Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspita Insan Kamil
"Menurut Epley, Waytz, Cacioppo 2007 , manusia memiliki kecenderungan untuk mengatribusikan sifat dan representasi manusia pada seekor binatang. Penelitian antropomorfisme pada binatang sayangnya belum lengkap menjelaskan sifat dan representasi manusia seperti apa yang kemudian memiliki dampak tertentu pada bagaimana manusia memperlakukan binatang. Penelitian dalam tesis ini mengujikan pengaruh jenis binatang dan jenis antropomorfisme ndash; menggunakan arketip innocent dan trouble maker terhadap intensi partisipan untuk memakan, menyarankan eradikasi pemusnahan, dan memelihara binatang. Penelitian ini dilakukan dalam dua studi, studi yang pertama dilakukan pada kelompok petani di Flores, dan kedua pada mahasiswa di Depok. Secara umum, manipulasi jenis binatang tidak mempengaruhi intensi partisipan untuk melakukan hal tertentu pada binatang, namun jenis antropomorfisme yang lebih memiliki peran dalam tiga intensi tersebut.

Epley, Waytz, Cacioppo 2007 argued that humans tend to attribute human's trait or representation to non human animal. However, researches in anthropomorphism have not yet comprehensively explained which traits or representations that lead to specific human behavior towards animal. This research examined the effect of animal and anthropomorphism types ndash using innocent and trouble maker archetypes to participant intention's in eating, suggesting eradication, and pet an animal.Conducted in two separated studies ndash to farmers community in Flores and college students in Depok, the two studies proved that animal types hold no effect on participants intention towards specific animal, and it is anthropomorphic types which has effect on the three intentions.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T50566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karisa Diyacita
"[ABSTRAK
Intertemporal choice adalah situasi di mana individu harus memilih di antara dua alternatif hasil yang terletak di dua waktu yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah manipulasi waktu, berupa antropomorfisme laju waktu dan framing waktu, memiliki pengaruh terhadap preferensi dalam intertemporal choice. Antropomorfisme laju waktu adalah persepsi bahwa waktu berperilaku seperti manusia yang bergerak dengan laju cepat atau lambat. Framing waktu adalah pengubahan waktu penerimaan sebuah hasil menjadi dimajukan atau dimundurkan. Preferensi dalam intertemporal choice diketahui melalui delay premium (jumlah uang yang ingin diterima apabila penerimaan dimundurkan), dan speed-up cost (jumlah uang yang ingin dibayar apabila penerimaan dimajukan). Jumlah delay premium dan speed-up cost yang tinggi melambangkan ketidaksabaran karena partisipan lebih memilih untuk menerima hasil saat ini daripada harus menunggu. Partisipan (N=152) adalah mahasiswa S1 Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan antropomorfik, baik yang mengandung laju cepat maupun lambat, meningkatkan delay premium namun menurunkan speed-up cost. Ungkapan antropomorfik laju waktu cepat menghasilkan delay premium yang paling tinggi dan speed-up cost yang paling rendah dibandingkan ungkapan laju waktu lambat maupun non-antropomorfik.

