Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teddy Arifin Poernama
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta Limawan
"ABSTRAK
Latar belakang. Diabetes mellitus DM merupakan salah satu penyakit kronis yang komplikasinya masih menjadi masalah besar di Indonesia. Salah satu komplikasi DM yang paling sering dan sering berakhir dengan kecacatan adalah kaki diabetik. Angka amputasi di Indonesia khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo RSCM masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia. Salah satu faktor predisposisi amputasi kaki diabetik adalah perfusi jaringan yang dapat diukur dengan ankle brachial index ABI . Studi sebelumnya menunjukkan hubungan signifikan antara ABI dengan kejadian amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai ABI dengan besarnya risiko terjadinya amputasi minor dan mayor pada penderita kaki diabetic dalam populasi kami.Metode. Kami melakukan studi retrospektif pada 84 subjek dengan kaki diabetik yang diamputasi di RSCM selama periode 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2014. Karakteristik subjek dan vaskular termasuk diantaranya ABI dianalisa secara statistik.Hasil. Kami dapatkan sepsis dengan adjusted OR 95 CI : 0,023 0,004 sampai 0,157 dan nilai ABI yang memiliki adjusted OR 95 CI : 2,89 1,33 sampai 6,29 merupakan variabel yang bermakna dengan kejadian amputasi pada pasien kaki diabetik.Kesimpulan. Subjek dengan nilai ABI 1,3 secara independen.
AbstractBackground
hr>
ABSTRACT
. Diabetes mellitus is one of the chronic diseases in which the complication is still a major problem in Indonesia. One of the most frequent complications of diabetes mellitus and often ends up with a disability is diabetic foot. The number of amputation in Indonesia, especially in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM is quite high compared to other countries in Asia. One of predisposing factors of diabetic foot amputation is the tissue perfusion that can be measured by the ankle brachial index ABI . All the studies carried out abroad and in RSCM show a significant relationship between ABI and the incidence of amputation. This study aims to determine the relationship of ABI score with the magnitude of minor and major amputation risks in patients with diabetic foot.Method. The retrospective study was conducted in 84 patients with diabetic foot that were amputated at the RSCM during the period of January 1, 2013 to December 31, 2014. Samples were taken consecutively. Statistical analysis is done to find out a relationship between predisposing factors with the incidence of minor and major amputations in patients with diabetic foot. Chi Square test or Fisher, as well as multivariate analysis using logistic regression is used. The significance if p was "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Widyawarman
"Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang paling sering ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penatalaksanaan osteosarkoma dengan limb-salvage surgery (LSS) makin berkembang disamping tindakan amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran hasil LSS dan amputasi pada pasien osteosarkoma di RSCM.
Metode: Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif pada pasien osteosarkoma periode tahun 1995-2014 di RSCM. Dilakukan evaluasi angka kesintasan, rekurensi lokal, metastasis, komplikasi, skor fungsional menurut Musculoskeletal Tumor Society Scoring system (MSTS) pada pasien yang dilakukan LSS dan amputasi. Metode Kaplan-Meier digunakan untuk mendeskripsikan kesintasan, sintasan bebas rekurensi lokal antara LSS dan amputasi. Hubungan karakteristik pasien dianalisis dengan uji log rank. Uji Kai kuadrat, Eksak Fischer dan Mann-Whitney U digunakan untuk menganalisis hubungan antara skor MSTS dan karakteristik pasien, angka rekurensi, metastasis serta komplikasi. Untuk melihat pengaruh katakteristik terhadap sintasan dilakukan analisis regresi Cox dan uji Wald serta analisis multivariat backward stepwise.
Temuan: Penelitian dan Diskusi Kesintasan 5 tahun pasien osteosarkoma 14,6%. Kesintasan 5 tahun LSS 34,8%, kesintasan 5 tahun amputasi 15,9%. Kesintasan bebas rekurensi lokal 5 tahun untuk LSS 96,2% dan untuk amputasi 86,5%. Kesintasan dipengaruhi metastasis, tipe operasi dan ukuran tumor. Metastasis merupakan faktor paling berpengaruh berdasarkan analisis multivariat. Metastasis terbanyak ditemukan di paru. Gejala awal dan staging Enneking mempengaruhi metastasis (p=0,02 dan 0,007). Infeksi adalah komplikasi tersering. Tipe biopsi FNAB memberi komplikasi yang paling sedikit. LSS memberi skor fungsional yang lebih tinggi (83,3%) daripada amputasi (61,7%). Pasien dengan rekurensi lokal cenderung mempunyai skor fungsional buruk (p=0,023).
Kesimpulan: Kesintasan paling tinggi pada pasien osteosarkoma RSCM yang dilakukan LSS. Luaran fungsional dengan skor MSTS baik (83,3%) didapatkan pada pasien yang dilakukan LSS dan bebas rekurensi lokal. Skor MSTS buruk dijumpai pada pasien amputasi dengan rekurensi lokal, komplikasi dan metastasis.

Introduction: Osteosarcoma is the most common malignant bone tumor seen in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Treatment for osteosarcoma includes limb-salvage surgery (LSS), and it is increasingly more frequently performed compared to amputation. This study aims to analyze the outcome of LSS compared to amputation for osteosarcoma patients in CMH.
