Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
Nani Cholianawati
"
ABSTRACTPartikulat halus (PM2,5) merupakan partikel pencemar yang berukuran kurang dari 2,5 μm. Partikulat tersebut bersumber dari alami maupun antropogenik. Peningkatan konsentrasi partikulat berkontribusi pada peningkatan angka morbiditas maupun mortalitas. Kebakaran hutan tahun 1997 berkaitan dengan penurunan status gizi tinggi badan terhadap umur sebesar 3,4 cm pada usia dewasa. WHO menetapkan empat tahap standar baku mutu konsentrasi partikulat baik jangka pendek (24 jam) maupun jangka panjang (tahunan), yaitu Air Quality Guideline (AQG), Interim Target-3 (IT-3), IT-2, dan IT-1. Wilayah Indonesia bagian timur memiliki konsentrasi partikulat halus tahunan yang masih memenuhi baku mutu utama (AQG) WHO, sementara beberapa wilayah Indonesia bagian barat rentan mendapat paparan partikulat halus yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan risiko kesehatan hingga 6%"
Jakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2019
520 DIRGA 20:1 (2019)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Dondokambey, Nathaniel Viandy
"Model STIRPAT digunakan untuk mengkaji aspek demografi emisi karbon Indonesia. Penelitian-penelitian yang beredar saat ini banyak melihat pengaruh aspek peningkatan populasi dan ekonomi dunia yang pesat terhadap perubahan emisi karbon. Pengaruh beberapa aspek yang tidak termasuk dalam rencana resmi pemerintah, yaitu aspek kependudukan, ekonomi, dan rumah tangga dimasukkan dalam model estimasi. Ditemukan bahwa angka kelahiran total (TFR) mempengaruhi peningkatan emisi karbon paling negatif, sedangkan konsumsi energi berkontribusi paling besar terhadap perubahan emisi karbon. Karena multikolinearitas terdeteksi pada estimasi OLS model STIRPAT, model diregresi untuk kedua kalinya menggunakan regresi ridge. Hasil koefisien elastisitas regresi menunjukkan bahwa variabel ketimpangan ekonomi (GINI) dan angka kelahiran total (TFR) memiliki pengaruh paling besar pada peningkatan emisi karbon. Melalui model STIRPAT, dapat juga diprediksi emisi karbon pada tahun 2030, menggunakan Model Grey dan Markov-Chain Grey Model (MCGM). Hasil dari perhitungan tersebut menunjukkan emisi karbon meningkat lebih dari 200%. Saran mengenai emisi karbon dapat difokuskan pada peningkatan ekonomi berkelanjutan, terutama peningkatan industrialisasi hijau dan pemerataan ekonomi bagi penduduk. Namun, mitigasi dari aspek kesuburan tidak bisa diabaikan, karena aspek ini dapat berkontribusi pada penurunan emisi karbon.
The STIRPAT model is used to assess the demographic aspects of Indonesia's carbon emissions. Many studies currently circulating look at the effect of the rapidly increasing population and world economy on changes in carbon emissions. The influence of several aspects that are not included in the official government plan, namely population, economic, and household aspects are included in the estimation model. It was found that total fertility rate (TFR) affects the increase in carbon emissions the most negatively, while energy consumption contributes the most to changes in carbon emissions. Since multicollinearity was detected in the STIRPAT model OLS estimates, the model was regressed a second time using ridge regression. The results of the regression elasticity coefficients show that the variables of economic inequality (GINI) and total fertility rate (TFR) have the greatest influence on increasing carbon emissions. Through the STIRPAT model, it is also possible to predict carbon emissions in 2030, using the Gray and Markov-Chain Grey Model (MCGM) models. The results of these calculations show that carbon emissions have increased by more than 200%. Suggestions on carbon emissions can be focused on sustainable economic improvement, especially increasing green industrialization and economic equity for the population. However, the mitigation of the fertility aspect cannot be ignored, because this aspect can contribute to the reduction of carbon emissions."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Mohammad Hasroel Thayib
"
ABSTRAKKontroversi mengenai pemanasan dan perubahan iklim global berkepanjangan dengan berbagai tulisan terutama mengenai tidak terbuktinya ramalan mengenai musibah lingkungan antropgenik yang akan terjadi, dibahas dengan memperbandingkan fakta dan pengetahuan ilmiah kegiatan manusia. Efek rumah kaca global yang diklaim antropogenik, semakin dipertanyakan kebenarannya karena bertentangan dengan pengetahuan yang selama ini dianggap mapan dan belum dibantah kebenarannya. Data suhu permukaan global dan data perubahan-perubahan suhu yang ada telah diubah dan direkayasa untuk mendukung klaim pemanasan dan perubahan iklim global. Solusi menghadapi pemanasan global dan perubahan iklim global perlu didasarkan atas persepsi yang benar dan tidak terperangkap pada solusi keliru. Hanya memusatkan solusi pada satu penyebab saja akan menjadikan manusia terperangkap pada solusi salah."
