Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risdi Ikhsan
Abstrak :
Penelitian dilakukan untuk melihat clinical pathway dan perhitungan cost of treatment apendisitis di RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh Sumatera Barat tahun 2012. Cost of treatment adalah perhitungan terkait biaya langsung (mempergunakan Activity Based costing) dan tak langsung (dimodifikasi dengan metoda Simpel Distribusi), merupakan biaya perawatan atau tindakan layanan per diagnosa penyakit sesuai clinical pathwaynya. Casemix beserta komplikasi dan komorbiditasnya, berpengaruh terhadap besaran biaya layanan. Hasilnya ; clinical pathway apendisitis dapat disusun sesuai kelompok DRG, terdapat 4 kelompok diagnosa : apendisitis murni, apendisitis murni + penyerta, apendisitis komplikasi , apendisitis komplikasi + penyerta. Hasil hitung menunjukkan biaya rawatan semakin meningkat sesuai dengan komplikasi dan komorbiditasnya. Biaya termahal adalah pada tahap operasi dan komponen biaya terbesar adalah obat dan alat kesehatan dalam satu kali perawatan apendisitis. ...... The study was conducted to confirm at clinical pathways and calculate the treatment cost of appendicitis by 2012 at the Dr. Adnaan WD Hospital, Payakumbuh city of West Sumatra. Treatment Cost consist of direct costs (using activity based costing) and indirect (modified by Simple Distribution method), which is the cost of treatment or service actions to diagnosis of the disease according with clinical pathway. Casemix is a mix of cases with complications and comorbidities, affect the amount of the service fee. The result; clinical pathways of appendicitis can be formed according to DRG group based on its complications and comorbidities. There are 4 groups of diagnosis: pure appendicitis, pure + comorbid appendicitis, complication appendicitis, complication + comorbid appendicitis. The results showed us the cost of treatment are increasing according to its complication and comorbidities. Highest costs are in the operational phase, and the largest cost component is the cost of drugs and medical devices in one treatment appendicitis
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Septia Bintang Kinanti
Abstrak :
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis yang biasa terjadi karena disebabkan oleh infeksi atau obstruksi. Pemberian antibiotik dapat menurunkan resiko infeksi pada luka operasi. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data penggunaan antibiotika empiris pada pasien apendisitis di Ruang Perawatan RSAL Dr. Mintohardjo selama tahun 2014 dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis dan interaksi obat. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik empiris dari rekam medis pasien apendisitis dengan metode retrospektif dengan desain penelitian cross- sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling. Populasi penelitian berjumlah 130 pasien, dan 111 pasien diterima sebagai sampel penelitian. Pada penilaian terhadap jumlah pasien apendisitis, terdapat 100% pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien; 83,78% pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi; 100% pasien mendapatkan antibiotik tepat obat; 97,30% pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat, dan 100% pasien tidak mengalami interaksi obat. Sehingga dapat disimpulkan pengobatan antibiotik empiris pada pasien apendisitis di RSAL Dr. Mintohardjo hampir semua rasional.
Appendicitis is an inflammation of the appendix vermiformis commonly happened because it is caused by an infection or obstruction. Antibiotics can reduce the risk of infection in the surgical wound. This study aimed to obtain empirical data on the use of antibiotics in patients with appendicitis at Inpatient Unit Hospital Dr. Mintohardjo. This research was conducted to obtain data on the use of empiric antibiotics in appendicitis patients at Inpatient Unit Hospital Dr. Mintohardjo during 2014 and evaluate rationality of the administration through the appropriate patient, appropriate indication, appropriate drug, appropriate dose, and drugs interaction. This retrospective cross-sectional study was done by collecting empiric antibiotics usage data from medical record of appendicitis patients on 2014 using total sampling. Population of study included 130 patients, and 111 patients were accepted as samples of study. Appropriate assessment based on number of appendicitis patients, showed 100% appropriate patient, 83,78% appropriate indication, 100% appropriate drug, 97,30% appropriate dose, and 100% drugs interaction. It can be concluded that empirical antibiotic treatment in patients with appendicitis at RSAL Dr. Mintohardjo most of all is rational.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60761
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baringin
Abstrak :
