Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Imelda
Abstrak :
Skripsi ini mencoba menjelaskan tentang keutamaan al-'ilmu khususnya bagi para Sufi dalam menjalankan tasawuf, agar dapat memperoleh hasil yang benar, yaitu mencapai tingkat makrifat.Pengertian aI-'ilmu memiliki makna khusus yaitu ilmu mengenai Allah, zat, dan af'al-Nya. Al'Ilmu ini disebut pules limo jalan ke akhirat, karena dengan al-'ilmu manusia beramal, dengan amal seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah, dan sampainya seorang hamba kepada Allah atau disebut makrifat adalah suatu kebahagiaan abadi yang merupakan akhir Bari suatu perjalanan. Menuntut al-'ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. Al-'Ilmu dapat menaikkan derajat dan menambah kemuliaan seseorang di dunia terlebih di akhirat.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainuddin
Jakarta: Bumi Aksara , 1991
297.64 ZAI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nik Hayanti
Abstrak :
Pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan. Dengan akhlak yang baik, berkarakter keislaman yang tinggi, betapapun parahnya kondisi sosial.
Tulungagung: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 2012
297 JPIK 7:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Abduhzen
Abstrak :
Tesis beijudul "Epistemologi Sufisme, Suatu Kajian Teori Pengetahuan Al-Ghazali", ditulis oleh Mohammad Abduhzen dengan pembimbing Prof. Dr. Toetl Heraty Noerhadi dan Dr. Ahmad Poerwadaksi dalam rangka penyelesaian pendidikan tingkat magister pada program studi ilmu filsafat, program pascasarjana Universitas Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi latar belakang diambilnya tema tersebut. Pertama secara epistemologis antara lain adanya kenyataan bahwa kita saat ini hidup dalam suatu era ilmu pengetahuan dan teknologi. Peranan ilmu pengetahuan menjadi semakin menentukan kualitas kehidupan kita baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Namun di sisi lain menimbulkan berbagai persoalan-persoalan yang mengancam kualitas dan eksistensi hidup manusia dan alam seluruhnya. Kedua adanya isu islamisasi ilmu pengetahuan yang gencar pada sekitar tahun delapan puluhan yang tampaknya mencuat dalam rangka mencari alternatif sosok ilmu pengetahuan yang lebih "berjiwa", menghantar saya pada pertanyaan tentang spesifikasi epistemologis. Tetapi saya terpancing oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat kita, ada pandangan tersendiri terhadap ilmu pengetahuan yang bercorak sufistik. Meskipun pan-dangan spesifik ini masih diselimuti oleh kabut mhos dan dongeng yang penuh keajaiban halusinasi. Saya tertarik untuk menyingkap dan mencoba menemukan alur logikanya. Dan smi sampailah saya kepada sufisme yang saya pandang sebagai sumberaya. Ketiga, diketahui bahwa ummat Islam di Indonesia bermazhab sunni. Ini mengindikasikan orientasi filosofisnya kepada Al-Ghazali. Al-Ghazali adalah seorang ulama yang filosof dan sekaUgus adalah sufi. Anggapan ini mendorong saya kemudian memilihnya sebagai tokoh yang akan diteliti.Berdasarkan atas hal-hal tersebut saya mencoba merumuskan dua pokok permasalahan, yaitu: pertama, Bagaimanakah pemikiran epistemologi Al-Ghazali pada umumnya?. Kedua, Bagaimanakah spesifikasi epistemologi sufisme Al-Ghazali?. Dari penelitian ini saya berharap, akan berguna dalam rangka dialog antara ilmu dan agama, seMngga keduanya memungkinkan untuk saling melengkapi. Ini penting dalam rangka mencari titik temu (bukan titik lebur, karena agama dengan caranya sendiri tetap agama dan ilmu dengan sistemnya sendiri tetap ilmu) antara ilmu dan agama. Dengan dialog ini semoga akan makin memperkokoh status masing-masing serta menampakkan hal-hal apa dari agama itu yang accessable bagi ilmu dan begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu