Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krouse, John H.
Philadelphia: Churchill Livingstone, Elsevier, 2008
616.97 MAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Darell Widjaja
Abstrak :
Background: Vitamin D role in immune system have been investigated due to the presence of VDR on immune cells. Based on this information deficient level of vitamin D could affect the progression of allergic rhinitis. Unfortunately the data regarding vitamin D status in the normal population and allergic rhinitis patient were very limited in Indonesia. This research was done to provide illustration regarding the status of vitamin D in healthy and allergic rhinitis patients in Jakarta and also to investigate the factor that might affect the level of vitamin D in allergie rhinitis. Methods: This research was an observational cross sectional research. There were 22 subjects used during this research all diagnosed with moderate-severe allergic rhinitis. The study used the Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA) technique. The data then were analyzed with IBM® SPSS statistic version 22 Results: The difference between the mean vitamin D of patients suffering from allergic rhinitis with healthy controls (12.7±10.3 ng/mL to 15.1±8.1 ng/mL). There was no significant diference in mean vitamin D between the gender groups (Independent Sample T-test p= 0.62). There were no statistical difference between the vitamin D level in patient with different eosinophil count and IL-5 level (IL-5 group: one-way ANOVA: p= 0.897; eosinophil group: One Way ANOVA: p = 0.752). Conclusion: The mean level of vitamin D in allergic rhinitis patients compared to healthy controls showed no significant difference. Comparison studies about level of vitamin D between groups with different gender, IL-5 and eosinophil count showed no significant difference
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S70303
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Muktiarti
Abstrak :
Alergi makanan adalah salah satu jenis alergi yang sering terjadi dan merupakan masalah penting pada anak karena makanan merupakan zat yang mutlak diperlukan pada tumbuh kembang anak. Bila seorang anak alergi terhadap bahan makanan utama yang sangat diperlukan pada proses tumbuh kembangnya keadaan ini tentunya dapat merupakan proses tumbuh kembang anak. Perkembangan alergi makanan didahului oleh adanya tahap sensitisasi. Pada tahap ini seorang individu belum menunjukkan gejala tetapi sudah terdapat kenaikan kadar IgE spesifik terhadap alergen makanan tertentu. Paparan terhadap alergen berikutnya pada individu yang sudah tersensitisasi akan rnenimbulkan reaksi imunologi yang selanjutnya mencetuskan gejala alergi. Deteksi sensitisasi terhadap suatu alergen dapat dilakukan melalui pemeriksaan uji kulit (skin prick test/SPT) dan pemeriksaan kadar IgE spesifik terhadap suatu alergen. Pemeriksaan kadar IgE spesifik mempunyai kelebihan dibandingkan SPT terutama bagi anak-anak di bawah 2 tahun karena pemeriksaan SPT pada bayi di bawah 1 tahun sering memberikan hasil negatif palsu dan pada anak usia di bawah 2 tahun dapat mempunyai indurasi yang lebih kecil. Susu sapi termasuk salah satu jenis makanan yang paling sering menimbulkan reaksi alergi karena protein susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenal oleh bayi. Prevalens alergi susu sapi (ASS) cukup bervariasi mulai dari 0,5% sampai dengan 7,5%.8-9 Alergi susu sapi sering terjadi pada bayi di bawah usia 1 tahun dan angka kejadiannya akan berkurang dengan bertambahnya usia. Manifestasi klinis ASS dapat timbul di berbagai sistem organ seperti kulit, saluran cema, saluran napas, dan reaksi anafilaksis. Baku emas untuk menegakkan diagnosis ASS adalah dengan uji provokasi makanan buta ganda atau double blind placebo control food challenge (DBPCFC). Tatal aksana ASS adalah penghindaran susu sapi dan semua produknya. Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan cara terbaik untuk menghindari alergen susu sapi. Namun bila pasien ASS tidak bisa mendapatkan ASI maka sebagai pengganti susu sapi dapat diberikan susu kedelai, susu dengan protein hidrolisat, atau susu elemental. Susu kedelai telah lama digunakan terutama di negara-negara Timur. Susu kedelai pertama kali digunakan sebagai pengganti susu sapi pertama kali adalah pada tahun 1929. Beberapa keuntungan pemakaian susu kedelai antara lain adalah tidak mempunyai protein susu sapi, rasa yang lebih enak dan harga yang lebih murah dibandingkan susu protein hidrolisat. Kedelai dapat juga menjadi bahan dasar bermacam-macam makanan yang cukup sering dikonsumsi di negara Asia, antara lain minyak, tepung, tahu, tempe, penyedap alamiah, kecap, dan susu kedelai. Tahu merupakan salah satu jenis makanan yang sering digunakan oleh ibu-ibu di Asia untuk menjadi makanan awal yang diperkenalkan saat penyapihan karena konsistensinya yang lembut dan harganya yang cukup murah. Namun sayangnya, banyak penelitian menyatakan bahwa sebagian besar pasien ASS juga alergi terhadap kedelai. Prevalens alergi kedelai (AK) pada ASS sangat bervariasi, berkisar antara 0-63% dengan angka yang lebih tinggi dilaporkan pada ASS yang tidak diperani oleh IgE. Karena alasan inilah sebagian besar pasien ASS diberikan susu dengan protein hidrolisat ekstensif untuk menghindari kemungkinan AK. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak dilakukan di negara-negara Barat yang populasinya tidak banyak mengkonsumsi kedelai. Pada penelitian yang dilakukan di Korea angka sensitisasi kedelai pada pasien ASS adalah sebesar 18,3%. Penelitian di Thailand menemukan AK sebesar 17% pada pasien ASS. Sedangkan penelitian di Jepang menemukan angka kejadian AK pada anak-anak yang menderita alergi makanan sebesar 11%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18176
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rafid Ikhsani
Abstrak :
Perubahan gaya hidup seiring perkembangan zaman membuat kronotipe manusia semakin bervariasi. Kronotipe malam diketahui banyak dijumpai pada kalangan remaja akhir. Pola irama sirkadian memiliki hubungan dengan sistem imun dan penyakit alergi. Rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang paling banyak dijumpai pada kalangan remaja dan dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kronotipe dan rinitis alergi pada pelajar sekolah menengah atas.

Metode: Pada penelitian potong lintang ini, analisis dilakukan pada 196 pelajar sekolah menengah atas yang telah menjawab empat kuesioner: International Study of Asthma and Allergy in Childhood Core QuestionnaireReduced Version Morningness-Eveningness Questionnaire, Epworth Sleepiness Scale dan Kuesioner Studi Kohort Faktor Risiko PTM Tahun 2011 Bagian Penggunaan Tembakau dan Kebiasaan Merokok. Data dianalisis menggunakan uji chi square dan analisis regresi logistik.

Hasil: Lebih banyak pelajar berkronotipe pagi (64,8%) dibandingkan tipe malam (35,2%). Sebanyak 28,1% pelajar mengalami rinitis alergi dalam 12 bulan terakhir. Kronotipe berhubungan signifikan dengan rinitis alergi (p<0,05; OR=2,273; CI 95% 1,198-4,311). Terdapat perbedaan proporsi rinitis alergi yang signifikan antara pelajar dengan kronotipe malam (39.1%) dan pelajar dengan kronotipe pagi (22%).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan proporsi rinitis alergi yang signifikan antara pelajar sekolah menengah atas dengan kronotipe malam dan pelajar dengan kronotipe pagi. ......Changes in lifestyle over the times make human chronotypes more varied. The evening type are known to be frequently found among late adolescents. Circadian rhythm has a relationship with the immune system and allergic disease. Allergic rhinitis is the most common allergic disease among adolescents and can reduce the patient's quality of life. This study aims to determine the relationship between chronotype and allergic rhinitis in high school students.

Method: In this cross-sectional study, 196 high school students answered four different questionnaires: the International Study of Asthma and Allergy in Childhood Core Questionnaire, the Reduced Version Morningness-Eveningness Questionnaire, Epworth Sleepiness Scale and Kuesioner Studi Kohort Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Tahun 2011 Bagian Penggunaan Tembakau dan Kebiasaan Merokok. The data was analyzed using chi-square test and logistic regression.

Result: More students were morning type (64,8%) compared to evening type (35,2%). As many as 28.1% of students experienced allergic rhinitis in the last 12 months. Chronotype was significantly associated with allergic rhinitis (p<0,05; OR=2,273; CI 95% 1,198-4,311). There was a significant difference in the proportion of allergic rhinitis between high school students with evening chronotype (39,1%) and high school students with morning chronotype (22%).

