Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maissie Lince Trisia
"Premenstrual Syndrome (PMS) adalah gangguan yang terjadi sebelum menstruasi, ditandai dengan gejala fisik dan psikologis seperti sakit kepala, nyeri payudara, kembung, kelelahan, nyeri perut, kecemasan, hingga depresi. Pada remaja disabilitas, terdapat keterbatasan dalam mengkomunikasikan keluhan. Penelitian ini bertujuan menggambarkan kondisi PMS pada remaja disabilitas dengan metode cross-sectional dan teknik non-probability sampling, melibatkan 120 responden di wilayah Jabodetabek. Instrumen menggunakan Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF) dan menggunakan analisis univariat. Hasil menunjukkan mayoritas responden berdomisili di Jakarta (62,5%), berusia remaja pertengahan (47,5%), memiliki tingkat pendidikan dasar (56,7%), dan mengalami disabilitas intelektual (53,3%). Sebanyak 52,5% responden mengalami PMS berat, 25,8% PMS tingkat sedang, 20% PMS ringan, dan 1,7% tidak menunjukkan gejala. Hasil ini menegaskan pentingnya peran orang tua dan guru sebagai pendamping utama dalam mengenali serta mengatasi PMS pada remaja disabilitas. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk pengembangan intervensi kesehatan reproduksi yang inklusif dan strategis, guna meningkatkan kualitas hidup remaja disabilitas secara holistik.

Premenstrual Syndrome (PMS) is a multifactorial disorder preceding menstruation, characterized by physical and psychological symptoms, including headaches, mastalgia, bloating, fatigue, back and/or abdominal pain, food cravings, anxiety, even depression. Adolescents with disabilities frequently encounter challenges in conveying symptoms. This study aims to delineate the characteristics of PMS among adolescents with disabilities. A cross-sectional study design was employed, utilizing non-probability sampling to recruit 120 female adolescents with various types of disabilities in the Greater Jakarta area (Jabodetabek). Data were collected using the Shortened Premenstrual Assessment Form (SPAF) and analyzed through univariate statistical methods. The results revealed that the majority of respondents resided in Jakarta (62.5%), were in mid-adolescence (47.5%), had a primary education level (56.7%), and were diagnosed with intellectual disabilities (53.3%). Additionally, 52.5% of respondents reported severe PMS symptoms, 25.8% experienced moderate symptoms, 20% exhibited mild symptoms, and 1.7% did not report any symptoms. The findings underscore the importance of the roles of parents and educators as proximal caregivers in recognizing and addressing PMS symptoms in adolescents with disabilities. This study provides foundational insights for the development of inclusive and evidence-based reproductive health interventions aimed at enhancing the overall quality of life of adolescents with disabilities. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Dyah Kartika Sari
"Kekerasan seksual pada anak merupakan silent health emergency yang mempengaruhi status kesehatan dan kesejahteraan anak sepanjang hidupnya. Berdasarkan data SIMFONI PPA pada tahun 2023, kasus kekerasan seksual di Indonesia tahun 2019 hingga 2023 terus mengalami peningkatan dan lebih dari 30% terjadi pada anak usia 13-17 tahun. Anak di bawah 17 tahun memiliki kerentanan dasar, namun status disabilitas membuat anak menjadi 2-4 kali lebih berisiko mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan anak tanpa disabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berkontribusi pada kejadian kekerasan seksual pada anak dengan disabilitas usia 13 – 17 tahun di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kerangka Teori Dependensi Ganda yang menganalisis faktor internal (jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan kesehatan reproduksi, dan status pekerjaan) dan faktor eksternal (tingkat ekonomi, keberadaan orang tua kandung, tempat tinggal, status pasangan, dukungan keluarga, dan dukungan teman) terhadap kekerasan seksual pada anak dengan disabilitas berusia 13-17 tahun. Penelitian ini menggunakan data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) di Indonesia pada tahun 2021 dengan desain studi potong lintang dan sampel sebanyak 1.213 anak disabilitas berusia 13-17 tahun, yang dianalisis menggunakan uji regresi logistik. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 13,4% anak disabilitas mengalami kekerasan seksual, dengan 72,4% merupakan kekerasan seksual kontak dan 42,9% adalah kekerasan seksual non-kontak. Faktor yang berkontribusi pada kekerasan terhadap anak adalah jenis kelamin (OR: 1,50; 95% CI: 1,04-2,13), status pasangan (OR: 1,98; 95% CI: 1,41-2,78) yang merupakan faktor dominan, dan dukungan keluarga (OR: 1,73; 95% CI: 1,23-2,43). Anak disabilitas yang memiliki pasangan hampir 2 kali lebih berisiko mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak disabilitas yang tidak memiliki pasangan, setelah dikontrol oleh jenis kelamin dan dukungan keluarga. Diperlukan peningkatan kesadaran, penguatan intervensi, dan deteksi dini dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dengan disabilitas.

Sexual violence against children is a silent health emergency that affects the health and well-being of children throughout their lives. According to SIMFONI PPA data in 2023, cases of sexual violence in Indonesia from 2019 to 2023 have continued to increase, with more than 30% occurring in children aged 13-17 years. Children under 17 have inherent vulnerabilities, but having a disability makes them 2-4 times more likely to experience sexual violence compared to children without disabilities. This study aimed to analyze the factors contributing to the occurrence of sexual violence in children with disabilities aged 13-17 years in Indonesia. This study used the Double Dependency Theory framework to analyze internal factors (gender, education level, reproductive health knowledge, and employment status) and external factors (economic level, presence of biological parents, place of residence, relationship status, family support, and peer support) affecting sexual violence in children with disabilities aged 13-17 years. This study used data from the 2021 National Survey of Children's and Adolescents' Life Experiences (SNPHAR) in Indonesia with a cross-sectional study design and a sample of 1,213 children with disabilities aged 13-17 years, analyzed using logistic regression tests. The findings of this study indicated that 13.4% of children with disabilities experience sexual violence, with 72.4% being contact sexual violence and 42.9% being non-contact sexual violence. Factors contributing to violence against children include gender (OR: 1.50; 95% CI: 1.04-2.13), relationship status (OR: 1.98; 95% CI: 1.41-2.78), which is a dominant factor, and family support (OR: 1.73; 95% CI: 1.23-2.43). Children with disabilities who have partners are almost twice as likely to experience sexual violence compared to children with disabilities who do not have partners, after controlling for gender and family support. Increased awareness, strengthened interventions, and early detection are needed to prevent sexual violence against children with disabilities."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library