Latar Belakang- Beberapa pasien yang telah dilakukan apendektomi didapatkan keluhan nyeri perut kanan bawah yang menetap setelah melewati masa penyembuhan. Pada pasien-pasien tersebut intra operatif selain didapatkan adanya apendiks yang meradang, juga didapatkan adanya tanda-tanda peradangan pada caecum (colitis), dan dari anamnesa didapat adanya riwayat kebiasaan makan-makanan pedas (spicy food) terutama yang mengandung cabai atau cuka, dan riwayat penyakit maag/ gastritis sebelumnya (gastrokolitis). Metode-Penelitian ini dilakukan secara deskriptif, retrospektif, dilakukan di RS Tebet selama periode 1 lanuari 2006 sampai dengan 31 Desember 2007. Populasinya adalah pasien apendisitis yang dilakukan operasi apendektomi di RS Tebet dan RSCM selama periode tersebut dan dianamnesa mengenai riwayat kebiasaan makan spicy food, diamati kondisi caecum intraoperatifnya, kemudian pasca operasi setelah masa penyembuhan diobservasi apakah masih didapatkan adanya keluhan nyeri perut kanan bawah dan masih makan-makanan spicy food. ......Background- Some patients who have had an appendectomy have complained of lower right abdominal pain that persists after passing the healing period. In these intraoperative patients, in addition to the presence of an inflamed appendix, there are also signs of inflammation in the caecum (colitis), and from the anamnesia there is a history of eating habits of spicy foods, especially those containing chili peppers or vinegar, and a history of previous ulcers/gastritis (gastrocolitis). These methods were carried out in a descriptive, retrospective manner, conducted at Tebet Hospital during the period of 1 January 2006 to 31 December 2007. The population is appendicitis patients who underwent appendectomy surgery at Tebet Hospital and RSCM during this period and were analysed regarding the history of spicy food eating habits, observed the condition of the intraoperative caecum, then after the surgery after the recovery period was observed whether there were still complaints of lower right abdominal pain and still eat spicy food.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eylin
Abstrak :
Latar Belakang: Apendisitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dengan insidensi yang masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien apendisitis pada tahun 2003-2007 di Departemen Patologi Anatomi FKUI-RSUPNCM. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif potong lintang. Hasil: Dari hasil pengolahan data didapatkan: 1) apendisitis akut adalah apendisitis terbanyak, pasien yang didiagnosis apendisitis akut dengan pemeriksaan histopatologi sebesar 74.7%; 2) perempuan lebih banyak ditemukan menderita apendisitis daripada laki-laki, namun, tidak berbeda jauh jumlahnya; 3) pada usia 21-30 tahun paling banyak ditemukan pasien apendisitis akut, yaitu 29.5% dari 584 pasien yang didiagnosis apendisitis akut; 4) pada umur 11-20 tahun, apendisitis akut perforasi paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 32 pasien (27.1%) dari total 118 pasien apendisitis akut perforasi; 5) pada umur 31-40 tahun, apendisitis kronis paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 21 pasien (26.2%) dari total 80 pasien apendisitis kronis. Kesimpulan: Apendisitis akut adalah apendisitis terbanyak yang ditemukan. Perempuan lebih banyak ditemukan menderita apendisitis daripada laki-laki. Pada usia 21-30 tahun paling banyak ditemukan pasien apendisitis akut. Pada umur 11-20 tahun, apendisitis akut perforasi paling banyak ditemukan. Pada umur 31-40 tahun, apendisitis kronis paling banyak ditemukan. ......Background: Appendicitis is one of the health problem in Indonesia, the incidence of appendicitis in Indonesia is still high. The purpose of this study is to know the characteristic of appendicitis patients from 2003-2007 in Pathology Anatomy Department FMUI, Cipto Mangunkusumo Hospital. Method: The method of this study is cross-sectional descriptive. Result: The results from this study are: 1) acute appendicitis is the most frequent diagnosis found in histopathologic examination (74.7%); 2) women are found to have appendicitis more than man, but the difference is not significance; 3) age of 21-30 years old is where the acute appendicitis mostly found, 29.5% from 584 acute appendicitis patients; 4) age of 11-20 years old is where the acute perforated appendicitis mostly found, 27.1% from 118 acute perforated appendicitis patients; 5) age of 31-40 years old is where the chronic appendicitis mostly found, 26.2% from 80 chronic appendicitis patients. Conclusion: Acute appendicitis is the most frequent diagnosis found in histopathologic examination. Women are found to have appendicitis more than man. Age of 21-30 years old is where the acute appendicitis mostly found. Age of 11-20 years old is where the acute perforated appendicitis mostly found. Age of 31-40 years old is where the chronic appendicitis mostly found.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Satrio