ABSTRACT
Intertemporal choice is a situation where individual has to face a choice of outcomes located at two different points in time. This research aims to examine the influence of time manipulation, in the forms of anthropomorphism of time pace and time framing, on individual?s preference in intertemporal choice. Anthropomorphism of time pace is the perception that time behaves like human which moves in fast pace and slow pace. Time framing is the change of outcomes? reception time as being delayed or sped-up. Preference in intertemporal choice is measured through delay premium (the amount of money participants require to delay reception) and speed-up cost (the amount of money participants pay to speed-up reception). High delay premium and speed-up cost reflect participant?s impatience as they prefer to receive outcome now rather than waiting. Participants (N=152) are students from Faculty of Psychology and Faculty of Social and Political Science University of Indonesia. The results show that anthropomorphic sayings, either containing slow pace or fast pace, increase delay premium but decrease speed-up cost. Sayings of fast time pace anthropomorphism cause the highest delay premium and lowest speed-up cost compared to slow time pace anthropomorphism and non-anthropomorphic saying, Intertemporal choice is a situation where individual has to face a choice of outcomes located at two different points in time. This research aims to examine the influence of time manipulation, in the forms of anthropomorphism of time pace and time framing, on individual’s preference in intertemporal choice. Anthropomorphism of time pace is the perception that time behaves like human which moves in fast pace and slow pace. Time framing is the change of outcomes’ reception time as being delayed or sped-up. Preference in intertemporal choice is measured through delay premium (the amount of money participants require to delay reception) and speed-up cost (the amount of money participants pay to speed-up reception). High delay premium and speed-up cost reflect participant’s impatience as they prefer to receive outcome now rather than waiting. Participants (N=152) are students from Faculty of Psychology and Faculty of Social and Political Science University of Indonesia. The results show that anthropomorphic sayings, either containing slow pace or fast pace, increase delay premium but decrease speed-up cost. Sayings of fast time pace anthropomorphism cause the highest delay premium and lowest speed-up cost compared to slow time pace anthropomorphism and non-anthropomorphic saying]"
2016
T45373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diani Rizki Inirakha
"Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai antropomorfisme yang ada di dalam film Porco Rosso karya Hayao Miyazaki. Teori yang digunakan adalah teori antropomorfisme kesusastraan menurut Carolyn L. Burke dan Joby G. Copenhaver. Melalui teori tersebut dapat terlihat bahwa Miyazaki menggunakan antropomorfisme sebagai gaya karya sastra dalam kesusastraan untuk menyampaikan gagasannnya yang mengkritik sifat manusia melalui ide-ide yang dikemukakan dan digambarkan oleh Porco. Fisher mengkategorikan antropomorfisme menjadi dua, yaitu antropomorfisme interpretatif dan antropomorfisme imajinatif. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa antropomorfisme dalam Porco Rosso bersifat imajinatif bukan interpretatif, artinya objek atau hewan yang digunakan di dalam animasi diperlakukan seperti manusia yaitu memiliki kepribadian dan melakukan kegiatan.

In this research I will discuss anthropomorphism reflected in Hayao Miyazaki 39 s film, Porco Rosso. The theory used is the theory of antropomorphism literature according to Carolyn L. Burke and Joby G. Copenhaver. Through this theory we can perceive that Miyazaki used antropomorphism as a literature style that criticizes human characteristics through the ideas illustrated by Porco. Fisher categorized two types of antropomorphism, which include interpretative antropomorphism and imaginative antropomorphism. Through this research it is concluded that the antropomorphism reflected in the film Porco Rosso is imaginative and not interpretative, which means the objects or animals used in the animation is treated like human that have personality and activities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jamal D. Rahman
"Cerpen "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin, yang diumumkan majalah Sastra edisi Agustus 1968, telah memancing reaksi dan kontroversi tentang apakah personifikasi Tuhan atau antropomorfisme dalam cerpen tersebut dapat dibenarkan dari sudut pandang agama Islam. Lebih jauh, kontroversi berkembang ke arah apakah cerpen tersebut menghina Nabi Muhammad dan merendahkan Tuhan. Reaksi dan kontroversi, mulai pelarangan peredaran majalah Sastra, unjuk rasa, pernyataan sikap, diskusi, polemik, hingga sidang pengadilan, terus berlanjut hingga awal tahun 1970-an,dan seringkali dikenang setiap kali ada masalah menyangkut hubungan sastra, imajinasi, kebebasan mencipta, dan agama atau Tuhan.
Menggunakan pendekatan sintaksis semiotis, tesis ini membuktikan bahwa perbedaan pendapat antara para pembela dan pendukung antropomorfisme Kipandjikusmin ⎯sampai sikap masin-masing yang sangat keras⎯ merupakan konsekuensi dari cara kerja sistem tanda semiotis dalam cerpen "Langit Makin Mendung" itu sendiri. Sedemikian rupa mekanisme operasi tanda-tanda itu, sehingga bahkan memungkinkan juga perbedaan interpretan (tafsir) yang amat jauh. Kian jauh interpretan dari pusat tanda semiotis, perbedaan interpretan cenderung mengarah pada pertentangan, dan semakin jauh lagi dari pusat tanda, pertentangan cenderung mengarah pada pertentangan yang lebih keras. Semua ini dimungkinkan oleh tata kerja tandatandadalam cerpen "Langit Makin Mendung"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Marsyaulina
"ABSTRAK
Manusia sejak dahulu telah melakukan antropomorfisme kepada objek di sekitarnya sebagai cara untuk lebih mengenal serta untuk lebih bersiaga akan datangnya bahaya. Seiring berjalannya waktu, kecenderungan manusia untuk memberikan karakteristik pada objek yang bukan manusia dipakai sebagai salah satu cara untuk mempromosikan suatu objek agar lebih mudah diterima oleh manusia. Gotouchi-kyara merupakan salah satu fenomena budaya populer Jepang yang merupakan maskot dengan sifat antropomorfis. Dewasa ini gotouchi-kyara semakin populer di kalangan masyarakat hingga beberapa di antaranya sering muncul di media televisi, salah satunya ialah Funasshi yang merupakan gotouchi-kyara tak resmi kota Funabashi. Sifat Funasshi yang berbeda dengan gotouchi-kyara lainnya, yaitu berbicara dan bertingkah laku lincah, merupakan sifat antropomorfis yang kemudian akan diteliti lebih lanjut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatam semiotika C.S. Peirce. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sifat antropomorfis Funasshi yang memberikan nilai positif kepada penonton yang melihatnya membuat Funasshi semakin populer di kalangan masyarakat Jepang.

