Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roro Rukmi Windi Perdani
"Latar Belakang : Epilepsi resisten obat berkisar 30% dari seluruh kasus epilepsi. Penggunaan kembali OAE lini 1 pada kasus tersebut belum pernah dilakukan meskipun dapat menjadi pilihan terapi karena berdasarkan penelitian sebelumnya OAE lini 1 memiliki efikasi yang sama dengan OAE lini 2 meskipun efek samping lebih sering terjadi. Tujuan : Menganalisis efikasi dan keamanan penggunaan kembali OAE lini 1 sebagai terapi subtitusi OAE lini 2 pada anak epilepsi resisten obat Metode : Penelitian ini adalah penelitian open-label, randomized control trial selama 12 minggu yang dilakukan di 3 rumah sakit yaitu RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSAB Harapan Kita dan RSUP Fatmawati pada November 2022 – Mei 2023. Subyek merupakan anak yang didiagnosis epilepsi resisten obat, dibagi menjadi kelompok terapi subtitusi dan terapi standar. Instrumen terdiri dari diary card, kuesioner QOLCE-55 dan rekam medik elektronik. Analisis dilakukan untuk menilai perbedaan proporsi responder sebagai luaran primer. Luaran sekunder terdiri dari karakteristik, perbedaan penurunan frekuensi kejang, kualitas hidup, perbaikan EEG, durasi kejang, waktu penurunan frekuensi kejang, efek samping OAE dan faktor yang memengaruhi penurunan frekuensi kejang. Hasil : Terdapat 70 subyek terdiri dari 32 pada kelompok terapi subtitusi dan 38 pada kelompok terapi standar. Karakteristik kedua kelompok hampir sama. Sebagian besar berusia > 5 tahun, durasi pengobatan ≥ 2 tahun, mengonsumsi ≥ 3 OAE dan frekuensi kejang awal ≥ 20x/minggu. Tidak ada perbedaan proporsi responder antara kedua kelompok dan terdapat penurunan frekuensi kejang sekitar 78% - 80% setelah intervensi. Kualitas hidup subyek tergolong kurang baik tetapi terdapat peningkatan skor fungsi kognitif, sosial dan skor total di kelompok terapi subtitusi setelah intervensi, ada perbedaan perbaikan kualitas hidup antara kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan perbaikan EEG, durasi kejang, waktu untuk mencapai penurunan frekuensi kejang dan efek samping. Efek samping yang terjadi pada derajat ringan hingga sedang dan yang tersering adalah gangguan neuropsikiatri. Faktor yang berhubungan dengan penurunan frekuensi kejang pada kelompok terapi subtitusi adalah perbaikan EEG Kesimpulan : OAE lini 1 memiliki efikasi dan keamanan yang tidak berbeda dengan OAE lini 2, tetapi dapat meningkatkan kualitas hidup pada fungsi kognitif, sosial dan keseluruhan. OAE lini 1 dapat menjadi alternatif terapi subtitusi jika OAE lini 2 tidak.