pene-litian ini akan mencari tahu makna dan arti, peran dan fungsi ilmu secara mendasar. Sementara di sisi lain juga hendak menyibak kabut mitos dan dongeng yang senantiasa menyelimuti setiap ujaran tentang sufisme. Dengan demikian pengkajian aspek pengetahuan dalam mistisisme Islam ini akan berarti juga menjelaskan teori-teori pengetahuan sufisme dengan bahasa yang sejauh mungkin dapat dimengerti oleh akal sehat, meski bukan dalam rangka mengujinya dengan epistemologi pada umumnya (Barat). Penelitian ini adalah sebuah sintesis-refieksif yang akan mengungkapkan konsep-konsep epistemologi Al-Ghazali, dengan metode analisis-sintesis, hermeneutik, heuristika dan diskripsi. Langkah-langkahnya: mengkaji kepustakaan, mengklasifikasi, menganalisis dan mensintesiskannya. Di dalam bab II. dibicarakan tentang Sufisme, dan Al-Ghazali sebagai seorang sufi. Sufisme yang menjadi fokus dalam tulisan ini, secara etimologi berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba atau wol, menunjuk kepada kebiasaan kaum sufi memakai kain wol kasar sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Pengertian sufisme adalah suatu ajaran tentang sikap, cara hidup untuk berhubungan dan mendekat kepada Tuhan hingga sedekat-dekatnya, berdasarkan pemahaman tertentu terhadap ajaran Islam- Sebagai mistisisme Islam, sufisme memiliki unsur-unsur universal seperti yang terdapat pada semua jenis mistisisme dan unsur-unsur yang spesifik Islam. Timbulnya sufisme disebabkan oleh kondisi sosial-politik di akhir abad ke-1H/7M dan awal abad ke-2 H/8 M. Awalnya muncul dan menyebar pola hidup zuhud sebagai protes tajam kepada pemerintah agar menerapkan semangat Islam yang orisinil, yang sederhana dan bersahaja. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M perilaku zuhud itu disebut sebagai "kaum sufi" dan pada abad ke-4 H/10 M memperoleh konotasi teosofis, karena mulai adanya pengaruh pemikiran spekulatif dari sistem teologi dan filosofl Yunani. Dari sini mulai timbul gagasan-gagasan tentang cahaya, pengetahuan dan cinta. Maka dari itu seorang sufi yang sejati haruslah juga seorang pemikir. Seperti pada Al-Ghazali. Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama Ghazalah, di daerah Thus, Khurasan. Perjalanan intelektuanya penuh keraguan dan berakhir dalam kepastian sufisme. la mengalami dua kali keraguan, pertama keraguan epistemologis karena ia meragukan segala pengetahuan dan keraguan yang kedua bersifat spiritual ketika ia akan memasuki hidup sufi. Kedua keraguan ini katanya, berakhir karena adanya nur (cahaya) yang dipancarkan Allah ke dalam batinnya, bukan berdasarkan kepada argumen-tasi rasionai. Dari pengalaman-pengalaman menjalani cara hidup sufi yang berlangsung intenstf selama sepuluh tahun, Al-Ghazali menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dengan sufisme pada umumnya yang ada sebelumnya. Ini dapat dilihat dari sikapnya terhadap kehidupan duniawi, penolakannya terhadap kesatuan wujud, tidak bersifat ekstatik dan tidak menafikan pemikiran. Sebagai seorang sufi Ghazali tetap memelihara pikiran filosofisnya yang mandiri dan kritis, sehingga ia tidak terjatuh ke dalam tradisi yang melampaui kebenaran yang seharusnya, atau terperangkap oleh keraguan skeptisisme yang tidak berakhir. Tasawuf baginya membantunya dalam membebaskan pikiran yang mutlak diperlukan dalam mencapai kebenaran yang murni dan raenyeluruh. Itulah Al-Ghazali seorang filosof dan seorang sufi. Dalam bab III, di bahas tentang epistemologi sufisme Al-Ghazali. Epistemologi Al-Ghazali dilandasi oleh pandangan ontologinya. la membagi seluruh Ada {realitas) menjadi dua alam, yaitu alam syahadah yang kasat mata dan alam malakut yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, bersifat ruhani dan nuraniah. Hubungan