Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lydia Arihta
Abstrak :
Kekerasan terhadap anak di dalam keluarga atau rumah tangga pada saat ini di Indonesia merupakan salah satu masalah yang sedang berkembang dan korbannya terus meningkat jumlahnya. Akan tetapi, kasus tersebut seringkali tidak dilaporkan, sehingga menjadi dark number of crime. Dengan terus meningkatnya jumlah anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, maka masalah ini sudah seharusnya penting untuk diperhatikan dan dicari penyelesaiannya. Kekerasan terhadap anak terdiri dari berbagai bentuk, antara lain: kekerasan fisik, kekerasan psikis atau psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Anak merupakan salah satu subjek hukum, jadi kepentingan anak juga diatur, dijamin, dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, produk hukum yang ada di Indonesia, seperti: KUHP, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga mengatur mengenai peranan aparat penegak hukum yang ada dalam melindungi anak yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). UU 23 Tahun 2004 ini tidak hanya mengatur secara materiil, tetapi juga mengatur secara formil, bagaimana kewenangan aparat penegak hukum. Yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah kesatuan terpadu dari lembaga yang berwenang dalam menangani tindak pidana, atau yang biasa disebut dengan Sistem Peradilan Pidana. Sistem Peradilan Pidana tersebut terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Dalam menjalankan tugasnya, aparat penegak hukum mengalami kendala. Hukum dapat berfungsi dengan baik, apabila dapat digunakan dan sesuai dengan aspek sosiologis dalam masyarakat.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S26311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vrisca Asmara
Abstrak :

Tesis ini membahas pengaturan perlindungan anak korban perkosaan (statutory rape) di peraturan perundang-undangan Indonesia yang pada saat ini masih mengatur tentang pengertian dan bentuk-bentuk tindak pidana perkosaan secara sempit. Serta penelitian ini juga melakukan studi perbandingan tentang pengaturan perlindungan anak korban perkosaan dengan Negara Filipina, Inggris dan Malaysia. Selain itu, dalam penelitian ini peneliti  juga melakukan analisa terhadap beberapa putusan pengadilan untuk melihat bagaimana peranan Hakim dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban perkosaan. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan pendekatan perbandingan dengan mekanisme wawancara, dimana peneliti menganalisa Peraturan Perundang-Uundangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Peraturan Perundang-Undangan tentang tindak pidana perkosaan di Indonesia yang berlaku saat ini belum memiliki pengaturan khusus dan masih mengatur secara sempit dari segi pengertian dan bentuk-bentuk tindak pidana perkosaan. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan terkait tindak pidana perkosaan di Negara Indonesia dengan Negara Filipina, Inggris dan Malaysia. Serta perbedaan penjatuhan hukuman terhadap kasus perkosaan yang dilakukan dengan sukarela (statutory rape) dengan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh keluarga terdekat anak korban.


This thesis discusses the regulation of the protection of child victims of rape (statutory rape) Indonesian legislation, which currently still regulates the definition and forms of criminal acts of rape in a narrow manner. As well as this study also conducted a comperative study of the regulation of the protection of child rape victims with Phillipine, British and Malaysian countries. Futhermore, in this study researchers also conducted an analysis of several court decisions to see how the role of the Judge in providing protection for children who were victims of rape. This study is study a normative juridicial and comparative approach to the interview mechanism. Where the researcher analyzes the laws and regulations that are related to the extent to wich the regulation is applied and apllies in the community. The results of the study reveal that the current legislation concerning the rape crime in Indonesia does not yet have a specific regulation and still regulates narrowly in terms of understanding and forms of rape. Furthermore, there are some differences in the regulation regarding the crime of rape in the state of Indonesia with the Philippines, Britain and Malaysia. And the difference in the imposition of penalties for rape cases carried out voluntarily (statutory rape) with criminal acts of rape carried out by the immediate family of the victim’s child.