Abstrak :
Latar belakang: Apendisitis merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang membutuhkan penatalaksanaan segera. Apendisitis dibedakan menjadi apendisitis akut dan kronik. Keterlibatan neuron, yaitu hiperplasia dan hipertrofi neural dalam apendisitis akut dibandingkan pasien dengan apendiks normal telah dibuktikan, namun belum ada data pengaruh tipe radang apendisitis terhadap keterlibatan serabut saraf, khususnya dalam bentuk perubahan letak serabut saraf/serabut saraf ektopik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo antara tahun 2005-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan serabut saraf dalam bentuk serabut saraf ektopik dengan tipe radang apendisitis tersebut. Metode: Penelitian ini menggunakan metode desain potong lintang (cross-sectional). Sampel berupa sediaan preparat patologi anatomik diperoleh melalui teknik random sampling dan dari hasil penghitungan yang sesuai dengan uji hipotesis diperoleh 50 sampel tiap kelompok (uji analitik kategorik 2 kelompok tidak berpasangan). Data diperoleh dari sediaan preparat patologi anatomik setelah diteliti di bawah mikroskop cahaya. Hasil penelitian: serabut saraf ektopik ditemukan lebih banyak pada apendisitis kronik (64%) dibandingkan apendisitis akut (34%). Hasil penelitian dilakukan uji nonparametrik Chi-square dan ditemukan terdapat perbedaan bermakna proporsi serabut saraf ektopik pada apendisitis kronik dibandingkan dengan serabut saraf ektopik pada apendisitis akut (p<0,05). Kesimpulan: Proporsi serabut saraf ektopik pada apendisitis kronik lebih tinggi dibandingkan dengan apendisitis akut. ...... Background: Appendicitis has been one of the emergency situations needing immediate medical intervention, differentiated into two types, acute appendicitis and chronic appendicitis. Neural involvements, which are neural hyperplasia and hypertrophy has been proved, yet there has not been any research stating the role of type of inflammation of appendicitis in involvement of neuron, especially in form of neural displacement, in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the year of 2005 and 2007. This research is made to explore the relationship between the type of inflammation of appendicitis and the involvement of neuron, in form of neural displacement. Method: The method of this research was cross-sectional. The sample was chosen using random sampling. Using the hypothesis test, categorical-analytical-two-independent-group test, the sample needed for each group is 50. Data then observed under light microscope. Result: The neural displacement was found more in chronic appendicitis (64%) than in the acute appendicitis (34%). The result was then tested using nonparametric test, Chi-square. Using the test, the value of p was <0.05, stating there is significant difference of the neural displacement was acute appendicitis and chronic appendicitis. Conclusion: The proportion of neural displacement in chronic appendicitis is higher than in the acute appendicitis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09059fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
Abstrak :
Latar Belakang: Apendisitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dengan insidensi yang cukup tinggi. Salah satu parameter yang dapat dinilai dari apendisitis adalah reaktivitas dari folikel limfoid. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara reaktivitas folikel limfoid dengan tipe radang apendiks pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM antara tahun 2005 hingga 2007. Metode: Penelitian dilakukan pada 50 sediaan apendisitis akut dan 50 sediaan apendisitis kronik yang dipilih secara acak. Penelitian dilakukan dengan metode analitik desain potong lintang yaitu dengan memperoleh data sekunder dari departemen Patologi Anatomi FKUI-RSUPNCM, mengamati sediaan dengan mikroskop, serta menganalisis data yang diperoleh dengan uji statistik. Hasil: Pada apendisitis akut, ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 32%, sedangkan pada apendisitis kronik ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 42%. Kesimpulan: Berdasarkan uji non-parametrik Chi square, didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara hiperplasia folikel limfoid pada apendisitis akut maupun kronik pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM tahun 2005 hingga 2007. ......Background: Appendicitis is still causing health problem in Indonesia with high incidency. One of the parameter that can be studied in appendicitis is lymphoid follicle hyperplasia. Objective of this study is to know whether there is relationship between lymphoid follicle reactivity and type of inflammation in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007. Method: This study evaluated 50 speciments of acuteappendicitis and 50 speciments of chronic appendicitis selected by random sampling. This study is a cross sectional analitic study done by analizing secondary data and observing preparates of appendix. Result: In this study, 32% of acute appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia, and 42% of chronic appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia. Conclusion: Based on Chi square non-parametric test, it is concluded that there are no significant difference of lymphoid follicle hyperplasia between acute and chronic appendicitis in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Awalia Yulianto
