Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edi Darmawan
"Latar belakang: Laringoskopi dan intubasi endotrakeal adalah prosedur untuk memfasilitasi pengelolaan jalan nafas dan ventilasi pada anestesi umum. Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan variabel hemodinamik akibat respon saraf simpatis. Fentanyl merupakan agonis opioid dengan onset cepat dan durasi pendek yang dapat menekan respon saraf simpatis. Oxycodone menjadi agonis opioid kuat dengan potensi mirip morfin dan onset mirip fentanyl. Laporan penggunaan oxycodone dalam menekan tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada pasien yang menjalani anestesi umum di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilaporkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda pada 64 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi blok; Grup A 32 pasien dan grup B 32 pasien. Sebelum induksi anestesi, Grup A diberikan fentanyl 2 µg/kg dan Grup B diberikan oxycodone 0,2 mg/kg. Penilaian hemodinamik menggunakan variabel sistolik, diastolik, MAP, dan denyut jantung pada saat sebelum diberikan premedikasi, sesaat sesudah diberikan premedikasi, dan setelah dilakukan laringoskopi dan intubasi. Variabel hemodinamik ini dicatat dan dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Pada variabel denyut jantung menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dengan nilai P < 0,05. Pada variabel sistolik, diastolik dan MAP menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dimana nilai P > 0,05.
Simpulan: Terdapat perbedaan efektivitas oxycodone dibandingkan fentanyl dalam mengurangi tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum berupa denyut jantung, namun tidak dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan MAP.

Background: Laryngoscopy and endotracheal intubation are procedures to facilitate the management of airway and ventilation in general anesthesia. These procedures can cause changes in the hemodynamic variables due to the sympathetic nerve response. Fentanyl is an opioid agonist with rapid onset and short duration that can suppress sympathetic nerve responses. Oxycodone becomes a strong opioid agonist with morphine-like potential and fentanyl-like onset. Reports of the use of oxycodone in suppressing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation in patients undergoing general anesthesia in Indonesia have not been reported so far.
Method: This study used a double blind randomized clinical trial method in 64 patients who underwent surgery under general anesthesia using endotracheal tubes. Patients were divided into two groups with block randomization; Group A 32 patients and group B 32 patients. Before induction of anesthesia, Group A was given fentanyl 2 µg/kg and Group B was given oxycodone 0.2 mg/kg. Hemodynamic assessment uses the systolic, diastolic, MAP, and heart rate variables before premedication, shortly after premedication, and after laryngoscopy and intubation. These hemodynamic variables were recorded and analyzed using an unpaired T test.
Results: The heart rate variable showed a significant difference between fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P < 0.05. In the systolic, diastolic and MAP variables showed no significant difference between the fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P > 0.05.
Conclusion: There is a difference in the effectiveness of oxycodone compared to fentanyl in reducing hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation under general anesthesia in the form of heart rate, but not in terms of systolic blood pressure, diastolic blood pressure and MAP."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2019
T58833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Catur Sari
"Pendahuluan: Pertambahan usia pada kelompok geriatri dikaitkan dengan perubahan beberapa fungsi fisiologis, termasuk termoregulasi. Hal ini menyebabkan pasien geriatri berisiko tinggi untuk terjadinya hipotermia perioperatif yang berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas pembedahan. Pencegahan hipotermia perioperatif dengan pemanasan aktif digunakan untuk mempertahankan normotermia pada pasien usia geriatri.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tidak tersamar yang melibatkan 42 subjek pasien geriatri yang menjalani anestesi umum untuk prosedur bedah minor. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok perlakuan yang mendapatkan prewarming dengan FAW selama 15 menit dengan suhu target 37 – <37,5 °C dan kelompok kontrol yang mendapatkan selimut selama 15 menit. Data suhu, tekanan darah, dan laju nadi dicatat per 15 menit sampai 1 jam pascaanestesia. Hasil: Pada kedua kelompok terjadi penurunan suhu dalam 1 jam pascaanestesia umum. Kelompok prewarming dengan FAW memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok selimut 1 jam pascaanestesia dengan nilai suhu median 36.3 (36.1-36.6) °C dibandingkan 35.0 (34.5-35.4) °C, (p<0.001). Perubahan suhu prewarming pada kelompok FAW dibandingkan dengan suhu baseline pada 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 60 menit yakni sebesar 0.94 (0.7-1.2) °C, p<0,001; 0.94 (0.7-1.2) °C, p<0,001; 1.03 ± 0.11 °C, p<0,001; 1.04 (0.8-1.3) °C, p<0,001; dan 1.13 ± 0.1 °C, p<0,001. Perubahan suhu kelompok selimut dibandingkan dengan suhu baseline pada 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 60 menit yakni sebesar 1.22 ± 0.18 °C, p<0,001; 1.32 ± 0.17 °C, p<0,001; 1.42 ± 0.19 °C, p<0,001; 1.47 ± 0.21 °C, p<0,001, dan 1.56 ± 0.22 °C, p<0,001.