kedua alam ini adalah alam malakut sebagai model (mitsal) bagi alam syahadah, sedangkan alam syahadah adalah "bekas" atau efek (akibat) dari alam malakut. Menurut Ghazali kunci-kunci pengetahuan tentang alam syahadah tidak lain adalah pengetahuan tentang alam malakut. Kunci pengetahuan tentang "akibat" adalah pengetahuan tentang sebab yang menimbulkannya. Pandangan ini pula melandasi pemikirannya tentang kausalitas. Kausalitas bukanlah hubungan yang absolut dan berdiri sendiri. Sebutan itu baginya adalah kebiasaan saja. Tuhan sajalah penyebab aktif dari segala gejala dan peristiwa baik langsung maupun tidak. Manusia, jika hendak memperoleh pengetahuan hakiki harus memasuki alam malakut dan menjadi bagian daripadanya. Caranya adalah dengan berjalan naik (mi'raj) ke hadirat Ilahi melalui jalan-jalan sufi (suluk). Makhluk manusia memiliki unsur ruhaniah, sebagai substansi dan tempat bagi pengetahuannya. la menyebut substansi ruhani manusia itu dengan al-nafs. Al-nafs sering juga disebut dengan istilah-istilah lain yaitu rwA, atau aql (Akal) atau jiwa. Dalam nafs itu terkandung daya-daya mengetahui, yaitu: daya inderawi (ruh inderawi), daya imajinatif (ruh khqyali), daya intelek (ruh aqt), daya kreativitas (ruh pemikiran) dan daya dzauq atau daya "intuitif '(ruh suci kenabian). Mengetahui, adalah proses menangkap gambar, contoh (mitsal) realitas objektif. Yang ditangkap hanyalah gambamya saja bukan realitas objektifnya, sebab realitas tersebut tidak mungkin dapat berpindah ke dalam daya tangkap manusia. Hakikat mengetahui adalah ketersingkapan segala sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu, salah atau keliru. Selain melalui proses abstraksi ada pengetahuan yang dapat diperoleh dengan cara langsung, yaitu melalui ilham yang berupa nur ( cahaya) yang dipancarkan Allah swt. ke dalam batin. Mulanya manusia adalah makhluk yang sederhana dan kosong pengertiannya tentang alam ini, kemudian secara berangsur-angsur ia dikaruniai idrak (alat pengenal) inderawi. Setelah perkembangan inderawi lengkap, pada anak mulai tumbuh kekuatan pertimbangan (tamyiz), sehingga anak mengenal objek baru di luar pancaindera. Kemudian Allah menganugrahinya akal untuk menangkap makna hukum-hukum logis seperti sesuatu yang adanya merupakan keharusan(wajib), hukum yang bersifat kemungkinan (/aiz), serta hukum ketidakmungkinan (nwstahit). Yang paling tinggi dari semua ini adalah idrak dzauq untuk mengenal alam supra-rasional, spiritual atau alam gaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, tamyiz dan akal. Berdasarkan pada daya-daya tadi Al-Ghazali membagi pengetahuan menurut sumbernya, menjadi pengetahuan inderawi. pengetahuan akal (rasional) yang meliputi ilmu nadhari (yang diperoleh lewat penalaran), ilmu dharuri (pengetahuan aksiomatik), pengetahuan emptri (yang diperoleh dari pengalaman) dan pengetahuan intuitif (yang diperoleh dari kehendak dan motivasi), dan pengetahuan kenabian yang diperoleh melalui jalan sufi. Sedangkan ditinjau dari sifatnya pengetahuan terdiri dari ilmu mukasvafah (pengetahuan teoritis) dan ilmu muamalah (pengetahuan praktis). Ilmu mukasyafah kata Ghazali adalah ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, tidak dapat ditulis dengan kata-kata tetapi menjadi tujuan dari pencarian setiap ilmu. Adapun ilmu muamalah yaitu ilmu yang setelah diketahui hendaklah diamalkan. Dan ilmu ini adalah jalan untuk menuju kepada ilmu mukasyafah. Pembagian lainnya yaitu ilmu syariah (ilmu keagamaan) yang diperoleh melalui wahyu dan nabi-nabi, hukum mencarinya bersifat fardhu 'ain (wajib bagi tiap orang), dan yang bukan syariah (ilmu intelektual) yang bersifat fardu kifayah (wajib ada bagi tiap komunitas). Batas pengetahuan manusia menurut Ghazali adalah sesuai dengan batas kemampuan