2019
T53119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athiya Raihana
Abstrak :
Kekerasan pada anak merupakan ancaman berskala global dan jumlahnya meningkat setiap tahun di Indonesia. Kekerasan pada anak memiliki konsekuensi psikososial jangka panjang mulai dari konsekuensi fisik, psikologis, perilaku, sampai konsekuensi sosial. Kekerasan pada anak juga merupakan pengabaian terhadap hak-hak anak di mana anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Di Indonesia, perlindungan anak meliputi upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Penelitian ini membahas mengenai kondisi psikososial anak korban kekerasan fisik dan seksual sebelum dan sesudah mendapatkan layanan rehabilitasi sosial serta faktor pendukung dan penghambat proses perubahan kondisi psikososial anak dalam masa rehabilitasi sosial di Sentra Handayani Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan, wawancara mendalam, dan observasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 7 orang yang terdiri dari, 2 pekerja sosial, 2 anak korban kekerasan, 2 pengasuh, dan 1 psikolog. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa gangguan psikososial yang dialami anak korban kekerasan fisik dan seksual sebelum mendapatkan layanan rehabilitasi sosial antara lain: depresi, agresif, menutup diri, tidak percaya diri, ketakutan, dan hiperseks. Namun, setelah mendapatkan layanan rehabilitasi sosial di lembaga, ada beberapa perubahan kondisi psikososial anak dilihat dari aspek psikososial serta aspek fisik. Perubahan aspek fisik seperti kenaikan berat badan dan memudarnya bekas luka anak. Perubahan aspek psikologis seperti kondisi depresi yang membaik ditandai dengan pola tidur yang kembali normal, mimpi buruk yang tidak kembali datang, hilangnya keinginan untuk menyakiti diri sendiri, dan emosi yang lebih stabil. Perubahan lainnya seperti kepercayaan diri yang meningkat dan pulihnya trauma (ketakutan) anak. Sedangkan, perubahan dari aspek perilaku seperti berkurangnya sifat agresif anak dan anak menjadi lebih terbuka. Adapun beberapa upaya yang dilakukan lembaga untuk memulihkan kondisi psikososial anak korban kekerasan adalah melalui layanan seperti konseling dan terapi. Konseling bertujuan untuk memecahkan masalah yang dimiliki anak korban kekerasan selama masa rehabilitasi. Sedangkan, terapi ditujukan kepada anak korban kekerasan yang memiliki trauma dan permasalahan psikologis tertentu yang membutuhkan penanganan lebih lanjut. Terdapat beberapa faktor pendukung proses perubahan kondisi psikososial anak korban kekerasan di antaranya: dukungan teman sebaya, dukungan keluarga dan dukungan pekerja sosial. Ketiganya telah membantu anak dengan memberikan dukungan emosional sehingga anak tidak lagi merasa sendirian dan kesepian selama menjalani proses rehabilitasi. Namun, terdapat juga faktor yang menghambat proses perubahan dari pihak anak seperti kepribadian anak yang tertutup dan sulit diatur. Faktor penghambat lainnya berasal dari lembaga, yaitu sikap dan perilaku pengasuh dan anak-anak di asrama yang suka berbicara kasar dan kotor. ......Violence against children is a global threat and the number increases every year in Indonesia. Violence against children has long-term psychosocial consequences ranging from physical, psychological, behavioral, to social consequences. Violence against children is also a disregard for children's rights where children have the right to protection from violence and discrimination. In Indonesia, child protection includes rehabilitation efforts carried out by child social welfare institutions (LKSA). Social rehabilitation is intended to restore and develop the ability of someone who experiences social dysfunction so that they can carry out their social functions properly. This research discusses the psychosocial conditions of children who are victims of physical and sexual violence before and after receiving social rehabilitation services as well as supporting and inhibiting factors in the process of changing children's psychosocial conditions during the social rehabilitation period at the Handayani Center in Jakarta. This research uses a qualitative approach with descriptive research type. The data collection method in this research was carried out through literature study, in-depth interviews, and observation. The informants in this study were 7 people consisting of 2 social workers, 2 child victims of violence, 2 caregivers, and 1 psychologist. The research results show that there are several psychosocial disorders experienced by children who are victims of physical and sexual violence before receiving social rehabilitation services, including: depression, aggression, withdrawal, lack of self-confidence, fear, and hypersexuality. However, after receiving social rehabilitation services at the institution, there were several changes in the child's psychosocial condition seen from the psychosocial and physical aspects. Changes in physical aspects such as weight gain and fading of children's scars. Changes in psychological aspects such as improved depression are characterized by sleep patterns returning to normal, nightmares not coming back, loss of desire to harm oneself, and more stable emotions. Other changes include increased self-confidence and recovery from children's trauma (fears). Meanwhile, changes in behavioral aspects such as reducing children's aggressive nature and children becoming more open. Some of the efforts made by institutions to restore the psychosocial condition of children who are victims of violence are through services such as counseling and therapy. Counseling aims to solve the problems that child victims of violence have during the rehabilitation period. Meanwhile, therapy is aimed at child victims of violence who have trauma and certain psychological problems that require further treatment. There are several factors that support the process of changing the psychosocial conditions of children who are victims of violence, including: peer support, family support and social worker support. The three of them have helped the child by providing emotional support so that the child no longer feels alone and alone during the rehabilitation process. However, there are also factors that hinder the process of change on the part of the child, such as the child's personality being closed and difficult to manage. Another inhibiting factor comes from the institution, namely the attitudes and behavior of caregivers and children in the dormitory who like to talk rudely and dirty.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Andyara Milono