Methods: This is a retrospective cohort study to review osteosarcoma patients during 1995-2014 period in CMH. Analysis was performed on survival rate, local recurrence, metastasis, complication, and functional score according to Musculoskeletal Tumor Scoring System (MSTS) for patients underwent LSS or amputation. Kaplan-Meier method was used to determine survival rate, and disease-free survival rate between LSS and amputation. Log-rank analysis was used to determine relationship between patients characteristic. Chi-Square, Exact-Fischer, and Mann-Whitney U tests were used to analyze the correlation between MSTS score and patient characteristics, rate of recurrence, metastasis, and complication. To determine the influence of patient characteristics to survival, Cox regression analysis, Wald Test and backward stepwise multivariate analysis were performed.
Results: and discussion 5-year survival rate osteosarcoma patients was 14.6%, 5-year survival rate for LSS was 34.8% compared to 15.9% for amputation. Disease-free survival for LSS was 96,2%, while amputation was 86,5%. Survival were influenced by metastasis, type of surgical intervention, and tumor size. According to multivariate analysis, survival was most influenced by metastasis. Metastasis were found predominantly in lungs. Initial symptoms and Enneking stage were correlated to metastasis (p=0.02 and 0.007, respectively). Infection was the most common complication. FNAB gave the least complication compared to other types of biopsy. LSS gave the highest functional score (83.3%) compared to amputation (61.7%). Patients with local recurrence tend to have poor functional score (p=0.023).
Conclusion: The highest survival rate for osteosarcoma patients in CMH was found on patients who underwent LSS. Good functional outcome according to MSTS score (83.3%) were found on patients who underwent LSS and free of local recurrence. Poor MSTS score were seen on patients undergone amputation, patients who had had local recurrence, complication and metastasis
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Pauline Tamba
"Dari evaluasi ini belum dapat disimpulkan angka keberhasilannya karena jumlah kasus sedikit, tetapi bila dilihat dari kelima kasus yang diamati maka terlihat peningkatan angka suroival, mungkin oleh karena penanganan kasus amputasi traumatik sudah dikerjakan oleh satu tim. Permasalahan pada kasus replantasi atau revaskularisasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bukan pada survival saja, tetapi sudah mulai berkembang pada pengembalian fungsi. Ternyata kasus mild crush injury juga bisa berhasil dengan baik ditinjau dari segi survival dan fungsinya, sehingga pernyataan mengenai kontra indikasi mild crush injury untuk disambung perlu dievaluasij ditinjau kembali.

From this evaluation, it cannot be concluded that the success rate is small because the number of cases is small, but when viewed from the five cases observed, it can be seen that the suroival rate has increased, perhaps because the handling of traumatic amputation cases has been carried out by one team. The problem in the case of replanting or revascularization at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital is not only in suroival, but has begun to develop in the return of function. It turns out that mild crush injury cases can also be successfully reviewed in terms of suroival and function, so that the statement regarding the contraindications of mild crush injury to be continued need to be evaluated and reviewed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widjajalaksmi Kusumaningsih
"ABSTRAK
Persepsi sensasi fantom yang timbul pasca amputasi anggota gerak, mengikuti arahan pola spesifik yang berkaitan dengan persepsi tubuh sendiri yang berkaitan dengan teori Neuromatriks dari Melzack dan Hukum Hebb. Nyeri fantom berhubungan dengan pengalaman nyeri pra-amputasi dimana terjadi disinhibisi memori nyeri pra-amputasi. Fenomena ini menganggu aktivitas sehari - hari bahkan dapat menciderakan penderita pasca amputasi anggota gerak. Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai adanya suatu persepsi berkelanjutan dari bagian tubuh dengan atau tanpa nyeri dalam suatu periode. Dalam perjalanan waktu terjadi perubahan karakteristik dari fenomena fantom (telescoping , sensasi fantom menjalar dan nyeri fantom) yang dimodulasi oleh berbagai substrat seperti kortisol, substansi P dan serotonin yang berfluktuasi untuk menciptakan keseimbangan homeostasis. Guna memahami fenomena ini diperlukan pendekatan metoda kuantitatif (dengan mengukur fluktuasi neurohumoral dalam suatu periode dan melakukan evaluasi terhadap kondisi puntung) dan metoda kualitatif antara lain melalui pemetaan gejala sensasi fantom, guna memahami lokasi neuroanatomis. Terapi nonfarmakologis sederhana diberikan sesuai diagnosis berdasar lokasi neuroanatornis.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Ortopedi, RSCM 1 FKUI, RSU Fatmawati, RSPAD, PusRehCat Bintaro, Laboratorium Makmal Terpadu FKUI, Panti Sosial Bina Daksa, Jakarta.
Populasi dan Sampel : Semua pasien laki-laki dan perempuan usia 17 -- 55 tahun pasca amputasi terminal tunggal anggota gerak atas dan bawah, dextra dan sinistra (transfemoral, transtibial, transhumoral dan transradial, dextra dan sinistra), stadium pasca amputasi pra prostetik tanpa nyeri puntung.
