Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuraini Putri Tarmono
Abstrak :
Karya sastra merupakan produk yang dapat mencerminkan kehidupan masyarakat. Salah satu isu sosialnya adalah mengenai wanita. Citra wanita dapat tergambar dari alur kehidupannya, oleh karenanya jika alur kehidupannya berbeda tentu akan menimbulkan karakter yang berbeda pula. Penggambaran citra wanita methakil merupakan sosok wanita yang tidak seperti wanita Jawa pada umumnya. Permasalahan dalam penelitian ini terdiri atas dua, yaitu 1. Bagaimana penggambaran citra wanita methakil dalam novel Wanita Methakil, dan 2. Bagaimana relevansi dan implikasi bagi wanita masa kini. Tujuan dalam penelitian ini yaitu memberikan gambaran mengenai citra wanita methakil dan memberikan suatu pendidikan karakter pada wanita masa kini. Deskriptif kualitatif di gunakan sebagai metode penelitian dengan pendekatan objektif sebagai cara untuk menganalisis citra di dalam novel. Hasil dari penelitian ini terdiri dari: 1. Citra wanita methakil terbagi atas karakter kurangnya kontrol diri dan bertanggung jawab, dan 2. Implikasi didapatkan melalui pendidikan karakter yang tergambar dalam citra wanita di Serat Candrarini sebagai pembelajaran bagi wanita masa kini agar tidak mengarah pada karakter wanita methakil yang buruk. Didapatkan kesimpulan bahwa citra wanita methakil adalah contoh karakter yang buruk sehingga dapat dijadikan sebagai batasan dalam berperilaku khususnya bagi wanita. ......Literary works are products that can reflect the life of society. One of the social issues is about women. The image of a woman can be depicted from the flow of her life; therefore, if the flow of life is different, it will certainly lead to different characters. The depiction of Methakil's female image is of a female figure who is not like Javanese women in general. The problems in this study consist of two: 1. How is the depiction of the image of methakil women in the novel Wanita Methakil, and 2. what are the relevance and implications for women today? The purpose of this study is to provide an overview of the image of methakil women and provide character education for women today. Descriptive qualitative is used as a research method with an objective approach as a way to analyze the image in the novel. The results of this study consist of: 1. The image of a methakil woman is divided into characters with lack of self-control and responsibility; and 2. The implication is obtained through character education depicted in the image of women in Serat Candrarini as a lesson for women today so as not to lead to the bad character of methakil women. It is concluded that the image of a methakil woman is an example of a bad character, so that it can be used as a limitation in behavior, especially for women.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hasunah
Abstrak :
Penulisan tentang sejarah pendudukan Jepang di Jawa telah banyak dibahas tetapi yang menjadi fokus penelitian adalah kaum perempuannya. Permasalahan yang akan dibahas adalah pengerahan sumber daya perempuan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang setelah tenaga kaum lelaki mulai langka. Kaum lelaki dipergunakan untuk mengerjakan program-program pembelaan tanah air atau program-program perang seperti romusha. Sebelum pendudukan Jepang, kaum perempuan di Jawa sedang memperjuangkan derajatnya sejajar dengan kaum lelaki. Walaupun secara ekonomi mereka sejajar tetapi secara sosial kaum lelaki lebih diutamakan dari pada kaum perempuan. Kondisi masyarakat Jawa terikat dengan tradisi kraton di Jawa yang ajaran-ajarannya dianggap teladan dan sakral sehingga kaum perempuan Jawa didik seperti putri keraton yang terbelenggu dalam tradisi. Pendudukan Jepang atas Jawa memberikan dua keuntungan bagi Jepang dari segi mudahnya mendapatkan sumber daya manusia dan pangan. Tahun 1943 Jepang mulai mengalami kekurangan-kekurangan pangan dan tenaga laki-laki. Tenaga yang potensial dan belum dipergunakan adalah tenaga perempuan. Pemerintah Jepang melakukan usaha-usaha propaganda untuk mengerahan tenaga perempuan. Jepang tidak mungkin melakukan pengerahan langsung karena perlakuan tentara Jepang yang kejam dan tidak sopan terhadap kaum perempuan. Kemudian organisasi-organisasi propaganda Jepang dan pangreh praja dipergunakan untuk mengerahkan tenaga perempuan. Kaum perempuan harus mempertahankan kehidupan keluarga dan harus melaksanakan program-program yang diterapkan pemerintah Jepang. Di akhir masa pendudukannya, Jepang ingin mengisi kekosongan tenaga kaum lelaki dengan kaum perempuan seperti yang dilakukan di negaranya. Organisasi-organisasi perempuan didirikan Jepang untuk tujuan tersebut. Niat Jepang belum sepenuhnya terlaksana karena pengerahan Jepang atas Sekutu tahun 1945 yang mengakhiri masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
S12674
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Stanni Shina Herlin
Abstrak :
Novel Astirin Mbalela (Lembaga Studi Asia, 1995) adalah salah satu dari sekian banyak karya Suparto Brata. Novel Astirin Mbalela isinya sarat dengan masalah wanita yang ingin maju dan mandiri. Tokoh utama yang menggerakkan alur cerita adalah tokoh wanita yang bernama Astirin. Astirin digambarkan sebagai sosok wanita Jawa yang berani menentukan nasibnya sendiri. Ia adalah sosok wanita Jawa yang sudah tidak terlalu terikat oleh nilai-nilai tradisional Jawa seperti patuh dan menerima keadannya. Ia ingin menjadi wanita yang mandiri dan maju. Untuk melihat permasalahan yang terjadi di dalam novel tersebut, yaitu menjadi wanita yang ingin maju dan mandiri, dilakukan analisis terhadap alur dan tokoh, karena kedua unsur tersebut paling dominan dan memiliki keselarasan serta keterpaduan. Metode yang digunakan untuk melihat permasalahan tersebut adalah metode struktural atau pendekatan intrinsik. Dengan metode tersebut dapat dilihat bahwa terdapat keterkaitan antara alur, tokoh dan latar. Analisis terhadap ke tiga unsur tersebut memperlihatkan bahwa hubungan antar alur, tokoh, dan latar sangat erat serta memiliki hubungan sebab-akibat. Disamping analisis alur, tokoh dan latar secara khusus dibahas pula mengenai citra wanita / perempuan Jawa dalam novel AM melalui pendekatan atau kajian budaya dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa citra tokoh Astirin sebagai tokoh utama dalam novel AM adalah sosok wanita / perempuan Jawa modern.