Kesimpulan: Prewarming dengan FAW selama 15 menit dapat mencegah hipotermia pasca 1 jam anestesia umum pada pasien geriatri.

Introduction: Aging in geriatric patients is associated with physiological changes, including impaired thermoregulation. This may increase the risk of perioperative hypothermia, which impacts surgical morbidity and mortality. Active warming methods potentially help maintain normothermia in this susceptible population. Methods: This randomized, open-label clinical trial involved 42 geriatric patients undergoing general anesthesia for minor surgery. Participants were divided into a prewarming group receiving forced-air warming (FAW) at 37–<37.5°C for 15 minutes, and a control group using blankets for similar duration. Temperature, blood pressure, and heart rate were monitored every 15 minutes up to one hour post- induction.
Results: The temperature were declined in two groups during 1 hour of general anesthesia. The temperature was higher in the FAW group compared to the blanket group one hour post general anesthesia with median temperature 36.3 (36.1-36.6) °C vs. 35.0 (34.5-35.4) °C, (p<0.001). Baseline temperature perioperative decline in FAW compared with 0 minutes, 15 minutes, 30 minutes, 45 minutes, and 60 minutes post general anesthesia were 0.94 (0.7-1.2) °C, p<0,001; 0.94 (0.7-1.2) °C, p<0,001; 1.03 ± 0.11°C, p<0,001; 1.04 (0.8-1.3) °C, p<0,001; dan 1.13 ± 0.1°C, p<0,001. Baseline temperature perioperative decline in blanket compared with 0 minutes, 15 minutes, 30 minutes, 45 minutes, and 60 minutes post general anesthesia were 1.22 ± 0.18 °C, p<0,001; 1.32 ± 0.17 °C, p<0,001; 1.42 ± 0.19 °C, p<0,001; 1.47 ± 0.21 °C, p<0,001, dan 1.56 ± 0.22 °C, p<0,001.
Conclusion: Fifteen minutes of prewarming with FAW effectively prevents hypothermia one hour after general anesthesia in geriatric patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Kurniawan
"Pendahuluan: Laparoskopi memiliki risiko intraoperatif dan pascaoperasi, termasuk instabilitas hemodinamik dan nyeri pascaoperasi. Anestesi umum sering digunakan untuk operasi ini, namun teknik ini tidak menekan peningkatan resistensi vaskular sistemik selama laparoskopi sehingga fluktuasi hemodinamik tetap terjadi. Sayatan dinding abdomen dan regangan peritoneum selama operasi juga menyebabkan nyeri somatis dan viseral yang dirasakan pascaoperasi. Penambahan blok TAP pada operasi laparoskopi belum memuaskan disamping memerlukan instrumen tambahan serta bergantung pada kemampuan operator. Anestesi spinal dapat menguntungkan karena dapat menetralkan peningkatan SVR dan menghambat nyeri selama operasi, namun penggunaannya dikaitkan dengan mobilisasi yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menjaga perubahan hemodinamik intraoperatif, nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan anestesi umum dan blok TAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok S (spinal) dilakukan anestesi spinal menggunakan bupivacaine 10 mg + morfin 50 mcg intratekal disusul anestesi umum. Kelompok T (blok TAP) dilakukan anestesi anestesi umum disusul blok TAP dengan bupivacaine 0.25% 20 ml pada kedua sisi abdomen. Perubahan tekanan darah dan nadi, NRS pascaoperasi 3 jam dan 6 jam, waktu untuk mencapai Bromage 0, serta kejadian nyeri bahu dan mual muntah pascaoperasi dicatat. Hasil: Pada kelompok S terdapat perubahan tekanan darah sistolik yang signifikan dibandingkan dengan kelompok T setelah 15 menit insuflasi (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). Tidak ada perbedaan nyeri pascaoperasi dan waktu pulih pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menurunkan tekanan darah sistolik, namun tidak berbeda dalam nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan kombinasi anestesi umum dan blok TAP.