setiap idrak. Pengetahuan inderawi berbatas pada kemampuan idrak pancaindera, yaitu alara nyata dan kasat mata. Pengetahuan akal tebatas pada objek-objek penalaran, hukum logis dan matematis, pengalaman dan intuisi. Sedangkan pengetahuan kenabian tidak dapat diketahui batasnya. Pengembangan pengetahuan bagi Al-Ghazali tergantung dari hasrat ingin tahu. Hasrat tersebut melahirkan keraguan, keraguan menimbulkan pencarian, pencarian akan mendapatkan kepastian atau keyakinan. Dengan demikian akan perkembanglah pengetahuan. Menurut Al-Ghazali seluruh pengetahuan pada dasarnya bersifat sufistik karena setiap pengetahuan manusia merupakan jalan menuju kepada Allah. Tetapi secara metodologis yang benar-benar dalam artian sufisme adalah pengetahuan kenabian. Fenomena kenabian dapat dicapal oleh manusia biasa, meskipun tidak sempurna dan juga tidak berarti menjadi nabi. Hal-hal lahir dilihat dengan mata lahir dan realitas-realitas batin dengan mata batin. Pengetahuan yang diperoleh melalui mata hati ini bersifat serta-merta dan iangsung seperti pengetahuan inderawi, namun isinya berkenaan dengan dunia spiritual. Ghazali menyatakan bahwa hati setiap manusia diciptakan untuk mengetahui "dunia Ilahiah yang kasat-mata", tetapi ketika manusia itu berhubungan dengan dunia, umumnya nafsu duniawi menybelubungi hati itu sehingga ia tidak mampu melihat objeknya. Apa yang dilakukan oleh kaum sufi adalah menyingkirkan selubung itu. Pembersihan din dengan mengwgat(dzikir) kepada Allah hingga mencapai pele-buran (/ana) dalam Tuhan menjadi ciri metodologi sufisme. Meskipun pengetahuan ini diperoleh lepas (tidak tergantung pada) akal dan indera, namun sama sekali bukan tidak rasional. Peran akal adalah megenalkan dirinya kepada kita akan kebutaannya sendiri dalam memahami apa yang dapat dihayati oleh "mata" kenabian. Ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan pada mulanya juga diperoleh dengan cara seperti ini.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jitet Koestana
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010
892.7 JIT k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Atika Dwi Adjeng
Abstrak :
ABSTRAK
Diskursus tentang nafs merupakan salah satu kunci bidang metafisika, yang bisa dilihat dari perspektif filsafat serta tasawuf yang notabene membicarakan seputar kajian ba?ini. Peranan nafs adalah sebagai proses berfikir, dari proses inilah akan timbul sebuah pemahaman yang menghasilkan pengetahuan, yaitu bagaimana seorang manusia memandang serta menyikapi hakikat dari kehidupan. Terdapat dua tokoh yang juga memiliki andil penting sebagai tokoh yang mendalami serta memperinci hakikat nafs menurut perspektif dari masing-masing zaman yang telah dilaluinya. Keduanya memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam pemikirannya tentang nafs. Terdapat tiga persamaan dan lima perbedaan pada pemikiran kedua tokoh dalam memandang hakikat nafs. Beberapa persamaan yang nampak mengenai definisi nafs, potensi-potensi nafs, serta kekekalan nafs, meskipun begitu memiliki lebih banyak perbedaan dalam pemikirannya seperti memandang wujud nafs, hubungan jasad dan nafs, pemikiran tentang ruh, rsquo;aql, qalb, dan nafs, tungkatan-tingkatan nafs, serta konsep kebahagiaan nafs. Dari pemikiran ini terlihat pemikiran yang saling mendominasi serta transisi perubahan yang akan mempengaruhi pemikiran tokoh, yang dianggap sebagai hasil pembahasan yang menarik. Dari ringkasan ini peneliti berusaha membandingkan konsep pemikiran kedua tokoh tersebut yang dilihat dari ranah filsafat serta tasawuf. Metode yang akan digunakan adalah deskriptif-analisis, yaitu dengan menjabarkan keseluruhan pemikiran kedua tokoh tentang hakikat nafs, kemudian menganalisis dengan menemukan persamaan serta perbedaan dari kedua tokoh.