Subyek penelitian dialokasikan dalam dua kelompok yaitu kelompok pengguna prostesis (P) dan kelompok bukan pengguna prostesis (NP). Kedua kelompok dievaluasi tiga kali (tahap awal, tahap pertengahan, tahap akhir) selama kurun waktu 6 bulan. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol, serotonin dan substansi P antara jam 8.00 - 9.00 pagi (variasi diurnal) dilaboratorium Makmal FKUI pada tahap awal dan tahap akhir. Kadar kortisol menggunakan tehnik RIA (Radioimunoassay), serotonin dan substansi P menggunakan tehnik ELISA (Enzym Linked Imunno Sorbent Assay). Pengukuran lingkar otot puntung berdasarkan The International Standard Measurement for Limb Muscle Girth pada level amputasi transfemoral transtitibial, transhurneral dan transradial. Pengukuran sinyal listrik otot puntung dengan pressure biofeedback (Myomed 932). Penilaian tahapan telescoping dan penilaian sensasi fantom menjalar menggunakan modifikasi pengukuran imaginasi visual dan gerak. Penilaian nyeri fantom dengan VAS (Visual Analogue Scale) Studi kualitatif meliputi pemetaan sensasi fantom menjalar, pemetaan tahapan telescoping, kuesioner mengenai gejala fenomena fantom termasuk pengalaman nyeri pra amputasi.
Dilakukan perbandingan antara kedua kelompok, yaitu kelompok yang aktif menggunakan prostesis fungsional secara kontinu dengan kelompok yang tidak menggunakan prostesis. Jumlah subyek dengan jenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 22 (52,4%) pada kelompok P dan 20 (47,6%) pada kelompok NP. Sebaran berdasar jenis kelamin pada kelompok adalah homogen dimana jumlah laki-laki mendominasi pada tiap kelompok. Hal ini sesuai dengan data amputasi anggota gerak akibat trauma yang lebih banyak menimpa laki-laki. Distribusi usia menunjukkan pada kelompok NP rerata usia 29,8 (SD 10,27), dan 29,52 (SD 6,51) adalah rerata usia pada kelompok P. Berdasarkan usia kedua kelompok adalah homogen, (p=0,909). Berdasarkan jenis pekerjaan terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p = 0,038) dimana buruh mendominasi kelompok NP yaitu 12 (66,7%) dan TNI mendominasi kelompok P yaitu 15 (78,9%). Dari berbagai jenis amputasi, terlihat amputasi anggota gerak bawah (transfemoral dan transtibial, baik dextra dan sinistra) mendominasi pada masing-masing kelompok yaitu sebanyak 14 (56%) pads kelompok NP dan 22 (88%) pada kelompok P. Sebaran berdasar jenis amputasi pada kedua kelompok adalah homogen (p = 0,221). Dalam perjalanan waktu selama enam bulan pasta amputasi, didapatkan korelasi yang bermakna antara peningkatan derajat telescoping (PS) dan peningkatan sensasi fantom menjalar (RPLS) pada tiap tahap. Path tahap evaluasi akhir didapatkan korelasi positif bermakna dengan bentuk hubungan kuat (korelasi Pearson, r =0,999 , p < 0,0001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dengan sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan, dan Rsq () 0,8440 yang berarti bahwa 84% variasi peningkatan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping dalam masa enam bulan pasca amputasi anggota gerak. Hal ini membuktikan bahwa selain terjadi peningkatan derajat telescoping akan diikuti perubahan sensasi fantom menjalar yang berbeda bermakna (p < 0,0001), sebagai konsekuensi reorganisasi area kortikal somatosensori, yang juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat diantara keduanya (r = 0,999, p < 0,0001). Proses ini dipicu penggunaan aktif prostesis fungsional. Kondisi puntung pengguna prostesis berbeda dengan kondisi puntung bukan pengguna prostesis. Terjadi peningkatan bermakna dari rerata sinyal elektrik otot puntung (EA) baik kelompok NP maupun kelompok P (p <0,0001). Dengan korelasi Pearson, ditemukan korelasi negatif bermakna dengan bentuk hubungan berkekuatan sedang, antara perubahan tahapan telescoping (PS) dan peningkatan sinyal elektrik otot puntung J EA (r = 0,444 , p = 0,001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dan sinyal listrik otot puntung dalam masa enam bulan pasca amputasi, regresi linear dengan Rsq (r2) 0,1974 yang berarti bahwa 19% variasi peningkatan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh peningkatan sinyal listrik otot puntung enam bulan pasca amputasi. Dengan terjadinya perubahan pada tahapan telescoping dan sensasi fantom menjalar dalam kurun waktu enam bulan, terjadi juga penurunan nilai rerata intensitas nyeri fantom yang bermakna diantara kedua kelompok (p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson terdapat korelasi negatif yang bermakna antara peningkatan telescoping (PS) dan penurunan nyeri fantom (PP) dalam masa enam bulan (r = - 0,676 , p < 0,0001) dengan sifat hubungan kuat. Juga ditemukan korelasi negatif dengan sifat hubungan sedang, yang bermakna dalam masa observasi enam bulan antara RPLS dan PP (r = 0,693 , p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson didapati hubungan berkekuatan sedang antara peningkatan telescoping dengan penurunan intensitas nyeri fantom pada tahap pertengahan masa observasi 6 bulan (r = - 0,503 , p < 0,0001). Dan pada akhir masa observasi sifat hubungan kuat (r = - 0,676 , p < 0,0001). Regresi linear menunjukkan hubungan yang kuat antara penurunan nilai nyeri fantom dan peningkatan derajat telescoping. Regresi linear dengan Rsq (r2) 0,4572 berarti bahwa 45% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping enam bulan pasta amputasi. Demikian pula regresi linear dengan Rsq (r) 0,4808 berarti bahwa 48% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan pasta amputasi. Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi penurunan nyeri fantom yang berbeda bermakna antara kelompok NP dan P (p = 0,002). Didapatkan nyeri fantom awal sebanyak 31 (62%) dan melalui uji independen didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok NP dan P (p < 0,0001) dalam hal sebaran adanya pengalaman nyeri praamputasi dan terjadinya nyeri fantom awal. Enam bulan pasca amputasi didapatkan peningkatan kadar serotonin dan penurunan substansi P pada kelompok P dan NP. Didapatkan penurunan bermakna kortisol enam bulan pasca amputasi antara kelompok P dan kelompok NP (p =0,047). Dengan ditemukan Korelasi Pearson korelasi positif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan penurunan nilai nyeri fantom selama enam bulan pasca amputasi anggota gerak (r = 0,390 , p = 0,005). Terdapat pula korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan derajat telescoping selama 6 bulan pasca amputasi (r = - 0,331 , p = 0,01 9 ). Terdapat korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar enam bulan pasca amputasi (r = -0,377, p = 0,007). Hubungan antara penurunan kadar kortisol dengan peningkatan derajat telescoping, penurunan nyeri fantom dan perubahan nilai sensasi fantom menjalar (konsekuensi proses neuroplastisitas) diperlihatkan dengan analisis regresi. Regresi kuadratik sederhana dengan Rsq (r2) 0,1456 yang berarti 14% variasi perubahan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1520 berarti 15% variasi penurunan nilai nyeri fantom berhubungan dengan perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1998 berarti bahwa 19% variasi perubahan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi.
Kesimpulan : (1) Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi perubahan peta somatotopik, pada subyek pasca amputasi anggota gerak yang merupakan konsekuensi proses neuroplastisitas pada area korteks somatosensori. (2) Perubahan karakteristik tersebut berkaitan dengan fluktuasi tiga substrat panting yaitu kortisol, serotonin, dan substansi P, yang mempengaruhi proses neuroplastisitas, memori dan nyeri. (3) Perubahan karakteristik, peningkatan tahapan telescoping, peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dan penurunan intensitas nyeri fantom berbeda bermakna diantara kedua kelompok (NP dan P). (4) Pengalaman nyeri pra amputasi menimbulkan nyeri fantom. (5) Kehilangan anggota gerak tidak berarti kehilangan representasinya di otak, teori Neuromatriks dari Melzack mengenai adanya engram pada fenomena fantom yang menyatakan tubuh sebagai kesatuan bagian dari diri sendiri. Persepsinya tidak akan hilang dan pada kondisi tertentu akan dimunculkan kembali ke perrnukaan.
Terjadi perubahan signifikan pada karakteristik fenomena fantom dalam perjalanan waktu, pasca amputasi anggota gerak pada manusia dewasa akibat trauma, yang merupakan konsekuensi neuroplastisitas sentral. Adaptasi sentral berkaitan dengan adaptasi perifer yang diikuti penumnan kadar kortisol, substansi P dan peningkatan serotonim dalam masa 6 bulan pasca amputasi. Berbagai perubahan karakteristik dipercepat dengan penggunaan aktif prostesis fungsional. Ditemukan perubahan signifikan menunjukkan adanya korelasi antara berbagai faktor fisik maupun kimiawi. Dapat disimpulkan peran prostesis tidak hanya terbatas untuk aktifitas sehari-hari tapi terutama mempercepat perubahan karakteristik fenomena fantom.

ABSTRACT
Phantom limb sensation always occurs after sudden traumatic limb amputation whether by accident or surgery. It follows a spesific pattern that is related with body image (Neuromatrix and Neurosignature theory by Melzack). Phantom pains are highly variable, very individual and have a correlation with the experience of pain in the same limb before amputation. It was proposed that there is a reactivation of pre-amputation pain memory (engrain). Phantom limb phenomenon can be described as continuing memory with or without pain of self body perception/image that is not there anymore, modulated by neurohormon and neurotransmitters to reach homeostasis balance. The changing characteristic of phantom phenomen characteristic was modulated neurohumorally which will show in the fluctuation of cortisol, serotonin and substance P levels in circulation. Two methods will be used, quantitative and qualitative. To analyze the study outcome by comparison between two groups, groups that are using prosthesis (group P) and groups that do not use prosthesis or use cosmetic prosthesis (group NP). Study on the changing characteristics of phantom phenomenon and the relation with the effect of cortisol, serotonin and substance P fluctuation in circulation.
Place and time : Department Orthopedics Surgery and Department of Rehabilitation Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital, Makrnal Laboratory, Faculty of Medicine University of Indonesia, the Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Gatot Subroto Army Hospital, Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Fatmawati Hospital, Center for the Disabled (Pusrehcat) Bintaro and Panti Sosial Bina Daksa, all in Jakarta, Indonesia.