Introduction: Laparoscopy is associated with intraoperative and postoperative risks, including hemodynamic instability and postoperative pain. Although general anesthesia is often used for this procedure, hemodynamic fluctuations still occur because this technique does not suppress the increase in systemic vascular resistance during laparoscopy. Incisions in the abdominal wall and stretching of the peritoneum during surgery can also cause somatic and visceral pain after surgery. Adding TAP block to laparoscopic surgery is not satisfactory, apart from requiring additional instruments and depending on the operator’s abilities. Spinal anesthesia may be beneficial as it can counteract the increase in SVR and suppress pain during surgery, but its use is associated with delayed mobilization. The purpose of this study is to determine whether the combination of general and spinal anesthesia is superior in maintaining intraoperative hemodynamic changes, postoperative pain, and recovery time compared to general anesthesia and TAP blockade.
Methods: This study is a single-blind, randomized clinical trial with 41 patients divided into two groups. Group S (spinal) received spinal anesthesia with 10 mg bupivacaine + 50 μg morphine administered intrathecally, followed by general anesthesia. Group T (TAP block) received general anesthesia followed by TAP block with 20 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the abdomen. Intraoperative blood pressure and heart rate changes, NRS at 3 and 6 hours postoperatively, time to reach bromage 0, and occurrence of postoperative shoulder pain and nausea and vomiting were recorded.
Results: In group S there was a significant change in systolic blood pressure compared to group T after 15 minutes of insufflation (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). There was no difference in postoperative pain and recovery time in the two groups.
Conclusion: The combination of general anesthesia and spinal anesthesia is better in reducing systolic blood pressure, but does not differ in postoperative pain and recovery time compared to the combination of general anesthesia and TAP block.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yulianti
"Kecemasan pre operasi merupakan salah satu masalah yang paling umum terjadi pada pasien
rencana operasi tumor otak. Tidak mengendalikan masalah ini dapat berdampak negatif pada
hasil pasca operasi. Salah satu intervensi nonfarmakologis saat ini untuk mengurangi
kecemasan pre-operasi adalah edukasi pasien. Salah satu media edukasi yang telah
dikembangkan dan digunakan sebagai pendekatan alternatif yang semakin populer untuk
mengelola kecemasan pre operasi yaitu melalui teknologi virtual reality (VR). Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi berbasis VR terhadap
kecemasan pre operasi tumor otak primer. Penelitian quasi-eksperimental melibatkan 54
pasien yang dibagi menjadi masing-masing 27 responden kelompok intervensi dan kontrol.
Kecemasan pre-operasi diukur menggunakan The Amsterdam Preoperative Anxiety and
Information scale (APAIS) sebelum dan setelah intervensi dilakukan. Hasil skor kecemasan
rata-rata sebelum intervensi adalah 20,96 dan 19,15 sedangkan skor kecemasan rata-rata
setelah intervensi adalah 14 dan 19 pada kelompok intervensi dan kontrol. Terdapat
hubungan yang bermakna antara skor kecemasan rata-rata setelah intervensi pada kelompok
intervensi dan kontrol (p 0,000). Edukasi berbasis virtual reality terbukti efektif menurunkan
kecemasan pre operasi tumor otak primer dibandingkan dengan kelompok yang menerima
perawatan standar. Pengenalan VR secara umum untuk populasi pasien yang besar yang
menjalani operasi tumor otak primer harus dipertimbangkan untuk mengurangi kecemasan
pada populasi tersebut.

Preoperative anxiety is one of the most common problems in patients planning brain tumor surgery.
