Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wildan Ilmanuarif Shafar
"Perubahan iklim telah mendorong upaya global dalam mitigasi, adaptasi, dan transisi di berbagai sektor termasuk sektor keuangan yang memiliki posisi vital karena perannya dalam pembiayaan strategis. Oleh karena itu, inisiatif keuangan berkelanjutan di tingkat global yang mendorong integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam praktik bisnis berkembang pesat. Di Indonesia, adopsi prinsip keuangan berkelanjutan juga meningkat dalam lima tahun terakhir yang ditandai dengan penerbitan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) pada tahun 2021 dan UU nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang memuat pasal-pasal khusus tentang keuangan berkelanjutan. Hadirnya regulasi tersebut adalah bentuk penguatan tata kelola keuangan berkelanjutan di Indonesia. Menariknya, fenomena tersebut melibatkan juga peran aktor masyarakat sipil dengan jejaring transnasional yaitu World Wildlife Fund (WWF) yang melakukan advokasi. Dalam hal ini, WWF berhadapan dengan aktor dari pemerintahan dan perbankan pada isu yang bersifat sangat teknis dan elitis. Penelitian ini berupaya menyelidiki peran World Wildlife Fund (WWF) sebagai aktor non-negara yang memiliki jejaring transnasional dalam penguatan tata kelola keuangan berkelanjutan di Indonesia. Metode kualitatif dan process tracing digunakan, dengan mengacu pada konsep Transnational Advocacy Network (TAN) dan faktor penunjang efektivitas advokasi NGO. Hasil penelitian menunjukkan WWF berperan sebagai aktivator dan fasilitator yang berpengaruh dalam mendorong penguatan tata kelola keuangan berkelanjutan di Indonesia. Jejaring global WWF dan kapabilitas teknisnya berkontribusi pada peningkatan kapasitas pemangku kepentingan kunci dalam menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan. Hasil penelitian ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana WWF menghadapi tantangan dan kontradiksi dalam advokasi pada isu keuangan berkelanjutan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah WWF memiliki peran yang kontributif dalam mendorong transformasi sektor keuangan menuju praktik keuangan yang berkelanjutan di Indonesia

Climate change has spurred global efforts in mitigation, adaptation, and transition across various sectors. It consequently drives sustainable finance initiatives which encourages business practices to integrate environmental, social, and governance (ESG) aspects. In Indonesia, the adoption of sustainable finance principles has also seen significant growth over the past five years, marked by the issuance of the Indonesian Green Taxonomy in 2021 and the passing of Law No. 4 of 2023 on the Development and Strengthening of the Financial Sector (PPSK), which includes specific provisions on sustainable finance. These regulations signify the enhancement of sustainable financial governance in Indonesia. Notably, this phenomenon involves the active engagement of civil society actors, the World Wildlife Fund (WWF). In this context, WWF’s advocacy finds itself facing actors from government and banking on highly technical and elitist issue. This study aims to investigate the role of the World Wildlife Fund (WWF) as a non-state actor with a transnational network in the enhancement of sustainable financial governance in Indonesia. Qualitative methodology and process tracing are employed, referencing the Transnational Advocacy Network (TAN) concept and factors supporting NGO advocacy effectiveness. The research findings reveal that WWF acts as an activator and facilitator with a significant impact on enhancing sustainable financial governance in Indonesia. The global network of WWF and its technical capabilities contribute to increasing the capacity of key stakeholders to adopt sustainable finance principles. In conclusion, WWF plays a contributory role in driving the transformation of the financial sector towards sustainable financial practices in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nibras Fadhlillah
"Penelitian ini mengkaji tentang gerakan advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terhadap penyelesaian isu kerja paksa dan perdagangan manusia yang terjadi di sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia. Adanya laporan investigasi oleh beberapa media internasional telah mengungkap sisi gelap dari sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia terkait dengan isu praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal penangkapan ikan. Tidak terselesaikannya permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia tersebut membuat organisasi non-pemerintah (NGO) di Thailand dan Indonesia melaksanakan berbagai gerakan advokasi dalam mendorong penyelesaian permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia. Meskipun begitu belum banyak penelitian yang membahas gerakan advokasi organisasi non-pemerintahan yang ada di Thailand dan Indonesia terkait isu perbudakan modern. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana gerakan advokasi yang dilakukan NGO di Thailand dan Indonesia dalam mendorong diselesaikannya permasalahan perbudakan modern di sektor perikanan tangkap. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori jaringan advokasi transnasional oleh Keck dan Sikkink (1999), dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam analisis, peneliti menemukan adanya berbagai bentuk gerakan dalam advokasi transnasional yang dilakukan NGO untuk mendorong adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan isu perbudakan modern. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam gerakan advokasi transnasional untuk mendorong penyelesaian isu mengenai kerja paksa dan perdagangan manusia, NGO Thailand dan Indonesia telah melakukan pembingkaian tentang isu tersebut yang kemudian disebarluaskan kepada publik dan organisasi lainnya agar terbentuk sebuah gerakan advokasi yang masif. Bersamaan dengan itu, NGO di Thailand dan Indonesia juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada para aktor-aktor yang memiliki kuasa lebih, seperti pemerintah negara-negara importir produk perikanan maupun agensi-agensi PBB, untuk dapat memberikan dorongan kepada kedua pemerintah agar mengadopsi berbagai aturan internasional sebagai upaya untuk menyelesaikan dan menghentikan praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di sektor perikanan tangkap.

