Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Taqwa Fitriani
Abstrak :
Perang tarif merupakan fenomena yang sedang terjadi pada industri penerbangan di Indonesia. Para maskapai penerbangan berlomba menawarkan tarif semurahmurahnya pada konsumen jasa penerbangan untuk berbagai rute. Dalam suasana persaingan seperti itu, full-service airline seperti Garuda Indonesia pun harus mempertajam kemampuannya mengelola biaya agar dapat memberikan layanan terbaik kepada penumpang. Namun, harga bukan satu-satunya alat yang dapat dijadikan untuk tetap kompetitif. Penerapan pemasaran relasional dapat menjadi salah satu cara bagi suatu perusahaan untuk mendapatkan keunggulan bersaing. Hal ini didukung oleh sifat industri penerbangan yang pada dasarnya merupakan bagian dari industri jasa. Industri jasa memiliki kesempatan lebih besar dalam membangun hubungan relasional dengan pelanggannya karena mereka secara fisik dapat lebih dekat dengan pelanggan sehingga memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi. Dalam menjalankan strategi ini, aspek utama yang diperhatikan adalah pembinaan ataupun peningkatan hubungan relasional antara perusahaan dengan pelanggan. Penelitian ini memfokuskan pada analisis pengaruh tiga taktik pemasaran relasional (direct mail, preferential treatment dan interpersonal communication) terhadap persepsi investasi relasional yaitu suatu persepsi yang dimiliki pelanggan mengenai sejauh mana suatu perusahaan berinvestasi ke dalam hubungan relasional antara perusahaan dengan pelanggan. Kemudian, analisis juga dilakukan terhadap pengaruh persepsi investasi relasional tersebut terhadap kualitas relasional yang pada akhirnya mempengaruhi loyalitas pelanggan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara signifikan semua konstruk memberikan pengaruh yang positif yang berarti bahwa peningkatan pelaksanaan taktik-taktik pemasaran relasional akan meningkatkan persepsi investasi relasional sehingga kualitas relasional yang dirasakan pelanggan meningkat dan pelanggan menjadi lebih loyal. Di antara ketiga taktik pemasaran relasional yang diteliti, pengaruh preferential treatment paling besar sehingga Garuda Indonesia sebaiknya memperhatikan perlakuannya terhadap para anggota Garuda Frequent Flyer. Para anggota Garuda Frequent Flyer harus benar-benar merasakan mendapatkan manfaat dengan menjadi anggota dibandingkan dengan tidak menjadi anggota Garuda Frequent Flyer.
The current situation of Indonesia's airline industry is the price war phenomenon. Many airlines are competing to give the lowest possible price for various routes. This puts pressure especially on full-service airlines such as Garuda Indonesia. They are demanded to be able to manage their costs in order to give the best possible service to the customer. However, price is not the only factor that can be played with when searching for a competitive edge. Implementation of relationship marketing can be one way to gain a competitive advantage. This is especially true in the airline industry (which is essentially part of the service industry) where the companies in this industry have the advantage of actually interacting with the customer. Hence, they are in a better position to detect customer's responses and attitudes. In implementing relationship marketing, the main focus is to build, maintain and increase the valuable relationship between the company and the customer. This research investigates the impact of three relationship marketing tactics (direct mail, preferential treatment and interpersonal communication) on consumer perceptions of a company's relationship investment, which is known as the term perceived relationship investment. This research is also intended to demonstrate the affect of perceived relationship investment on relationship quality and ultimately on loyalty. The result is the conclusion that relationship-marketing tactics play a positive role in affecting perceived relationship investment. This means that an increase in the implementation of relationship marketing tactics will lead to an increase of perceived relationship investment. A positive path is also found between perceived relationship investment and relationship quality, and also from relationship quality to loyalty. This implies that it pays off to invest in consumer relationships because it results in increased loyalty. Of the three relationships marketing tactics that have been researched, preferential treatment proved to be the dominant determinant of perceived relationship investment. Therefore, Garuda Indonesia should pay extra attention to this. Members of Garuda Frequent Flyer (GFF) must be able to see and feel the benefits of being a member of GFF instead of not joining GFF.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Usman
