mengekspor 98% produksi asbes putihnya ke 85 negara dan menjadikannya negara pengekspor asbes putih terbesar ke-3 di dunia. Pemerintah Kanada melalui kampanye "safe use of asbestos" telah menggagalkan perundingan Konvensi Rotterdam, memanipulasi laporan penelitian organisasi internasional, melobi pemerintah negara lain untuk mengimpor asbes putih, melawan kebijakan larangan impor asbes putih melalui WTO serta membiayai institusi pro-asbes putih. Hal ini sangat ironis mengingat Kanada telah meratifikasi Konvensi ILO no. 162/ 1986 tentang Asbes, membatasi penggunaan asbes putih di negaranya sendiri (Hazardous Product Act), serta menganggap asbes putih sebagai bahan beracun berbahaya (Undang-undang Lingkungan Hidup Kanada). Pengabaian Kanada terhadap kampanye "Ban on Asbestos" dari Serikat Buruh Internasional mengindikasikan adanya faktor-faktor domestik yang sangat kuat. Penulis menggunakan teori-teori yang berasal dari pemikiran Liberalisme seperti Complex Interdependence, Public Choice Theory dan Public Decision Making Theory dan konsep "Creeping Normalcy" untuk menjelaskan motif ekonomi-politik dari pemerintah Kanada untuk memilih kebijakan luar negeri yang mendukung penggunaan dan perdagangan internasional asbes putih. Melalui strategi penelitian kualitatif dan kategorisasi data, penelitian ini akan mengungkapkan faktor-faktor domestik yang mendorong pemerintah Kanada untuk mengambil kebijakan tersebut. Isu asbes putih ternyata sangat kompleks dan menyangkut isu-isu yang sensitif, bahkan di dalam The Canadian Minerals Yearbook, asbes putih dimasukkan ke dalam kategori "Rahasia". Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan kesadaran baru bagi masyarakat khususnya yang berpotensi menjadi korban asbes di Indonesia (5,5 juta buruh sektor konstruksi dan 8 juta anggota rumah tangga pengguna asbes putih) untuk dapat mengambil pelajaran dan tindakan politik agar tidak lagi menggunakan asbes putih dan menekan pemerintah Indonesia agar segera menghentikan impor asbes putih dan tidak lagi mendukung industri asbes putih.

After IARC (The International Agency for Research on Cancer) in 1977 stated that chrysotile is carcinogenic, the use of chrysotile started to be banned in industrialize countries such as United States, European Union, Australia, Japan, Chile, Saudi Arabia and other countries. Since then, chrysotile trade shifted to developing countries. Nowadays, WHO estimated that around 125 million peoples around the world has been exposed by asbestos and 90.000 peoples among them will be dead every year because of asbestosis, lung cancer and mesothelioma. Canada export 98% of asbestos product to 85 countries and Canada becomes the 3rd biggest asbestos exporting country in the world. The Government of Canada through "Safe use of asbestos" campaign was veto the Rotterdam Convention, manipulating scientific research of international organization, lobbying the governmment of other countries to keep on importing asbestos, fighting for other country" policy to ban on asbestos through WTO, and giving fund to asbestos supported institutions. This is very ironic considering that Canada itself had ratify ILO Convention no. 162/ 1986 on asbestos, limiting the use of asbestos in their country through Hazardous Product Act, and treating asbestos as dangerous substances under the Canada Environment Act. Canada rejection on the "Ban on Asbestos" campaign organized by international trade union indicating that there are strong domestic factors. Writer use theories from Liberalism thought such as "Complex Interdependence", "Public Choice Theory", "Public Decision Making Theory", and "Creeping Normalcy" concept to explain political-economy motives from the Government of Canada of choosing foreign policy that support the use and trade of asbestos internationally. Through qualitative research strategy and data categorization, this research will explain domestic factors that makes Canada Government choosing that policy. The issue of chrysotile actually becomes very complex and correlated to sensitive issues, moreover in the Canadian Minerals Yearbook, chrysotile has been put under the "secret" category. Writer expect that this research can give awareness for society especially for those potential victims of asbestos in indonesia (5,5 million workers in construction sector and 8 million households that using chrysotile) to learn and take political act to stop using chrysotile and urged the government of Indonesia to stop importing chrysotile and no longer supporting asbestos industry."
2009
T26238
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Adi Prasetya
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kampas rem cakram kendaraan bermotor dengan sifat fisis dan sifat kimia yang baik, menggunakan silika dari sekam padi sebagai bahan pengganti asbes. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan Acak Lengkap (RAL) nonfaktorial, setiap perlakuan diulang 3 (tiga) kali. Faktor tunggal ukuran partikel silika (50 mesh, 100 mesh, dan 200 mesh). Parameter yang diamati meliputi ketahanan aus, kekerasan, ketahanan rekat, dan ketahanan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran partikel silika untuk kampas rem cakram kendaraan bermotor yang dihasilkan memenuhi spesifikasi kampas rem cakram kendaraan bermotor dipasaran. Kampas rem cakram kendaraan bermotor terbaik yang memenuhi spesifikasi di pasaran adalah ukuran partikel silika 100 mesh (U2) dengan ketahanan aus 0,286 cm³/Nm, kekerasan 24 kg/mm², ketahanan rekat 80 kg/cm ² dan ketahanan air 2,69%"
Yogyakarta: Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, 2016
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Paolin Kanaga
"ABSTRAK
Stress oksidatif merupakan dasar dari berbagai penyakit degeneratif dan kanker, termasuk asbestosis dan mesotelioma. Kedua penyakit tersebut terjadi akibat terinhalasinya serat asbes dalam jangka waktu lama dan jumlah pajanan yang tinggi. Penelitian potong lintang di Sekretariat Buruh Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan dan kadar vitamin C, E dengan kadar isoprostan. Lima puluh dua subjek yang bekerja di pabrik asbes selesai mengikuti seluruh protokol penelitian. Hasil menunjukkan bahwa asupan vitamin C dan kadar vitamin E berkorelasi negatif dengan kadar isoprostan, sedangkan asupan vitamin E dan kadar vitamin C berkorelasi positif dengan kadar isoprostan pekerja pabrik asbes. Korelasi tersebut secara statistik tidak bermakna. Penelitian lanjut diperlukan untuk menilai kadar isoprostan secara series, sehingga bila ada peningkatan yang signifikan dapat segera dikethui.