Abstrak :
Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut disebabkan karena perkembangan apendisitis akut menjadi perforasi apendiks. Hal-hal yang menyebabkan kerentanan apendiks belum banyak diteliti dan belum diketahui sebab pastinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memprediksi terjadinya perforasi apendiks. Penelitian menggunakan desain kasus kontrol menggunakan data sekunder berupa rekam medis penderita apendisitis akut dewasa tahun 2013-2014 dengan jumlah kasus (perforasi apendiks) 36 dan kontrol (non perforasi) 93. Analisis data yang dilakukan meliputi deskriptif, chi square, receiver operating characteristic, dan regresi logistik multivariat. Dua faktor prediksi yang bermakna sebagai faktor prediksi perforasi apendiks dalam analisis regresi logistik multivariat adalah suhu badan diatas 37,50C dengan odds ratio (OR) 7,54 (95% CI 2,01; 28,33), jumlah leukosit diatas 11.500/mm3 dengan OR 12,12 (95% CI 4,03; 36,48) Perlu validasi pemeriksaan suhu badan di RS, penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor prediksi lainnya, persiapan operasi segera untuk pencegahan komplikasi perforasi apendiks, dan pemberian informasi ke masyarakat bahwa sakit perut dapat bersifat gawat darurat. ...... Appendix perforation is the causation for acute appendicitis morbidity and mortality. Factors that may cause appendix vulnerability has not been extensively studied before and the main cause is still yet unknown. The goal of this study is to analyze what factors that could be used to predict appendix perforation. This study is a case control study using 2013-2014 medical records as data. Case group pooled from 36 perforated appendix adult (above 15 years old) patients, while control group pooled from 93 non perforated appendix adult patients. Data analysis conducted are descriptive, chi square, receiver operating characteristic, and multivariate logistic regression. There are two prediction factors which significantly associated with perforated appendix. Those are body temperature above 37,50C with odds ratio (OR) 7,54 (95% CI 2,01; 28,33), and leucocytes count above 11.500/mm3 with OR 12,12 (95% CI 4,03; 36,48). Further studies and body temperature validation on each hospital are needed to find other prediction factors, preparing pre operative equipment for immediate definite measure like surgery, to prevent the complication of perforated appendix, and education to people that abdominal pain is not always causing by gastric problem and it might be a case of emergency.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Hanifa
Abstrak :
ABSTRAK
adalah salah satu upaya untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan (cost containment) adalah dari bentuk fee for service ke bentuk Prospective Payment System (PPS). Prospective Payment System (PPS) adalah sistem pembayaran yang diberikan kepada pemberi pelayanan kesehatan yang besarnya ditetapkan sebelum suatu pelayanan dilaksanakan, tanpa memperhatikan tindakan medik atau lamanya perawatan di rumah sakit. Salah satu cara dalam sistem pembayaran ini adalah dengan "Diagnostic Related Group's (ORG's)" . Penelitian ini adalah penelitian desain survey tagihan pelayanan dimana hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui gambaran perbandingan tagihan rawat inap kelas III (Askeskin dan umum) tahun 2007 dengan tarif kelas Ill INA-DRG di 3 rumah sakit di Kota Bukittinggi, yaitu RSUD Dr. Achmad Machtar Bukittinggi, RS TNI AD Tk. IV Bukittinggi dan RS Ibnu Sina Bukittinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa median hari rawat adalah 4 hari. Jika dibandingkan dengan INA·DRG, ternyata rata-rata hari rawat masing-masing rumah sakit lebih pendek. Untuk apendisitis tanpa komplikasi se!isih hari rawat adalah 1,1 hari, Median tagihan pasien apendisitis di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi adalah pada kisaran Rp.1.600.000,- - Rp. 1.799.999,-. Jlka dibandingkan dengan INA-DRG, temyata tagihan INA-DRG lebih besar. Sedangkan median tagihan ketiga rumah sakit adalah Rp. 1.800.000,- - 1.999.999,-. Jika dibandingkan dengan INA-DRG, tagihan rumah sakit lebih besar. Hal ini dipengaruhi tagihan dua rumah sakit lainnya yang cukup besar.