Abstrak :
Dalam era globalisasi saat ini telah terjadi transformasi global yang digerakan oleh dua kekuatan besar, yaitu teknologi dan perdagangan. Proses transformasi tersebut berjalan dengan sangat cepat. Dibutuhkan suatu sarana penting untuk menunjang dinamika tersebut diantaranya sarana transporasi yang efisien, yaitu pesawat terbang. Awal industri penerbangan di Indonesia terjadi sekitar tahun 1949. Indonesia menjalin kerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda dengan mendirikan maskapai PT Garuda Indonesia Airways (GIA). Dengan berdirinya maskapai penerbangan nasional ini mendorong industri penerbangan dalam negeri dengan berdirinya maskapai-maskapai penerbangan lain. Munculnya perusahaan penerbangan nasional membuka celah masuknya perusahaan penerbangan asing ke Indonesia. Perusahaan penerbangan asing tersebut dalam mengembangkan usahanya dengan mendirikan cabang. Berdasarkan ketentuan Treaty ataupun Undang-Undang Domestik pendirian cabang tersebut dikukuhkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Tidak seperti pada ketentuan umunmya, BUT atas perusahaan penerbangan asing tidak dijadikan sebagai ambang batas pemajakan. Pemberian hak pemajakan secara ekslusif diberikan pada pusat efektif manajemen. Pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah upaya yang perlu dilakukan agar perusahaan penerbangan asing di Indonesia dapat memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya dengan baik. Hal ini terkait karena pengoperasian pesawat terbang mempunyai karakteristik yang bersifat khusus, sehingga pengenaan pajaknya pun bersifat khusus. 0leh karena itu, pemahaman atas pengoperasian perusahaan penerbangan secara cermat dan komnprehensif perlu dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analitis. Instrumen penelitian yang digunakan adalah wawancara dengan pihak-pihak yang terkait seperti: pejabat dan petugas pajak, konsultan pajak, wajib pajak dan IATA. Penelitian ini juga didukung dengan studi literatur guna mendapatkan teori dan peraturan yang tepat untuk mendukung penelitian ini. Adapun literatur yang diteliti scperti: karya ilmiah dan peraturan perpajakan berdasarkan Ketentuan Domestik maupun dalam Tax Treaty. Berdasarkan penelitian di KPP Badora I dan II ditemukan data bahwa dalam pemenuhan kewajiban pei-pajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) perusahaan penerbangan asing sudah baik. Hal ini disebabkan pada umumnya WP tersebut didampingi oleh konsultan. Tetapi dalam masalah pemahaman dan sosialisasi peraturan masih kurang. Sehingga sering timbul dispute antara petugas dan wajib pajak. Sampai saat ini pihak KPP Badora belum pernah melakukan sosialisasi secara rutin. Masalah ekstensitikasi dan Intensifikasi Wajib Pajak juga belum dioptimalkan. Berdasarkan analisa yang dilakukan, proses sosialisasi, ekstentifikasi dan intensitikasi pajak perlu dilakukan. Sosialiasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman WP dan petugas pajak. Masih banyaknya perusahaan penerbangan asing yang belum terdatar merupakan alasan mengapa diperlukan proses ekstensifikasi pajak. Proses ekstensifkasi ini terutama ditekankan pada negara non treaty partner. Proses Intensifikasi berhubungan erat dengan infotmasi peredaran bruto dan pembukuan. karena pengenaan pajak berdasarkan undang-undang domestik menggunakan norma, petugas pajak mempunyai kesulitan untuk tnengidentifikasi jenis -jenis penghasilan lebih lanjut. Oleh karena itu disarankan agar proses sosialisasi dilakukan secara inlensif baik di kalangan petugas pajak dan wajib pajak. Upaya tersebut misalnya dengan menjalin kerja sama dengan asosiasi penerbangan internasional (IATA). Fasilitas dalam treaty yang berhubungan dengan pertukaran infotmasi hendaknya dimanfaatkan untuk mendukung proses intensifikasi pengenaan pajak.
