Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Pamungkas
Abstrak :
Worldwide Interoperablility for Microwave Access (WiMax) adalah salah satu sistem telekomunikasi baru dalam Broadband Access Wireless (BWA). WiMax merupakan teknologi akses BWA yang sudah dikembangkan dan distandarisasi. Pengembangan dan standarisasi dilakukan oleh WiMax forum. Menurut WiMax forum spektrum frekuensi untuk kawasan Asia Pasifik adalah pada 2,3, 2,5, 3,3, 3,5, dan 5,8 GHz. Namun pengimplementasian WiMax di Indonesia dipastikan menghadapi kendala. Hal ini dikarenakan kondisi yang ada pada frekuensi tersebut telah digunakan oleh teknologi lain seperti microwave link, satelit, dan teknologi BWA lainnya. Hal ini mengakibatkan apabila WiMax diimplementasikan akan menghadapi berbagai risiko yang besar. Untuk meminimasi risiko dalam pengimplementasian WiMax pada spektrum frekuensi tertentu maka penelitian diarahkan pada analisa alokasi frekuensi WiMax yang berbasis manajemen risiko. Adapun yang dilakukan adalah diawali dengan inventarisasi potensi risiko untuk mengidentifikasi risiko. Setelah mengidentifikasi risiko didapatkan beberapa aspek untuk dievaluasi. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek teknologi, ketersediaan bandwidth, regulasi, BHP, dan utilitas yang akan dihadapi pada spektrum frekuensi WiMax, berikutnya dilanjutkan dengan evaluasi risiko dengan mencari dampak yang akan terjadi apabila risiko itu telah ditentukan, dan diakhiri dengan pengendalian risiko yaitu pemilihan keputusan untuk menangani risiko, sehingga setelah ketiga langkah tersebut dilakukan sesuai dengan data yang ada, diharapkan alokasi WiMax dapat diimplementasikan dengan pertimbangan risiko yang paling kecil yaitu pada frekuensi 2,3 dan 3,3 GHz. Sebagian besar penanganan risiko pada pita frekuensi 2,3 dan 3,3 GHz dilakukan dengan cara minimasi dikarenakan sebagian besar risiko bersifat fisik. Sementara penanganan untuk risiko yang bersifat finansial dilakukan dengan cara retensi.
Worldwide lnteroperability for Microwave Access (WiMax) is one of the newest telecommunication systems in Broadband Access Wireless (BWA). WiMax is already developed and standardized. WiMax forum is responsible in performing WiMax's development and standardization. Based on WiMax forum, WiMax's Asia Pacific frequency are 2, 3, 2.5, 3.3, 3, 5, and 5,8 GHz. Implementation of WiMax in Indonesia will have risk because In Indonesia WiMax's frequencies have been used for other communication technology such as microwave link, satellite, and other BWA technologies. In order to find minimum risk of WiMax's implementation, this research is using risk management approach, First, identify any possible risk. After risk identification, there are few aspects that need to be evaluated. These aspects are technology aspect, bandwidth availableness aspect, regulation aspect, BHP aspect, and utility that WiMax's frequency will face. Next, risk evaluation needs to perform. Risk evaluation is finding possible risk in implementing each WiMax's frequency, Last is making decision on solving possible outcome risk. After performing these three steps, a decision on the right frequency to use can be done. The right WiMax's frequency to be used is the frequency that has minimum risk therefore the right frequencies to be used in Indonesia is 2.3 and 3.3 GHz, Risk control on 2.3 and 3.3 GHz frequencies is minimizing and retention. Most of risk control on 2.3 and 3.3 GHz frequencies is minimizing due to the fact that most risk is physical risk while retention control is use to solve financial risk.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
T16858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prasetyo Indro Soejono
Abstrak :
Dalam penerapan desentralisasi fiskal sejak ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, salah satu aspek bahasan yang kerap kali muncul adalah adanya transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah (intergovernmental fiscal transfer). Transfer dari pemerintah pusat kepada daerah salah satunya dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan fiskal (fiscal equalization), baik secara vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah), maupun horizontal (antar pemerintah daerah). Di Indonesia, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini disebut dengan Dana Perimbangan, yang di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu Dana Bagi Hasil (baik bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam); Dana Alokasi Umum (DAU); dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana bagi hasil dibagikan kepada daerah menurut persentase tertentu, dan didasarkan atas daerah penghasil (by origin). DAU dibagikan dengan formula tertentu, sementara DAK dibagikan untuk tujuan-tujuan tertentu yang sudah digariskan (specific grant). DAU yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah tersebut diterapkan melalui suatu formula, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah. Dalam pelaksanaan pengalokasian DAU dari tahun 2001 hingga sekarang, selalu muncul ketidakpuasan dari sejumlah daerah. Daerah-daerah yang merasa tidak puas tersebut umumnya yang menerima DAU relatif kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan fiskal daerahnya. Selain itu, ditetapkannya kebijakan berupa penyesuaian atau modifikasi terhadap alokasi DAU yang sudah ditetapkan berdasarkan formula celah fiskal berimplikasi tidak maksimalnya kemampuan DAU dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Dengan demikian perhitungan DAU dinilai kurang memberikan efek pemerataan dan keadilan. Berkenaan dengan itu muncul adanya pemikiran teoretik untuk memasukkan variabel-variabel ekonomi baru dalam formulasi DAU. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ulang formula dan kebijakan aplikasi DAU yang selama ini digunakan, kemudian merumuskan formula DAU sesuai dengan kriteria yang tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang merupakan pengganti dari UU Nomor 25 Tahun 1999. Dari hasil penelitian secara kualitatif dan kuantitatif terhadap pembagian DAU pads periode-periode awal otonomi daerah kepada kabupaten/kota ternyata DAU cukup membantu untuk menutup celah fiskal guna membiayai pengeluaran total daerah yang terdiri dari pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. DAU mampu meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai pengeluaran, setelah pengeluaran tersebut juga dibiayai oleh PAD dan bagi hasii. Selain itu, DAU juga dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah yang diterapkan melalui suatu formula. Alokasi DAU 2004 untuk kabupaten/kota mampu memeratakan kemampuan fiskal antar daerah yang ditunjukkan dengan angka koefisien variasi sebesar 0,476382958. BHP dan BHSDA telah menimbulkan ketidakmerataan fiskal antar kabupaten/kota. Ketidakmerataan fiskal akibat pengalokasian BHP dan BHSDA untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia ditunjukkan oleh angka koefisien variasi yang tinggi yaitu 2,08444245. Dalam tahun 2004 juga telah dialokasikan dana penyeimbang berupa hold harmless. Namun demikian, prosesnya telah merugikan daerah lain yang seharusnya mendapatkan DAU yang lebih besar dan harus dikurangi demi mengantisipasi adanya tekanan politik dari DPR maupun pemerintah daerah. Dana hold harmless ini membuat ketidakmerataan fiskal antar kabupaten/kota semakin besar sebagaimana tercermin dari nilai koefisien variasi sebesar 2,15179564. Penghitungan PPAD secara regresi GLS (Generally Least Square) dengan panel data (data pool) ternyata memberikan hasil yang mencerminkan kapasitas fiskal daerah dan diharapkan dapat membuat formulasi DAU juga menjadi lebih baik. Hasil perhitungan menyebutkan bahwa dari 370 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 280 kabupaten/kota yang PPAD-nya lebih tinggi dari PAD riil, dan 90 kabupaten/kota yang PPAD-nya lebih rendah dari PAD riil. Hal ini berartelah menjawab salah satu kekurangan dari metode perhitungan terdahulu adalah menghasilkan PAD estimasi yang lebih rendah dari PAD rill sehingga memberikan disinsentif bagi daerah untuk meningkatkan PAD-nya. Perhitungan DAU 2004 estimasi dengan menginternalisasikan variabel-variabel yang baru berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 ke dalam persamaan regresi linear berganda DAU, yaitu Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia, PPAD, Bagi Hasil SDA, dan Bagi Hasil Pajak, ternyata lebih mampu untuk memeratakan kemampuan fiskal antar kabupaten/kota lebih baik daripada DAU 2004 yang memakai perhitungan fiscal need dan variabel-variabel ekonomi berdasarkan peraturan perundangan yang lama. Hal ini terlihat dari koefisien variasi untuk DAU 2004 estimasi sebesar 0,457565444 jauh lebih kecil dibandingkan dengan DAU 2004 sebesar 0,476382958. Perhitungan indeks Williamson