Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiona Natania Kurniadi
Abstrak :
Kendala administrasi obat secara oral masih dialami oleh sebagian besar populasi seperti populasi disfagia, geriatri, dan pediatri. Pirfenidon merupakan salah satu terapi penyakit Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) yang sebagian besar dialami oleh populasi geriati. Tablet pirfenidon yang tersedia berupa tablet dosis 267 mg dengan regimen terapi tiga tablet sebanyak tiga kali per hari. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan frekuensi penelanan pada terapi jangka panjang pengobatan IPF dengan pirfenidon. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh formula tablet cepat hancur (TCH) pirfenidon menggunakan metode sublimasi yang memiliki karakteristik waktu hancur kurang dari 3 menit dan keregasan kurang dari 1%. Pada penelitian ini, TCH pirfenidon diformulasikan menggunakan metode sublimasi, yaitu dengan tablet kempa langsung yang dilanjutkan dengan proses sublimasi. Untuk memfasilitasi proses sublimasi, pada formula ditambahkan eksipien amonium bikarbonat dengan tiga variasi konsentrasi yaitu 2% (F1), 5% (F2), dan 10% (F3). TCH yang dihasilkan dievaluasi meliputi waktu hancur, waktu pembasahan, kekerasan, keregasan, kadar obat, dan disolusi obat. Hasil evaluasi TCH pirfenidon menunjukkan bahwa TCH yang memenuhi persyatan adalah TCH F1 dengan waktu hancur 29,53 ± 2,55 detik; waktu pembasahan 28,73 ± 1,55 detik; kekerasan tablet 4,91 ± 0,29 kP; keregasan 0,9%; kadar 103,98 ± 1,04%; dan jumlah obat terdisolusi pada menit ke-30 adalah 93,22 ± 4,07%. Berdasarkan hasil evaluasi, dapat disimpulkan bahwa formula TCH F1 yang dibuat menggunakan metode sublimasi dapat menghasilkan sediaan TCH yang memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, TCH pirfenidon berpotensi menjadi alternatif sediaan bagi terapi IPF untuk memfasilitasi penelanan tablet. ......Constraints of oral drug administration are still experienced the most by dysphagia, geriatric, and pediatric populations. Pirfenidone is one of the therapies for Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) which is mostly experienced by the geriatric. On the market, pirfenidone tablets are available with the dose of 267 mg, with a therapeutic regimen of three tablets three times per day. This resulted in an increase in the frequency of ingestion for long-term therapy with pirfenidone. The purpose of this study was to obtain formula for fast disintegrating tablet (FDT) of pirfenidone using sublimation method with disintegration time < 3 minutes and friability <1%. In this study, FDTs were made using sublimation method, which were compressed using direct compression method before. To facilitate the sublimation, ammonium bicarbonate was added to the formula with three various concentration which were 2%(F1), 5%(F2), and 10%(F3). The FDTs were then evaluated for disintegration and wetting time, hardness, friability, assay, and dissolution. Based on the result, FDT that met the requirements was FDT F1 with the disintegration time of 29.53 ± 2.55 seconds; wetting time of 28,73 ± 1,55 seconds; hardness of 4,91 ± 0,29 kP; friability value of 0,9%; assay result was 103,98 ± 1,04%; and the amount of drug dissolved within 30 minutes was 93,22 ± 4,07%. It was concluded that formula FDT F1 made by sublimation method could produce FDT that met the requirements. Therefore, FDT is potential to be an alternative dosage form to facilitate tablet swallowing for IPF therapy.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faishal Andzar
Abstrak :
Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi salah satu permasalahan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Terapi tuberkulosis yang biasanya dominan dalam administrasi oral memiliki berbagai permasalahan, yaitu salah satunya adalah rendahnya konsentrasi obat pada tempat infeksi Mycobacterium tuberculosis, yaitu di alveolus.Penghantaran obat antituberculosis langsung ke paru-paru merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan konsentrasi obat di lokasi infeksi sehingga efektivitas terapi meningkat. Isoniazid merupakan salah satu lini terapi pertama terapi tuberkulosis. Namun, serbuk isoniazid perlu memiliki sifat arodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh eksipien L-leusin dan/atau amonium bikarbonat terhadap sifat aerodinamis dan profil pelepasan obat serbuk inhalasi isoniazid. Semua formula serbuk inhalasi isoniazid dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh kemudian dikarakterisasi morfologi, kandungan lembab, densitas bulk, distribusi ukuran partikel, sifat aerodinamis, gugus fungsi, kadar, serta profil pelepasan dalam medium simulasi paru-paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan L-leusin meningkatkan sifat aerodinamis, sementara penambahan amonium bikarbonat tidak meningkatkan sifat aerodinamis secara signifikan. Formula serbuk inhalasi isoniazid dengan kombinasi eksipien L-leusin dan amonium bikarbonat memiliki sifat aerodinamis paling baik dengan nilai persentase emitted fraction (EF) 62,08%±1,80 dan fine particle fraction (FPF) 50,39%±6,13 dan diameter aerodinamis (MMAD) 5,68±0,35 µm. Uji pelepasan obat secara in-vitro menunjukkan bahwa semua formula dapat terdisolusi hingga 100% dalam waktu 45 menit. Namun, penambahan amonium bikarbonat tidak mampu mengubah morfologi serbuk inhalasi isoniazid menjadi berpori seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, optimasi parameter proses penyemprotan diperlukan untuk menghasilkan partikel dengan pori. ......Tuberculosis is a major health problem in many developing countries, including Indonesia. The therapy for tuberculosis primarily consists of orally consumed drugs, which can result in several issues, including low concentration of antibiotics at the alveoli, the primary site of infection of Mycobacterium tuberculosis. Pulmonary delivery of anti-tuberculosis drugs is one of strategies to provide adequate concentrations at the site of infection, thus increase effectiveness of therapy. Isoniazid is one of the first-line drugs for tuberculosis therapy. However, isoniazid powder should exhibit good aerodynamic properties to be deposited in the lungs. Thus, this study aimed to examine the effect of L-leucine and/or ammonium bicarbonate on aerodynamic properties and drug release profile of isoniazid inhalation powder. All formulations were produced by spray drying, with or without L-leucine and/or ammonium bicarbonate. The obtained powder was characterized by its morphology, moisture content, bulk density, particle size distribution, aerodynamic properties, functional group, content assay, and drug release profile in simulated lung medium. The results showed that the addition of L-leucine increased the aerodynamic properties of isoniazid, while the addition of ammonium bicarbonate did not increase the aerodynamic properties significantly. Isoniazid inhalation powder with combination of 5% w/w L-leucine and 5% w/w ammonium bicarbonate exhibited the best aerodynamic properties with emitted fraction (EF) 62.08%±1.80% and fine particle fraction (FPF) 50.39%±6.13%, and aerodynamic diameter (MMAD) 5.68±0.35 µm. In-vitro drug release test showed that isoniazid in all formulations can be dissolved up to 100% within 45 minutes. However, the addition of ammonium bicarbonate could not form large porous particles as expected. Therefore, further research is required to optimize spray drying parameters in order to achieve the desired particles.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Yulian Chandra
Abstrak :
Formulasi serbuk inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan dapat menghantarkan lebih banyak rifampisin ke makrofag paru untuk meningkatkan efektivitas terapi tuberkulosis laten. Diperlukan serbuk rifampisin-kitosan dengan sifat aerodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-kitosan dengan adanya penambahan L-leusin dan/atau amonium bikarbonat yang memiliki sifat aerodinamis yang baik dan pelepasan obat yang baik dalam medium makrofag paru. Serbuk inhalasi rifampisin-kitosan 1:1 (F1) diformulasikan dengan leusin 30% (F2), amonium bikarbonat 1,5% (F3), atau kombinasinya (F4) dan dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk inhalasi rifampisin-kitosan yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi paru pH 7,4 dan medium simulasi makrofag paru pH 4,5. Penambahan leusin 30% (F2) berhasil sedikit memperbaiki sifat aerodinamis serbuk rifampisin-kitosan 1:1 (F1) dengan diameter aerodinamis rata-rata sebesar 7,56 µm, fine particle fraction (FPF) sebesar 32,48%, dan persentase serbuk teranalisis sebesar 67,23%, serta meningkatkan pelepasan rifampisin dalam medium simulasi makrofag alveolar (pH 4,5) menjadi 16,07 ± 0.56% dalam 2 jam dengan peningkatan 1,33 kali dibandingkan dengan serbuk rifampisin-kitosan (F1). ......Formulation of rifampicin inhalation powder with chitosan as a carrier could deliver