ABSTRACT
Long time ago, human has been using anthropomorphism as a way to familiarize themselves with unknown objects around them and also to be more aware of dangers that may come. As time goes by, human rsquo;s tendency to give human traits to non-human objects has became a way to promote that particular object in order to be easily accepted by customer. Gotouchi-kyara, an anthropomorfic costume character, is one of Japan rsquo;s popular culture phenomenons. Lately gotouchi-kyara become very popular in Japan and they start to appear at television, and one of them is Funasshi, a gotouchi-kyara from Funabashi city. This study focuses on Funasshi rsquo;s anthropomorphized behaviors that are quite distinctive than the other gotouchi-kyara as it likes to talk, and moving around vigorously. This study is conducted with qualitative method and uses C.S. Peirce rsquo;s semiotic approach. The result from this study shows that Funasshi rsquo;s anthropomorphic behaviors that give positive vibe to the viewers have made Funasshi becoming more popular in Japan."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Kusumaningrum
"Antropomorfisme adalah salah satu perangkat sastra yang tidak hanya digunakan dalam karya sastra, namun juga sering digunakan dalam film, terutama film animasi. Studio Ghibli, sebuah studio animasi dari Jepang, sering kali menggunakan antropomorfisme dalam film mereka, salah satunya dalam film Neko no Ongaeshi (2002). Untuk mengkaji antropomorfisme dalam film ini, penulis menggunakan teori-teori antropomorfisme dari Wells (1998; 2009) dan Danielsson (2020). Temuan dari penelitian ini adalah tokoh-tokoh hewan antropomorfik dalam film ini sebagian besar masih tetap mempertahankan beberapa perilaku alami hewan mereka. Tokoh-tokoh ini juga tentunya memiliki karakteristik dan perilaku manusia, antara lain adalah berjalan tegak dengan dua kaki, berbicara, memakai pakaian atau aksesoris, dan memiliki kebangsaan atau etnik. Tokoh-tokoh antropomorfik juga berperan sebagai pembawa pesan yang sesuai dengan tema film ini. Pesan-pesan yang dibawa adalah pentingnya percaya pada diri sendiri dan membalas kebaikan orang lain, kritik terhadap pemerintahan totaliter, dan representasi perbedaan cara pandang antara generasi tua dan generasi muda.

Anthropomorphism is a literary device that is not only used in literary works but also in films, especially animated ones. Studio Ghibli, a Japanese animation studio, often uses anthropomorphism in their films. One of them is Neko no Ongaeshi (2002). To study anthropomorphism in this film, anthropomorphism theories from Wells (1998; 2009) and Danielsson (2020) are used. The results are most of the anthropomorphic animal characters in this film still show some of the animal's natural behavior. They also show human characteristics and behaviors such as walking upright on two legs, talking, wearing clothes or accessories, and having nationality or ethnicity. This film also uses anthropomorphic characters to convey messages related to the themes of this film. These messages are the importance of believing in yourself and returning others’ favors, a critique of totalitarian government, and representations of different perspectives between the older and younger generations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library