Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Gandes Rasyida
"
ABSTRAKPenulisan ini disusun dalam upaya menjelaskan pemanfaatan media sosial Facebook sebagai sarana reaksi sosial informal atas fenomena pengunggahan foto penganiayaan hewan oleh pelaku. Reaksi sosial informal yang disampaikan oleh masyarakat untuk menanggapi postingan pelaku melalui kolom komentar akan dijelaskan dengan menggunakan teori Labeling oleh Howard S. Becker. Pelaku pengunggah foto penganiayaan hewan ke akun media sosialnya tersebut di label oleh masyarakat sebagai penyimpang. Indikator penyimpangan tersebut dinilai berdasarkan tipe-tipe penyimpangan Becker, yaitu, tuduhan palsu Falsely Accused , penyimpangan murni Pure Deviance , konformis Conforming , dan penyimpangan rahasia Secret Deviance .
ABSTRACTThis study aims to explain societal reaction against animal abuse expressed through Facebook. Utilizes Howard S. Becker 39 s Labelling Theory to explain the use of social media as a mechanism of social control. Users who uploaded pictures of themselves abusing animals are labelled as deviants. There are four indicators of deviance used for this research Falsely Accused, Pure Deviance, Conforming, and Secret Deviance. Based on those parameters, this research concludes that the acts of cruelty against animals which are uploaded to Facebook can be defined as deviance."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Monica Ayu Sudiro
"Tulisan ini membahas mengenai tindakan animal cruelty yang terjadi pada konten kekerasan di media sosial dalam perspektif green criminology. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk animal cruelty dan tujuan pelaku melakukan animal cruelty. Berdasarkan data yang didapatkan dari artikel berita dan film dokumenter Narasi, dari tahun 2019 sampai dengan 2022 ditemukan 12 kasus konten kekerasan terhadap hewan yang diunggah di media sosial. Media sosial ini mencakup Instagram, Facebook, Youtube, dan Telegram. Dalam kasus-kasus tersebut, hewan yang menjadi korban adalah spesies kucing, biawak, owa, dan monyet. Dari hasil analisis ditunjukan bahwa, motivasi pelaku untuk melakukan kekerasan dan mengunggah konten kekerasan pada umumnya adalah untuk memerankan sadisme non-spesifik, menghibur orang lain, mengontrol hewan, dan memenuhi prasangka terhadap suatu spesies. Disini hubungan yang dimiliki oleh manusia dengan hewan merupakan hubungan yang bersifat
utilitarian, dominionistic, dan negativistic. Pelaku pembuat konten kekerasan di media sosial disini tergolong sebagai pelaku animal harm traditional criminal dan stress offender. Hal ini dapat dikatakan demikian karena pelaku pembuat konten kekerasan pada umumnya melihat hewan sebagai suatu objek yang dapat dan layak untuk disiksa demi memberikan keuntungan maupun kesenangan bagi manusia. Lebih lanjut, media sosial memiliki peran dalam kasus kekerasan terhadap hewan dengan menjadi fasilitator konten kekerasan terhadap hewan dengan memberikan tempat untuk mengunggah konten dan mempertemukannya dengan penonton.
This article discusses animal cruelty in violent content on social media through a green criminology perspective. This research aims to know the type of animal that becomes the victim of animal cruelty content and the purpose of the perpetrators. Based on data obtained from news articles and the Narasi documentary film, from 2019 to 2022, 12 cases of animal violence content were found uploaded on social media. These social media include Instagram, Facebook, Youtube, and Telegram. In these cases, the animals that became victims were cats, monitor lizards, gibbons, and monkeys. From the results of the analysis, it is shown that, the common motivation for animal cruelty in this case is to act out non-specific sadism, entertain others, to gain control of animals, and fulfill prejudices against a certain species. In this case the relationship that human and animal have is a relationship that based on utilitarian, dominionistic, and negativistic value. The perpetrators of violent content creation on social media are classified as animal harm, traditional criminal, and animal harm stress offenders. The perpetrator here seems to commit animal cruelty to gain benefits in both material and non-material forms. They see animals as creatures that are not equal to humans and deserve to be hurt. Furthermore, social media has a role in animal cruelty by becoming a facilitator. Social media, in this case, has provided a place for the perpetrator to upload dan distribute animal cruelty content to the audience."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Chandrika Putri Larasati
"
ABSTRACTKeberadaan lumba-lumba untuk pertunjukan satwa merupakan praktik yang sudah dilarang di berbagai belahan dunia, namun tidak di Indonesia. Berlindung dibawah dalih konservasi dan edukasi, praktik ini menuai kritik karena terdapat indikasi kekejaman terhadap lumbalumba dalam prosesnya. Peraturan-peraturan yang ada bukan menjadi penghalang bagi penyelenggara untuk tetap menjalankan bisnisnya. Proses pemanfaatan satwa tersebut penulis kategorikan menjadi tiga bagian, yaitu perekrutan, penangkaran dan pelatihan, serta pertunjukan. Berbagai temuan data dalam tulisan ini menunjukan adanya bentuk kekejaman terhadap lumba-lumba yang melanggar kelima prinsip kebebasan satwa dan tingkat kekejaman paling tinggi ada pada proses penangkaran dan pelatihan. Fenomena ini juga akan dijelaskan melalui konsep species justice dan non-speciesist criminology yang akan dibahas di dalam perspektif green criminology.
ABSTRACTThe existence of dolphins for animal shows is a practice that is banned in various parts of the world, but not in Indonesia. Using conservation and education as an excuse, this practice receives criticism as there is some indication that animal cruelty is involved in the process. The existing rules couldn't prevent the organizers in running their business. Here, the writer divided the animal exploitation process into three parts, which are the recruitment, the captivity and the training, as well as the show. Many findings in this journal show that there are some forms of cruelty towards the dolphins that are violating the Five Freedoms for Animals, where the worst form of cruelty takes place in the process of capturing and training. This phenomenon will also be explained using the concept of species justice and nonspeciesist criminology which will be discussed from the perspective of green criminology."
2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library