Population and sample : All male and female patients, age between 17 - 55 years of age, post traumatic limb amputation, upper limb and lower limb, dextra and sinistra (transfemoral, transtibial, transhumeral and transradial). In preprosthetic stage will be observed for six months.
Method : Subjects are allocated witihin 2 groups, subjects using a functional definite prosthetic (P group) and subjects that do not use prosthetic (NP group). Within six months 3 evaluation will be done on the first, second and third phase. Serotonin, cortisol and substance P in circulation will be taken twice on the first and third phase, between 8.00 AM - 09.00 AM. The level of cortisol will be examined by RIA, serotonin and substance P level will be examined by ELISA. Stump circumference will be measured by the International Standard Measurement for Limb Muscle Girth. Stump electrical activity will be measured by Myomed 932 1 Electromyography Biofeedback. Telescoping degree (PS) and Referred Phantom Limb Sensation (RPLS) will be measured by using the modification of Visual and Movement Imagination Score. Phantom pain measured by VAS. Qualitative study used the sensory mapping of telescoping degree, in depth questioner also for pre-amputation experience.
Subjects were allocated in two groups, group using prosthetic (group P) and the other group that do not use prosthetic (group NP). Based on gender, men dominate in each group, NP and P. The distributions based on gender are homogenous (chi --- square test, p 0,445). Distribution based on age in each group, NP and P are homogenous (p = 0,909). It shows that both workers and military personnel dominate the whole sample. Worker dominate the NP group 12 (66,7%) and military personnel dominate the P group 15 (78,9%). Within six months after amputation, it shows that the use of continuing definite prosthetic will accelerate telescoping process, referred phantom limb sensation and lower phantom pain intensity significantly (p < 0,0001). At the end of six months observation with Pearson correlation there is a positive, strong correlation between an increase in telescoping degree (PS) and an increase in the score of referred phantom limb sensation (RPLS) (r = 0,999, p < 0,0001). Linear regression with Rsq (r2) = 0,8440 means that 84% variation in the increase of telescoping degree is related with the increase of referred phantom limb sensation six months after limb traumatic amputation. This shows that an increase in telescoping degree will be followed with an increase score in RPLS, this is a consequence of neuroplasticity process. By Anova repeated measurement there is a significant difference in the increase of electrical sigryil isometric muscle stump contraction in each group (p < 0,0001). Pearson correlation at the end of the observation (six month after traumatic limb amputation) shows a positive correlation with average relation between increase in telescoping degree (PS) and an increase in electrical stump muscle isometric contraction (EA) (r = 0,444 , p = 0,00 1). Linear regression with Rsq [r2) = 0,1974 which means that 19 % variation of an increase in electrical signal of isometric muscle stump contraction (EA) is related with an increase in telescoping degree (PS) after six months. In both groups (NP and P) there is a significance difference in the decrease of phantom pain intensity within six month from phase 1 through phase 3. Between group NP and P the difference in lower phantom pain intensity, decrease significantly on the second and third evaluation (p < 0,0001). With Pearson correlation at the end of six month observation shows a significance negative correlation with strong relation between the increase in telescoping degree and the decrease in phantom pain intensity (PP) (r = 0,676 , p < 0,0001). There is a negative correlation with strong relation (r = 0,693 , p < 0,0001) between the increase in referred phantom limb sensation (RPLS) and the decrease in phantom pain intensity (PP). Linear regression with Rsq (r2) = 0,4572 which means that 45 % variation in the decrease of phantom pain intensity (PP) is related with the increase in telescoping degree (PS) after six months observation. All this show a strong relationship between lower phantom pain intensity and increase in telescoping process within six months after amputation. There is also a significance difference decrease in phantom pain intensity (PP) within six months in group NP (p = 0,02). The decrease in phantom pain intensity (p < 0,05) within six months in group P. By using independent t test there is a significance difference in both group (p < 0,0001) in the distribution of pre-amputation pain experience (PNPA }) and the incidence of phantom pain (PP1) with score above 0 (zero). The mean score of PP1 are 6,16 (SD 1,96) in group NP and 5,26 (SD 1,47) in group P The same occur on those without pre-amputation pain experience (PNPA -) and no phantom pain incidence or the score of PP1 = O. There is a significance negative correlation between the decrease in cortisol level and the increase in telescoping grade (r = - 0,331, p =0,019). There is a significant positive correlation between decrease in cortisol level and decrease in phantom pain intensity (r = 0,390 , p = 0,005). There is a significance negative correlation level between the decrease in cortisol level and increase in referred phantom limb sensation (r= - 0,377 , p = 0,007). With simple quadratic regression, with Rsq (r) = 0,1456, which means that 14% difference of variation in telescoping degree is correlated with the fluctuation in cortisol level within six months, or can be predicted by cortisol fluctuation. Linear regression Rsq (?) = 0,1520, it means that 15% variation in the decrease of phantom pain intensity are correlated to the decrease in cortisol level within six months. Simple quadratic regression with Rsq (r2) = 0,1998, mean 19 % variation of referred phantom limb sensation is related with the fluctuation of cortisol level within six months.