Conclusion: There was a significant difference in the proportion of allergic rhinitis between high school students with evening chronotype and students with morning chronotype.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Xu zhang
Abstrak :
Abstrak
PURPOSE: Chinese herbal medicine (CHM) has been widely used in China to treat allergic rhinitis (AR). However, several studies have produced conflicting data with regard to the efficacy of the medicine. Our aim was to perform a meta-analysis of randomized clinical trials (RCTs) to evaluate the relative efficacy of CHM. METHODS: We systematically searched the PubMed, Medline, and Springer electronic databases up to March 2017 for RCTs comparing the efficacy of CHM versus placebo for the treatment of patients with AR. Total nasal symptoms and quality of life were assessed through pooling mean difference (MD) with its 95% confidence interval (CI). Moreover, sensitivity and subgroup analyses according to control design and quality of life assessment were performed to evaluate the source of heterogeneity. RESULTS: Eleven RCTs were enrolled in the meta-analysis. Assessment of overall heterogeneity indicated significant heterogeneity among the individual studies (I²=100%, P<0.00001), and thus ransomed effects model was used to pool data. CHM was found to significantly enhance quality of life compared with placebo (MD=-0.88, (95% CI: -1.55, -0.21); P=0.01). The symptom of itchy nose, sneezing or total nasal symptoms scores were not significantly improved after CHM treatment, although the improvement in itchy nose just failed to reach significance (MD=0.09, (95% CI: 0.00, 0.18); P=0.06). CONCLUSIONS: This study suggests that CHM appears to improve the quality of life of AR patients. However, these findings, as well as the findings for the effect of CHM on sneezing, total nasal symptoms, and the symptom of itchy nose, need to be substantiated in larger cohorts of AR patients by further well-designed studies.
Suwon Korea: The Korean Academy of Asthma, Allergy and Clinical Immunology, 2018
610 AAIR 10:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
Abstrak :
Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru. Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK. Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI. Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Takumansang, Raynald Oktafianus
Abstrak :
Background The prevalence of allergic disease to be increasing across the world. More than 20 of the population worldwide suffer from diseases which mediated by immunoglobulin E, such as asthma, rhinoconjunctivitis, atopic dermatitis or eczema. There is no data about allergen sensitization of allergic disease in Manado. Objective The purpose of this study is to know the allergen sensitization in children with allergic diseases atopic dermatitis, allergic rhinitis, asthma . Children were divided into group less than and more than or equal to 3 years old, which was evidenced by skin prick test or IgE Atopy test in Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital Manado. Methods This study was a descriptive cross sectional study, conducted from June until August 2016. Results A total of 95 children were included in the study, of which 77 children were ge 3 years old and 18 children were 3 years old. Seventy five children underwent skin prick test and 20 children underwent IgEAtopy test. In 3 years old children, there were 14 children diagnosed with atopic dermatitis and 4 children diagnosed with atopic dermatitis and asthma. In ge 3 years old children, the most common diagnosis was allergic rhinitis, as many as 21 children. Allergen sensitization found in 3 years old children with atopic dermatitis and atopic dermatitis asthma was cow rsquo s milk, house dust mites and egg white. Sensitization to house dust mites most commonly found in patients with atopic dermatitis. The most common allergen sensitization in ge 3 years old children was house dust mites, egg white, potatoes, dog fur, cow 39 s milk, wheat flour and soya formula. Conclusion The most common allergen sensitization in 3 years old children with atopic dermatitis is cow 39 s milk, while in children with asthma and atopic dermatitis is house dust mites, whereas in ge 3 years old children with atopic dermatitis, allergic rhinitis, asthma, or combination of the disease is house dust mites.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55684
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Pradipta
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Asma dan rinitis alergi merupakan penyakityang disebabkan oleh inflamasi saluran napas.United airway adalah hipotesis terdapatnya kesatuan morfologi dan fungsi sistem saluran napas atas dan bawah yang memiliki kesamaan dalam histologi, fisiologi dan patologi. Penilaian respons inflamasi pada saluran pernapasan diharapkan mampumemperbaiki derajat berat penyakit asma maupun rinitis alergi sehingga derajat penyakit terkontrol baik. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada 31 pasien asma yang berobat ke RSUP Persahabatan. Subjek penelitian dinilai derajat berat penyakitnya berdasarkan derajat asma stabil, derajat kontrol asma dan derajat rinitis. Penilaian inflamasi saluran napas atas menggunakan eosinofil mukosa hidung dan inflamasi saluran napas bawah menggunakan FeNO Subjek dibagi menjadi kelompok asma dengan rinitis alergi dan asma tanpa rintis alergi menggunakan pemeriksaan alergi uji cukit kulit. Hasil: Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara peningkatan kadar FeNO dengan asma yang tidak terkontrol (r=0,39, p = 0,02).Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah eosinofil mukosa hidung (p = 0,02) dan FeNO (p = 0,01)pada subjek asma dengan rinitis alergidan asma tanpa rinitis alergi. Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara kadar FeNO dengan jumlah eosinofil mukosa hidung. (r = 0,378, p= 0,04).