This study examines the advocacy movement of NGOs to enforced the settlement of forced labour and human trafficking issues in Thailand and Indonesia capture fisheries sector. The publications of investigation reported by some international medias revealed the dark side of Thailand and Indonesia fisheries sector regarding forced labour and human trafficking practices towards fishing workers on the fishing boats. The unresolved of forced labour and human trafficking issues has led NGOs in Thailand and Indonesia to carry out various advocacy movements in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues. Nonetheless, there are still lack of studies exploring the advocacy movement of NGO in combating forced labour and human trafficking practices. Hence, the research question of this study is how the advocacy movement of NGOs in Thailand and Indonesia in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues on the capture fisheries sectors. In this study, the author used transnational network advocacy theory by Keck dan Sikkink (1999), as well as qualitative research method. In the analysis, this study found various type of activities of NGOs transnational advocacy movement to enforce the improvement of governments policies to end forced labour and human trafficking practices in fisheries. This study concluded that in the transnational advocacy movement to enforce the settlement of forced labour and human trafficking issues, Thailand and Indonesian NGOs have framed the issues which was then shared to public and other organizations, in order to form a massive advocacy movement. At the same time, NGOs in Thailand and Indonesia also approached other actors who had more power, such as the government of the fisheries importing country and UN agencies, to enforce those two governments to adopt various international regulation as an effort to resolve and diminish the forced labour and human trafficking practices in catch fisheries sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Diantania Irfan
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dari Milk Tea Alliance sebagai aktivisme digital transnasional di Twitter dalam mengadvokasikan demokrasi bagi Thailand pada Protes Anti-Pemerintah Thailand 2020. Pada tahun 2020, Thailand mengalami protes besar-besaran menentang pemerintahan Prayuth Chan-o-cha yang dipicu oleh pembubaran Future Forward Party. Protes yang berlangsung hampir sepanjang tahun ini, mengalami eskalasi di bulan Oktober dengan semakin ketatnya pembatasan aktivitas protes dan maraknya penggunaan kekerasan oleh negara untuk merepresi protes. Oleh karena itu, gerakan prodemokrasi di Thailand berupaya meningkatkan visibilitas isu dan atensi akan protes yang terjadi, khususnya dari sekutu mereka, Taiwan dan Hong Kong, dengan menggunakan tagar #MilkTeaAlliance di Twitter. Dengan menggunakan konsep jaringan advokasi transnasional dan aktivisme digital, penggunaan tagar #MilkTeaAlliance merupakan bentuk aktivisme digital dengan adanya kontak transnasional yang membentuk jaringan advokasi transnasional antara Taiwan, Thailand, dan Hong Kong dalam wujud Milk Tea Alliance. Melalui penelitian dengan metode kualitatif melalui studi literatur dan dokumen virtual, penelitian ini menemukan bahwa Milk Tea Alliance berperan dalam mengadvokasikan demokrasi bagi Thailand dengan empat taktik, yaitu politik informasi melalui penyebaran informasi dan pembingkaian nilai-nilai universal, kekerasan terhadap tubuh, dan aksi solidaritas di media sosial; politik simbolis melalui penyeruan simbol salam tiga jari; politik pengaruh melalui keberhasilan memanggil negara lain dan organisasi internasional; dan politik akuntabilitas dengan menuntut pertanggungjawaban pemerintahan Prayuth atas komitmen terhadap perjanjian internasional. Namun, peranan Milk Tea Alliance pada Protes Anti-Pemerintah hanya sampai pada tahap pembentukan isu atau atensi dan posisi diskursif saja. Tertutupnya struktur peluang politik domestik di Thailand menjadi hambatan politik bagi pengaruh Milk Tea Alliance sebagai jaringan advokasi transnasional dalam mempengaruhi perubahan kebijakan di Thailand.