Background : Drug-resistant epilepsy accounts for around 30% of all epilepsy cases. Repeating the use of first-line AEDs as substitution therapy might be the option since the previous study showed they are as effective as second-line ones. Objectives: To analyze the efficacy and safety of first-line AEDs as substitution therapy of second-line AEDs among drug resistant epilepsy children Methods : It was an open-label, randomized control trial study over 12 weeks period, conducted in Jakarta at Cipto Mangunkusumo Hospital, Harapan Kita Hospital, and Fatmawati Hospital, during November 2022 – May 2023. The participants were 1 – 18 children with drug-resistant epilepsy who were divided into 2 groups, the substitution and the standard group. The instruments were self-reported diary cards, validated QOLCE-55 questionaire, and electronic medical record. The primary outcome was the difference proportion of responders while secondary outcomes were clinical characteristic, the difference of seizure frequency, quality of life, EEG improvement, seizure duration and time to reach seizure reduction, adverse effect and factors that influence the seizure reduction. Results : There were 70 subjects who completed the study, 32 in the substitution and 38 in the standard therapy group. Most of the subjects were > 5 year-old, duration of treatment was ≥ 2 years with ≥ 3 AEDs, and had ≥ 20x/week of seizure. There was no significant difference proportion of responder, and the seizure decreases for about 78% - 80% after intervention. The quality of life was relatively poor, but there were significant improvement in cognitive, social and total score and also significant mean difference of improvement between the two groups. On the other hand, there were no differences of EEG and seizure duration improvement, as well as time to achieve seizure reduction between the two groups. There were mild to moderate adverse effect with neuropsychiatric symptom was the most common one, there was no difference of adverse effect between groups. The EEG improvement was associated with seizure reduction. Conclusion : First-line AEDs demonstrated comparable efficacy and safety to second-line AEDs, but may cause improvement of quality of life particularly in cognitive, social and overall function domains. They could be used as alternative substitution therapy particularly if second-line AEDs are not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Lavina
"Latar belakang. Gangguan perilaku pada anak epilepsi memiliki prevalens yang tinggi dan dapat menyebabkan dampak psikososial pada anak. Namun sejauh ini di Indonesia belum terdapat studi yang meneliti gangguan perilaku pada anak epilepsi serta faktor-faktor yang berhubungan.
Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi dan jenis gangguan perilaku pada anak epilepsi berdasarkan child behavior checklist (CBCL), (2) hubungan antara: usia awitan kejang, frekuensi kejang, durasi epilepsi, obat anti epilepsi, tingkat sosial ekonomi, dan pendidikan orangtua, dengan gangguan perilaku pada anak epilepsi, (3) adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Metode. Penelitian potong lintang di Klinik Neurologi Anak FKUI RSCM. Skrining gangguan perilaku dengan kuesioner CBCL dilakukan pada 30 anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual. Studi kualitatif untuk menilai adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Hasil. Terdapat tiga dari tiga puluh anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku, dengan jenis gangguan perilaku eksternalisasi (perilaku melanggar aturan dan agresif), masalah sosial dan gangguan pemusatan perhatian. Faktor usia awitan kejang (p=0,280), frekuensi kejang (p=0,007; RP 0,036; IK95% 0,005-0,245), durasi epilepsi (p=1,000), obat anti epilepsi (p=0,020; RP 0,019; IK95% 0,001-0,437), tingkat sosial ekonomi (p=0,251), dan pendidikan orangtua (p=1,000), tidak berisiko meningkatkan gangguan perilaku. Terdapat sikap dan reaksi, serta persepsi dan stigma orangtua yang negatif dalam menghadapi anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku. Terdapat masalah keluarga sejak anak mengalami epilepsi dan gangguan perilaku. Orangtua tidak dapat menerapkan pola asuh displin dan kemandirian pada anak dengan gangguan perilaku.
Simpulan. Proporsi gangguan perilaku pada anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual tidak tinggi. Tidak terdapat faktor-faktor yang memengaruhi gangguan perilaku. Adaptasi keluarga baik dalam menghadapi anak epilepsi tanpa gangguan perilaku, dibandingkan dengan keluarga anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku.

Background. Behavior problems are prevalent in children with epilepsy and have psychosocial impact in children. However, in Indonesia, no research has ever been done to study behavior problems in children with epilepsy and related factors.
Objectives. This study aimed to define: (1) proportion behavior problem and type of behavior disorder based on child behavior checklist (CBCL), (2) the relationship between factors: age at seizure onset, seizure frequency, epilepsy duration, antiepileptic drug, socio-economic, and parents education, with behavior problems in epileptic children, (3) family adaptation on managing children with epilepsy.
Method. A Cross sectional study in Pediatric Neurology Clinic FKUI RSCM. Screening for behavior problems with CBCL questionnaires in 30 children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability. A qualitative study examined family adaptation on managing children with epilepsy.