ABSTRACT
The discourse on the nafs is one of the keys of the field of metaphysics, which can be seen from the perspective of philosophy and is certainly present in Sufism which in fact speaks of the study of ba ini. The role of the nafs is as a process of thinking, and from this process will arise an understanding that produces knowledge, that is how a human view and address the nature of life. In the talk about the nafs there are two figures who also have an important role as a figure who explore and detail the nature of the nafs according to the perspective of each era that has been passed. Both of these figures have some similarities and differences in their thinking about the nafs, which is of course some very significant differences on the background of the transition of the character 39 s thinking. There are three similarities and five differences in thinking of the two figures in viewing the nature of the nafs. Some of the apparent similarities to the definition of the nafs, the potential of nafs, and the eternal consciousness of nafs have, nevertheless, more differences in thinking such as the appearance of the nafs, the relationship of the body and nafs, the thought of the spirit, 39 aql, qalb, and nafs, nafs, and the concept of eternal bliss nafs. From this thinking will look dominant thoughts and transition changes that will affect the thinking of the figure, which is considered as the result of an interesting discussion. From this summary the researcher tried to compare the concept of thinking of the two figures that seen from the realm of philosophy and islamic mysticism. The method to be used is descriptive analysis, that is by describing the overall thoughts of the two figures about the nature of the nafs, then analyze by finding the similarities and differences of the two figures.
2017
T49182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobri Washil
Abstrak :
Untuk mempelajari Filsafat perlu dilakukan langkah-langkah melalui jalur; pertama, sejarah atau langkah diagroni. Kedua, jalur sistimatika atau jalur pemetaan dengan langkah sinkroni. Ketiga, jalur tematis, dan keempat melalui jalur system-sistem filsafat atau gagasan. Jalur pertama atau jalur sejarah dapat dilakukan dengan pembahasan mengenai filsafat Yunani dan abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat kontemporer. Di mana sebenarnya pembagian-pembagian ini didasarkan kepada fokus pertanyaan-pertanyaannya, yang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran-pergeseran. Namun demikian, pergeseran-pergeseran tersebut senantiasa tetap berada di dalam kajian filsafat yang meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Kalau filsafat Yunani dan abad pertengahan berkisar pada pertanyaan-pertanyaan kosmologis dan teologis dengan titik tekan pada bidang ontologi atau aksiologi, maka filsafat modern dan kontemporer berkisar kepada pertanyaan-pertanyaan antropologis dan penekanan di bidang epistemologi. Menurut Susanne Langer dalam Philosophy in A New Key, sejarah Filsafat dibagi atas enam tahapan, dua di antaranya 1) dikenal dengan tahap kebangkitan Filsafat, dimulai oleh tokoh-tokoh seperti Thales, Anaximandros, Heraklitos, Phytagoras, Parminedes dan Demokritos. Pada tahap ini Para filsuf alam mencoba memahami kosmos dengan penalaran-penalaran. Pemahaman tentang alam bergeser dari pemahaman mitologis kepada pemahaman filosofis. Dan tahapan berikutnya 2) dikenal dengan filsafat manusia dengan tokohnya seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Pada tahap ini kesadaran dan pemahaman filsafat mengalami pergeseran yang relatif lebih radikal, di mana pemahaman terhadap alam bergeser kepada kehidupan sosial masyarakat yang cenderung antropometrik. Yang perlu dicatat pada tahap ini adalah adanya perbedaan tajam dan mendasar antara Plato dan Aristoteles, karena paham kedua tokoh tersebut selanjutnya menjadi world-view yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat berikutnya, terbukti dengan lahirnya Platonisme atau Neoplatonisme di satu sisi, dan Aristotelisme atau Peripatetikisme di sisi lain. Untuk dua nama isme yang disebutkan pertama, Platonisme dan Aristotelisme, keduanya cenderung lebih original dan konsisten di dalam berpegang kepada masing-masing soko-gurunya. Platonisme berpaham terhadap dunia idea sebagai realitas yang mutlak, tidak berubah-ubah, dan dunia jasmani hanyalah cermin darinya. Sedangkan Aristotelisme berpendapat bahwa realitas sebenarnya adalah bersatunya bentuk dan materi. Realitas (dunia fisik) ada secara aktual bila materi dan bentuk hadir secara bersama dalam satu wujud. Alibi salah