Not controlling this problem can have a negative impact on postoperative outcomes. One of the
current nonpharmacological interventions to reduce pre-operative anxiety is patient education. One
educational medium that has been developed and used as an increasingly popular alternative
approach to managing preoperative anxiety is through virtual reality (VR) technology. Therefore,
this study aims to determine the effect of VR-based education on primary brain tumor preoperative
anxiety. The quasi-experimental study involved 54 patients who were divided into 27 intervention
and control group respondents each. Preoperative anxiety was measured using The Amsterdam
Preoperative Anxiety and Information scale (APAIS) before and after the intervention. The mean
anxiety scores before the intervention were 20.96 and 19.15, while the mean anxiety scores after the
intervention were 14 and 19 in the intervention and control groups, respectively. There was a
significant relationship between the average anxiety scores after the intervention in the intervention
and control groups (p 0.000). Virtual reality-based education proved effective in reducing
preoperative anxiety of primary brain tumors compared to the group receiving standard care. The
general introduction of VR to a large population of patients undergoing primary brain tumor surgery
should be considered to reduce anxiety in this population.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verrel Wibisono Surjatin
"Latar Belakang Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostik atau terapeutik yang penting bagi pasien penyakit jantung bawaan (PJB). Meskipun prosedur ini efektif, prosedur ini mempunyai risiko komplikasi dengan minimnya informasi yang dipublikasikan dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian komplikasi mayor saat kateterisasi jantung pada pasien PJB di pusat rujukan nasional di Indonesia. Metode Data cross-sectional pasien anak PJB yang menjalani kateterisasi jantung dengan anestesi umum pada bulan Januari 2020 hingga Februari 2022 di Pelayanan Jantung Terpadu, rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dikumpulkan melalui rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi demografi pasien, jenis PJB, laporan prosedur, dan komplikasi. Kami meninjau dan menjelaskan data kateterisasi jantung anak untuk PJB selama periode 14 bulan. Hasil Tercatat sebanyak 179 prosedur kateterisasi jantung, dengan total 13 komplikasi yang terjadi pada 9 (5,0%) kasus. Dari jumlah tersebut, 7 merupakan komplikasi mayor, yang terjadi pada 5 (2,79%) prosedur. Komplikasi mayor meliputi bradikardia, desaturasi dan hipotensi yang menyebabkan upaya resusitasi atau pemindahan ke unit perawatan intensif jantung (CICU), serta aritmia, dan hipoksemia berat. Komplikasi minor terjadi pada 4 tindakan (2,23%). Komplikasi mayor lebih sering terjadi pada penyakit jantung bawaan yang kompleks dan memiliki median usia dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan prosedur tanpa komplikasi. Kesimpulan Insiden prosedur dengan komplikasi mayor selama kateterisasi jantung untuk PJB dengan anestesi umum dalam penelitian ini adalah 2,79%, hal ini konsisten dengan studi lain. Komplikasi mayor masih dapat terjadi dalam prosedur diagnostik, hal ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penempatan staf, persiapan, dan pemantauan peri-prosedural, terutama pada pasien berisiko tinggi dan penyakit jantung bawaan kompleks.

Introduction Cardiac catheterisation is an essential diagnostic and therapeutic tool in patients with congenital heart disease (CHD). While it is effective, the procedure carries a risk of complications, with little information published from low-middle income countries in Asia. This study aimed to investigate the incidence of major complications during cardiac catheterisation in patients with CHD at a national referral centre in Indonesia. Method Cross sectional data for paediatric patients with CHD who underwent cardiac catheterisation under general anaesthesia from January 2020 to February 2022 at Pelayanan Jantung Terpadu, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, were collected via medical records. Data on patient demographics, types of CHD, procedural details, and complications were collected. We review and describe the data on paediatric cardiac catheterisations for CHD over a period of 14 months. Results A total of 179 cardiac catheterisation procedures were recorded, with a total of 13 complications which occurred in 9 (5.0%) cases. Of these, 7 were major complications, which occurred in 5 (2.79%) procedures. Major complications included bradycardia, desaturation and hypotension leading to resuscitation efforts or transfer to cardiac intensive care unit, as well as arrhythmias, and severe hypoxemia. Minor complications occurred in 4 procedures (2.23%). Major complications occurred more often in complex congenital heart disease cases and had a lower median age and weight relative to procedures without complications. Conclusion The incidence of procedures with major complications during cardiac catheterisation for CHD under general anaesthesia in this study was 2.79%, which is consistent with other studies. Major complications can still occur in diagnostic procedures, highlighting the importance of careful staffing, preparation and peri-procedural monitoring, especially in higher risk patients and complex congenital heart disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library