juga menunjukkan bahwa indeks untuk DAU 2004 estimasi sebesar 0,69141 lebih kecil daripada DAU 2004 sebesar 0,72043. DAU berhasil memperbaiki pemerataan fiskal antar daerah akibat adanya dana bagi hasil yang cenderung sangat tidak merata. Alokasi DAU 2004 estimasi mampu untuk memeratakan kemampuan fiskal untuk daerah kabupaten/kota di luar Jawa hingga menjadi 0,580655989 dari sebelumnya 2,189769838. Untuk kabupaten/kota di pulau Jawa pemerataan fiiskaf tercapal pada angka koefisien variasi 0,427639999 dari sebelumnya 1,221831509. Ketidakmerataan fiskal seluruh kabupaten/kota akibat bagi hasil pajak dan SDA di Indonesia itu mampu dinetralisir oleh DAU 2004 estimasi yang mampu mengurangi ketimpangan fiskal tersebut hingga angka koefisien variasinya menjadi 0,553190859 dari sebelumnya 2,08444245. Demikian pula, Indeks Williamson untuk DAU 2004 estimasi mampu meminimalkan ketimpangan fiskal akibat dana bagi hasil dari angka 2,78962 menjadi 0,88892.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rian Ardiwibowo
Abstrak :
Kebijakan nasional di bidang pendidikan menengah adalah 1) peningkatan akses dan daya tampung, 2) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, serta 3) peningkatan efisiensi dan manajemen pengelolaan pendidikan. Sehubungan dengan diberikannya kewenangan sekolah dalam menentukan program kerja dan anggaran pelaksanaan tugas di bidang pendidikan maka perlu dilakukan kontrol terhadap implementasinya. Hal ini perlu untuk menghindari terjadinya ekses yang tidak menunjang tercapainya pengembangan pendidikan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk : a) memperoleh gambaran dan jawaban, dari masing-masing sekolah sample, apakah terjadi konsistensi antara pola penganggaran yang disusun sekolah dengan komitmen arah pendidikan para stakeholders dan kebutuhan riil sekolah dalam pelayanan masyarakat di bidang pendidikan, b) menguji keterbacaan serta efektifitas instrumen, terhadap 4 sekolah sample, untuk membantu sekolah dalam menentukan konsistensi antara anggaran, komitmen dan kebutuhan serta c) memformulasikan instrumen yang lebih efektif untuk membantu sekolah dalam menentukan konsistensi antara anggaran, komitmen dan kebutuhan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : Komitmen program pendidikan dari para stakeholder. Dari empat sekolah sampel penelitian, semua memiliki komitmen yang sama. Berturut-turut adalah peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, peningkatan efisiensi dan manajemen pengelolaan sekolah terakhir adalah program peningkatan akses dan daya tampung. Dalam program peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta peningkatan efisiensi dan manajemen pengelolaan sekolah, pembenahan SDM sebagai elternatif kegiatan yang diprioritaskan. Sedangkan program peningkatan akses dan daya tampung, double shift merupakan alternatif kegiatan yang paling tidak dikehendaki. Kebutuhan riil sekolah. Dari empat sekolah sampel penelitian, tiga sekolah telah terpenuhi kebutuhan utamanya dalam proses pembelajaran maupun kebutuhan penunjang. Tetapi animo lulusan SLTP yang sangat besar tidak disikapi dengan program peningkatan akses dan daya tampung secara serius. Satu sekolah kurang dapat konsisten dalam pemenuhan kebutuhan rill dan komitmen dari para stakeholders. Konsistensi anggaran sekolah. Dari empat sekolah sampel tiga sekolah mampu melakukan alokasi anggaran cukup konsisten dalam mendukung komitmen para stakeholders, maupun dalam pemenuhan kebutuhan riil. Satu sekolah kurang dapat mengalokasikan anggaran secara konsisten dalam pemenuhan kebutuhan hal ini berkaitan dengan aliran dana ke pihak ketiga, sebagai suatu kewajiban, yang cukup besar jumlahnya. Sumber pendanaan. Dari komitmen para stakeholders, dalam hal pencarian sumber dana untuk membiayai pelaksanaan program kerja sekolah, diperoleh kesimpulan : 3 sekolah (NE, NN dan SN) harapan utama sumber dana dari pemerintah, kemudian disusul dari siswa dan terakhir berharap dari donatur. Sedangkan 1 sekolah (SE), harapan utama sumber dana dari siswa, disusul dari donatur dan terakhir pemerintah. Instrumen penelitian. Hasil utama dari penelitian ini berupa instrumen perencanaan program dan anggaran sekolah yang riil dan partisipatif, disertai dengan software pengolahan data. Instrumen penelitian terdiri dari tiga jenis : 1) instrumen penjaringan komitmen para stakeholders, 2) form pendataan profil dan kebutuhan riil