Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Revaldi Nathanael Wirabuana
Abstrak :
Indonesia dan Malaysia telah terlibat dalam sebuah sengketa mengenai batas maritim di Laut Sulawesi. Sengketa tersebut berasal dari klaim atas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang tumpang tindih sehingga berakibat kepada konsesi minyak, persitegangan militer, hingga penangkapan ikan illegal. Negosiasi untuk menentukan batas maritim telah dilakukan sejak lama; dimulai dengan negosiasi pra-1969 yang berujung pada sengketa kedaulatan atas pulau Sipadan & Ligitan, hingga negosiasi yang dimulai pada tahun 2005 hingga kini. Skripsi ini akan menganalisa prinsip-prinsip penentuan batas maritime, serta proyeksi dari negosiasi atau mekanisme lainnya untuk menyelesaikan sengketa di Laut Sulawesi. ......Indonesia aod Malaysia are witness to ao ongoing dispute over maritime boundary in Sulawesi Sea. The dispute revolves around overlapping claims over exclusive economic zone aod continental shelf, resulting into conflicts on oil concessions, military skirmishes, aod illegal fishing. Negotiations to delimit maritime boundary has been done for a long time: from the pre-1969 negotiations that ended up in the sovereignty claims over Sipadao & Ligitan, to the current negotiations initiated in 2005. This thesis will analyze the principle of maritime boundary delimitation, aod the future projection of negotiations aod other possible mechaoisms to resolve the dispute in Sulawesi Sea.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hiyal Ulya Fillah
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan yang begitu pesat pada teknologi yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan intelligence gathering berdampak pada praktik negara yang semakin bersifat intrusif. Meskipun demikian, sebagai salah satu bentuk dari kegiatan militer, pelaksanaan intelligence gathering di zona ekonomi eksklusif tidak diatur secara jelas dalam Konvensi Hukum Laut UNCLOS . Dalam hal ini UNCLOS bersifat ambigu, dimana konvensi tersebut tidak secara eksplisit mengakui hak suatu negara untuk melakukannya di ZEE negara lain ataupun melarang pelaksanaanya. Ketidakjelasan tersebut memberikan ruang bagi interpretasi masing-masing negara yang memicu terjadinya konflik atau insiden. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terdapat adanya upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatur kegiatan intelligence gathering di ZEE. Penelitian ini berusaha untuk memberikan analisis mengenai urgensi pembentukan hukum internasional terkait dengan kegiatan tersebut dengan memaparkan perdebatan-perdebatan yang ada, upaya-upaya yang telah dilakukan serta kekurangannya, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan kedepannya.
ABSTRACT
The rapid and advanced development on technologies used for intelligence gathering activities has an impact on recent practices that are becoming alarmingly intrusive. However, as a form of military activity, the practice of intelligence gathering at the economic exclusive zone EEZ is not clearly regulated in the UNCLOS. The UNCLOS is ambiguous because the convention doesn 39 t explicitly acknowledge or prohibit states right to conduct such activity at the EEZ. The legal uncertantity creates different interpretations between states, which triggers conflicts amongst them. In this past years, there has been an attempt in regulating intelligence gathering in the EEZ. Therefore, this research will try to analyze the urgency of creating an international law to regulate such activity, by addressing current debates, the attempts and its deficiencies, and the next steps that can be done in the future.
