Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elfi Mufida
Abstrak :
Akutagawa Ryunosuke adalah pengarang yang mewakili pengarang-pengarang pada zaman Taisho. Sebagian besar karangan-karangannya bersumber dari kesusastraan kuno seperti Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari. Menjelang saat-saat terakhir hidupnya, karangan_karangannya cenderung berubah. Kalau sebelumnya karangan_karangannya berisi kritikan terhadap kehidupan manusia, karangan-karangan terakhirnya banyak menceritakan keadaan dirinya, misalnya Yabu no Naka, Kappa dan Haguruma. Dalam novel Haguruma, dari awal hingga akhir cerita, Akutagawa menceritakan dengan jelas penderitaan, keadaan hatinya dan ketakutan yang dialaminya. Selama hidupnya ia selalu dihantui perasaan takut kalau-kalau suatu saat nanti ia juga menjadi gila seperti ibunya. Tragedi yang menimpa ia dan keluarganya sangat berpengaruh pada jiwanya terutama kematian suami kakak perempuannya yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri dan kematian ibunya yang disebabkan oleh gangguan jiwa yang diderita. Semua masalah itu berbaur dalam jiwanya bingga ia menderita penyakit migran yang disebabkan oleh faktor kejiwaan. Jadi dapatlah disimpulkan, bahwa novel Haguruma merupakan kisah pribadi Akutagawa sendiri yang mengalami masalah kejiwaan yang kompleks, dan ia sudah tidak sanggup lagi mengatasinya. Untuk mengakhiri semua itu, akhirnya Akutagawa memilih untuk bunuh diri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S13588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Sarasworo
Abstrak :
Imogayu karya Akutagawa Ryunosuke pertama kali dimuat dalam Shinshosetsu terbitan bulan September tahun 5 Taisho (1916). Bahan ceritanya diambil dari cerita yang terdapat dalam Konjaku Monogatari volume 26 bab 17. Imogayu mengisahkan seorang samurai kelas kelima (Goi) yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk dapat makan imogayu. Imogayu atau bubur ubi rambat adalah makanan lezat yang pada masa itu dianggap sebagai makanan mewah. Pekerja rendahan seperti Goi hanya bisa menikmatinya sekali setahun pada saat pesta Tahun Baru di kediaman Fujiwara. Karena itu, wajar saja jika keinginannya itu telah terpendam selama bertahun-tahun. Akhirnya, keinginannya itu dapat terwujud berkat usaha dan kebaikan hati Fujiwara Toshihito, seorang samurai yang berasal dari kelas atas. Tetapi setelah di hadapannya terhidang berliter-liter imogayu, Goi malah merasa cemas dan ragu-ragu untuk menyantapnya. Skripsi ini menganalisis tokoh utama dan tokoh bawahan dalam Imogayu. Apakah tokoh itu termasuk tokoh pipih atau tokoh bulat. Kemudian, dianalisis pula metode yang digunakan oleh Akutagawa dalam penokohan dari segi asal usul, keadaan lahiriah dan watak tokoh-tokohnya. Dalam penokohan dikenal metode analitik, yaitu metode yang men-ceritakan secara langsung tentang si tokoh, dan metode dramatik, yang menjelaskan tokoh itu melalui cakapan dan lakuannya. Tokoh Goi tidak menunjukkan perubahan yang mencolok dari sikap dan sifatnya, maka ia adalah tokoh pipih. Sedangkan, tokoh Fujiwara Toshihito memperlihatkan perkembangan lakuan yang cukup mencolok, sehingga ia termasuk tokoh bulat. Penokohan dalam Imogayu dilakukan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik digunakan untuk menjelaskan asal usul dan keadaan lahiriah tokoh Goi dan Fujiwara Toshihito. Metode dramatik digunakan untuk menjelaskan watak Fujiwara Toshihito. Sedangkan watak Goi dijelaskan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Amalia
Abstrak :
Kesa to Moritoo adalah salah satu karya Akutagawa Ryuunosuke. Cerita ini terdiri dari dua buah monolog dari dua orang tokoh utama bernama Kesa dan Moritoo. Di dalam monolognya, mereka menceritakan sebuah peristiwa yang sama dan apa yang mereka rasakan mengenai peristiwa itu. Di dalam hal ini mereka memiliki dua pandangan berbeda dan emosi yang berbeda di dalam mengingat kembali peristiwa tersebut. Alur dapat diartikan sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami pelaku. Bisa dibilang bahwa dengan teori ini, bukan penulislah yang menentukan alur dari ceritanya, melainkan para pembacanya, Skripsi ini meneliti tentang dua buah alur yang ada di dalam Kesa to Moritoo. Jenis alur, persamaan, dan perbedaan yang terdapat di dalamnya. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan intrinsik digunakan di dalam skripsi ini untuk menganalisis cerita ini. Teknik penelitiannya adalah dengan membaca karya tersebut berulang-ulang, menterjemahkan, dan kemudian baru menentukan di bagian mana sebuah alur dimulai. Cerita ini memiliki struktur alur yang sama. Masing-masing monolog memiliki lima tahapan alur yaitu eksposisi, komplikasi dan konflik, klimaks, relevasi, dan selesaian. Alur mereka sama-sama merupakan alur sorotbalik (flash back). Monolog mereka juga sama-sama diawali dan diakhiri dengan narasi. Namun jenis selesaian yang dimiliki masing-masing alur berbeda. Monolog Moritoo memiliki selesai yang bersifat terbuka (solution) sedangkan monolog Kesa memiliki selesai yang bersifat menyedihkan (catastrophe). Kedua monolog ini saling melengkapi satu sama lain. Pembaca cerita Kesa to Moritoo akan dapat meramal kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bagian terakhir dari monolog Kesa selesai mereka Baca walaupun Akutagawa tidak menuliskannya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Fauzia
Abstrak :
Astrid Fauzia Kritik sosial dalam Uma no ashi karya Akutagawa Ryunosuke Dengan menggunakan teori mengenai kedudukan sastra dalam masyarakat, tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkapkan kritik sosial yang tersembunyi dalam Uma no Ashi, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke, serta mencari tahu pemicu yang menyebabkan Akutagawa memunculkan kritik tersebut dalam cerita ini. Setelah membaca banyak referensi, penulis menemukan bahwa melalui cerita yang dipublikasikan pada tahun 1925 ini, Akutagawa mengkritik kebijakan sensor yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap kesusastraan Jepang, sistem birokrasi, dan system keluarga masyarakat Jepang yang memberikan beban terberat hanya kepada kepala rumah tangga. Kritik sosial tersebut dihadirkan secara tidak langsung melalui fragmen-fragmen cerita yang disampaikan dengan nada satir. Akugawa juga memasukan makna tersembunyi pada nama tokoh-tokohnya serta mengelaborasi lebih lanjut ide dasar pembuatan cerita ini, yakni peribahasa Jepang yang berbunyi bakyaku wo arawasu (terbongkarnya penyamaran atau rahasia kelam yang selama ini ditutupi). ...... Using the theory about literature position in society, the purposes of this research are to reveal social critics hidden in Uma no Ashi, short story written by Akutagawa Ryunosuke, and find out the trigger why Akutagawa put those citics in this sotry. After read up many references, the writer found out that through this story, which was published in 1925, Akutagawa critisized the censorship enacted by government in Japanese literature, bureaucracy system, and japanese family system which gives the heaviest burden only to the head of family. Those social critics were expressed indirectly through some fragments of the story with satirical way. Moreover, he too put some hidden meanings in names of characters and elaborated the basic idea of this story; Japanese phrase called bakyaku wo arawasu (to reveal one's true nature).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmawati Martini
Abstrak :
Majas personifikasi merupakan bentuk kiasan yang memasangkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Penerjemahan majas personifikasi kerap kali menimbulkan banyak permasalahan. Berdasarkan sumber data dari cerpen-cerpen karya Akutagawa Ryunosuke yang berjudul Kappa, Kumo no Ito, dan Imogayu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Bambang Wibawarta dengan judul Kappa, Benang Laba-laba, dan Bubur Ubi ditemukan bahwa majas personifikasi Jepang dapat diterjemahkan ke dalam bentuk figuratif yang tidak hanya berbentuk personifikasi saja, namun ditemukan juga bentuk hiperbola dan simile. Selain itu majas personifikasi juga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk nonfiguratif. Berdasarkan bentuknya, dari 15 data yang terkumpul dapat diuraikan menjadi penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas personifikasi BSa yang berjumlah 9 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas hiperbola BSa yang berjumlah 1 data, penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi majas simile BSa yang berjumlah 2 data, dan penerjemahan majas personifikasi BSu menjadi bentuk nonfiguratif BSa yang berjumlah 3 data. Mengacu pada angka-angka tersebut ternyata sebagian besar majas personifikasi Jepang diterjemahkan menjadi majas personifikasi juga. Berdasarkan kesepadanan makna, dari semua data yang terkumpul menunjukkan bahwa penerjemahan majas personifikasi ini semuanya sepadan maknanya. Untuk mencapai kesepadanan makna tersebut dilakukan beberapa prosedur penerjemahan, yakni modulasi, transposisi, pergeseran dalam tataran sintaksis dan pergeseran dalam tataran semanti.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library