In the current era or global, there has peen a global transformation instigated by two large forces. Namely technology and trade, such transformation process is taking place rapidly. Important facilities are required to support such dynamic, arming other things efficient means of transportation such as airplanes. Airline industry Indonesia dates back to 1949. Indonesia engaged in cooperation with the Government of Netherlands East Indies by establishing PT Garuda Indonesia Airways (GIA). The establishment of this national airline spurred the growth of domestic air transportation industry, as indicated by the establishment of outer- airlines. The establishment of national airlines has opened the gate lot the entry of forcign airlines to Indonesia. Those foreign airlines develop their businesses by opening branch offices. Pursuant to the provisions of Treaty or Domestic Laws, such newly opened branch offices should be confirmed as Permanent Establishments (PE). Not with standing the general rules. PE of foreign airlines is not functioning as taxation threshold. Such exclusive taxation right is granted to effective management centers. The maim topic of this thesis is the efforts that need to be made for the proper fulfillment of the tax rights and obligations by foreign airliners. This is because the operation of airplanes has specific characteristics so as to require special taxation. Therefore, careful and comprehensive understanding of airline operations is required. This research employed Analytical (Descriptive method. The research instrument used was interview with the relevant panics. Such as: tax officials and officers. Tax consultants, taxpayers and IATA. This research was also supported by literary study in order to obtain the correct theories and regulations to support this research. Whereas the literature used in this research include scientific works and tax regulations, based on Domestic Regulations and Tax Treaties. The research conducted at Tax Service Office For Foreign Entities and Individuals (KPI Badora) I and II reveals sonic data that foreign airline Taxpayers have appropriately fulfilled their tax obligations. This is because consultants generally assist them. However, there is still lack of understanding and socialization of regulations. Accordingly, there are disputes between the officers and the taxpayers. Thus Tar. KPP Badora has never performed routine dissemination of information. The issues of enlarge and intensification of Taxpayers have not also been optimized. Based on the analysis, it is necessary to perform tax socialization, enlarge and intensification. Socialization is aimed at improving the comprehension of taxpayers and tax officers. The large number of foreign airlines that have not been registered is the reason why lax enlarge process is required. Such enlarge process should be focused mainly on non-treaty partner countries. Intensification process is closely related to information on gross turnover and bookkeeping. Since taxation based on domestic laws is subject to norms, tax officers face difficulties in further identifying the types of revenues. Therefore, it is recommended that the socialization process be performed intensively, both on tax officers and taxpayers. Such effort can be made, for instance, by engaging in cooperation with the international air transport association (IATA). Facilities provided in treaties related to exchange of information should be used for supporting the taxation intensification process.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Putra Rusly
Abstrak :
The airline industry has been challenged, during the last years, by the opening of the European market, the adjustments required to deal with the new competitive environment and the pressure of the US open skies strategy. European airlines have developed innovative strategies in order to adapt themselves to market growth and competition challenges. During the last decade they have achieved considerable productivity improvements, which now permits the sector to create new jobs. However they still suffer from relative structural fragmentation and financial fragility when compared to their main competitors, notably North-American carriers. Liberalization and globalization make the market