This research aims to analyze the role of the Milk Tea Alliance as transnational digital activism on Twitter in advocating democracy for Thailand in the 2020 Thai Anti-Government Protests. In 2020, Thailand experienced massive protests against the Prayuth Chan-o-cha government triggered by the dissolution of the Future Forward Party. The protests, which lasted for most of the year, escalated in October with tighter restrictions on protest activities and the rampant use of violence by the state to repress the protests. Therefore, the pro-democracy movement in Thailand sought to increase the visibility of the issue and attention to the protests, especially from their allies, Taiwan and Hong Kong, by using the hashtag #MilkTeaAlliance on Twitter. Using the concepts of transnational advocacy networks and digital activism, the use of the #MilkTeaAlliance hashtag is a form of digital activism with transnational contacts that form a transnational advocacy network between Taiwan, Thailand, and Hong Kong in the form of the Milk Tea Alliance. Through a qualitative research method through literature study and virtual documents, this study found that the Milk Tea Alliance plays a role in advocating democracy for Thailand with four tactics: information politics through the dissemination of information and framing of universal values, violence against the body, and solidarity of actions on social media; symbolic politics through the invocation of the three-finger salute symbol; leverage politics through the success of calling other countries and international organizations; and accountability politics by holding the Prayuth government accountable for commitments to international agreements. However, the Milk Tea Alliance's role in the Anti-Government Protest only reached the stage of issue or attention formation and discursive positioning. The closed domestic political opportunity structure in Thailand is a political obstacle to the Milk Tea Alliance's influence as a transnational advocacy network in influencing policy change in Thailand."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arivia Tri Dara Yuliestiana
"Tesis ini menganalisis tentang studi kasus aneksasi Timor Timur dan jejaring advokasi transnasional, the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN dengan menggunakan konsep pola bumerang (Keck dan Sikkink, 1998) dan siklus hidup norma (Finnemore dan Sikkink, 1998). Tesis ini menyimpulkan bahwa norma yang diinternalisasi tidak dapat berjalan dikarenakan adanya benturan antara norma internasional dan struktur domestik. Benturan ini terjadi ketika norma internasional yang menghendaki hak untuk menentukan nasib sendiri ditantang pada kepentingan negara untuk menjaga kedaulatan. Oleh sebab itu, aktor transnasional membutuhkan kemampuan non-material yakni, kekuatan diskursus untuk melawan nilai dan norma yang dianggap tidak sejalan dengan kesepakatan internasional. Selain itu, juga dibutuhkan satu mekanisme yang simultan antara aktor domestik dan transnasional untuk menekan dan mempengaruhi kebijakan maupun perilaku negara.

This thesis analyzes the study case of East Timor annexation and transnational advocacy network, the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) by using the concept of boomerang pattern (Keck and Sikkink, 1998) and norm lifecycle (Finnemore and Sikkink, 1998). This thesis concluded that internalized or cascading norms may eventually fail to reach because of the clash between international and domestic structure. These norms clash occur when the right of self-determination is challenged by the norm of state sovereignty. Hence, transnational actors need the immaterial capability as power in discourse to counter the existing logic of appropriatness and also by creating a simultaneous mechanism between domestic and transnational actors to pressure and influence on policy change and state behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T49048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyfitha Dea Khairunnisa
"Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat mendorong fenomena globalisasi yang ditandai dengan semakin kaburnya batas-batas negara dalam interaksi global dan menjadikan intensitas hubungan antar aktor meningkat. Munculnya praktik pasar bebas merupakan salah satu dampak globalisasi di mana kegiatan produksi dan konsumsi terjadi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu praktik yang dilakukan adalah perdagangan limbah plastik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Namun, perdagangan limbah plastik dinilai merugikan negara-negara berkembang terutama dalam aspek lingkungan. Tiongkok sebagai importir limbah plastik terbesar menghentikan kebijakan impor limbah plastik pada tahun 2017. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara pun terkena dampak kebijakan ini dan menjadi tujuan baru pengiriman limbah plastik. Melihat urgensi limbah plastik di Asia Tenggara, Greenpeace Southeast Asia melakukan advokasi terhadap ASEAN sebagai institusi regional Asia Tenggara untuk mengeluarkan regulasi menghentikan perdagangan limbah plastik. Penelitian ini menganalisis strategi advokasi Greenpeace Southeast Asia dengan menggunakan konsep TAN dan inverse boomerang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Dalam penelitian ini, kita dapat melihat bagaimana Greenpeace bekerja sama dengan NGO lokal di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam mengadvokasi isu perdagangan limbah di Asia Tenggara.

