Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Makhdum Priyatno
"Perubahan besar hasil reformasi belum diimbangi dengan perubahan dalam birokrasi. Birokrasi masih berpola seperti sebelum reformasi.Perkembangan cepat di luar birokrasi mencemaskan birokrasi, karena akan terjadi kooptasi birokrasi oleh politik untuk kepentingan jangka pendeknya, sementara birokrasi hanya dapat menunggu dan tidak dapat berbuat apa-apa, dan sebaliknya.
Topik ini menjadi penting untuk dijadikan fokus penelitian disertasi karena meritokrasi sebagai alternatif pemecahan masalah, setelah rekonseptualisasinya dalam penempatan pejabat di NKRI, dapat befugsi sebagai katalisator bagi interaksi demokrasi dan birokrasi.
Masalah penelitian level makro adalah bagaimana menghasilkan rekonsptualisasi regulasi meritokrasi dalam penempatan pejabat; level meso-1 mengenai tata kelola hubungan kerja antar Paguyuban PAN dan antara Paguyuban PAN dengan Kemendagri dan kementerian teknis lainnya; level meso-2 tentang rekonsptualisasi sistem diklat berbasis kompetenensi; dan level mikro mengenai rekonsptualisasi peran lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pencarian, penemuan dan penempatan pejabat yang kompeten dalam penyelengaraan pemerintahan.
Disertasi ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM)-Based Action Research untuk memperbaiki permasalahan di atas, menyempurnakan dan meningkatkannya sehingga rekonseptualisasi meritokrasi dalam penempatan pejabat untuk birokrasi yang lebih baik dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan sistemik. Tujuh tahap SSM adalah sebuah keniscayaan. SSM dipilih karena memenuhi kriteria yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam dunia nyata birokrasi.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, meritokrasi bertumpu pada keberadaan undang-undang mengenai kepegawaian. Pada level meso-1, kordinasi belum diperankan secara stratejik dan pada level meso-2 sistem pendidikan dan pelatihan aparatur berbasis kompetensi belum dapat diwujudkan. Pada level mikro, proses pencarian, penemuan dan penempatan pejabat dalam dilakukan Baperjakat. Namun peran kepala daerah lebih menentukan. Rekomendasi level makro adalah pengesahan segera RUU ASN, meso-1 kordinasi intensif, meso-2 perubahan orientasi diklat berbasis kompetensi, level mikro adalah bahwa pencarian, penemuan, dan penempatan pejabat di daerah tidak dilakukan oleh Baperjakat melainkan oleh lembaga independen dan profesional.

Great change took place in several walk of lives as consequences of reforms in 1998 unfortunately were not followed by the bureaucracy. Changes that created new environment in politics, government, policy making, institutions, service delivery and others, in contrast, within bureaucracy are still absent. It still operates in an oldfashioned version as it used to be. The rapid development of its environment made it needs to reforms itself to anticipate the consequences of the growing democracy in the country.
This background revealed the research question in the field of regulation in macro level, coordination in meso level as well as competency-based training, and in the micro level is the possibility of utilising independent body in placing officers, the activity used to be done by Baperjakat.
This dissertation uses SSM-Based Action Research in order to improve, fix, and perfect the situation considered problematic in the real world. For that purpose, 7 standard steps of SSM used and followed. The research category chosen is following McKay and Marshal, that is research interest as well as problem solving interest.
Conceptualisation of meritocracy in each institutional level shows that potentiality of its application is relatively high, opposite with basic regulation in place, the law on personnel management. Such development accommodated already in the draft new law on State Civil Apparatus.
The conclusion of the research shows that at the macro level, the application of the meritocracy in the placement of the officers relay heavily on the availability of the regulations on personnel. In the meso-1 level, coordination is not yet played in a strategic manner among the Menpan office and its affiliation institution, with ministry oh Home Affairs as well as technical ministries. In the meso-2 level, competency-based training is not in place yet. At the micro level, the process of recruitment, finding, and placement indeed done by Baperjakat. However, the head of the region plays more important decision than the functional body. This dissertation recommends at the macro level that the enaction of the law on State Civil Apparatus is a must and need to be perpetuated, at the meso-1 level intensive coordination is the key to develop meritocracy principles, meso-2 level the changing in the training orientation fo the competency-based is a must, and at the micro level the role Baperjakat should be replaced by the independent and professional body. Another important recommendation is that affirmative meritocracy as a derivation from affirmative actions relay heavily on the availability of affirmative policy in the form of law on State Civil Apparatus."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1506
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenai
kasus perkosaan yang melibatkan korban seorang
perempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkan
salinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemah
selama proses persidangan. Dari beberapa permasalahan
yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan
masalah. Pertama, apakah kerugian dari hasil peradilan
yang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua,
bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkan
bagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yang
harus dilakukan negara untuk menjamin proses
peradilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
data sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitian
memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa
adanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian
berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW
menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminan
keuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1)
KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan
yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative.
Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagi
kaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminan
perlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat
revisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman
wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas."
JY 8:3 (2015) (2)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyu Wijayanti
"Merujuk hasil Convention on the Right of Person with Disability, Pemerintah Indonesia kemudian menerapkan kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas dalam bidang ketenagakerjaan, melalui pemberlakuan sistem kuota. Namun demikian kinerja kebijakaan afirmatif ini belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Hal tersebut mengindikasikan adanya masalah dalam implementasinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengenali variable-variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan afirmatif tersebut. Adapun lokus penelitian ini adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). Data penelitian dikumpulkan melalui telaah dokumen dan wawancara mendalam terhadap 13 orang narasumber kunci yang berasal dari penyandang disabiliitas, apparat pemerintah, dan stakeholder lainnya. Data penelitian kemudian diolah berdasarkan prosedur analisis kualitatif. Adapun temuan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas dalam bidang ketenagakerjaan di Provinsi DKI Jakarta, Indonesia belum efektif. Tingkat implementability kebijakan afirmatif tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sebagian dapat dijelaskan berdasarkan konsep grindle. Di luar konsep grindle, ditemukan bahwa faktor budaya, basis data, penegakan hukum dan kepatuhan terhadap hukum adalah faktor-faktor penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan afirmatif tersebut.

Referring to the results of the Convention on the Right of Persons with Disability, the Government of Indonesia then implemented an affirmative policy for persons with disabilities in the field of employment, through the implementation of a quota system. However, the performance of this affirmative policy has not shown encouraging results. This indicates a problem in its implementation. This study aims to recognize the variables that influence the implementation of the affirmative policy. The locus of this research is the Special Capital Province of Jakarta (DKI Jakarta). Research data were collected through document review and in-depth interviews with 13 key informants from persons with disabilities, government officials, and other stakeholders. The research data is then processed based on a qualitative analysis procedure. The findings of this study are that the implementation of affirmative policies for persons with disabilities in the field of employment in DKI Jakarta Province, Indonesia has not been effective. The level of implementation of affirmative policies is influenced by a number of factors which can be partly explained based on the grindle concept. Beyond the grindle concept, it was found that cultural factors, databases, law enforcement and compliance with the law are important factors that influence the implementation of the affirmative policies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library