ABSTRACT
Background:Asthma and allergic rhinitis are diseases caused by airway inflammation. The united airways hypothesis suggests a similarity of morphology and function betweenthe upper and lower airway systems. Thus, the assessment of inflammatory activities in the united airway systems should reflect the severity and the degree of disease control in asthma and allergic rhinitis. Methods:This cross-sectional study included 31 asthma patients treated in National Respiratory Referral Center Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, as subjects. Subjects were grouped into asthma with allergic rhinitis and asthma without allergic rhinitis based on the skin test examination. The degrees of stable asthma, asthma control, and rhinitis of the subjects were recorded. The nasal eosinophil counts and fractional concentration of exhaled nitric oxide (FeNO) level examinations were performed to assess the lower and upper airway inflammation, respectively. Results:There was a moderate correlation between FeNO levels and degree of asthma control (r=0.39, p=0.02).Subject grouping resulted in different nasal eosinophil counts and FeNO levels (p=0.02 and p=0.01, respectively). There was a moderate correlation between nasal eosinophil counts and FeNO levels (r=0.378, p= 0.04).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas
Abstrak :
Latar belakang/tujuan Apotek merupakan salah satu sumber utama obat bagi masyakarakat dan tempat pelayanan kefarmasian secara langsung yang dilakukan oleh Apoteker. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada Apoteker dalam bentuk tertulis atau elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat kepada pasien. Telaah resep merupakan salah satu bentuk dari pelayanan farmasi klinis yang dibutuhkan agar tidak terjadi masalah terkait obat pada pasien. Masalah kulit merupakan masalah kesehatan yang umum terdapat di masyarakat sehingga penting bagi seorang apoteker untuk memahami pengobatan dan manajemen kondisi penyakit yang berkaitan dengan kulit. Metoda Resep yang tersedia dikaji kelengkapan admistrasinya serta aspek farmakologis dan klinis dari tiap-tiap obat. Obat-obat yang terdapat di dalam resep harus sesuai dengan indikasi yang terdapat pada pasien. Seperti halnya penggunaan obat-obat oral, obat-obat topikal untuk alergi kulit juga membutuhkan kepatuhan pasien dalam mengaplikasikan obat. Kesimpulan Resep-resep untuk mengobati pasien alergi kulit di Apotek Atrika sudah memenuhi kelengkapan persyaratan administrasi, farmasetika, dan klinis. ......Background/Aims Pharmacy is one of the main sources of medicine for the community and is a direct pharmaceutical service provided by Pharmacists. A prescription is a written request from a doctor or dentist to the Pharmacist, in written or electronic form, to provide and dispense medication to the patient. Prescription review is one form of clinical pharmacy service that is necessary to prevent medication errors and drug-related problems in patients. Skin problems are common health issues in society, so it is essential for a pharmacist to understand the treatment and management of skin-related conditions. Methods The prescription methods available are assessed for their completeness in administration, as well as the pharmacological and clinical aspects of each drug. The drugs included in the prescription must be suitable for the patient's indications. Results similar to the use of oral medications, topical medications for skin allergies also require patient compliance in applying the medication. Conclusion: The prescriptions for treating skin allergy patients at Atrika Pharmacy meet the requirements for administrative, pharmaceutical, and clinical completeness.
Depok: Universitas Indonesia. Fakultas Farmasi, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>