Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Krisna Andria
"Latar belakang. Waktu pulih yang cepat dan mulus telah menjadi kebutuhan yang penting bagi unit pembedahan, khususnya bagi unit yang memiliki beban jadwal operasi yang banyak. Kecepatan waktu pulih diperlukan untuk meningkatkan turn-over-rate unit tersebut. Efek sinergisme kombinasi opioid dan gas anestesi telah digunakan secara umum untuk mempertahankan kedalaman anestesia intraoperatif. Hanya saja tidak terlalu banyak data mengenai waktu pulih kombinasi opioid dan gas inhalasi, khususnya kombinasi sevofluran ? fentanil, mengingat kedua obat tersebut telah digunakan secara luas dalam praktik seharihari anestesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu pulih antara rumatan kombinasi sevofluran 1,2 vol%-fentanil 1,2 mcg/kg/jam dengan rumatan sevofluran 2 vol%.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien yang menjalani operasi elektif vitrektomi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Mei dan Juli 2015. sebanyak 30 sampel subjek penelitian diambil dengan metode konsekutif. Waktu pulih pasca operasi dicatat dan data waktu pulih dianalisa dengan uji independent sample t-test.
Hasil. Waktu pulih antara rumatan kombinasi sevofluran 1,2 vol% - fentanil 1,2 mcg/kg/jam dengan rumatan sevofluran 2 vol% memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,000), dimana penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi rumatan sevofluran 1,2 vol% - fentanil 1,2 mcg/kg/jam memiliki waktu pulih yang lebih singkat dibanding rumatan sevofluran 2 vol%.
Simpulan. Waktu pulih pasca vitrektomi pada kelompok rumatan kombinasi sevofluran 1,2 vol% - fentanil 1,2 mcg/kg/jam lebih singkat dari pada waktu pulih pada kelompok rumatan sevofluran 2 vol%.

Background. A fast and smooth anesthesia recovery time has been a necessity in several surgical units, especially those who have high load in their operation schedules. It is important to speed up their turn over rate. Opioid - volatile anesthetic combination has been used commonly to maintain depth of anesthesia because of their synergistic effect. But there was lack of data about recovery time of opioid-inhalation combination maintenance, particularly sevoflurane-fentanyl combination, whereas sevofluran and fentanyl has been used widely in anesthesia practice. The study was designed to determine the difference of recovery time between combination of sevoflurane 1,2 vol% - fentanyl 1,2 mcg/kg/hour maintenance and sevoflurane 2 vol% maintenance.
Methods. This is a single blind randomized study in patients undergo scheduled vitrectomy at Cipto Mangunkusumo hospital between May and July 2015. A total 30 subjects where included in this study by consecutive sampling. The recovery time after surgery were recorded. Data were collected by self report and analyzed by independent sample t-test.
Results. There was a significant difference of recovery time between combination of sevoflurane 1,2 vol% - fentanyl 1,2 mcg/kg/hour maintenance and sevoflurane 2 vol% maintenance (p < 0,000), this study concludes that combination of sevoflurane 1,2 vol% - fentanyl 1,2 mcg/kg/hour has a faster anesthesia recovery time than sevoflurane 2 vol% maintenance.
Conclusions. Post vitrectomy anesthesia recovery time was faster in combination of sevoflurane 1,2 vol% - fentanyl 1,2 mcg/kg/hour maintenance group than in sevoflurane 2 vol% maintenance group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Pili
"Pendahuluan: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) bertujuan untuk menstandardisasi manajemen perioperatif dan meningkatkan luaran klinis. Implementasi ERAS pada total knee replacement (TKR) mengurangi mortalitas, transfusi, komplikasi, dan length of stay (LOS) tanpa mempengaruhi readmisi. Studi ini bertujuan mengevaluasi ERAS pada pasien TKR unilateral di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain klinis acak tersamar tunggal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati, Jakarta, dengan 55 pasien TKR unilateral berusia 60-70 tahun dengan OA grade III-IV sebagai subjek. Metode analisis data melibatkan SPSS dengan uji normalitas, Chi-square, T tidak berpasangan, dan Mann Whitney untuk menilai efektivitas ERAS dibandingkan dengan protokol konvensional.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa protokol ERAS meningkatkan skor Knee Special Score (KSS) (p=0,001, mean difference=4,09) dan Oxford Knee Score (OKS) (p<0,001, mean difference=4,98), serta mengurangi durasi rawat inap (p<0,001, mean difference=-2,15 hari) dan nyeri pascaoperasi (p<0,001, mean difference=-2,01) dibandingkan protokol konvensional. Faktor pre-operatif dan post-operatif seperti usia, komorbiditas, dan mobilisasi dini memberikan pengaruh terhadap durasi lama rawat inap. ERAS efektif menurunkan nyeri pascaoperasi dan meningkatkan skor KSS serta OKS. Integrasi edukasi praoperatif, manajemen nyeri, mobilisasi dini, dan perawatan perioperatif komprehensif meningkatkan hasil fungsional.
