Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Salmarezka Dewiputri
"ABSTRAK
Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi
dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.

ABSTRACT
The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion
criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane,
measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group,
respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively.
At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group
were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal
membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Fedora
"Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral

Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys
"

Proliferative vitreoretinopathy  (PVR) pada ablasio retina rhegmatogen (ARR) menurunkan tingkat keberhasilan anatomis dan fungsional. Transforming growth factor-β (TGF-β) merupakan pro-fibrotik yang berperan penting dan dapat menjadi target terapi dan masih belum ada data mengenai TGF-β3 pada PVR. Penelitian ini bertujuan menguji kadar TGF-β2 dan TGF-β3 pada kasus PVR A dan B.  Penelitian ini berdesain potong lintang pada pasien ARR PVR A dan B yang menjalani vitrektomi di RSCM Kirana. Sampel vitreus diambil intra-operasi dan diperiksa di protein total, TGF-β2 dan TGF-β3 dengan metode ELISA. Didapatkan 20 sampel; 10 mata untuk PVR A dan 10 untuk PVR B. Tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk karakteristik kedua grup maupun berdasarkan TGF-β2 dan TGF-β3. Secara umum didapatkan level TGF-β2 yang lebih tinggi pada PVR A dan B namun tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Didapatkan korelasi negatif (Spearman r-0,468)  antara TGF- β2 dengan TGF- β3 pada seluruh grup PVR (p=0,037) namun tidak didapatkan korelasi yang signifikan per grup PVR. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan TGF- β3 dengan primary attachment rate. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan 3 pada ARR yang terjadi sebelum atau sesudah 14 hari namun ditemukan tren rasio TGF- β2/protein total yang semakin rendah 14 hari pasca ARR Studi ini merupakan studi pertama yang membandingkan kadar TGF- β2 dan TGF- β3 pada pasien dengan PVR A dan B. Secara tren, ditemukan kadar TGF-β2 yang lebih tinggi pada ARR dengan PVR  B dibanding A dan kadar TGF-β3 yang lebih rendah pada ARR dengan PVR B dibanding A.


Proliferative vitreoretinopathy (PVR) in rhegmatogenous retinal detachment (RRD) reduces anatomical and functional success rate. Transforming growth factor-β (TGF-β) is a pro-fibrotic that plays an important role and can be a therapeutic target and there is still no data on TGF-β3 in PVR. This study aims to examine the levels of TGF-β2 and TGF-β3 in cases of PVR A and B. This study used cross-sectional design in ARR PVR A and B patients who underwent vitrectomy at RSCM Kirana. Vitreous samples were taken intra-operatively and examined for total protein, TGF-β2 and TGF-β3 using ELISA. A total of 20 samples were obtained; each 10 eyes for PVR A and 10 for PVR B. There were no significant differences in the characteristics of the two groups or based on TGF-β2 and TGF-β3. In general, higher TGF-β2 levels were found in PVR A and B but there was no significant difference (p>0.05). A negative correlation (Spearman r-0.468) was found between TGF-β2 and TGF-β3 in all PVR groups (p=0.037) but no significant correlation was found per PVR group. There was no significant difference between TGF-β2 and TGF-β3 with primary attachment rate. There was no significant difference between TGF-β2 and 3 in ARR that occurred before or after 14 days, but a trend was found in the ratio of TGF-β2/total protein that was getting lower ≥14 days after ARR. This study is the first study to compare TGF-β2 and TGF-β3 levels in patients with PVR A and B. In terms of trend, higher TGF-β2 levels were found in ARR with PVR B compared to A and lower TGF-β3 levels in ARR with PVR B compared to A."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigael Jasmine Angelita
"Latar Belakang
Ablasio retina mempengaruhi fungsi pengelihatan yang dapat bersifat permanen. Angka prevalensinya juga meningkat setiap tahunnya, juga dengan miopia yang merupakan salah satu faktor risikonya. Walaupun hubungan antara derajat miopia dengan kejadian ablasio retina sudah banyak dicari, tetapi belum ada penelitian serupa dilakukan di RSCM, rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini ingin mencari tahu hubungan antara keduanya dan karakteristik klinis yang ditimbulkannya.
Metode
Dengan desain analitik observasional menggunakan metode potong-lintang, data diambil dari rekam medis pasien miopia yang berkunjung pada tahun 2023 kemudian dicatat karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, domisili, tingkat pendidikan) dan karakteristik klinisnya (derajat miopia, diagnosis ablasio retina). Pasien miopia yang didiagnosis ablasio retina akan dicatat juga karakteristik klinis ablasio retinanya. Hubungan antara derajat miopia dan kejadian ablasio retina dianalisis statistika uji Chi- Square. Pada mata miopia dengan ablasio retina, perbedaan usia antara kelompok derajat miopia dianalisis statistika uji Mann-Whitney.
Hasil
Dari 348 mata miopia tinggi dan 526 mata miopia ringan-sedang, didapatkan ablasio retina pada 38 mata dengan miopia tinggi dan 32 mata dengan miopia rendah-sedang. Hubungan antara derajat miopia dan diagnosis ablasio retina signifikan (P=0.022) dengan OR 1.795. Tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kelompok miopia ringan- sedang dan berat dengan ablasio retina (P=.245), tetapi kelompok miopia ringan-sedang memiliki median lebih tinggi (40.5) dibandingkan miopia tinggi (32).
Kesimpulan
Derajat miopia berat berpeluang lebih besar terhadap kejadian ablasio retina dibandingkan derajat miopia ringan-sedang. Usia pasien miopia derajat ringan-sedang juga lebih tua dibandingkan usia pasien miopia derajat berat, tetapi hasilnya tidak bermakna secara statistika.