more rifampicin to alveolar macrophages to to increase the effectiveness of latent tuberculosis therapy. Rifampicin-chitosan powder with good aerodynamic properties is required in order to be deposited in the lungs. This study was aimed to produce rifampicin-chitosan inhalation powder with the addition of L-leucine and/or ammonium bicarbonate with good aerodynamic properties and high drug release in simulated alveolar macrophage fluid. Rifampicin-chitosan (1:1) inhalation powder (F1) was formulated with 30% L-leucine (F2), 1.5% ammonium bicarbonate (F3), or both (F4) and prepared using spray drying method. The obtained rifampicin-chitosan inhalation powder was characterized by its powder yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size distribution, as well as solubility and dissolution profile in simulated lung fluid and simulated alveolar macrophage fluid. The addition of 30% L-leucine suceeded in slightly the aerodynamic properties of 1:1 rifampicin-chitosan powder (F1) with an average aerodynamic diameter of 7.56 µm, fine particle fraction (FPF) of 32.48%, and emitted fraction of 67.23%. It also showed to increase rifampicin dissolution in simulated alveolar macrophage fluid (pH 4.5) to 16.07 ± 0.56% within 2 hours with an increase of 1.33 times compared to rifampicin-chitosan powder (F1).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fionna Christie Emmanuela
Abstrak :
Rifampisin memiliki ke1arutan yang rendah dalam medium cairan paru-paru, sehingga efikasi" "obat tidak optimal. Pada penelitian sebe1utnnya, penambahan eksipien peningkat ke1arutan seperti manitol terbukti dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi rifampisin dari sediaan serbuk inhalasi. Namun, ukuran partikel serbuk inhalasi rifampisin-manitol tersebut belum memenuhi persyaratan untuk terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-manitol yang memiliki sifat aerdonamis yang baik dengan adanya penambahan 30% 1-leusin, 1,5% amonium bikarbonat, atau kombinasi keduanya, dengan tetap mempertahankan kelarutan dan pe1epasan obat yang baik da1am medium cairan paru-paru. Formulasi serbuk inhalasi rifampisin-manitol dibuat dengan metode semprot kering, kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta ke1arutan dan profil disolusinya da1am medium simulasi paru­ paru. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan kombinasi 30% l-1eusin dan 1,5% amonium bikarbonat pada serbuk inhalasi rifampisin-manito1 (F4) menghasilkan serbuk inhalasi dengan sifat aerodinamis yang paling baik, dengan kelarutan dan disolusi yang dapat dipertahankan dengan baik. Pengukuran menggunakan Anderson Cascade Impactor (ACI) menunjukkan diameter aerodinamis padarentang 0,57 ± 1,2Jlm hingga 11,59 ± 1,29Jlm dengan rata-rata diameter sebesar 7,76J1m, persentase serbuk teranalisis (Emitted Fraction I EF) sebesar 34,96%, dan % Fine Particle Fraction (FPF) sebesar 41,22°/o. Pengujian kelarutan memberikan hasi1 sebesar 1,51 ± 0,02 mg/mL dan persentase obat terdisolusi sebesar 20,22%" "± 1,78% yang menunjukkan penurunan berturut-turut sebanyak 0,82 dan 0,66 kali lipat" "dibandingkan formulasi rifampisin-manitol. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpu1kan bahwa formu1asi rifampisin-manitol dengan kombinasi 30% 1-leusin dan 1,5% amonium. ......Poor solubility of rifampicin in the lung fluid could fail to exert an optimal therapeutic effect." "In the previous study, the addition of mannitol can be used to enhance the solubility and dissolution rate of rifampicin dry powder inhaler. However, the particle size of the previous rifampicin-mannitol dry powder does not meet the criteria to be deposited in the deep lung yet. This study aimed to produce rifampicin-mannitol dry powder inhaler with good aerodynamic properties by adding 30% of 1-leucine, 1,5% of ammonium bicarbonate, or both while maintaining a good solubility and dissolution rate of the drug in simulated lung fluid. All formulations were produced by spray drying, then characterized by their yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size distribution, as well as solubility and dissolution rate in simulated lung fluid. This study indicated that rifampicin-mannitol formulation with 30% addition of 1-leucine and 1,5% of ammonium bicarbonate (F4) showed the best aerodynamic properties, with good solubility and dissolution rate. Measurement using Anderson Cascade Impactor (ACI) showed aerodynamic diameter at the range from 0.57 ±" "1.26J..Lm to 11.59 ± 1.29p.m, with mean diameter of 7.76p.m, 34.96% Emitted Fraction (EF), and % Fine Particle Fraction (FPF) of 41.22%. Compared to rifampicin-mannitol formulation, the solubility and dissolution rate of F4 are decreased by 0,82 and 0,66 times to 1,51 ± 0,02 mg/mL and 20.22% ± 1.78% respectively. As a conclusion, rifampicin-mannitol dry powder inhaler with 30% addition of 1-leucine and 1.5% of ammonium bicarbonate perform the best aerodynamic properties.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syahda Nariswari