increasingly competitive and require airlines to undertake large restructuring efforts. European Commission authorized state aid as a one-off measure to help national carriers to restructure during the transition to the liberalized single market. This transition is now over. The airline industry suffers from the same handicap as other industries in Europe, justifying general initiatives enhancing the efficiency of the economic environment. The 11 September 2001 Tragedy no matter terrible should be identified as a one-off event and not a structural crisis. Air France wanted to act quickly while at the same time taking measures that could be easily reversed when needed. It needed quick action while at the same time avoiding over-reaction. Air France announced an adjustment plan on 18 September. which included among other things a freeze on hiring, a reduction in capacity and a number of cost-saving measures. Air France constantly shifted Its capacity regionally as it betted on the fact that the strength of Its hub, Paris/COG 2, allows it to resist the downturn and attract customers to Paris, thus gaining market share. By the end of November, instead of a growth forecast of 7% over the winter of 2000, Air France had the results stabilized and the winter of 2001 was on the same level as the year before. The capacity reduced less than others but the load factors and the yields, whereas the figures for the European airlines were down 10% and even worse ¡n the U.S. In general, and despite the huge financial losses it incurred, the European airline industry reacted much better this time than during the Gulf War crisis of 1990-91. This is largely due to greater flexibility in managing capacity and to a certain self- imposed discipline, which avoided a potentially disastrous fares war. In the end the fare structure might be imposed instead, which basically covered the costs. Though for some other airlines still questionable, the alliances played an important role in helping Air France manage the crisis. In spite of some initial problems between European and U.S. carriers due to what was perceived as dumping practices on the part of the Americans, at a later stage a dialogue was possible on the issue of fares, thus avoiding much heavier losses. In this case, Air France was able to talk to Delta on these Issues after receiving antitrust immunity in January. In the future, the alliances may play an even larger role in minimizing the impact of such event, market slowdown, or even economic turndown. Overall revenue figures for the industry are still down in the largest markets. There is still a depressed demand in the U.S. We are also facing additional costs as a result of 11 September, in particular ¡n the areas of security and insurance. Just in terms Of insurance, Air France is facing an annual cost increase of around US$100m. Airline industry apparently cannot cover its capital costs. The authorities seem to realize it but they easily forget it as soon as the routines clock back. Unfortunately, if traffic decreases, the airports and the air traffic control authorities immediately increase their charges in order to compensate for lost revenue. There a great imbalance amongst player in the air transport industry. Part of the blame for this, of course, lies within the industry. The low-cost carriers, for instance, while playing a useful role in opening up a new market segment to aviation are also damaging the industry as a whole. Their product is different, they occupy a niche of their own but in their communication they imply. Air France practiced renegotiation, delivery delay, and restructures operating lease, which enables itself to withdraw aircraft from the fleet without being financially penalized. 