ABSTRACT
Oxidative stress is the base of various degenerative diseases and cancers, including asbestosis and mesothelioma. Both of them occur due to prolonged inhalation of asbestos fibers and high level of exposure. A cross-sectional study at a labor secretariat in October 2014 was performed to assess the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and isoprostane level. Fifty two subjects working at an asbestos factory finished the study. The result showed that vitamin C intake and vitamin E level were negatively correlated with isoprostane level. Meanwhile, vitamin E intake and vitamin C level were positively correlated with isoprostane level in asbestos factory workers. These correlations were statistically insignificant. Asbestos factory workers should be educated to increase their intakes of vitamin C and vitamin E."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Zuainah Saswati
"ABSTRAK
Serat asbes yang terinhalasi masuk ke dalam alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan produksi reactive oxigen spesies (ROS) yang dapat memicu terjadinya reaksi inflamasi. Interleukin 6 merupakan penanda reaksi inflamasi akibat pajanan serat asbes. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang bekerja sebagai scavenger ROS. Vitamin C juga dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi NFқB. Vitamin E selain dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi JAK/STAT3 dan NFқB, juga dapat menghambat aktivitas COX2 dan LOX5. Penelitian potong lintang di sekretariat serikat buruh pabrik asbes X Kabupaten Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan vitamin C, E dengan kadar interleukin 6 pada pekerja pabrik asbes. Lima puluh dua pekerja pabrik asbes berhasil menyelesaikan protokol penelitian. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan vitamin C dengan kadar IL-6 dan antara asupan vitamin E dengan kadar IL-6. Terdapat korelasi positif antara kadar vitamin C dengan kadar IL-6 (r = 0,31) dengan p <0,05, namun tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin E dengan kadar IL-6.

ABSTRACT
Asbestos fibers that are inhaled into the alveoli cause increased production of reactive oxygen species (ROS) which may trigger inflammation reaction. Interleukin 6 (IL-6) is a marker of inflammation reaction caused by asbestos fibers exposure. Vitamin C and vitamin E are antioxidants acting as ROS scavengers. Vitamin C can also inhibit the activity of transcription factor NFқB. Vitamin E can inhibit the activities of transcription factors JAK/STAT3 and NFқB as well as the activities of COX2 and LOX5. A cross-sectional sudy at a labor union secretariat in Karawang Regency in October 2014 was conducted to evaluate the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and level of IL-6 in asbestos factory workers. Fifty two asbestos factory workers finished the study. The result showed no significant correlation between vitamin C intake and IL-6 level or between vitamin E intake and IL-6 level. There was a moderate positive correlation between vitamin C level and IL-6 level (r = 0.31, p <0.05), but there was no correlation between vitamin E level and IL-6 level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library