The changes in the somatotopics map of post traumatic limb amputee subjects are the consequences of neuroplasticity rearrangement in the somatosensory cortical area. Changing characteristics, telescoping process, referred phantom limb sensation and phantom pain differ significantly between group NP and P. The changing pattern of phantom phenomenon is also influenced by three important substrates such as substance P, serotonin and cortisol that also influenced the neuroplasticity process, memory and phantom pain mechanism. Pre amputation pain experience will lead to the occurrence of phantom pain. A loss of a body part (limb) does not mean that the representations on brain surface are also loss. The body image are never erased or loss (Neuromatrix Theory of Melzack), exspecially those part which has the biggest area and the most dense representation in the homunculus. There is an engram that states that the body is our selves, those perception will never be erased (Neuromatrix Theory). The use of functional prosthetic continually that cause some effect on stump muscle condition, will hasten the characteristics of phantom phenomenon that is a consequence of central neuroplasticity proces, which is an increase in telescoping degree (PS), increase in referred phantom limb perception score (RPLS) and decrease in phantom pain intensity (PP), which also show a relation with neurohumoral fluctuation in circulation in which is a decrease in cortisol and substance P levels , and an increase in serotonin levels. The changing characteristic is accelerated by the use of definite functional prosthetics. There is a significant correlation between physical behavior and neurochemistry. Apart from daily use, the use of prosthetics is very important to lead the acceleration in the changing pattern of phantom phenomenon.
"
2004
D590
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Affandi
"Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi yang ditakuti adalah kaki diabetik. Berdasarkan data di RSCM pada tahun 2011 sebanyak 1,3% dari pasien kaki diabetik harus menjalani amputasi. Borkosky dkk (2013) menunjukkan tingginya insidens re-amputasi pada pasien kaki diabetik sebesar 19,8%. Amputasi berulang membutuhkan biaya pengobatan yang tidak murah, selain itu dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik.
Penelitian ini adalah deskriptif analitik, didapatkan adanya kecenderungan penurunan jumlah kasus amputasi kaki diabetik di RSCM dari tahun 2009-2015. Level amputasi terbanyak yang dilakukan pada pasien kaki diabetik adalah amputasi minor pada level Ray. Trauma, neuropati perifer, nilai ABI ≤0,9, dan kadar HbA1c ≥7% merupakan faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik. trauma merupakan faktor risiko terbesar terjadinya reamputasi pada pasien kaki diabetik (p=0,000; OR 73,842; 95%CI 19,236-283,457). Jika semua faktor risiko tersebut dimiliki oleh pasien maka risiko kumulatif untuk dilakukan re-amputasi sebesar 100%.

Diabetic mellitus is one of chronic diseases with high morbidity and mortality. One of complications of diabetic mellitus is foot diabetic. Based on data in Cipto Mangunkusumo General hospital, in 2011, prevalence of amputation for foot diabetic patients was 1,3%. Borkosky et al (2013) showed high incidence of reamputation among foot diabetic patients 19,8%. Re-amputation is highly cost and can increase morbidity and mortality in diabetic patients. Thus research needs to be done to find out risk factors of re-amputation among foot diabetic patients.
This research showed that foot diabetic amputation cases in RSCM had been decreased from 2009-2015. The most common amputation level was Ray amputation. Foot trauma, peripheral neuropathy, ABI score ≤0,9 and HbA1c level ≥7% are risk factors for re-amputation in foot diabetic patients. Foot trauma was the biggest risk factor for re-amputation in foot diabetic patients (p=0,000; OR 73,842; 95% CI 19,236-283,457). The cummulative risk factor for re-amputation for those who have all the risk factors is 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismayadi
"Latar belakang. Berbagai studi telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka khususnya terkait fungsi ginjal dan albumin. Akan tetapi, belum terdapat studi yang mengevaluasi hubungan fungsi ginjal dan albumin terkhusus pada penyembuhan luka pasca amputasi pasien luka diabetik.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif, yang dilakukan pada bulan Oktober–Desember 2022. Pasien ulkus kaki diabetik yang telah mendapatkan tindakan amputasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, yang mana keputusan amputasinya diambil berdasarkan skor WIfI [berada pada zona merah (risiko amputasi tinggi) skor WIfI yang dipetakan berdasarkan derajat luka, iskemia, dan infeksi] diinklusi ke dalam penelitian. Variabel yang diteliti meliputi kadar albumin, ureum, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (LFG), kesembuhan luka, usia, status gizi, terapi insulin, merokok, hipertensi, durasi penyakit DM, dan onset luka.
Hasil. Peneliti mengikutsertakan 61 pasien luka kaki diabetik yang menjalani tindakan amputasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang terdiri dari 23 (37,7%) pasien laki-laki dan 39 (63,9%) pasien dengan status gizi berlebih. 65,6% pasien mengalami reepitelisasi sempurna dalam 28 hari pasca tindakan amputasi. Kadar albumin, ureum, dan kreatinin pasien ditemukan sebesar 2,56 (1,11–4,98) g/dL, 71,00 (0,56–210) U/L, dan 1,40 (0,50– 11,50) U/L. LFG ditemukan sebesar 52,60 (4,10–117,30) mL/menit. Kadar albumin yang lebih tinggi (≥ 2,605 g/dL) dan kadar ureum yang lebih rendah (< 71,6 U/L) ditemukan berhubungan dengan probabilitas penyembuhan luka yang lebih tinggi (p < 0,050).