Rapid development in information and technology have crucial contributions in globalization, which marked by blurred national boundaries in global interactions and increasing intensity of relations between actors. The emerging of free market practices is one of the impacts of globalization in which production and consumption activities occur to seek the maximum profit. One of the occuring practices is plastic waste trade where developed countries trade their waste to developing countries. However, plastic waste trade is considered detrimental to developing countries, particularly in environmental aspect. China, as the biggest plastic waste importer, has stopped its regulation in importing plastic waste since 2017. As the impact, countries in Southeast Asia have become new plastic waste trade destination from the developed countries. As the plastic waste problem in Southeast Asia becomes more urgent, Greenpeace Southeast Asia has been advocating ASEAN to issue regulations to stop plastic waste trade in the region. This article examines Greenpeace Southeast Asia’s advocacy strategies using TAN and inverse boomerang concept. The research method used in this study is qualitative method using primary and secondary data. In this study, we can see how Greenpeace Southeast Asia is cooperating with local NGOs in Indonesia, Malaysia, Thailand, and the Philippines in advocating plastic waste trade issue in Southeast Asia"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Susanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Susanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T51837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Margaretha Elshinta Irawaty
"ABSTRAK
Dinamika hubungan internasional telah memberi ruang bagi aktor non-negara untuk berkontribusi dalam isu-isu internasional. Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana WWF mengembangkan inisiatif Global Forest Trade Network (GFTN) untuk menekan laju deforestasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengembangkan teori norma internasional, khususnya norma kehutanan lestari. Selanjutnya penelitian ini menggunakan konsep daur hidup norma untuk menganalisis bagaimana WWF mengembangkan instrument norma kehutanan dalam bentuk skema sertifikasi (FSC) dan jaringan perdagangan hasil hutan bersertifikat (GFTN). Hasil analisis menunjukan WWF mampu mengadvokasikan norma kehutanan internasional hingga terinternalisasi ke dalam institusi dan perangkat kebijakan kehutanan Indonesia. Adapun pada tahap kemunculan norma, ditemukan adanya penerjemahan indikator yang berbeda dari norma kehutanan WWF. Penelitian ini mengistilahkan kondisi tersebut sebagai alternative indicator of norms. Selanjutnya dalam konteks penanggulangan deforestasi Indonesia, hasil analisis jangka pendek memperlihatkan tidak ada hubungan kausal secara langsung antara perkembangan penerimaan norma kehutanan lestari dengan laju deforestasi Indonesia. Diprediksikan hasil positif internalisasi norma ini mungkin akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Mengingat internalisasi norma kehutanan baru saja terjadi, sementara tata kelola hutan lestari masih dikembangkan dalam pendekatan bertahap. Dengan melihat interaksi antar aktor yang amat dinamis, penulis menggaris-bawahi kerja sama multi-pihak sebagai kunci keberlangsungan tata kelola hutan yang bertanggung-jawab.

ABSTRACT
The development of international relations had provided space for non-state actors to contribute to international issues. The goal of this research is to examines how WWF developed the Global Forest Trade Network (GFTN) initiative to reduce deforestation in Indonesia. This research uses qualitative methods to develops theory of international norms, focused on sustainable forest norms. Furthermore, this study uses the norm life cycle concept to analyze how WWF develops forestry norm instruments in the form of a certification scheme (FSC) and certified forest products forest trade network (GFTN). The analysis shows that WWF is able to advocating international forestry norms to be internalized into Indonesian forest policy. While in the norm emergence stage, this research finds others interpretation of norms' indicators to content WWF forest norm. This research termed the condition as an 'alternative indicator of norms'. Furthermore, in the context of combating Indonesia's deforestation, the results of the short-term analysis shows there is no direct causal relationship between the diffusion of sustainable forestry norms and Indonesia deforestation rate. It is predicted that the positive results of internalizing this norm will probably be seen in the next few years. Considering the internalization of the norms of forestry has just happened, while sustainable forest management is still being developed in a step-wised-approach. This research also underlines multi-stakeholder cooperation as the key to maintain sustainable forest governance."
2019
T53009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library