2008
T21210
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Ade Sari Nauli
Abstrak :
Latarbelakang: Apendisitis telah menjadi salah satu keadaan kegawatdaruratan medis yang membutuhkan penanganan medis segera. Apendisitis yang tidak ditangani segera dapat mengakibatkan terjadinya perforasi apendiks dan berakhir dengan terjadinya ruptur. Apendiks yang ruptur dapat menyebabkan drainase transluminal dari saluran pencernaan ke rongga abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik apendisitis perforasi menurut lokasi perforasi dan umur pasien. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan anilisis secara deskriptif. Sampel diambil dari semua sediaan histopatologi dari tahun 2005 hingga 2007 dengan diagnosis apendisitis perforasi. Sampel yang diperlukan pada penelitian ini sebanyak 68 sampel. Dalam penelitian ini pasien dikelompokkan menurut dekade umur sedangkan lokasi perforasi dibagi menjadi pangkal, tengah, dan ujung apendiks. Hasil: Bagian tengah apendiks (45.58%) lebih banyak mengalami perforasi daripada bagian pangkal dan ujung apendiks. Kejadian perforasi terbanyak ditemukan pada pasien yang berusia antara 11 sampai 20 tahun atau pada kelompok dekade kedua (30.9%). Kesimpulan: Bagian apendiks yang paling sering mengalami perforasi pada apendisitis adalah pada bagian tengah dan kejadian perforasi terbanyak ditemukan pada kelompok usia dekade kedua (umur 11-20 tahun). Background: Appendicitis has been one of the emergency situations which need immediate medical intervention. If appendicitis is not treated immediately the appendix can undergo perforation and eventually rupture. The rupture of the appendix can cause transluminal drainage from the alimentary tract to the abdominal cavity and eventually causing some complications. This study aims to identify the characteristics of perforated appendicitis according to the location of perforation and the patient's age. Method: The study is a cross-sectional descriptive study. The sample is taken from all appendicitis perforation cases from year the year of 2005 until 2007. The sample needed is 68. In this study patients are grouped according to age decade, while the location of perforation into base, middle, and tip of the appendix. Results: The perforated area is more found in the middle (45.58%) than in the base or the tip of the appendix. The perforation rate mostly found in the age between 11 to 20 year or the second decade group of age (30.9%). Conclusion: The perforated area mostly found in middle of the appendix and the perforation rate mostly found in the second decade group of age (age 11-20 year).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09040
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ervinaria Uly Imaligy
Abstrak :
Latar belakang: Apendisitis dapat merupakan kegawatadaruratan medik dengan insiden yang cukup tinggi di Indonesia. Pada apendisitis akut terjadi proses inflamasi dimana terdapat serbukan sel-sel polimorfonuklear pada lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Proses inflamasi ini juga terjadi pada bagian apendiks yaitu di pangkal, tengah dan ujung. Tujuan penelitian ini adalah mencari prevalensi mengenai lokasi dan kedalaman inflamasi pada pasien dengan diagnosis apendisitis akut di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007. Metode: Penelitian ini menggunakan metode desain deskriptif potong lintang (cross-sectional). Hasil penelitian: Lokasi inflamasi terbanyak pada pasien yang didiagnosis apendisitis akut dari sampel penelitian di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007 ialah pada semua bagian dari apendiks (pangkal, tengah, ujung) yaitu sejumlah 87 dari 98 ( 88,7% ). Kedalaman inflamasi terbanyak ialah pada mukosa, submukosa, muskularis, serosa atau pada semua kedalaman dari apendiks yaitu sejumlah 50 dari 98 (51%). Kesimpulan: Lokasi inflamasi terbanyak pada pasien yang didiagnosis apendisitis akut dari sampel penelitian di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007 ialah pada semua bagian dari apendiks. Kedalaman inflamasi terbanyak ialah pada mukosa, submukosa, muskularis, serosa atau pada semua kedalaman dari apendiks.
Background: Appendicitis may be one of the emergency situations with the incident that is high enough in Indonesia. In acute appendicitis, inflammation process happened where there are polymorphonuclear cells in layer of mucosa, submucosa, muscularis and serous. This inflammation process also happens in the appendix part that is in the base, middle and the apical. The aim of this research is to look for the prevalence about the location and the depth inflammation to the patient with diagnosis of the acute appendicitis in RSUPNCM the year 2005-2007. Method: The method of this research is descriptive cross-sectional. Result: The location of inflammation in 87 out of 98 preparates ( 88,7% ) is mostly found in every part of appendix ( base, middle, apical ). The depth of inflammation in 50 out of 98 preparates ( 51% ) is mostly found in layer of mucosa, submucosa, muscularis, serous or in all layer of appendix. Conclusion: The location of inflammation in Patient Diagnosed with Acute Appendicitis from sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the Year of 2005 and 2007 is mostly found in every part of appendix (base, middle, apical). The depth of inflammation in Patient Diagnosed with Acute Appendicitis from sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the Year of 2005 and 2007 is mostly found in every layer of appendix (mucosa, submucosa, muscularis, serous)
2009
S09045fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library