2017
S67617
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindejayanimitta Dwi Anggaramurti
Abstrak :
Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang bertetangga. Kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak tahun 1949. Kedua negara telah berhasil melakukan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) melalui persetujuan batas ZEE yang ditandatangani oleh menteri luar negeri kedua negara pada tanggal 23 Mei 2014. Apabila dilihat dari jangka waktu penyelesaian batas laut yang diawali dengan penjajakan sejak tahun 1973 menunjukkan bahwa kedua pemerintah membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat berbagai masalah selama proses perundingan baik itu dalam aspek teknis maupun aspek hubungan politis kedua negara. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui proses penetapan batas ZEE antara Indonesia dengan Filipina dan menganalisis dinamika hubungan politik dalam penetapan batas ZEE Indoesia-Filipina perspektif ketahanan nasional. Teori yang digunakan antara lain : teori kedaulatan negara, kerjasama, diplomasi dan negosiasi serta ketahanan nasional Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, data yang digunakan dalam penelitian bersumber dari hasil studi literatur dan hasil wawancara. Narasumber wawancara terdiri 7 orang yaitu Prof. Hasjim Djalal, pakar hukum laut internasional yang terlibat langsung dalam diplomasi penetapan batas maritim Indonesia 1973-1994 dan sebagai tim penasehat delegasi Indonesia dalam perundingan batas maritim; Dubes Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesia sekaligus sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2003-2007, Oktavino Alimudin Dirpolkamwil Kementerian Luar Negeri sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2012-2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, ahli teknis penetapan batas laut sekaligus sebagai Ketua Tim Teknis Perundingn Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina 2003-2014 serta beberapa narasumber yang berasal dari beberapa instansi yang terlibat langsung dalam perundingan penetapan batas ZEE Indonesia-Filipina. Proses penetapan batas yang dilakukan antara lain : penjajakan awal pada tahun 1973-1994, perundingan intensif pada tahun 2003-2007 dan 2011-2013, serta proses perumusan perjanjian pada Januari 2014-Mei 2014. Pola hubungan kedua negara dalam penetapan garis batas ZEE dilakukan melalui proses politik dalam bentuk kerjasama. Dinamika hubungan politik kedua negara dalam penetapan batas ZEE dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : faktor sejarah, kondisi politik internal pemerintah Filipina dan penyesuaian terhadap hukum internasional. Proses penetapan batas ZEE menyebabkan perubahan paradigma teori kedaulatan yang dianggap sebagai kekuasaan tertinggi dimiliki oleh negara, namun dalam penetapan batas dan pemanfaatan ZEE, kedaulatan negara dipengaruhi oleh hukum laut internasional. Diplomasi batas ZEE yang telah dilaksankan dapat memperkuat ketahanan nasional karena mempererat hubungan baik antara dua negara yang bertetangga dan dapat menjadi contoh bagi negera-negara di dunia bahwa Indonesia dan Filipina dapat menyelesaikan sengketa penetapan batas secara damai sehingga mendukung terciptanya stabilitas keamanan kawasan. Apabila dilihat dari aspek geopolitik yaitu sebagai upaya suatu negara dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya bahwa Indonesia berusaha mempertahankan keberlangsungan hidupnya dengan mempertahankan prinsip-prinsip negara kepulauan pada proses penetapan batas ZEE dan kejelasan batas ZEE yang telah disepakati dapat memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan wilayah maritim khususnya dalam melaksanakan hak berdaulat sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa Indonesia. ......Indonesia and the Philippines are two neighboring archipelagic states. The two countries formally established diplomatic relations since 1949. The two countries have managed to conduct the delimitation of the Exclusive Economic Zone (EEZ) boundary through the EEZ boundary agreement signed by the foreign ministers of both countries on May 23, 2014. When viewed from the period of time the sounding out of maritime boundaries since 1973 shows that the two governments took more than 40 years, this indicates that there are a variety of issues during the negotiation process both in technical aspects as well as political relations aspects between the two countries. This study intends to determine the process of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines and analyze the dynamics of political relations in the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines, national resilience perspective. The theory used, among others: the theory of sovereignty, cooperation, diplomacy and negotiations as well as national resilience. The research was conducted using qualitative method, the data used in the study came from the study of literature and interviews. Formal Interviewee comprising seven members, namely Prof. Hasjim Djalal, international maritime law expert who directly, involved in Indonesia maritime boundary delimitation diplomacy 1973-1994; Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesian Ambassador, as a Chairman of the Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concern between Indonesia- the Philippines 2003-2007, Oktavino Alimudin, the Director for Political, Security and Territory Treaties Ministry of Foreign Affairs as Chairman of the Maritime Boundary Delimitation Discussions between Indonesia-the Philippines 2012- 2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, a technical expert of maritime delimitation, as Chairman of the Joint Technical Team Meeting of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia-the Philippines 2003-2014, as well as some of the interviewee who come from several agencies who involved in