Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Kurniawan
Abstrak :
Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini. ......This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elita Putri Fadliawati
Abstrak :
Ilmu magic adalah sebuah kepercayaan dan juga praktik, di mana praktiknya melibatkan alam bawah sadar dan juga hal-hal tak kasat mata. Magi oleh banyak orang dapat memengaruhi kekuatan alam dan diri mereka sendiri secara langsung, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri untuk memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi. Praktek magi sebenarnya tak secara penuh bisa dilepaskan begitu saja dari praktik agama tertentu. Contohnya dalam agama Yahudi ritual Kabbalah dan Yoga dalam Hindu. Tetapi kemudian agama- agama monotheistik menganggapnya sebagai hal menyimpang dan berkonotasi buruk. Ini diawali dengan periodesasi agama-agama monotheistik yang membenci ritual yang dianggap bid’ah dan dianggap menyimpang dari ajaran Kristen maupun Islam murni. Di Asia Tenggara sendiri, magi masih menjadi hal yang dianggap tradisional dan hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Termasuk pula anggapan negatif bahwa shaman (dukun) lekat dengan dengan ilmu teluh dan mendatangkan nasib buruk bagi korbannya. Padahal, shaman juga memiliki kemampuan pengobatan tradisional, yang tergolong sebagai ilmu magi, entah karena diturunkan dari shaman terdahulu atau “melalui mimpi.” Namun, kedua hal tersebut masih dilanggengkan keberadaannya sampai sekarang dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang primitif. Pengobatan tradisional dengan ritual tertentu, serta sihir (baik yang bertujuan mencelakakan atau menguntungkan orang lain) masih eksis di tengah masyarakat yang tinggal di kota, desa atau daerah suburban. Bahkan meski sudah mempraktikkan “sihir baik” sekalipun, dengan cara menjadi pemeluk agama yang taat, shaman-shaman di negara dengan mayoritas penduduk beragama monotheis rentan mendapat persekusi. Di sisi lain, jasa-jasa dalam pengobatan tradisional pun tetap dibutuhkan lantaran status beberapa negara Asia Tenggara sebagai negara berkembang, di mana ketersediaan fasilitas medis modern belum merata. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menyajikan data pustaka anotasi bibliografi tentang jurnal yang membahas ilmu magi di Asia Tenggara dan juga memberikan gambaran mengapa ilmu magi adalah salah satu sub-ilmu yang patut diperdebatkan dan diteliti lebih lanjut. ......Magic is both a belief and a practice, where its practice involves the subconscious as well as the invisible. Magic, as seen by many people, can affect the forces of nature and themselves directly, for good or for bad, by their own efforts to manipulate higher powers. The practice of magic actually cannot be completely separated from the practice of a particular religion. For example in Judaism Kabbalah rituals and Yoga in Hinduism. But then monotheistic religions regard it as deviant and contains bad connotations. This begins with the periodization of monotheistic religions that opposing rituals that are considered heretical and deviate, especially by the religious scholars from Christianity and Islam. In Southeast Asia itself, magic is still a thing that is considered traditional and only done by certain people. This include the negative assumption that shamans are attached to witchcraft and bring bad luck towards their victims. In fact, shamans also have traditional medicinal abilities, which are classified as magic, either because they are passed down from previous shamans or "given through dreams." However, these two things are still preserved until now and are not considered as something primitive. Traditional medicine with certain rituals, as well as magic (whether aimed at harming or benefiting the others) still exist in people who live in cities, villages or suburban areas. Even if they’re practicing “white magic”, by becoming devout religious adherents, shamans in countries where the majority of the population are monotheists are still vulnerable to persecution. On the other hand, services in traditional medicine are still needed, regarding the status of Southeast Asian majority as developing countries, where the availability of modern medical facilities is not evenly distributed. In this paper, I will try to present bibliographic annotated literature on journals discussing magic in Southeast Asia and also provide an overview of why magic is one of the sub- sciences that deserves to be debated and researched further.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library