Abstrak :
Anak korban memiliki beberapa hak, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan restitusi. Restitusi ditinjau dari viktimologi merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku atas penderitaan yang diakibatkan terhadap korban. Akan tetapi, kedudukan restitusi dalam sistem pemidanaan di Indonesia belum diatur secara jelas. Restitusi pada praktik telah beberapa kali diberikan kepada anak korban, di antaranya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 86/PID.SUS/2022/PT BDG dengan terdakwa Herry Wirawan dan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel dengan terdakwa Mario Dandy. Namun di antara kedua kasus tersebut terdapat perbedaan yang signifikan terkait dengan besaran restitusi bagi anak korban, sehingga pertimbangan majelis hakim dalam menentukan besaran restitusi pada kedua kasus tersebut perlu dianalisis. Berdasarkan beberapa persoalan tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai pandangan viktimologi terhadap anak korban, kedudukan restitusi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, dan pertimbangan hakim dalam menentukan besaran restitusi pada perkara yang melibatkan anak sebagai korban tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan menggunakan bahan hukum sebagai sumber utama dari data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa anak korban memiliki karakteristik khusus yang membuat mereka rentan menjadi korban tindak pidana, lalu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa restitusi di Indonesia merupakan pidana tambahan. Terkait dengan kasus yang dianalisis, penelitian ini menemukan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung telah mempertimbangkan kerugian para anak korban dan kemampuan pelaku dengan baik dalam menentukan besaran restitusi pada kasus dengan terdakwa Herry Wirawan, sedangkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan kerugian anak korban dengan baik namun belum mempertimbangkan dengan baik kemampuan pelaku dalam membayar restitusi dalam kasus dengan terdakwa Mario Dandy. ......Child victims have several rights, one of them is the right to get restitution. Restitution according to victimology is a form of responsibility of the perpetrator for the suffering caused to the victim. However, the position of restitution in penal system in Indonesia hasn’t been clearly regulated. In practice, restitution has been given several times to child victims, like in Bandung High Court Decision Number 86/PID.SUS/2022/PT BDG with the Herry Wirawan as the defendant and in South Jakarta District Court Decision Number 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel with Mario Dandy as the defendant. However, there are significant difference regarding the amount of restitution for child victims between the two cases, so judge's considerations in determining the amount of restitution in both cases need to be analyzed. Based on those several issues, this research will discuss the victimology view of child victims, the position of restitution in the criminal system in Indonesia, and judge's considerations in determining the amount of restitution in cases involving children as victims of crime. This research is a doctrinal research that uses legal materials as its main source of data that used in this research. This research concluded that child victims have special characteristics that make them vulnerable to become crime victim, this research also concluded that restitution in Indonesia is an additional punishment. Regarding the cases that have been analyzed, this research found that the Judges at the Bandung High Court had properly consider the losses of the child victims and the perpetrator's ability to pay in determining the amount of restitution in the case with Herry Wirawan as the defendant, whereas Judges at the South Jakarta District Court had properly considered the losses to the child victim but haven’t properly consider the perpetrator's ability to pay restitution in the case with Mario Dandy as the defendant.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghasani Shabrina Hazmiyanti
Abstrak :
ABSTRAK<>br> Tulisan ini bertujuan untuk memperluas kajian mengenai pemberitaan media atas korban dengan menggunakan konsep victim worthiness sebagai konsep yang menjelaskan adanya nilai korban di mata media yang disebabkan oleh faktor di luar atribut korban itu sendiri. Teori Pengaruh Ekstramedia dalam tulisan ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana konten media dapat dipengaruhi dan berimbas pada victim worthiness dalam pemberitaan. Penulis menemukan adanya disporporsional pemberitaan media terhadap dua kasus yaitu kasus kekerasan seksual terhadap anak dan kasus pekerja anak pada media online selama tahun 2016. Meskipun pada dasarnya anak merupakan bagian dari kelompok rentan, dalam kaca mata media masih terdapat nilai korban yang membuat anak korban kekerasan seksual berbeda dengan pekerja anak. Penulis menyimpulkan adanya faktor nilai berita, konteks sosial dan kepentingan bisnis yang menyebabkan adanya victim worthiness dalam pemberitaan media terhadap dua kasus tersebut. Tulisan ini menemukan bahwa masih terdapat perbedaan nilai dan kepentingan dalam pemberitaan kasus anak sebagai korban yang terjadi di media massa sehingga berdampak pada timpangnya reaksi masyarakat dan atensi pemegang kebijakan.