Kesimpulan: Program ERAS secara signifikan memperbaiki skor KSS, OKS, mengurangi durasi rawat inap, dan menurunkan nyeri pascaoperasi pada pasien TKR unilateral dibandingkan protokol konvensional.

Introduction: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) aims to standardize perioperative management and improve clinical outcomes. ERAS implementation in total knee replacement (TKR) reduces mortality, transfusions, complications, and length of stay (LOS) without affecting readmissions. This study aims to evaluate ERAS in unilateral TKR patients in Indonesia.
Methods: This study utilized a single-blind randomized clinical trial design at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and RS Fatmawati, Jakarta, involving 55 unilateral TKR patients aged 60-70 years with grade III-IV OA. Data analysis methods included SPSS, normality tests, Chi-square, independent T-tests, and Mann Whitney tests to evaluate the effectiveness of ERAS compared to conventional protocols.
Result: The results show that the ERAS protocol improves Knee Society Score (KSS) (p=0.001, mean difference=4.09) and Oxford Knee Score (OKS) (p<0.001, mean difference=4.98) scores, reduces length of stay (p<0.001, mean difference=-2.15 days), and decreases postoperative pain (p<0.001, mean difference=-2.01) compared to conventional protocols.
Discussion: Pre-operative and post-operative factors such as age, comorbidities, and early mobilization influence the length of stay. ERAS effectively reduces postoperative pain and improves KSS and OKS scores. Integrating preoperative education, pain management, early mobilization, and comprehensive perioperative care enhances functional outcomes.
Conclusion: The ERAS program significantly improves KSS, OKS scores, reduces length of stay, and decreases postoperative pain in unilateral TKR patients compared to conventional protocols.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewata Aprilia Marilyn
"Latar belakang. Tingginya angka bedah sesar menunjukkan tingginya anestesia spinal, komplikasi yang disebabkan oleh anestesia spinal yang berhubungan dengan morbiditas ibu dan janin adalah hipotensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah posisi reverse Trendelenburg (RT) dapat mencegah atau menurunkan angka kejadian hipotensi pada operasi bedah sesar yang menggunakan teknik anestesia spinal dengan bupivakain dosis 10 mg dengan fentanil 25 mcg.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis, acak, tidak tersamar pada pasien yang menjalani bedah sesar dengan anestesia spinal di RSIA Budi Kemuliaan pada bulan Oktober sampai November 2018. Sebanyak 108 subjek diambil setelah memenuhi kriteria inklusi. Analisis data menggunakan uji komparatif non-parametris Chi Square.
Hasil. Angka kejadian hipotensi pada kelompok reverse Trendelenburg 10 derajat sebesar 15/54 (27,8%) sedangkan kelompok posisi netral sebesar 31/54 (57,4%). Posisi RT menurunkan risiko hipotensi sebesar 2.08 kali dibandingkan posisi netral (Risk ratio 0,48) dengan Interval Kepercayaan 95% berada pada rentang 0,3 – 0,8. Secara statistik dengan uji Chi square didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok posisi RT dan netral dalam menyebabkan terjadinya hipotensi dengan nilai p 0,004.
Simpulan. Posisi reverse Trendelenburg 10 derajat menurunkan angka kejadian hipotensi dua kali lipat dibandingkan posisi netral.

Background. The high number of caesarean section procedure describes amount of spinal anesthesia method. Complication caused by spinal anesthesia which related to maternal and fetal comorbidities is hypotension. The main aim of this research is to study reverse Trendelenburg 10 degree position to prevent or lowering incidence of hypotension for patient undergo caesarean section with spinal anesthesia using bupivacaine 10 mg and fentanyl 25 mcg.
Method. This research is randomized but not blinded clinical trial to patient undergo caesarean section with spinal anesthesia at Budi Kemuliaan hospital during October to November 2018. Total 108 subjects were selected after fulfilling the inclusion criteria. Data were analyzed using nonparametric and comparative test with Chi Square.
Results.The incidence of hypotension in reverse Trendelenburg (RT) group is 15/54 (27.8%) while the incidence of hypotension in neutral group is 31/54 (57.4%). RT position lowering the incidence of hypotension in the amount of 2.08 times compared with neutral position (risk ratio 0.48), confidence interval 95% within 0.3-0.8. There is significant difference between groups with p 0.004.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk
menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb
merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga
epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat
perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk
menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan
faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural.
Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan
pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani
tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural.
Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance
(LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap
LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis
regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk
menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR.
Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak
lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk
dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of
agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari
nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat
diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan
tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari
tiap-tiap variabel dengan nilai R
2
tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti
tinggi badan (75,9%) dan usia (57%).
Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak
kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.

ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing
procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of
1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However,
there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question
on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric
population and factors related to skin-epidural distance in these population.
Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical
record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural
distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure.
SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy
of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural
distance measured using loss of resistance (LOR) compared with
prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to
identify predictor variable for skin-epidural distance.
Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in
analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of
agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected
limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight
and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight
variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R
value for
weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively.
Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not
accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There
is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Agnesha
"Latar Belakang : Brakhiterapi intrakaviter merupakan terapi keganasan pada stadium lanjut yang sering digunakan pada bidang ginekologi. Pasien brakhiterapi pada umumnya dilakukan dengan pelayanan rawat jalan sehingga anestesia yang menjadi pilihan selama ini adalah anestesia spinal.Pemilihan obat yang memiliki waktu pulih anestesia spinal yang lebih cepat membuat pasien dapat pulang kerumah lebih cepat. Penelitian ini mencoba mengetahui waktu pulih anestesia spinal levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dan uji klinik acak tersamar ganda yang akan dilaksanakan di unit radioterapi RSCM pada bulan Oktober 2015. Sebanyak 60 orang subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (LV) dan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (BV) untuk menilai waktu pulih anestesia spinal antara kedua kelompok perlakuan tersebut.
Hasil : Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menilai waktu kesiapan pulang pasien, waktu ambulasi dan waktu pasien dapat miksi spontan. Pada variabel waktu ambulasi, miksi spontan, dan waktu kesiapan pulang didapatkan hasil berbeda bermakna (p < 0,05).
Simpulan : Waktu pulih anestesia spinal, waktu ambulasi dan waktu miksi pada kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.

Introduction : Intracavitary brachytherapy is one of advanced stage cervical cancer modality treatment. These patients were treated as outpatient clinic fashion and the chosen anesthesia was spinal anesthesia. The regimens of spinal anesthesia will influenced the recovery time. The aim of the study is to compare the recovery time between two spinal anesthesia regimens Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl for brachytherapy outpatient clinic patient.
Method: This is a double blind randomized control trial study. The study was taken place at radiotherapy unit RSCM at October 2015. There were 60 patients that divided into two groups Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group. These two groups will be measured for spinal anesthesia recovery time.
Result : The spinal anesthesia recovery time measured by discharged readiness time, ambulation time, spontaneous micturition time. From the result of the study all of these three variables were significantly different between these two group regimens (P< 0,05).
Conclusion : spinal anesthesia recovery time, ambulation time, spontaneous micturition time of Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group were faster than 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group at intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55725
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Kurnia
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi (POST) merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada anestesia umum dengan teknik intubasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas tablet hisap amylmetacresol-dibenal dengan profilaksis deksametason intravena sebelum pemasangan pipa endotrakeal untuk mengurangi kekerapan POST.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda pada 121 pasien yang menjalani operasi dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal.Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan tablet hisap amylmetacresol-dibenal dan suntikan NaCl 0,9% 2 ml dan grup B diberikan Deksametason 10 mg intravena dan tablet hisap plasebo. Nyeri tenggorok pascaoperasi dievaluasi dengan Numerical Rating Scale (NRS) 3 kali; setelah operasi saat Alderette skor 10, 2 jam pascaoperasi dan 24 jam pascaoperasi. Kekerapan dan derajat nyeri tenggorok pascaoperasi dicatat dan dianalisis dengan uji chi-kuadrat.
Hasil. Tidak didapatkan perbedaan kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi bermakna pada kedua kelompok sesaat setelah operasi berakhir (18% pada kelompok A dan 16,7% pada kelompok B, p = 0,843), jam ke-2 (16,4% pada kelompok A dan 25% pada kelompok B, p = 0,242),dan jam ke-24 pascaoperasi. Derajat nyeri tenggorok pascaoperasi tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan. Tablet hisap amylmetacresol-dibenal sebelum pemasangan pipa endotrakeal memiliki efektivitas yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background. POST is one of the complications that often arise in the general anesthesia with intubation techniques. The purpose of this study was to compare the effectiveness of amylmetacresol - dibenal lozenges with prophylactic intravenous dexamethasone before intubation to reduce the incidence of POST.