Simpulan. Kadar albumin ditemukan lebih tinggi, sementara kadar ureum ditemukan lebih rendah pada kelompok luka sembuh pasien luka kaki diabetik 28 hari pasca amputasi.

Background. Various studies have succeeded in finding factors that affect wound healing, especially related to kidney function and albumin. However, there have been no studies evaluating the relationship between kidney function and albumin, especially in post-amputation wound healing in diabetic wound patients.
Methods. This is a retrospective cohort study, conducted in October–December 2022. Diabetic foot ulcer patients who have received an amputation procedure at Cipto Mangunkusumo Hospital, where the decision to amputation is made based on the WIfI score [is in the red zone (high risk of amputation) WIfI scores charted according to degree of injury, ischemia, and infection] were included in the study. The variables studied included albumin, urea, creatinine, glomerular filtration rate (GFR), wound healing, age, nutritional status, insulin therapy, smoking, hypertension, duration of diabetes mellitus, and onset of injury.
Results. We included 61 patients with diabetic foot injuries who underwent amputation at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, which consisted of 23 (37.7%) male patients and 39 (63.9%) patients with excess nutritional status. 65.6% of patients experienced complete re-epithelialization within 28 days after the amputation. The patient's albumin, urea, and creatinine levels were found to be 2.56 (1.11–4.98) g/dL, 71.00 (0.56–210) U/L, and 1.40 (0.50–11 ,50) U/L. GFR was found to be 52.60 (4.10–117.30) mL/minute. Higher albumin levels (≥ 2.605 g/dL) and lower urea levels (< 71.6 U/L) were found to be associated with a higher probability of wound healing (p < 0.050).
Conclusion. Albumin levels were higher, while urea levels were lower in the group of healed wounds of patients with diabetic foot ulcer in 28 days following the amputation surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu K
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syaifudin
"Latar Belakang: Penyakit Kaki Diabetik memiliki prevalensi 6,3% populasi dunia. Angka amputasi mayor 139,97 kasus per 100.000 populasi. Penyakit arteri perifer pada kaki diabetik erat kaitannya dengan arteri femoralis ke distal yaitu arteri femoralis komunis sebagai gambaran inflow dan arteri poplitea sebagai arteri yang berhubungan langung dengan arteri infrapoplitea. Keputusan tatalaksana debridemen dan amputasi sangat penting dan berhubungan dengan biaya, morbiditas dan mortalitas yang salah satunya bisa ditentukan dengan pemeriksaan vaskular. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien kaki diabetik terhadap keputusan debridemen atau amputasi belum banyak dilakukan.
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2023 – April 2023.
Hasil: Total subyek 38 orang, sebanyak 19 subyek yang dilakukan debridemen, 19 subjek yang dilakukan amputasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran fasisitas bifasik arteri poplitea dengan keputusan amputasi pasien kaki diabetik (p<0,05). Uji Chi-Square menunjukkan hasil pemeriksaan ultrasonografi bifasik memiliki faktor prediksi terhadap keputusan amputasi pada pasien kaki diabetik, didapatkan jumlah subjek yang bifasik dan dilakukan amputasi tiga kali lipat lebih tingi daripada yang dilakukan debridemen. Pada pemeriksaan tekanan sistolik arteri popliteal, fasisitas arteri femoralis komunis, volume flow arteri popliteal dan arteri femoralis komunis tidak didapatkan hubungan yang bermakna terhadap keputusan tatalaksana debridemen atau amputasi pada pasien kaki diabetik.
Kesimpulan: Pemeriksaan fasisitas ultrasonografi pada arteri popliteal dapat menjadi prediksi tindakan amputasi pada pasien kaki diabetik.

Background: Diabetic Foot Disease has a prevalence of 6.3% of the world's population. The major amputation rate is 139.97 cases per 100,000 population. Peripheral arterial disease in the diabetic foot is closely related to the distal femoral artery. Common femoral artery as an inflow feature and the popliteal artery as an artery that is directly related to the infrapopliteal artery. The decision to treat debridement and amputation is very important and is related to costs, morbidity and mortality, one of which can be determined by vascular examination. Research to determine the relationship between systolic pressure, fascisity and volume flow of diabetic foot patients on debridement or amputation decisions has not been carried out much.
Methods: The research design was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The research was conducted in January 2023 – April 2023.