ABSTRACT<>br> This paper aims to broaden the study about media coverage of victims by using victim worthiness as a concept that explains the value of victims on media perspective which is caused by external factor outside the attributes of the victim itself. Extramedia influence theory is used to explain how media content can be affected and has impact to victim worthiness on news coverage. The author finds a disproportionate media coverage of two cases child sexual abuse and child labor. Although children are basically a part of vulnerable groups, in the media perspective there is still a victim value that makes child victims of sexual violence different from child labor. The author concludes that the existence of news value, social context and business interests cause victim worthiness in media coverage of the two cases. This paper finds that there are differences in the value and interest on reporting the cases of children as victims that occurred in the mass media that impact on the lame reaction of the community and policy maker rsquo s attention.
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Valencia Katlea Rotua
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perlindungan hukum bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan modus Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) di Indonesia di tengah ketiadaan hukum yang secara spesifik mengaturnya. NCII merupakan tindakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Tindakan ini merupakan bentuk KBGO yang kerap terjadi kepada anak perempuan di bawah umur. Motif dari NCII umumnya dimulai dengan jalinan hubungan romantis, perekaman konten intim tanpa konsen maupun dengan konsen, sehingga berujung dengan pengancaman serta penyebaran konten intim tersebut tanpa persetujuan korban. Di Indonesia NCII masih diatur dalam konteks yang terbatas, yaitu hanya pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS tentang perekaman konten intim tanpa persetujuan, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang mentransmisikan konten bermuatan asusila. Melalui penelitian ini, Penulis menemukan bahwa walaupun undang-undang Indonesia telah mengatur mengenai unsur tindak pidana NCII, akan tetapi pelaksanaannya terkadang masih belum optimal. Dalam suatu perkara NCII, biasanya terdapat beberapa unsur perbuatan lain yang memenuhi kriteria sebagai tindak pidana. Namun, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya unsur tindak pidana penyebaran konten bermuatan asusilanya saja. Hal ini berpotensi merugikan korban dalam mendapat keadilan. Oleh karena itu, melalui metode socio-legal, penelitian ini mengkaji bagimana penanganan perkara NCII yang paling ideal dapat memberikan keadilan serta perlindungan bagi korban. Penyelesaian jalur hukum bukanlah hal yang mudah bagi korban, sebab terdapat stigma dari masyarakat, sekolah, bahkan APH yang memperburuk situasi korban. Oleh karena itu korban NCII, terutama anak di bawah umur membutuhkan perlindungan lebih dalam menempuh penyelesaian jalur hukum, mulai dari proses pelaporan, persidangan, hingga pemulihan. Dalam memberikan keadilan bagi korban, diperlukan peran APH yang berperspektif korban. Selain keadilan, korban NCII anak di bawah umur juga membutuhkan pemulihan dan penanganan pasca-kejadian agar korban dapat kembali beraktivitas layaknya anak pada umumnya. Selain itu, penanganan korban NCII juga membutuhkan sinergisitas antara lembaga-lembaga sosial terkait. Pemerintah, APH, dan lembaga sosial harus bahu-membahu dalam pencegahan dan penanganan perkara-perkara NCII yang dialami korban anak di bawah umur untuk mencapai keadilan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban. ......This research aims to explore how legal protection is for victims of Online Gender Based Violence (KBGO) using the Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) mode in Indonesia amidst the absence of laws that specifically regulate it. NCII is an act of distributing intimate content without consent. This action is a form of KBGO which often occurs to underage girls. The motives for NCII generally start with a romantic relationship, recording intimate content without consent or with consent, which ends with threats and distributing intimate content without the victim's consent. In Indonesia, NCII is still regulated in a limited context, namely only in Article 14 paragraph (1) of the TPKS Law concerning recording intimate content without consent, and Article 27 paragraph (1) of the ITE Law concerning transmitting immoral content. Through this research, the author found that although Indonesian law has regulated the elements of NCII criminal acts, its implementation is sometimes still not optimal. In an NCII case, there are usually several other elements of the act that meet the criteria for a criminal act. However, the punishment imposed on the perpetrator is only an element of the crime of spreading immoral content. This has the potential to harm victims in getting justice. Therefore, through socio-legal methods, this research examines how the most ideal handling of NCII cases can provide justice and protection for victims. Resolving legal action is not an easy thing for victims, because there is stigma from society, schools, and even law enforcement officers which worsens the victim's situation. Therefore, NCII victims, especially minors, need more protection in pursuing legal remedies, starting from the reporting process, trial, to recovery. In providing justice for victims, a law enforcement officer’s role with a victim perspective is needed. Apart from justice, minor NCII victims also need post-incident recovery and treatment so that victims can return to their activities like children in general. Apart from that, handling NCII victims also requires synergy between related social institutions. The government, law enforcement officers, and social institutions must work together in preventing and handling NCII cases experienced by minor victims to achieve justice, protection, and recovery for victims.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library