Jakarta: The Ary Suta Center, 2017
330 ASCSM 39 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Zahra Nurul Fauzi
"Perubahan dalam lingkungan oleh aktivitas manusia dapat berasosiasi dengan akumulasi logam berat dan berpotensi meninggalkan jejak antropogenik dalam rekaman sedimen laut. Penelitian akan kondisi kemostratigrafi dilakukan untuk menentukan pengaruh aktivitas antropogenik di Perairan Banggai, yang dinilai tinggi karena fungsinya sebagai wilayah penangkapan ikan dan berdekatan dengan Pulau Taliabu, kepulauan agrikultural dengan potensi tambang yang tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penanggalan umur (dating) dengan isotop 210Pb, analisis logam berat, distribusi ukuran butir, dan kandungan TOC untuk menganalisis dan merekonstruksi perubahan lingkungan. Penanggalan menggunakan isotop 210Pb dilakukan menggunakan spektrometer alfa (AAS), logam berat dianalisis menggunakan spektrometri emisi optikal (ICP-OES), distribusi ukuran butir dianalisis menggunakan difraksi laser (LDS), dan kandungan TOC dianalisis menggunakan LOI. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi konsentrasi logam berat dalam sedimen core BC-06 menghasilkan nilai geo-accumulation index dan enrichment factor yang rendah, dan menunjukkan bahwa sumber logam berat yang ditemukan merupakan campuran alamiah dan antropogenik. Jejak logam berat dengan pengaruh antropogenik dalam sedimen core BC-06 dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: (I) 1831-1927 AD, (II) 1927-1994 AD, dan (III) 1994-2022 AD, yang diinterpretasi berhubungan dengan ekspansi militer pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda dan perkembangan berbagai sektor perekonomian Indonesia modern.
Changes in the environment by human activities is associated with heavy metal accumulation and can potentially leave anthropogenic traces in marine sediment records. Research focusing on the chemostratigraphic condition was done to determine the impacts made by anthropogenic activities in Banggai Waters, that are considered high because of its function as fishing grounds and is located near Taliabu Islands, which are agricultural lands with high mining potential. This research was done by Pb-210 dating, heavy metal, grain size distribution, dan TOC content analyses, to analyse and reconstruct environmental changes. Pb-210 dating was conducted by alpha spectrometer (AAS), heavy metal analysis was conducted by optical emission spectrometry (ICP-OES), grain size distribution analysis was conducted by laser diffraction (LDS), and TOC content analysis was conducted by the LOI method. Results show that heavy metal concentration distribution in sediment core BC-06 yield low values for geo-accumulation index (Igeo) and enrichment factor (EF), and showed that the metals found has a mixed source of natural and anthropogenic. Heavy metal traces with anthropogenic influence can be divided into three periods, such as: (I) 1831-1927 AD, (II) 1927-1994 AD, dan (III) 1994-2022 AD, which are interpreted as related to the military expansion during The Dutch’s colonialism, alongside the development of various economic sectors in modern Indonesia."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Naila Zackeisha
"Gangguan antropogenik di wilayah pesisir akhir-akhir ini meningkat karena peningkatan populasi. Gangguan yang dimaksud dapat berupa produk kegiatan manusia yang merusak ekosistem di sekitarnya, seperti sampah, pembangunan industri, perumahan dan fasilitas umum. Salah satu ekosistem yang terancam dari gangguan tersebut adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memiliki berbagai peran bagi lingkungan dan manusia, salah satunya sebagai habitat biota seperti burung air, yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat bersarang dan mencari mangsa. Pengaruh gangguan antropogenik terhadap lingkungan diketahui melalui media yang mampu menunjukkan hubungan antara