11 September obviously spurred the airlines to slightly alter their plans and at least to anticipate some measures. Nine A310s were withdrawn from the fleet of Air France nine months ahead of time. They will be replaced by A330-200s. Two 747-200s and one 767 were withdrawn from long-haul operations, while in the medium-haul sector operating leases on three A321 s and one 737-300 were not renewed. The use of short-to-medium term operational leases has given Air France great flexibility in times of crisis. It seems that Air France learned the lesson of 1991 when it received brand-new aircraft that ended immediately parked iri the desert. Strategic alliance is considered to have helped in avoiding cost increases, and building synergic complementary network. Through a code share, one could double a frequency without any spending. This means altogether substantial investment savings. On the cargo side, SkyTeam, for example, has developed frreaChiflg synergies between Air France, Delta and Korean. The alliances are still a very young phenomenon and they have not yet expressed all their potential. Common marketing strategies might do the trick, while preserving the identity and ¡mage of each partner, will also fosters the growth of the SkyTeam brand. The alliance has made much progress over the past three years and the antitrust immunity granted in January will lead to a qualitative jump in its partner relationship.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Sabur
Abstrak :
Tingginya pertumbuhan ekonomi dikawasan Pasifik dan Timur jauh yang diperkirakan 5,8% pada tahun 1991, telah memacu la ju mobilisasi yang ada di kawasan ini, baik yang bergerak dalarn didalarn kawasan itu sendiri maupun yang keluar masuk dari dan ke kawasan ini. Jasa angkutan udara yang amat penting peranannya dalam menunjang kelancaran mobilisasi yang terjadi di kawasan ini, telah memancing perusahaan-perusahaan penerbangan terutarna yang berdomisili dikawasan Pasif ik dan Timur Jauh untuk meraup bisnis sesuai dengan peluang yang muncul. Stabilnya perekonomian di Eropa Barat, realokasi pabrik-pabrik besar, kecenderungan pergeseran type perjalan wisata dari wisata perkotaan menjadi wisata pantai dan liberalisasi di Cina yang akan memberikan dampak pada perdagangan & Industri di Asia Timur adalah f aktor-f aktor utama yang menjadikan kawasan ini akan dikunjungi tidak kurang dari 72 juta pengunjung pada tahun 2000 ke 14 negara utama termasuk Indonesia dan 33 negara kecil lainnya di kawasan ini. Perjalanan wisata tetap merupakan jumlah terbesar dari seluruh perjalanan yang ada di kawasan ini, paling tidak dari data 10 tahun terakhir menunjukan bahwa lebih dari 50% jumlah perjalanan di kawasan Pasifik dan Timur Jauh adalah perjalanan wisata. Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang berdomisili dikawasan Pasif ik dan Timur Jauh tidak ingin melewatkan begitu saja kesempatan yang muncul ini, paling tidak tercermin dalam corporate strategynya dimana dalam 5 tahun yang akan datang kawasan Asia dan Pasif ik menjadi perhatian yang utama untuk mendapatkan revenue, ini bisa dimengerti karena kawasan ini memberikan kontribusi lebih dari 50% pada revenue yang diperoleh Garuda pada tahun 1990 yang baru lalu. Kerasnya persaingan di kawasan ini terlihat dari jumlah perusahaan penerbangan yang masuk dalam 20 besar dunia, dimana kawasan ini menyumbangkan 7 perusahaan penerbagan pada tahun 1990 yang baru lalu, apalagi hadirnya Mega Carrier yang dikawasan ini diwakili oleh Singapore Airlines telah menambah semaraknya persaingan bisnis jasa angkutan udara dikawasan Pasifik dan Timur Jauh. Garuda Indonesia yang pada tahun 1989 yang baru lalu di kawasan Asia Pasifik hanya mengangkut 2.493.000 pax atau 3,42% dari seluruh penumpang yang ada (menurut dara statistic resmi IATA tahun 1990), tentunya ingin meningkatkan pangsa pasarnya sesuai dengan tumbuhnya pasar tersebut dikawasan ini. Strategi bersaing yang tepat haruslah didasarkan pada kondisi yang ada (market), lingkungan usaha (pesaing) dan ancaman yang mungkin timbul( pesaing baru) yang menurut Michael Porter salah seorang pakar dalam strategi bersaing harus dianalisa secara komprehensif karena satu dan lainnya saling berhubungan. Dari hasil study yang dilakukan oleh badan-badan International untuk melihat prospek perjalan dikawasan Pasifik dan Timur jauh, ternyata bahwa perjalanan wisata tetap merupakan bagian terbesar dari perjalanan di kawasan Pasifik dan Timur Jauh ini( rata-rata 60% untuk setiap destination) paling tidak sampai dengan tahun 2000 yang akan datang, apalagi terjadinya kecenderungan perjalanan wisata kota telah bergeser ke perjalanan wisata - pantai bagi wisatawan baik yang berasal dari kawasan Eropa maupun yang berasal dari kawasan Amerika Utara menambah tingginya tingkat pertumbuhan perjalanan wisata di kawasan ini karena sebagian besar negara dikawasan ini memiliki pantai-pantai yang cukup menarik untuk dikunjungi. Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang berdomisili di negara yang mempunyai banyak daerah tujuan wisata pantai tentunya ingin memamf aatkan kelebihan yang dipunyainya, untuk itu cost leadership sebagai salah satu generik strategi didalam persaingan mungkin cocok untuk diterapkan dalam menggarap penumpang yang melakukan perjalana?n wisata, karena biasanya sebagian besar wisatawan selalu menggunakan low fare airline ticket. Untuk menjaga pertumbuhan dari perusahaan, maka profit margin dari perusahaan ( Profit margin Garuda pada tahun 1990 sebesar 5% ) harus ditingkatkan, dan ini hanya bisa dilakukan dengan dua macam car a yai tu mengeffisienkan chain value dan meningkatkan intensitas pada route-route yang telah ada untuk memperkecil fixed cost. Sebagai perusahaan penerbangan yang memperoleh revenue lebih dari 50% dari kawasan Pasifik dan Timur Jauh, wajar bila perhatian perusahaan ditujukan ke kawasan ini.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmaya Annisah
Abstrak :
Persaingan dalam dunia bisnis penerbangan semakin bergejolak akhir-akhir ini. Strategi "low cost airline" atau strategi berkonsep murah menjadi tren yang sedang naik daun. Namun yang jelas Pemerintah Indonesia sampai detik ini belum pernah mengumumkan adanya Low Cost Airline. Kebijakan pemerintah di bidang angkutan udara membawa dampak positif dan negatif bagi industri penerbangan. Sisi positif ditandai dengan peningkatan sisi pelayanannya karena adanya persaingan yang ketat, operasi yang lebih efisien dan efektif, serta harga tiket yang relatif murah sehingga bisa dinikmati konsumennya dan tidak hanya terbatas konsumen lama tetapi juga konsumen baru. Istilah Garuda, membidik pasar menengah ke bawah. Sedang sisi negatifnya adalah apabila manajemen maskapai penerbangan tidak mampu bertahan dengan situasi bersaing, maka kemungkinannya hanya dua, pertama, perusahaan tidak akan mampu bersaing dalam pasar, yang kedua apabila dipaksakan, faktor kenyamanan dan keselamatan konsumen dapat diabaikan. Kecenderungan yang terjadi di pasar adalah tarif yang ditawarkan kepada pelanggan jauh berada di bawah publish fare. Kondisi ini terjadi karena keadaan pasar airline business saat ini adalah penawaran lebih besar daripada permintaan. Penawaran disini dimaksudkan banyaknya perusahaan penerbangan yang masuk pasar, sedangkan permintaan seat dan space lebih kecil dari seat dan space yang tersedia. Akibatnya timbul persaingan yang tajam dan tidak sehat di antara perusahaan penerbangan dalam menentukan tarif yang akan diberlakukanya dari segi produk, promosi dan saluran distribusi hampir semua perusahaan penerbangan yang beroperasi baik di domestik maupun di dunia internasional, memiliki pola yang hampir sama. Hal ini menyebabkan perusahaan penerbangan baik penerbangan domestik maupun penerbangan internasional melakukan kebijakan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif batas atas, sehingga pemerintah mengambil tindakan menetapkan tarif referensi. Inovasi dan diversifikasi usaha juga dapat menjadikan perusahaan tetap bersaing dan bermain dalam pasar. Inovasi dilakukan terhadap penetapan tarif, untuk itu Garuda melakukan product differentiation & innovative pricing (multiple-price) berdasarkan customer value setiap sub-classes dengan tujuan Garuda dapat mengambil lebih banyak surplus produsen dengan sub-classes jika dibanding single price. Pola Nub & Spoke memungkinkan perusahaan penerbangan mengurangi atau menekan biaya operasinya dengan cukup signifikan: Dengan demikian mampu meningkatkan efisiensi dan menawarkan pelayanan angkutan udara kepada para konsumennya dengan harga yang cukup murah. Diversifikasi juga dilakukan Garuda dengan membuat produk citilink. Citilink dari Garuda merupakan product differentiaton yang bertujuan untuk membidik pasar menengah ke bawah menjadi strategi yang baik dalam meningkatkan performance perusahaan. Pada dasarnya Regulasi di bidang angkutan udara niaga berjadwal yang mengetengahkan masalah penyelenggaraan udara, penetapan tarif dan juga kebijakan persaingan dapat dikatakan cukup memadai dan merespon keinginan masyarakat. Deregulasi yang terjadi pada kebijakan penyelenggaraan angkutan udara dan penetapan tarif membuka kompetisi di udara, sehingga menciptakan iklim kondusif bagi industri penerbangan itu sendiri. Sementara kebijakan persaingan merupakan suatu pendekatan baru dalam sistim hukum kita, oleh karena itu dapat dimaklumi apabila substansi dan cara pemecahannya masih diperlukan pengalaman dan pemahaman baik dari dunia usaha, pemerintah dan lembaga penegak hukum.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13240