Results. There were three of thirty children with epilepsy, who have behavior problems, with externalizing disorder (delinquent and agressive behavior), social and attention problems. Age at seizure onset (p=0,280), seizure frequency (p=0,007; PR 0,036; CI95% 0,005-0,245), epilepsy duration (p=1,000), anti epileptic drug (p=0,020; PR 0,019; CI95% 0,001-0,437), socio-economic (p=0,251), dan parents education (p=1,000), are not risk factors for development of behavior problems. Parents’ behavior and reaction, their perception and stigma are negative on managing children with epilepsy and behavior problems. There are family problems since their children have epilepsy and behavior problems. Parents are unable to discipline children with behavior problems and teach them to be independent.
Conclusion. The proportion of behavior problems in children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability, are not high. There are no risk factors for development of behavior problems. Family adaptation on managing children with epilepsy without behavior problems are better than family who have children with epilepsy and behavior problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Febriyanti Chusniah
"Menurut World Health Ranking 2020, kematian epilepsi di Indonesia mencapai 706 orang dari total kematian dan menempatkan Indonesia pada peringkat 183 di dunia. Kualitas hidup pasien epilepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi. Menggunakan metode cross sectional dengan accidental sampling dan didapatkan 94 responden, yaitu orang tua anak epilepsi berumur 4-18 tahun. Uji yang digunakan adalah Chi Square dengan Quality of Life in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16). Hasil penelitian menunjukan rata-rata nilai QOLCE-16 anak epilepsi adalah 42.25 dimana 52.1% anak memiliki kualitas hidup buruk. Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi, yaitu usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, status pendidikan anak, lama pengobatan, frekuensi kejang, jenis OAE, dan durasi epilepsi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan pengkajian keperawatan pada pasien epilepsi terkait kualitas hidup.

According to the 2020 World Health Ranking, Indonesia ranked 183rd with 706 epilepsy-related fatalities out of total deaths. Various factors impact the life quality experienced by those with epilepsy. Finding the variables affecting children with epilepsy's life quality is the goal of this study. 94 parents of children with epilepsy between the ages of 4 and 18 were selected from the population using an unintentional sampling technique. Chi Square with Life quality in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16) was the test utilized. The study finds 52.1% of children with epilepsy reported a low life quality, with an average QOLCE-16 score of 42.25. AED type, length of therapy, frequency of seizures, length of parental education, and length of epilepsy are all factors that affect the life quality for children with epilepsy. These findings can be referenced when creating life quality nursing assessments for patients with epilepsy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Heptayana
"Penderita epilepsi anak memiliki risiko tinggi mengalami gangguan kognitif yang mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada usia 8-11 tahun menggunakan Mini Mental State Examination MMSE modifikasi Ouvrier. Metode penelitian potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM dan Pasar Rebo pada Mei-Juni 2018. Tiga puluh satu pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki dan perempuan adalah 58,1 dan 41,9 . Sebagian besar subyek berasal dari RSCM 87,1 dengan kelompok usia terbanyak 10-11 tahun 48,4 . Prevalensi gangguan kognitif sebesar 74,2 . Sebanyak 87,5 subyek dengan obat anti epilepsi OAE politerapi mengalami gangguan kognitif. Terdapat perbedaan bermakna jumlah bangkitan 11-100 kali selama hidup dengan gangguan kognitif p

Children with epilepsy are at high risk of cognitive disorders. We performed cross sectional study to evaluate clinical characteristics and prevalence of cognitive disorders in children aged 8 ndash 11 years using Ouvrier rsquo s Modified Mini Mental State Examination MMSE . The study was done in Cipto Mangunkusumo RSCM and Pasar Rebo Hospital from May June 2018. Thirty one patients were enrolled. Male and female were 58,1 and 41,9 . The prevalence of cognitive disorder was 74,2 . There was 87,5 patients with AEDs polytherapy had cognitive disorders. It was significantly different between lifetime seizure frequency 11 100 with cognitive disorder p10 times had 59,5 higher risk, and AEDs polytherapy showed tendency of cognitive impairment risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghffira Maura R. A. Dunda