Methods. This study is a prospective randomized clinical trials and double-blind trial in 121 patients undergo surgery under general anesthesia using endotracheal tube. Patient divided into two groups at random ; Group A 61 and group B of 60 people. Before induction, patients in group A was given amylmetacresol - dibenal lozenges and injection of 2 ml of 0.9% NaCl and group B was given intravenous dexamethasone 10 mg and placebo lozenges . POST was evaluated by the Numerical Rating Scale ( NRS ) 3 times ; after surgery when Alderette score of 10 , 2 hours postoperatively and 24 hours postoperatively . The frequency and degree of POST were recorded and analyzed with Chi-Square test.
Results. There were no differences in the incidence of POST significant in both groups after surgery when Alderette score of 10 ( 18 % in group A and 16.7 % in group B , p = 0.843 ) , h 2 ( 16.4 % in group A and 25 % in group B , p = 0.242 ), and the 24th hour postoperatively . The degree of POST was not significantly different between the two groups.
Conclusion. Amylmetacresol - dibenal lozenges before intubation tube has the same effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jefferson
"Latar Belakang: Hipotensi dengan, segala efek buruknya adalah komplikasi yang paling sering ditemukan pada tindakan anestesia spinal sebagai teknik yang paling popular pada anestesia bedah sesar. Pemberian ringer laktat adalah salah satu usaha pencegahan dengan waktu pemberian sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi manlaat.
Tujuan: Mengetahui efek hipotensi dan efek samping hipotensi akibat anestesia spinal setelah pemberian ringer iaktat saat dilakukan anestesia spinal dan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 155 subjek yang menjalani bedah sesar. 5 subjek dikeluarkan dari penelitian, dan subjek dibagi dalam dua kelompok yang sama besar (75 orang) secara acak sederhana. Kelompok perlakuan mendapat ringer laktat saat dilakukan anestesia spinal dan kelompok kontrol mendapat ringer laktat 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal sebanyak 20 inl/KgBB maksimal 1000 ml.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok dengan perbedaan sebesar 17% (interval kepercayaan 95% 1,4;32,6, dengan risk ratio 0,67 dan Number Needed to Treat (NNT) 6 orang. Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian efek samping hipotensi pada kedua kelompok. Didapatkan penurunan angka kejadian efek samping hipotensi sebesar 24% (interval kepercayaan 95% 11,2;36,8), dengan risk ratio 0,31, dan NNT 4 orang. Terdapat hubungan yang bermakna antara hipotensi dan efek samping hipotensi. Didapatkan perbedaan angka kejadian efek samping hipotensi yang timbul sebesar 52,3 % (interval kepercayaan 95% 40,15;64,45) pada pasien yang mengalami hipotensi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah pernakaian efedrin dengan efek samping hipotensi, dengan korelasi yang sangat lemah.
Kesimpulan: Pemberian ringer laktat saat dilakukannya anestesia spinal lebih baik dalani menurunkan angka kejadian hipotensi dan angka kejadian efek samping hipotensi akibat anestesia spinal dibandingkan dengan pemberian ringer laktat 20 menit sebelum anestesia spinal."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmayanti Irawan
"Telah dilakukan penelitian mengenai penurunan tekanan bola mata oleh gabungan suntikan anestesia retrobulbar dan penekanan bola mata dibandingkan dengan penurunan tekanan bola mata oleh penekanan bola mata saja pada 20 pasien katarak di ruang bedah bagian mata RSCM, dengan. umur 40 - 72 tahun, dengan tekanan bola mata awal 10,2 - 17.3 mmHg. Kelompok I yaitu yang diberi suntikan retrobulbar marcain 0,5% 1 ml dan xylocain 2% 1 ml dan penekanan bola mata 30 mmBg selama 15 menit, dilakukan pada mata yang akan dioperasi,sebanyak 20 mata. Kelompok II yaitu yang diberi penekanan bola mata saja 30 mmBg selama 15 menit, dilakukan pada mata sebelahnya, sebanyak 20 mata.

A study has been conducted on the reduction of intraocular pressure by a combination of retrobulbar anesthesia injection and intraocular compression compared to the reduction of intraocular pressure by intraocular compression alone in 20 cataract patients in the chamber surgery of the RSCM eye, with. age 40 - 72 years, with an initial eyeball pressure of 10.2 - 17.3 mmHg. Group I, namely those who were given 1 ml of 0.5% marcain retrobulbar injection and 1 ml of xylocaine 2% and 30 mmBg eyeball pressure for 15 minutes, were performed on the eye to be operated on, as many as 20 eyes. Group II, which is given an eyeball pressure of only 30 mmBg for 15 minutes, is carried out on the next eye, as many as 20 eyes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>