sekolah, 3) form posting alokasi anggaran sekolah. Rekomendasi. Sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah : 1. Mengaplikasikan instrumen dan software pendukungnya kepada sekolah agar diperoleh hasil berikut : - Bagi sekolah, untuk malakukan evaluasi, sekaligus pedornan arah, terhadap konsistensi antara komitmen arah program pendidikan, kebutuhan riil dan anggaran yang disusun sekolah. - Pemerintah, sebagai pertimbangan dalam penentuan kebijakan dalam pembinaan sekolah yang bersumber dari para stakeholders di lingkungan sekolah (bottom up). - Masyarakat, sebagai sarana ikut berpartisipasi dan kontrol kepada sekolah dalam penentuan program pendidikan. 2. Dalam kapasitas sebagai pembuat standar dan norma, peran pemerintah dalam ikut mengontrol alokasi anggaran sekolah adalah dengan memberikan rambu-rambu terhadap standar pembiayaan yang harus dimunculkan dalam RAPBS. 3. Sebagai pertimbangan pengalokasian bantuan (block grant) agar lebih tepat sasaran bagi sekolah. 4. Diperlukan uji coba kepada lebih banyak lagi sekolah dengan memperhatikan berbagai keragaman. 5. RAPBS diharapkan implementatif dalam pelaksanaan program tahunan sekolah beserta pembiayaannya.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widjihatini
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan membuat model dasar penentuan alokasi anggaran yang optimal dalam pengelolaan kebersihan kota peserta Program Bangun Praja. Data yang digunakan berupa data 39 kota yang mengikuti Program Bangun Praja pada tahun 2003/2004 diambil dari Kantor Kementerian Lingkungan Hidup c.q Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Metode analisa yang digunakan adalah regresi linier berganda, dengan variabel terikat besar anggaran kebersihan kota dan variabel bebas berupa jumlah penduduk terlayani, luas layanan, jumlah alat angkut, sampah terangkut, letak TPA dan jumlah personil. Pendugaan dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Dari hasil analisa tersebut diperoleh model terbaik. Model tersebut adalah bahwa anggaran kebersihan kota dipengaruhi terbesar oleh variabel jumlah alat angkut (ALAT), jumlah penduduk yang terlayani (JPT), jumlah personil (PERSON), dan jumlah pasar (PSR). Koefisien determinasi yang ditunjukkan sebesar 0,8687. Dengan menggunakan alat analisa EVEWS 3.1 diperoleh probabilitas t variabel ALAT sebesar 0,0468, variabel JPT sebesar 0,0248, variabel PERSON sebesar 0,0101 dan variabel PSR sebesar 0,0000, lebih kecil dari a 5%. Persamaan model tersebut adalah ANGG =-2596,5010+15,79316 ALAT+0,005627 J PT +3,908995 PERSON+396,1444 PSR. Simulasi dilakukan pada 5 kota, Kota Jakarta Utara, Bandung, Depok, Surakarta dan Salatiga. Nilai tingkat kebersihan kota-kota tersebut berdasar penilaian Program Bangun Praja relatif rendah dibanding dengan kota lain. Kenyataan ini didukung dengan dari hasil simulasi bahwa jumlah anggaran pengelolaan kebersihan kota di bawah estimasi anggaran. Kesimpulan penelitian ini adalah Model alokasi anggaran kebersihan kota peserta Program Bangun Praja yang diajukan cukup baik untuk menjelaskan pola penentuan alokasi anggaran kebersihan kota (data KLH tahun 2004). Variable yang berpengaruh besar adalah jumlah alat angkut, jumlah penduduk yang terlayani, jumlah personil, dan jumlah pasar. Dari hasil simulasi, dengan sumber daya yang ada agar kota-kota tersebut dapat manambah tingkat kebersihan kotanya harus pula meningkatkan jumlah anggaran pengelolaan kebersihan kota.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul Salam
Abstrak :
Jepang dan China saat ini dikenal sebagai dua negara yang memiliki pengaruh yang cukup besar di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari dinamika dan pola hubungan yang dibangun oleh China dan Jepang di ASEAN. Bagi Jepang sendiri, pola dan perannyy di ASEAN telah dijalin dalam waktu yang cukup lama, yakni semenjak tahun 1977. Dalam dua dekade, eksistensi dan peran Jepang di ASEAN terlihat sangat bpsar khususnya dalam peran-peran ekonomi dan juga politik. Sementara pola hubungan yang dibangun China dengan ASEAN barn secara formal dijalin pada awal tahun 1990an. Pola hubungan dan peran strategis Jepang di ASEAN semakin terlihat ketika periode 1980an sampai awal tahun 1990an perekonornian negara-negara ASEAN terns mengalami pertumbuhan mengitu trend yang dijuluki dengan istilah the flying geese, teori angsa terbang dimana Jepang didalamnya memilnpin