negotiating the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines. The process of setting the boundaries is carried out, among others: the early probes in 1973-1994, the intensive negotiations in 2003-2007 and 2011- 2013, as well as the process of formulating an agreement in January 2014 to May 2014. The pattern of relationship of the two countries in setting the EEZ boundary lines is done through the political process in the form of cooperation. The dynamics of political relations between the two countries in the delimitation of the EEZ boundary is influenced by several factors such as : historical factors, internal political conditions of the Philippines government and the adjustment to the international law. The process of delimitation of the EEZ boundary led to a paradigm shift theory of sovereignty which is regarded as the highest authority owned by the state, but in the delimitation of the EEZ and utilization, state sovereignty is influenced by international law. The diplomacy of the delimitation of EEZ boundary that have are conducted to strengthen national resilience because it could strengthen the good relations between the two neighboring countries and may become a model for other countries in the world. Indonesia and the Philippines can resolve disputes peacefully thus supporting the creation of regional security and stability. When viewed from the geopolitical aspects of a country's attempt to maintain their life, that Indonesia is trying to sustain his life by maintaining the principles of the archipelagic state in the process of the delimitation of the EEZ boundary. The EEZ boundary between two countries has been agreed, it can provide legal certainty for management of maritime areas, especially in existing sovereign rights so that it can be utilized for the Indonesian interest.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati Kusumawardhani
Abstrak :

Permasalahan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing) adalah masalah yang menjadi perhatian negara - negara di dunia, termasuk Indonesia, karena jumlah kasusnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun serta dampak yang ditimbulkan tidak saja pada ketersediaan sumber daya ikan, namun juga berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Selain itu, IUU Fishing juga mengancam kelestarian sumber daya laut serta merupakan suatu tindak kejahatan yang di dalamnya terdapat tindak pidana lainnya yang bersifat lintas negara, dari bentuk penipuan dokumen hingga perdagangan manusia sehingga dapat disebut sebagai bagian dari tindak pidana transnasional terorganisasi. Berdasarkan fakta tersebut, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas 115 dengan Perpres No. 115/2015 sebagai satuan tugas dengan mandat untuk melakukan penegakan hukum terhadap kasus - kasus IUU Fishing, yang terjadi di wilayah perairan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Satgas 115 menjadi “one roof enforcement system” bagi penanganan dan pencegahan IUU Fishing termasuk penegakan hukum di laut di mana di dalamnya terdapat lembaga/instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum dan pengawasan laut berdasarkan peraturan perundang - undangan pembentukannya. Kinerja Satgas 115 menunjukkan hasil signifikan dengan menurunnya jumlah pelanggaran IUU Fishing di ZEEI dan meningkatnya jumlah tangkapan yang ditunjukkan dengan jumlah kasus yang ditangani dan pendapatan nelayan. Keberhasilan tugas Satgas 115 dapat menjadi pertimbangan untuk meneruskan sistem pengawasan laut, termasuk di dalamnya penanganan dan pencegahan IUU Fishing, dengan penguatan kelembagaan melalui peraturan perundang - undangan. Penguatan kelembagaan tersebut perlu untuk memperhatikan sifat koordinatif, kewenangan, kedudukan, dan pemanfaatan potensi terintegrasi antarlembaga/instansi terkait sebagai suatu “single agency” yang melanjutkan kinerja Satgas 115.

 

 


Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUU Fishing) has become a concern for countries worldwide. Indonesia is one of those countries because the number of IUU Fishing cases increases from year to year. The impact caused not only on the availability of fish stock but also affected social and economic problems. Besides, IUU Fishing also threatens the preservation of marine resources, sustainable fisheries, and is indicated as a cross country crime in which other offenses included. Those offenses are from frauds in the form of document to human trafficking so that it can be called a part of transnational organized crime. According to those facts, President Joko Widodo established Task Force 115 with Presidential Decree number 115 the year 2015 (Perpres 115/2015) as a task force with a mandate to enforce the law against IUU Fishing cases, which occurred in waters and the Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEEI). There are Institutions/agencies authorized to carry out law enforcement and sea surveillance based on the laws and regulations of its formation before the establishment of Task Force 115. Task Force 115 becomes a "one roof enforcement system" for those Institutions/agencies for handling and preventing IUU Fishing, including law enforcement at sea. Task Force Performance 115 showed significant results with a decrease in the number of violations of IUU Fishing in ZEEI and an increase of catches indicated by the number of cases handled and fishermen's income. The success of the Task Force 115 task can be a consideration for continuing the marine surveillance system, including the handling and prevention of IUU Fishing, by strengthening its institutions through legislation. The institutional strengthening needs to pay attention to the coordinative nature, authority, position, and utilization of integrated potential between related institutions/agencies as a "single agency" that continues the performance of Task Force 115.