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla Prilie Permana
Abstrak :
House of Risk (HOR) adalah sebuah kerangka kerja untuk mengidentifikasi risiko dan merancang mitigasi risiko berdasarkan hasil penilaian risiko. House of Risk digunakan sebagai metode untuk merancang mitigasi tersebut dalam penelitian ini. Pembukaan rute baru dan evaluasi rute eksisting pada dasarnya melibatkan banyak risiko yang berkontribusi sebagai faktor yang perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, penting untuk merancang mitigasi risiko pada setiap rute secara spesifik. Penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi kejadian risiko yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi agen risiko pada kegiatan pembukaan rute baru dan evaluasi rute eksisting. Hasilnya, diperoleh 16 kejadian risiko dan 28 agen risiko melalui diskusi dan kuesioner. Melalui perhitungan Pareto secara kumulatif, 21 agen risiko dipilih berdasarkan total nilai Aggregate Risk Potential (ARP) sebagai agen risiko yang diprioritaskan untuk dimitigasi. Agen risiko yang paling signifikan adalah company's financial limitations dimana nilai ARP sebesar 1296 untuk rute pertama dan 945 untuk rute kedua. Sementara itu, HOR 2 menghasilkan 18 aksi mitigasi dimana aksi dengan nilai efektivitas tertinggi adalah cashflow projections and profitability evaluation. ......House of Risk (HOR) is a framework to identify risks and design risk mitigation based on the results of risk assessment. House of Risk is used as a method of designing these mitigations in this research. Opening new routes and evaluating existing routes inherently involve multiple risks that contribute as factors that need to be considered. Thus, it is important to design risk mitigation on each route specifically. This research begins with identifying risk events which are then followed by identifying risk agents in the activities of opening new routes and evaluating existing routes. As a result, 16 risk events and 28 risk agents were obtained through discussions and questionnaires. Through cumulative Pareto calculation, 21 risk agents were selected based on the total Aggregate Risk Potential (ARP) value as priority risk agents to mitigate. The most significant risk agent is the company's financial limitations where the ARP value is 1296 for the first route and 945 for the second route. Meanwhile, HOR 2 produces the results of 18 mitigation actions where the actions with the highest effectiveness value are cashflow projections and profitability evaluation.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Graciel Megalen
Abstrak :
Dalam upaya memperoleh loyalitas pelanggan, loyalty program atau program loyalitas merupakan suatu strategi pemasaran yang umum ditawarkan oleh pelaku usaha, tidak terkecuali oleh perusahaan maskapai penerbangan berjadwal (airlines) pada industri penerbangan. Pada awal tahun 2000-an, otoritas penegak hukum persaingan usaha Swedia meneliti suatu kasus yang secara langsung berkaitan dengan loyalty program yang ditawarkan oleh salah satu perusahaan maskapai penerbangan, kemudian memutuskan bahwa perilaku perusahaan tersebut merupakan suatu praktek anti-persaingan. Tulisan ini menganalisis penanganan kasus tersebut dan membandingkan apakah pemberlakuan loyalty program oleh suatu perusahaan maskapai penerbangan juga berpotensi menjadi suatu praktek anti-persaingan berdasarkan perspektif hukum persaingan usaha Indonesia. Bentuk penelitian dalam penulisan skipsi ini adalah yuridis-normatif, dengan metode kualitatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, pemberlakuan loyalty program oleh perusahaan maskapai penerbangan berpotensi menjadi suatu praktek anti-persaingan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini diberikan pula batasan-batasan yang mungkin dilakukan, dalam hal