pertumbuhan dan kebangkitan perekonornian kawasan. Peran Jepang dalam pembangunan ASEAN yang paling menonjol adalah pada sumbangsih FDI, ODA dan juga perdagangan. Ketika periode krisis melanda ASEAN termasuk dalam hal ini adalah negara-negara Asia Timur, keberadaan dan peran Jepang di ASEAN dalam aspek ekonomi politik mengalami gangguan produktifltas. Sementara itu, peran dan pola hubungan yang dibangun oleh Chlna dengan ASEAN terns mengalami kemajuan walaupun secara formal bare dimulai sekitar tahun 1991. Dalarn item hubungan dagang dan juga inisiasi kerjasama ASEAN China jugs menunjukan tree peningkatan. Ketika periode krisis melanda Asia, eksistensi China relatif cult-up bertahan dan kebal sehingga poly hubungan dan peran-peran ekonomi politiknya dengan ASEAN pun terns mengalamu peningkatan. Dengan temuan seperti disebutkan di Was, tesis ini memunculkan satu pokok persoalan yakni apakah kehadiran China di ASEAN telah mengancam dominasi ekonomi politik Jepang di ASEAN khususnya periode pasca krisis yakni tahun 1999-2004. Untuk menganalisa sekaligus menjawab pertanyaan penelitian dalam permasalahan tesis, penulis menggunakan beberapa pendeltatan atau teori terkait seperti national interest, neo realis dan juga open regionalism. Analisa dalam tesis ini menemukan beberapa poin panting; pertama bahwa peran Jepang di ASEAN pasca krisis mengalami fluktuasi dan dalam beberapa hal peran Jepang terlihat menurun. Kedua, Jepang sangat khawatir melihat China yang secara produktif terus berperan aktif dengan ASEAN. Hal ini karena kebangkitan dan pertumbuhan ekonomi China terus meningkatkan eskpansi dan kemitraan dengan negara-negara kawasan khususnya ASEAN. Pada akhirnya, penulis menemukan beberapa hal terkait dengan ancaman China terhadap dominasi ekonomi politik Jepang di ASEAN. Pertama, periode pasca krisis peran dominasi keperuimpinan ekonomi politik Jepang di ASEAN mulai bergeser, akibat munculnya China dengan pengaruhnya yang prestisius dalam bidang ekonomi dan politik dan railiter. Kedua, peran dan dominasi ekonom politik Jepang di ASEAN yang mengalami pergeseran juga menyebabkan berkurangnya kontrol Jepang teradap pembarxgunan ekonomi politik di ASEAN. Ketiga, menguatnya trend regionalisme di Asia Timur dalam wujud FTA ASEAN China, telah meiahirkan satu bentuk potensi yang sangat besar yakni new emerging market dan keempat, trend China yang secara ekonomi politik terns mengalami peuguatan, berpotensi secara langsung mengancain keberadaan Jepang dalam kepemimpinan kawasan dan, kelima adalah kebangkitan ekonomi politik China telah berakibat secara langsung pada peningkatan alokasi anggaran militer tiap tahunnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaeny Jauhari
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis temuan audit Pajak pada Kontraktor Migas dilihat dari Aspek Akuntansi, Perpajakan, serta Konsep Migas seperti kesesuaian kontrak, pemenuhan prosedur, serta pertimbangan kekhususan yang mengatur mengenai ruang lingkup Industri Migas. Metode yang digunakan adalah studi kasus pada temuan audit Tahun Buku 20XX pada sample KKKS. Ruang lingkup yang diangkat adalah koreksi Pajak Penghasilan Badan Minyak dan Gas seperti Alokasi Overhead Kantor Pusat, dan koreksi atas Depresiasi. Pajak lain yang diangkat adalah Pajak Pertambahan Nilai PPN atas Facility Sharing Agreement pada Floating Storage Offloading. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa kondisi industri Migas merupakan industri yang spesifik dan perlu diperlakukan dengan mekanisme yang khusus.
ABSTRACT
The Research Analyzes the tax audit findings on Oil Gas Production Sharing Contrator viewed from Accounting Principle, Taxation, as well as the Oil Gas concept, including the suitability of the Contract, procedural compliance, as well as consideration of the specifity concerning the scope of the Oil Gas Industry specificity. Research method used is case study on the 20XX audit Findings of the PSC. Scope of the research related with Corporate Income Tax Correction generated from Parent Company Overhead Allocation and Corection from Depreciation. Other Tax Issues analyzed is the Value Added Tax VAT of the Facility Sharing Agreement on Floating Storage Offloading. This research show that the condition of the Oil Gas Industry is a Special Industry and need to be treated with Special procedure.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library