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Jeremia Humolong Prasetya
Abstrak :
Ambiguitas ktivitas militer di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan isu yang terus mendapat perhatian dalam hukum internasional. Mengingat jumlah insiden yang diakibatkan olehnya, telah dilakukan berbagai upaya untuk dapat memitigasi dampak daripada ambiguitas ini. Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul sebuah permasalahan baru yang dapat menghalangi keberhasilan upaya- upaya tersebut. Unmanned Underwater Vehicles UUV , yang belum diatur secara spesifik dalam hukum internasional, kerap digunakan dalam aktivitas militer negara-negara, secara khusus Amerika Serikat di ZEE negara-negara lain. Dengan adanya kekosongan hukum dan juga kapabilitas yang dimiliki oleh UUV, berbagai praktisi dan ahli hukum, serta negara mengkhawatirkan mengenai ancaman penggunaan militer alat ini terhadap kedaulatan, kepentingan, dan keamanan nasional Negara Pantai. Ancaman ini pun sejatinya telah terjadi secara riil dalam dunia nyata. Dalam penelitian ini, pembahasan terbagi atas dua bagian, yaitu aktivitas militer di ZEE dan status hukum UUV yang digunakan dalam aktivitas militer. Kedua objek tersebut akan ditinjau dan dianalisis dengan menggunakan perspektif hukum internasional, ketentuan nasional, dan state practice. Berdasarkan ketiga perspektif tersebut, masih terdapat ambiguitas dan perbedaan pandangan antar negara mengenai aktivitas militer di ZEE. Adapun juga terdapat perdebatan, baik itu dalam hukum internasional maupun ketentuan nasional, mengenai pengaturan UUV yang digunakan dalam aktivitas militer secara umum. Namun, telah terdapat upaya-upaya, baik itu secara nasional maupun internasional untuk menyelesaikan perdebatan tersebut. Penulis menyarankan agar kedua isu tersebut diperjelas dan diatur secara spesifik, baik itu melalui perjanjian internasional yang baru maupun amandemen terhadap perjanjian internasional yang telah ada. ......The ambiguity of military activities in the Exclusive Economic Zone EEZ has been one of the main concern in international law. Considering its impact on numerous international incidents, there have been many attempts to mitigate the issue. However, those attempts might be hampered by recent issue arising out of the technological development on the maritime area, namely Unmanned Underwater Vehicles UUV . These UUVs, which haven rsquo t been specifically regulated in the international law, are commonly used in the military activities of States, including the United States of America, in the other States EEZ. Thus, many legal practitioners and scholars, as well as States concerned about threats generated from military application of this unregulated UUV to the sovereignty, interests, and national security of Coastal States. In this paper, the discussion will be divided into two parts, namely military activities in the EEZ and legal status of UUV operating in military activities. These two parts will be reviewed and analyzed in the perspective of international law, national regulation, and States practice. In conclusion, based on these perspective, military activities in the EEZ is vaguely regulated and varied among the States. There is also a contention on the regulation of UUV deployed in the military activities, either in international law or national law. However, attempts on resolving those issues, either in the national or international scale, will also be noted in this paper. The author suggests that these issues have to be defined and regulated specifically by new treaties or amendment to the existing treaties.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69982
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friget Wiyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Perbatasan perairan suatu negara seringkali menimbulkan suatu konflik apabila wilayah suatu negara tidak memiliki kejelasan yang pasti, hal tersebut dikarenakan dalam hukum internasional wilayah negara mempunyai peran yang sangat penting dalam melaksanakan yurisidiksi suatu negara. Seperti halnya delimitasi maritim zona ekonomi eksklusif Indonesia dengan Vietnam di Laut Natuna Utara, yang sedang berkembang saat ini adalah belum adanya kesepakatan (undelimited area) batas zona ekonomi eksklusif di laut Natuna Utara Indonesia dengan Vietnam. Sehingga mengakibatkan saling klaim terhadap pemanfaatan sumber daya alam hayati perikanan di zona ekonomi eksklusif tersebut begitu pula dengan penegakan hukumnya (law enforcement), seperti halnya kejadian saling tangkap antara aparat penegak hukum di laut baik oleh Indonesia maupun aparat penegak hukum di laut Vietnam ataupun terhadap nelayan Vietnam yang melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif laut Natuna Utara tersebut. UNCLOS 1982 menawarkan beberapa mekanisme penyelesaian sengketa sambil menunggu kesepakatan perjanjian delimitasi maritim tersebut, salah satunya dengan kerjasama antar negara pantai berdasarkan pembentukan perjanjian delimitasi ZEE yang saling tumpang tindih, serta adanya penyelesaian secara diplomatik oleh pihak ketiga dan penyelesaian secara hukum melalui ITLOS maupun ICJ/Mahkamah International.