otoritas penegak hukum persaingan usaha Indonesia menghadapi kasus yang serupa dengan kasus yang terjadi di Swedia. ......In an effort to gain customer loyalty, loyalty programs are a common marketing strategy offered by business actors, including airlines in the airline industry. In the early 2000s, the Swedish competition law authorities examined a case related to the loyalty program offered by an airline company, then decided that the company's behavior was an anti-competitive practice. This paper analyzes the handling of the case and compares whether the implementation of the loyalty program by an airline company also has the potential to become an anti-competitive practice based on the perspective of Indonesian competition law. The form of research in writing this thesis is juridical-normative, with qualitative methods, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials. The author concluded that under certain conditions, the application of loyalty programs by airline companies has the potential to become an anti-competitive practice. Therefore, this paper also provides possible limitations in terms of the Indonesian competition law authorities facing a case similar to the case that occurred in Sweden.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vogel, Harold L.
Abstrak :
In this book Harold L. Vogel comprehensively examines the business economics and investment aspects of major components of the travel industry, including airlines, hotels, casinos, amusement and theme parks and tourism. The book is designed as an economics-grounded text that uniquely integrates a review of each sector's history, economics, accounting, and financial analysis perspectives and relationships. As such, it provides a concise, up-to-date reference guide for financial analysts, economists, industry executives, legislators and regulators, and journalists interested in the economics, financing and marketing of travel and tourism related goods and services. The third edition of this well-established text updates, refreshes, and significantly broadens the coverage of tourism economics. It further includes new sections on power laws and price-indexing effects and also introduces new charts comparing airline and hotel revenue changes and lodging revenue changes in relation to GDP.
Switzerland: Springer International Publishing, 2016
e20528466
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Mareta Amanda
Abstrak :
Lempung serpih merupakan salah satu jenih tanah yang memiliki daya dukung buruk, sehingga mengakibatkan konstruksi yang dibangun diatasnya mudah rusak atau rubuh akibat dari proses kembang susut yang berulang setiap perubahan musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya.Sudah banyak dilakukan penelitian untuk memperbaiki sifat tanah lempung serpih dengan mencampur bahan kimia namun hal tersebut tidak ramah terhadap lingkungan sekitar. Bahan alam merupakan alternative yang ramah lingkungan. Dalam penelitian ini bahan stabilisasi ialah Pasir tras yaitu bahan alam yang bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu batako, industri semen dan campuran bahan bangunan. Ada 5 variasi persentase pasir tras yang ditinjau untuk mendapatkan persentase yang efektif. Persentase efektif ini akan digunakan sebagai campuran untuk melihat seberapa besar pengaruh pasir tras terhadap kekuatan tanah melalui pengujian CBR ......Clay Shale is one of the soil types that has low bearing capacity, so that the construction built on it easly collapsed or damaged by swelling and shrinkage processes every time dry season changes into rainy season also the opposite. Many researchs have been conducted to improve the properties of clay shale by mixing chemicals but it is not friendly to the environtment. Natural materials are environmentally friendly alternatives. In this research stabilization material is sand tras, which is natural material that can be ingredients of brick making, cement industry and a mixture of building materials. There are 5 variation in the percentage of sand trass covered for an effective percentage. This effective percentage will be used as an alloy to see how much sand tras affects the forces of the clay shale soils through the CBR test.
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library