Abstrak :
Penghantaran rifampisin secara intrapulmonal untuk pengobatan tuberkulosis diharapkan menghasilkan efek terapi yang lebih baik dibanding rute oral. Namun rifampisin memiliki kelarutan rendah dalam medium cairan paru. Pada penelitian sebelumnya, penambahan siklodekstrin terbukti dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi rifampisin dari sediaan sebuk inhalasi. Namun, ukuran partikel serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin tersebut belum memenuhi persyaratan untuk terdiposisi di paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin yang memiliki sifat aerodinamis yang baik dengan adanya penambahan l-leusin dan atau amonium bikarbonat, dengan mempertahankan kelarutan dan pelepasan obat yang baik dalam medium cairan prau-paru. Serbuk Inhalasi rifampisin-siklodekstrin 1:1 diformulasikan dengan leusin 30%, amonium bikarbonat 1,5% atau kombinasi keduanya dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, sifat kristal, gugus fungsional, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi paru. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kelarutan dan disolusi dengan adanya penambahan siklodekstrin didukung dengan hasil XRD dan FTIR yang menunjukkan adanya inklusi dan perubahan sifat kristal. Serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin 1:1 yang dibuat secara semprot kering dengan penambahan leusin 30% dan AB 1,5% (F4) berhasil menghasilkan serbuk inhalasi dengan sifat aerodinamis yang lebih baik dibanding serbuk rifampisin-siklodekstrin, dengan rata-rata diameter aerodinamis 8,6 µm, FPF 30,28%, dan persentase serbuk teranalisis 36,86%. Formula F4 menunjukkan kelarutan 2,40 ± 0,56 mg/mL dalam aquademineralisata dan terdisolusi 56,26 ± 1,63 %, lebih tinggi 1,07 dan 1,68 kali dari rifampisin-siklodekstrin. Berdasarkan hasil tersebut penambahan leusin dan amonium bikarbonat dapat meningkatkan kelarutan, pelepasan obat, rendemen, dan sifat aerodinamis. ......Intrapulmonary delivery of rifampicin for the treatment of tuberculosis is expected to produce a better therapeutic effect than the oral route. However, Rifampicin has low solubility in pulmonary fluid medium. In previous studies, the addition of cyclodextrin was proven to increase the solubility and dissolution of rifampicin from inhalation powder preparations. However, the particle size of the rifampicin-cyclodextrin inhaled powder did not meet the requirements for being deposited in the lungs. This study aims to produce a rifampicin-cyclodextrin inhaled powder that has good aerodynamic properties with the addition of l-leucine and/or ammonium bicarbonate, while maintaining good solubility and drug release in the lung fluid medium. Rifampicin-cyclodextrin Inhaled Powder 1:1 is formulated with 30% leucine, 1.5% ammonium bicarbonate or a combination of both prepared by the spray dry method. The powder obtained was then characterized by yield, moisture content, crystalline properties, functional groups, geometric and aerodynamic particle size, as well as solubility and dissolution profile in lung simulation medium. This study showed an increase in solubility and dissolution with the addition of cyclodextrin supported by XRD and FTIR results which showed inclusions and changes in crystal properties. Inhaled rifampicin-cyclodextrin powder 1:1 which was made by spray drying with the addition of 30% leucine and 1.5% AB (F4) succeeded in producing an inhalation powder with better aerodynamic properties than rifampicin-cyclodextrin powder, with an average aerodynamic diameter of 8.65µm, FPF 30.28%, and percentage of analysed powder 36.86%. Formula F4 showed a solubility of 2.40 ± 0.56 mg/mL in aquademineralisata and a dissolution of 56.26 ± 1.63%, 1.07 and 1.68 times higher than rifampicin-cyclodextrin, respectively. Based on these results, the addition of leucine and ammonium bicarbonate can increase the solubility, drug release, yield, and aerodynamic properties.

Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
ABSTRAK
Deposit laterit adalah salah satu jenis bijih nikel yang memiliki kandungan nikel terbanyak di bumi. Di dalam lapisan laterit, saprolit memiliki kandungan nikel yang lebih tinggi dibandingkan lapisan lainnya. Saprolite biasanya diproses secara smelting (pirometalurgi) karena memiliki kandungan magnesium yang tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keefektifan proses hidrometalurgi dengan lixiviant amonium bikarbonat terhadap perolehan nikel. Bijih saprolit dikarakerisasi secara EDX dan AAS untuk mengetahui komposisi awal bijih. Saprolit direduksi menggunakan batubara 33.33 % wt pada temperatur 1250 oC selama 120 menit. Hasil reduksi pemanggangan kemudian diuji dengan XRD. Proses pelindihan agitasi pada bijih saprolit yang direduksi dan bijih yang tidak direduksi dilakukan dengan menggunakan larutan amonium bikarbonat pada variasi konsentrasi yaitu 1 M, 2 M, 3 M, 4 M. Kandungan nikel yang larut dalam pregnant leach solutiont dihitung menggunakan Atomic Absorbance Spectroscopy (AAS).

Hasil XRD saprolit menunjukkan terjadi transformasi fasa dari goethite dan Fe2O3 sebelum reduksi pemanggangan menjadi Fe3O4, NiO dan FeNi setelah reduksi pemanggangan Hasil penelitian menunjukan % perolehan Ni semakin meningkat dengan peningkatan konsentrasi amonium bikarbonat. Perolehan nikel tertinggi yang diperoleh adalah 1.61 % pada konsentrasi pada konsentrasi 4 M amonium bikarbonat.
Abstract
Laterite deposit is a kind of nickel ores that has the greatest of nickel reserves in the world. In the lateritic layer, saprolite has higher nickel content more than other layers. Saprolite is usually process with smelting method (pyrometallurgy) because it has higher magnesium content.

The aim of this research is to know the effectiveness of hydrometallurgy process using ammonium bicarbonate as lixiviant to nickel recovery from saprolite ore. Saprolite was caracterized with Energy Dispersive X-Ray (EDX) and Atomic Absorbance Spectroscopy (AAS) to determine it?s chemical composition. Floatsink process was apllied to saprolite to separate material based on it?s weigth. Saprolite was reduced at 1250 oC for 120 minutes utilized coal 33.33% wt as a reductant, then it was tested with XRD. Agitation leaching process was applied to reduced and unreduced saprolite utilized ammonium bicarbonate solution as lixiviant at various concentration which was 1 M, 2 M, 3 M, 4 M. Nickel content that dissolved in lixiviant was determined with Atomic Absorbance Spectroscopy (AAS).

Result of XRD characterization shows phase transformation in saprolite from goethite and Fe2O3 before reduction roasting to Fe3O4, NiO and FeNi after reduction roasting. The result of research shows that % recovery of Ni is tend to increase along with the increasing of ammonium bicarbonat concentration. The higest nickel recovery in research is 1.61 % at 4 M ammonium bicarbonat concentration.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43599
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library