ABSTRACT
The borders of a country's waters often cause a conflict if the territory of a country does not have definite clarity, this is because in international law the territory of the country has a very important role in carrying out the jurisdiction of a country. As with the maritime delimitation of Indonesia's exclusive economic zone with Vietnam in the North Natuna Sea, which is currently developing, there is an undelimited area of exclusive economic zone boundaries in the North Natuna Sea of Indonesia and Vietnam. Thus resulting in mutual claims against the utilization of the living natural resources of fisheries in the exclusive economic zone as well as law enforcement (law enforcement), as well as the occurrence of mutual arrest between law enforcement officers in the sea both by Indonesia and law enforcement officers in the Vietnamese sea or fishermen Vietnam is fishing in the exclusive economic zone of North Natuna UNCLOS 1982 offers several dispute resolution mechanisms while awaiting the agreement of the maritime delimitation agreement, one of which is cooperation between coastal countries based on the formation of overlapping exclusive economic zone delimitation agreements, and diplomatic settlement by third parties and legal settlement through ITLOS and International Court of Justice.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Joe Christian Yesaya
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai implementasi ketentuan prompt release pada Konvensi Hukum Laut pada zona ekonomi eksklusif negara Australia, Malaysia, dan Indonesia. Permasalahan ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan metode penelitian yuridis normative dan penulisan yang bersifat deskriptif. Data dalam penelitan ini didapat dengan melakukan studi dokumen sebagai data utama dari penulisan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Australia, Malaysia, dan Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dan perbedaan dalam implementasi ketentuan prompt release. Implementasi tersebut juga ditemukan tidak sesuai dengan perkembangan interpretasi yang dilakukan oleh ITLOS terhadap ketentuan prompt release. ......This thesis discusses the implementation of the prompt release provisions of the Law of the Sea Convention in the exclusive economic zones of Australia, Malaysia, and Indonesia. With normative legal research method and descriptive writings, the data in this study were obtained by conducting a document study as the main data of qualitative writing. The results showed that both Australia, Malaysia, and Indonesia have their own characteristics and differences in the implementation of prompt release provisions. The implementation was also found to be inconsistent with the development of the interpretation made by ITLOS on the prompt release provisions.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Suryadi
Abstrak :
Pendahuluan Di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : I I /MFR/1988 dinyatakan bahwa Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi dan kondisi tiap-tiap aspek dari kehidupan bangsa dan negara. Pada hakekatnya Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Dengan demikian kemampuan dan ketangguhan bangsa itu untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya harus di hubungkan dengan tiap-tiap aspek dari kehidupan bangsa dan negara, yang mencakup bidang idealogi nasional, politik, ekonomi, sosial -budaya dan pertahanan-keamanan. Kekuatan di bidang idealogi nasional telah berakar pada kepribadian bangsa sendiri yang nampak dalam Pancasila yang telah menjadi jiwa, kepribadian, pandangan hidup dan dasar negara. Pancasila sebagai ideologi nasional telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa. Kekuatan di bidang politik yang merupakan syarat kelangsungan hidup negara telah berlangsung dengan terbinanya stabilitas politik dengan mengembangkan kehidupan demakratis yang memadukan kebebasan kreatif dan tanggung jawab, dengan telah ditegaskannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi segenap organisasi sosial pol i ti k . Lebih jauh Pancasila i ni juga telah membuahkan konsepsi Geopolitik, Wawasan Nusantara. Di sini Pancasila merupakan kebijakan tertinggi, sedangkan Wawasan Nusantara merupakan petunjuk operasional tertinggi. Kekuatan di bidang ekonomi sedang diusahakan dengan giat dan mencakup kegiatan yang sangat luas seperti, pertanian, industri, pertambangan, energi, perhubungan, pariwisata, perdagangan, koperasi, dunia