Introduction
Retinal detachment might have permanent impact on visual function. The prevalence of retinal detachment is increasing year-by-year, as is myopia, one of its risk factor. Although the relationship between degreee of myopia and retinal detachment incidence has been researched, no similar studies have been conducted in RSCM. Therefore, this research aims to investigate the relationship and the outcome of clinical characteristics between different myopic degrees.
Method
Using observational analytic design and cross-sectional method, data on myopic patients who visited RSCM on 2023 are extracted from medical record. Demographic characteristic (age, gender, domicile, education level) and clinical characteristic (degree of myopia, retinal detachment diagnosis) were documented. The characteristics of myopic patients with retinal detachment were also recorded. Chi-Square test was used to analyze the relationship between myopia degree and retinal detachmen. For myopic eyes diagnosed with retinal detachment, the age difference between two groups based on myopia degree was analyzed using Mann-Whitney test.
Results
Out of 348 severely myopic eyes and 526 mild-moderate myopic eyes, retinal detachment was diagnosed in 38 severely myopic eyes and 32 mild-moderate myopic eyes. The relationship between myopia degree and retinal detachment incidence are significant (P=0.022) with an OR of 1.795. There is no significant difference between mild-moderate myopic group and severe myopic group in terms of retinal detachment (P=.245), however mild-moderate myopic group has a higher median age (40.5) than severely myopic group (32).
Conclusion
Severly myopic eyes have higher probaility of retinal detachment compared to mild- moderate myopic eye. The age of mild-moderate myopic group with retinal detachment is higher than that of the severely myopic group, although statistically not significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seivilia Artanti
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pada pemberian midriatika injeksi epinefrin intrastroma kornea dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Sebelum vitrektomi dilakukan pengukuran diameter pupil serta diameter pupil optimal yang diperoleh. Ketebalan sentral dan densitas kornea diukur menggunakan spekular mikroskop Non Conrobo Konan sebelum vitrektomi, saat follow-up 1 hari dan 1 minggu paska vitrektomi. Perbedaan bermakna p=0.015 untuk delta perubahan diameter pupil kelompok injeksi epinefrin intrastroma dibandingkan kelompok intrakamera. Rerata mean pada injeksi epinefrin intrakamera terhadap Central Corneal Thickness CCT awal, 1 hari dan 1 minggu terdapat perbedaan bermakna p = 0.041. Delta diameter pupil pada pemberian injeksi epinefrin intrastroma lebih lebar dibandingkan dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Ketebalan CCT 1 minggu setelah tindakan pada injeksi epinefrin intrastroma kornea lebih rendah dibandingkan dengan intrakamera.

ABSTRACT
This thesis is to determine the effectiveness and safety of intrastromal epinephrine injection with intracameral injection on pars plana vitrectomy. The measurement of pupil diameter was done before vitrectomy and optimal pupil diameter is obtained. Central corneal thickness CCT and Endothelial Cell Density ECD were measured using a specular microscope Non Conrobo Konan before vitrectomy, at follow up 1 day and 1 week after vitrectomy. Optimal pupil diameter no significant difference p 0.05 . The difference was significant p 0.015 for the delta changes in pupil diameter intrastromal epinephrine injection group compared to the group intracameral. Average mean in epinephrine injection group intrakamera the initial CCT, 1 day and 1 week there is a significant difference p 0.041. Delta pupil diameter in epinephrine injection intrastromal wider than intracameral injection. CCT thickness 1 week after the epinephrine corneal intrastromal injection is lower than intracameral injection. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library