satunya menjadikan bentuk atau materi hanya dalam potensial semata. Sedangkan Neoplatonisme dan Peripatetik (Islam) tidak lagi berada sepenuhnya di dalam konsistensi masing-masing. Salah satu bias terhadap yang lain. Memang para filsuf Peripatetik (Islam) ketika "berkutat" dengan filsafat Alam, cenderung konsisten sebagai ciri Aristotelian, namun setelah memasuki wilayah kajian metafisika dan teologi, unsur Aristotelisme, Platonisme, dan ortodoksi berbaur menjadi poin-poin kesimpulan filsafat, sebagai ciri Neoplatonis. Jadi pada kondisi demikian, maka Peripatetikisme bias dengan Neoplatonisme, dan al-Ghazali hadir dengan kritiknya berusaha menjelaskan tahafut al Falasifah (inkonsistensi para Filsuf). Namun harus digarisbawahi, bahwa kritiknya bukan untuk bangunan filsafat secara keseluruhan, tapi hanya ditujukan terhadap para filsufnya, dan itupun terbatas pada poin-poin kesimpulan filsafat yang mengandung kadar inkonsistensi yang tinggi, baik bias dari piranti berpikir Aristoteles, maupun bias dari ajaran batang tubuh ortodoksi (Islam). Secara tegas tulisan ini akan berpijak pada analisa sejarah, dimulai dari tahap SPA, pasca-Aristoteles sampai abad pertengahan di dunia Islam, untuk dapat menemukan gambaran tentang latarbelakang dan world view yang mempengaruhi beberapa pandangan filsafat. Analisa Sejarah seperti yang diuraikan di awal abstrak ini, dimungkinkan akan mampu memposisikan masing-masing "polemik" secara wajar dan semestinya, tanpa terjebak kepada permasalahan pro dan kontra, seperti yang biasa dilakukan di dalam menyikapi antara pandangan filsafat Peripatetik (Islam) di satu sisi, dan kritik al-Ghazali pada sisi lain. Padahal masing-masing adalah absah secara (hukum) ilmu dan filsafat.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T9710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
Abstrak :
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluksitas atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deism; panteisme dan lain sebagainya Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena di batik dunia yang tampak. Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realitas empirik yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan sernakin terpragmentasi dan multiperspektif; bahkan dalam satu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks. Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber: 1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan 2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya. Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua kutub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain sehingga ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagian umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistik yang menafikan segala yang berbau metafesik termasuk Tuhan. Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketnhanan. Tesis ini akan menunjukkan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh. Baik Al Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat penting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemahanan akan pernikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berbeda tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidang, baik dari kaum filsuf dan kaum teolog. Keduanya telah menggunakan argumentasi argumentasi rasional dan filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh pertalian yang besar terhadap kebenaraan wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati. Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari Al-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terus dipelajari, bahkan para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaban, Abdul Manan Akbar
Abstrak :
Salah satu metode yang menjadi trend pegembangan Psikologi Islam selama satu dekade terakhir ialah dengan membuat sebuah kerangka kerja. Pandangan Islam (Islamic worldview) tentang jiwa manusia menjadi dasar dari kerangka kerja tersebut. Baik dengan pendekatan langsung kepada sumber-sumber otoritatif khazanah Islam seperti al-Quran dan hadist, atau dengan pendekatan kajian pemikiran tokoh Islam. Dalam penelitian ini, tokoh Islam yang akan dikaji pemikirannya ialah al-Ghazali. Karya-karya al-Ghazali tentang jiwa banyak digunakan sebagai sumber untuk pengembangan Psikologi Islam, penguasaan terhadap beragam disiplin ilmu keislaman al-Ghazali tidak diragukan lagi baik dari tokoh Muslim atau Barat. Dengan demikian, pemikiran al-Ghazali yang berkaitan dengan konsep-konsep yang dibahas dalam Psikologi sudah terisi dengan pandangan Islam (worldview). Fokus penelitian ini akan membahas tiga hal, pertama tentang aspek subjektif, kedua tentang klasifikasi individu, dan mekanismse yang sistematis untuk mencapai Human Excellence. Tiga hal tersebut merupakan konsep-konsep utama yang digunakan dalam kerangka kerja Psikologi Positif. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode kualitatif (library research). Hasilnya, al-Ghazali memiliki penjelasan yang dalam dan luas tentang tiga aspek yang menjadi fokus penelitian ini ......One method that has become a trend in the development of Islamic Psychology over the past decade is to create a framework. The Islamic view (Islamic worldview) of the human soul forms the basis of this framework. Either by a direct approach to authoritative sources of Islamic treasures such as the Koran and hadith, or with an approach to the study of Islamic thought leaders. In this study, the Islamic figure whose thoughts will be examined are al-Ghazali. Al-Ghazali's works on the soul are widely used as a source for the development of Islamic Psychology, the mastery of various Islamic disciplines of al-Ghazali is undoubtedly from either Muslim or Western figures. Thus, al-Ghazali's thoughts relating to the concepts discussed in Psychology have been filled with the Islamic view (worldview). The focus of this research will discuss three things, first about subjective aspects, second about individual classification, and systematic mechanisms to achieve Human Excellence. These three main concepts are used in the Positive Psychology framework. The method used in this study is a qualitative method (library research). As a result, al-Ghazali has a deep and broad explanation about the three aspects which are the focus of this research.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Wahid
Abstrak :
Seiring perkembangannya, tasawuf dikenal melahirkan istilah-istilah baru. Diantaranya adalah istilah syathaẖāt yang merupakan ungkapan ekstase yang lahir akibat goncangan spiritual di dalam diri seorang sufi. Ungkapan mengejutkan sufi ini menuai pro dan kontra dari para sufi sendiri. Diantaranya adalah Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi dan Abu Hamid Al- Ghazali. Ungkapan para sufi ini telah dibahas oleh keduanya di dalam Al-Luma' dan Ihya Ulumiddin. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam tesis ini adalah penelitian pustaka (library research) yang bersifat deskriptif-analitik-kualitatif. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada syathaẖāt atau ungkapan ekstase sebagai objek penelitian serta pandangan kedua tokoh di atas sebagai unit analisis. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan dengan penelahaan bahan-bahan pustaka baik yang terdiri dari bahan-bahan yang bersifat primer maupun sekunder, dan metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis dari Miles dan Huberman, serta tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode Bogdan, yaitu tahap pra lapangan, tahab kegiatan, dan tahap analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan antara keduanya yang dilatar belakangi perbedaan keadaan sosial dan kehidupan intelektual. Namun keduanya juga memiliki kesamaan tujuan, yakni berusaha menjelaskan hakikat tasawuf yang sesuai dengan ajaran syariat. ...... By the time, Sufism known by a lot of new terms. It's called syathaḫāt which means an ecstatic expression that overflows as a result of ecstatic power in sufi's hearts. This shocking expression takes a lot of views. It's Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al-Ghazali views. This terms has been discused by both of them. The type of the research used by the writer is considered as library research, and then the research design of this study also regards as descriptive- analitics-qualitative. The scope of this research is based on syathaḫāt as the object of the research, along with Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al- Ghazali's views as analysis units. Afterward, the methods used to collect the data were done by doing library research that consists of primary and secondary data. Besides, the analysis methods of this research used Miles and Huberman analysis models. Moreover, the stages of this research use Bogdan Methods, which are pre-field, working level and analyzing phase. The results of this research show the difference view of Abu Nashr As- Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al-Ghazali due to they differences in social and intelectual life. But both of them have a common goal, that's to explain the essence of Sufism in accordance with the teaching of sharia.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>