keduanya, seperti Index of Waterbird Community Integrity (IWCI) dimana burung air digunakan sebagai bioindikator perubahan kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor gangguan antropogenik berupa penggunaan lahan, jumlah pengunjung, polusi suara, kecerahan air dan kadar fosfat terhadap kualitas lingkungan melalui penilaian skor IWCI. Penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam Angke Kapuk (TWAAK) pada bulan Oktober hingga November tahun 2019. Sebanyak 17 jenis burung air berhasil diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IWCI dalam TWAAK berkisar antara 13,75 hingga 17,61 dengan rata-rata 16,02. Berdasarkan kriteria skor IWCI, nilai rata-rata menunjukkan bahwa kualitas lingkungan TWAAK tergolong 'buruk-sedang'. Data korelasi gangguan antropogenik dan skor IWCI menunjukkan hubungan negatif yang signifikan terhadap jumlah pengunjung dan persentase penggunaan lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan antara jumlah pengunjung mempengaruhi nilai IWCI sebesar -0,109 dan persentase penggunaan lahan yang paling signifikan adalah -0,136.
Anthropogenic disturbances in coastal areas have recently increased due to population growth. The disturbance in question can be in the form of a product of human activities that damage the surrounding ecosystem, such as garbage, industrial development, housing and public facilities. One of the ecosystems that are threatened from this disturbance is the mangrove ecosystem. Mangrove ecosystems have various roles for the environment and humans, one of which is as a habitat for biota such as water birds, which use the mangrove ecosystem as a place to nest and find prey. The influence of anthropogenic disturbances on the environment is known through media that are able to show the relationship between the two, such as the Index of Waterbird Community Integrity (IWCI) where waterbirds are used as bioindicators of changes in environmental quality. This study aims to determine the relationship between anthropogenic disturbance factors in the form of land use, number of visitors, noise pollution, water brightness and phosphate levels on environmental quality through an IWCI score assessment. The research was conducted at the Angke Kapuk Nature Tourism Park (TWAAK) from October to November 2019. A total of 17 species of water birds were identified. The results showed that the IWCI value in the TWAAK ranged from 13.75 to 17.61 with an average of 16.02. Based on the IWCI score criteria, the average score indicates that the environmental quality of TWAAK is classified as 'poor-moderate'. Correlation data of anthropogenic disturbances and IWCI scores showed a significant negative relationship to the number of visitors and the percentage of land use. The results of the regression analysis showed that the significant relationship between the number of visitors affected the IWCI value of -0.109 and the most significant percentage of land use was -0.136."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mohammad Hasroel Thayib
"
ABSTRAKKontroversi berkepanjangan oleh berbagai pendapat mengenai pemanasan dan perubahan iklim global antropogenik, terutama mengenai kebenaran ilmiahnya, dibahas dengan memperbandingkan data dan fakta yang digunakan dengan dasar ilmiah yang selama ini masih dianggap benar dan berlaku. Efek rumah kaca yang diklaim terjadi akibat terperangkapnya bahang di atmosfer bumi oleh sejumlah gas antopogenik yang menyelubungi bumi, semakin banyak dipertanyakan kebenarannya karena bertentangan dengan dasar ilmiah yang selama ini dianggap mapan dan belum dibantah kebenarannya. Tidak demikian halnya jika kata global adalah dalam pengertian kasus yang terjadi di banyak lokasi di bumi global, yang terjadi di multi-lokasi. Naiknya permukaan air laut global akibat meningkatnya suhu udara beberapa derajat Celcius saja pada dasarnya tidak dapat diverifikasi kebenaran ilmiahnya. Perubahan