usaha nasional, tenaga kerja, transmigrasi dan pembangunan daerah. Semua itu diusahakan dalam menuju struktur ekonomi yang seimbang di mana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, hal mana akan berjalan secara, bertahap melalui Repelita yang berkesinambungan. Sesuai Repelita yang sudah berjalan usaha memanfaatkan lautpun terus berkembang, baik di perairan Nusantara, laut wi l ayah maupun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Menurut Tambunan (1985) dalam tulisannya. "Investasi di bidang perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia" dinyatakan bahwa mulai tahun 1979 sampai 1983 hasil produksi usaha perikanan industri mengalami kenaikan rata-rata /tahun sebesar 12,1%. Potensi sumber daya perikanan di ZEE Indonesia itu adalah 2.115.595 ton/tahun. Sementara itu jumlah kapal penangkap Tuna dan Cakalang bertambah terus dari tahun 1979-1983 dari BCC kapal naik menjadi 88,111,127 dan tahun 1983 beroperasi 131 kapal Indonesia milik perusahaan dalam bentuk BUMN, PMA, PMDN dan Swasta Nasional. Tingkat pemanfaatan di ZEE Indonesia itu tercatat tahun 1983 baru mencapai tingkat 23,29 %, sehingga masih terbuka usaha pengembangan dan peningkatan di bidang perikanan itu.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Marwati
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang tindakan penegak hukum di laut yang dilakukan pemerintah Indonesia, terutama penyidik dari instansi Kementerian Kelautan dan Perikanan serta TNI Angkatan Laut guna memberantas tindak pidana perikanan dengan cara mengambil tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal ikan asing (KIA) pelaku tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Oleh karena itu penelitian ini akan menjelaskan tentang dasar hukum, praktek negara-negara dan prosedur penenggelaman KIA pelaku tindak pidana perikanan baik berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional. Pembahasan penelitian dianalisis menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan dijabarkan secara preskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa negara, misalnya Argentina, Australia, Filipina dan Malaysia yang mempunyai kebijakan yang sama dengan Indonesia untuk memusnahkan KIA pelaku tindak pidana perikanan, walaupun dengan teknis pelaksanaan yang berbeda. Tindakan yang diambil oleh Indonesia dan negara-negara tersebut telah memiliki dasar yang kuat berupa peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada UNCLOS 1982. Rekomendasi penelitian ini adalah apabila melakukan penenggelaman KIA pada tahap pemeriksaan di laut sebagai pelaksanaan Pasal 69 (4) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, agar tindakan khusus tersebut hanya dilaksanakan di Perairan Indonesia (Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, dan Laut Teritorial karena masih banyak batas ZEEI yang belum disepakati dengan negara-negara lain yang berbatasan wilayah lautnya dengan Indonesia.
ABSTRACT
This thesis examines the actions of law enforcements at sea conducted by the Indonesian government, especially the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries and the Indonesian Navy to combat Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing by taking special measures to burn and/or sink foreign fishing vessels committed IUU fishing in the Indonesian Exclusive Economic Zone (EEZ). Therefore, this research will explain the legal basis, state practices and procedures for sinking foreign fishing vessels both based on international law and national law. This thesis will analyze the judicial process with a qualitative approach and descriptive elaboration. The study shows that there are several countries, such as Argentina, Australia, the Philippines and Malaysia that have the same policies with Indonesia in which they destroy foreign fishing vessels, even though the technical implementations are different. The actions taken by Indonesia and these countries have legal standing of national legislation referring to UNCLOS 1982. Therefore, it is recommended to sink foreign fishing vessels at sea as the implementation of Article 69 (4) Fisheries Act 2009 Numbor 45, the special measures will only be carried out in Indonesian waters (internal waters, archipelagic waters and territorial seas because there are still many Indonesian EEZ boundaries that have not been agreed with other countries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>