Results: A total of 38 subjects, 19 subjects underwent debridement, 19 subjects underwent amputations. There was a significant relationship between the description of the popliteal artery biphasic phasicity and the decision to amputation in diabetic foot patients (p<0.05). The Chi-Square test showed that the results of biphasic ultrasound examination had a predictive factor for the decision to amputation in diabetic foot patients. It was found that the number of subjects who were biphasic and had amputation three times higher than those who underwent debridement. On examination of popliteal artery systolic pressure, common femoral artery phasicity, popliteal artery volume flow and common femoral artery found no significant relationship to the decision of debridement or amputation treatment in diabetic foot patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Emelia Astuty
"Setiap tahap dalam kehidupan manusia memiliki tugas perkembangan masing-masing yang harus dipenuhi. Begitu juga dengan masa dewasa muda, masa dimana muncul tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan baru dari masyarakat, misalnya untuk mandiri, memiliki pekerjaan, menjalin hubungan intim dengan lawan jenis, dalam rangka membentuk keluarga. Dikatakan bahwa masa dewasa muda adalah puncak dari perkembangan fisik, sehingga kebanyakan orang dewasa muda mengandalkan kekuatan tersebut untuk memenuhi tuntutan yang ada. Namun, ada orang-orang yang mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak normatif (misalnya cacat fisik akibat kecelakaan) yang membuat mereka sulit memenuhi tugas perkembangan yang ada. Penyandang cacat fisik mengalami situasi psikologis yang baru karena ada hal-hal yang tidak dapat mereka lakukan seperti sebelum mengalami kecacatan. Bagi pria hal ini menjadi lebih berat karena tuntutan masyarakat terhadap mereka untuk mandiri dan memiliki pekeijaan sangat besar, apalagi mereka akan menjadi kepala keluarga yang harus bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali pandangan mereka tentang masa depan, dalam hal ini kemandirian, intimacy, dan pekeijaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi cara pandang tersebut. Juga untuk mengetahui apakah terjadi perubahan pada kepribadian mereka akibat amputasi tangan yang mereka alami, dan bagaimana bentuk perubahannya. Peneliti juga ingin mengetahui pandangan mereka tentang masa depan secara keseluruhan. Dengan mengetahui hal tersebut, dapat membantu mereka untuk bersikap positif tentang masa depan mereka dan membantu kita untuk bersikap dengan tepat terhadap para penyandang cacat sehingga tidak memperburuk pandangan mereka. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara individual dengan dua pria dewasa muda berusia 20-25 tahun yang mengalami amputasi tangan.
Hasil penelitian menunjukkan bagaimana pandangan subyek tentang kemandirian, intimacy, dan pekerjaan. Kedua subyek merasa mandiri dalam bentuk self governance yang serupa dengan ketidaktegantungan secara fungsional. Namun seorang subyek merasa tidak mandiri dalam pengambilan keputusan, dan kedua subyek merasa belum mandiri secara finansial. Dalam hal intimacy, seorang subyek belum pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis, sedangkan subyek lainnya sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis yang berada di kota yang berbeda. Hubungan ini dipandang sebagai sumber motivasi dan langkah untuk membentuk keluarga. Dalam pekerjaan, kedua subyek memilih pekerjaan dengan alasan untuk mempertahankan hidup dan disesuaikan dengan ketrampilan yang dimiliki. Bagi kedua subyek, faktor yang mendukung pencapaian kemandirian adalah motivasi dan kemampuan mental yang dimiliki, hal lainnya adalah ketrampilan. Sedangkan faktor yang menghambat adalah belum adanya pekerjaan, bagi seorang subyek cacat fisik juga merupakan penghambat dan subyek lain perlindungan yang berlebihan dari ibunya menghambat kemandiriannya.
Belum adanya pekerjaan dan sifatnya yang pemalu merupakan penghambat bagi seorang subyek untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Faktor pendukung bagi kedua subyek untuk mendapatkan pekerjaan adalah ketrampilan dan kemampuan mental, juga keberanian, hubungan dengan otoritas dan teman sejawat, sedangkan subyek lain menambahkan motivasi sebagai faktor pendukung. Sedangkan kecacatan merupakan faktor penghambat yang utama selain dasar pendidikan yang kurang, kesulitan mempraktekkan ketrampilan yang didapat, dan perasaan serba kekurangan. Seorang subyek merasa kurang mendapat dukungan dari keluarga, juga sikap orang-orang tertentu yang membuatnya merasa rendah diri serta kepribadiannya yang sensitif dan merasa serba kekurangan membuatnya memandang masa depan dengan pesimis dan sulit sekali untuk sukses. Sedangkan subyek lainnya memandang masa depannya dengan optimis karena adanya dukungan dari berbagai pihak, kepribadiannya yang optimis yang berusaha memandang segala sesuatu dari sisi positif. Seorang subyek merasa sulit untuk merencanakan masa depannya sedangkan subyek lain merasa sedang menuju masa depan yang diinginkannya, bahwa terjadi perubahan pada kepribadian subyek akibat amputasi.
Hasil penelitian juga menunjukkan terjadinya perubahan pada kepribadian subyek akibat amputasi tersebut. Ada perubahan yang bersifat menetap dan positif, ada juga perubahan yang bersifat negatif dan sementara. Perubahan yang bersifat sementara dan negatif adalah timbulnya rasa rendah diri dan rasa malu yang berlebihan. Perubahan yang menetap dan positif dirasakan oleh subyek B yang merasa tidak manja lagi dan terjadi perbaikan dalam kehidupan beragamanya. Untuk melengkapi hasil penelitian .ini, sebaiknya dilanjutkan dengan melibatkan subyek yang bervariasi karakteristikanya dan data digali dari berbagai sumber yang terkait dengan subyek sehingga data yang diperoleh lebih kaya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3220
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>