"Epilepsi masih menjadi masalah neurologis pada anak, dengan pertambahan kasus sebesar 75%-80% setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Sudah terdapat banyak pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang tersedia. Sayangnya, mencapai 30% pasien anak yang menjalani pengobatan tidak mencapai bebas kejang, dan berkembang menjadi epilepsi dengan kejang tidak terkontrol, atau disebut dengan epilepsi intraktabel. Perjalanan pengobatan sangat penting pada keadaan epilepsi anak usia di bawah tiga tahun, yang masih dalam masa perkembangan otak, namun belum banyak penelitian yang melihat evolusi faktor risiko dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel. Penelitian ini melihat perubahan atau evolusi faktor risiko pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun pada 3 lokasi penelitian di Jakarta, dengan melakukan studi kasus-kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi peran evolusi faktor risiko untuk memprediksi epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun. Penelitian dilakukan secara retrospektif, menggunakan data sekunder, dengan melihat rekam medis pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun yang diperoleh dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, RS Puri Cinere Depok, dan Klinik Anakku Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan. Total subjek sebanyak 102 rekam medis pasien, dengan perbandingan kasus:kontrol yaitu 1:1. Hasil analisis pearson chi-square memperoleh 3 evolusi faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian epilepsi intraktabel, yaitu: evolusi kelumpuhan motorik kasar (p<0,001; OR 7,86; IK95% 3,142-19,659); evolusi status neurologis (p<0,001; OR 9,84; IK95% 3,934-24,614); dan evolusi gelombang epileptiform EEG (p<0,001; OR 23,25; IK95% 7,657-70,599). Evolusi tipe kejang menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil analisis multivariat kemudian menunjukkan bahwa evolusi gelombang epileptiform EEG baik/buruk memiliki peran paling kuat dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel (p<0,001; OR 0,075; IK95% 0,022-0,253). Evolusi gelombang epileptiform EEG buruk merupakan faktor prediktor epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun yang paling berpengaruh.

Epilepsy is still a neurological problem among children, with an increase in cases of 75% -80% annually in developing countries. There are already many choices of Anti-Epileptic Drugs (AED) available. Unfortunately, up to 30% of pediatric patients who undergo treatment do not achieve seizure-free, and develop epilepsy with uncontrolled seizures, also known as intractable epilepsy. The course of treatment is very important in the epilepsy of children under three years of age, who are still in the process of brain development, but not many studies have looked at the evolution of risk factors in predicting the incidence of intractable epilepsy. This study looked at changes or evolution of risk factors for epilepsy patients under three years of age in 3 study locations in Jakarta, by conducting a case-control study. The objective of this research is to Identified the evolution of risk factors role in predicting intractable epilepsy in children under three years of age. The study was conducted retrospectively, using secondary data, by looking at the medical records of epilepsy children under three years of age obtained from RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta, Puri Cinere Hospital Depok, and Klinik Anakku Pondok Pinang Center, South Jakarta. The total subjects were 102 patient medical records, with a case: control ratio of 1: 1. The results of the Pearson chi-square analysis obtained three significant evolution of risk factors for the incidence of intractable epilepsy, namely: the evolution of gross motor paralysis (p<0.001; OR 7.86; 95% CI 3.142-19.659); evolution of neurological status (p<0.001; OR 9.84; CI95% 3,934-24.614); and EEG epileptiform wave evolution (p<0.001; OR 23.25; IK95% 7,657-70,599). The evolution of seizure types showed no significant effect on the incidence of intractable epilepsy in children. The results of multivariate analysis then showed that the evolution of epileptiform EEG waves good/bad had the strongest role in predicting the incidence of intractable epilepsy (p<0.001; OR 0.075; CI95% 0.022-0.253). The bad evolution of EEG epileptiform waves was the most influential predictor of intractable epilepsy among children under three years of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library