iklim global, sebagaimana halnya juga pemanasan global, pada dasarnya adalah siklus alami oleh interaksi yang ada di ruang angkasa alam. Bumi terpapar pada keadaan dihujani sinar-sinar kosmik dari ruang angkasa, berasal dari bintang2 di angkasa luar antaralain matahari. Sinar kosmik adalah partikel sub-atomik bermuatan energi seperti proton dan netron, dan menghasilkan gas2 rumah kaca ketika berinteraksi dengan unsur2 gas di atmosfer atas. Energi sinar kosmik juga dikonversi menjadi energi panas ketika membentur Bumi. Karena itu fluktuasi suhu, kadar karbondioksida, metan dan berbagai gas rumah kaca yang dikatakan menyelubungi bumi bukan antropogenik karena berkaitan dengan daur sinar2 kosmik yang antaralain juga sinar-sinar kosmik yang dipancarkan matahari. Solusi menghadapi pemanasan global dan perubahan iklim global perlu didasarkan atas persepsi yang benar sekaligus tidak terperangkap pada solusi keliru. Hanya memusatkan solusi pada satu penyebab saja akan menjadikan manusia terperangkap pada solusi salah."
Jakarta: The Ary Suta Center, 2018
330 ASCSM 43 (2018)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Ramanatalia Parhusip
"Kenaikan suhu di daerah perkotaan yang mengakibatkan terbentuknya UHI, diduga didorong oleh mengikatnya konsentrasi emisi antropogenik efek dari aktivitas manusia. Belakang ini, pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia, sehingga untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19, pemerintah memberlakukan peraturan seperti PSBB dan PPKM yang salahsatunya diterapkan di Kabupaten Bekasi. Adanya pembatasan pergerakan masyarakat ini memicu terjadi penurunan konsentrasi emisi antropogenik yang disinyalir akan mengurangi fenomena UHI di Kabupaten Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola spasial dan temporal emisi antropogenik dan UHI di Kabupaten Bekasi, serta keterkaitan keduanya. Metode yang digunakan yaitu pengolah dari citra Sentinel 5P untuk mendapatkan nilai konsentrasi emisi antropogenik (NO2 dan SO2) dan Landsat 8 untuk mendapatkan suhu permukaan daratan (SPD). Hasil penelitian ini menujukan bahwa Kabupaten Bekasi sempat mengalami penurunan konsentrasi emisi antropogenik pada saat pandemi 2020, kemudian meningkat kembali pada saat pandemi 2021. Adapun wilayah yang terdampak urban heat island terus mengalami peningkatan luas pada saat pandemi COVID-19. Hasil ini didukung oleh uji statistik yang menunjukkan semakin tinggi konsentrasi emisi antropogenik, maka dapat meningkatkan urban heat island.
The rise in temperature in urban areas resulting in the formation of UHI is thought to be significantly driven by anthropogenic emissions due to human activities. During the COVID-19 pandemic, the Indonesian government issued the Large-Scale Social Restrictions (PSBB) and Community Activities Restrictions Enforcement (PPKM) policy. Bekasi Regency is part of the Jabodetabek megapolitan that applied strict PSBB and PPKM treatment during the pandemic. The existence of restrictions on the movement of this community triggered a decrease in the concentration of anthropogenic emissions which allegedly will reduce the phenomenon of UHI in Bekasi regency. This study aims to determine the spatial and temporal patterns of anthropogenic emissions and UHI in Bekasi regency, also the association between the variables. The research method uses processed satellite imagery from Sentinel 5P to get anthropogenic emissions concentrations (NO2 and SO2) and Landsat 8 to get land surface temperature (LST). The results showed that Bekasi had a slight decrease in the concentration of anthropogenic emissions during COVID-19 pandemic 2020, then increased during COVID-19 pandemic 2021. The areas affected by urban heat islands increased steadily during the COVID-19 pandemic. Therefore, when the concentration of anthropogenic emissions rises, the UHI ascends."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library