Novel Astirin Mbalela (Institute for Asian Studies, 1995) is one of the many works of Suparto Brata. Novel Astirin Mbalela contents laden with problems and women who want to move forward independently. The main character that drives the story line is a heroine named Astirin. Astirin described as a figure of a Javanese woman who dared to define their own destiny. He is the figure of a Javanese woman who was not so bound by traditional values such as Java, obedient and accept her situation. He wanted to become an independent woman and advanced. To view the issues raised in the novel, is a woman who wants to go forward and be independent, conducted an analysis of the plot and characters, because the two elements most dominant and have the alignment and integration. The method used to seeing these problems are intrinsic structural method or approach. With these methods can be seen that there are linkages between the plot, character and background. Analysis of the three elements showed that the relationship between plot, character, and background are very close and have a causal relationship. Besides the analysis of plot, character and background specifically discussed also about the image Javanese woman in the novel AM through approach or cultural studies from the analysis conducted can be concluded that the image Astirin figures as the main character in the novel AM is the figure woman of modern Java.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S11456
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Krishandini
Abstrak :

ABSTRAK
Penelitian mengenai potret wanita jawa ini dilakukan dengan tujuan mengetahui wanita pengarang (NH. Dini ) menampilkan wanita Jawa dalam Tirai Menurun. Bagaimana wanita Jawa tersebut digambarkan oleh NH Dini; bagaimana mereka menentukan sikap dalam menghadapi norma-norma masyarakat (Jawa).

Wanita-wanita yang ditampilkan oleh pengarang merupakan refleksi wanita dalam kehidupan nyata yang berada dalam lingkup budaya Jawa. Pengarang berusaha menampilkan potret wanita Jawa yang masih terpengaruh dalam budaya Jawa, tempat tokoh-tokoh tersebut dilahirkan dan dibesarkan.
1997
S10952
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Theresiana Ani Larasati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui pola interaksi yang dikembangkan antara istri dan suami, ibu dan anak. Pola interaksi tersebut meliputi kerjasama, interaksi, dan konflik yang terjadi di dalamnya. Selain itu, dikaji pula tentang manajemen waktu yang diterapkan oleh ibu dalam membagi waktu dan perhatian, motivasi bertahan, serta dukungan keluarga bagi ibu yang berkarir. Informan dalam penelitian ini terdiri dari lima perempuan di Kota Semarang yang telah memiliki suami, anak, dan karirnya berada dalam posisi manajerial. Data diperoleh melalui wawancara, didukung pengamatan dan literatur. Desain penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mendapatkian pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para perempuan yang menjalani peran ganda, yaitu sebagai ibu dan berkarir tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan sebagai sarana mengaplikasikan ilmu dan aktualisasi diri. Meskipun demikian, para informan cenderung mengalami dilema dalam menjalani perannya sebagai ibu dan berkarir. Penyebab dilema pada masing-masing informan tidak sama, namun semuanya bersumber pada keinginan untuk menyeimbangkan karir dan keluarga. Diperoleh gambaran suatu kondisi para perempuan yang sudah maju sekalipun tidak lantas meninggalkan tradisi yang berkembang dalam lingkungan tempat tinggalnya. Sukses perempuan berperan ganda menurut para informan tergantung pada: keputusan berkarir didukung oleh suami, harus merasa yakin akan apa yang diinginkan dan tidak merasa bersalah atas pilihannya itu, serta landasan iman yang kuat.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2011
959 PATRA 12:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Yuni K.
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur budaya Jawa yang terkandung dalam Pengakuan Pariyem -- melihat sosok wanita Jawa dari kalangan priyayi darn wong cilik -- serta memfokuskan pada keter_bukaan Pariyem terhadap seks. Dari sekian aspek budaya Jawa dalam buku Pengakuan Pariyem ini, penults melihat ada empat aspek budaya yang menonjol. Pertama, tradisi (kebiasaan hidup sehari-hari) manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Kedua, falsafah (sikap hidup) manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Ketiga, perilaku keagamaan manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Keempat, pola majikan-pembantu dalam Pengakuan Pariyem. Tradisi manusia Jawa digambarkan dengan jelas dalam Pengakuan Pariyem, di antaranya keakraban manusia Jawa dengan wayang. Sementara sikap hidup manusia Jawa yang ditonjolkan dalam Pengakuan Pariyem adalah nrimo ing pandum. Dan, sikap keagamaan yang dipeluk Pariyem, tokoh utama dalam prosa lirik ini, adalah sinkretis antara mistik Jawa dan agama katolik. Hubungan antara majikan dan pembantu dalam Pengakuan Pariyem memperlihatkan bahwa secara lahiriah, hubungan antara Pariyem (wong cilik) dengan majikannya (priyayi) sangatlah akrab. Akan tetapi, secara batiniah, hubungan antara wong. cilik dengan priyayi sangatlah jauh jaraknya. Hal ini terbukti dengan tetapnya Pariyem menjadi babu Raden Bagus Aria Atmojo, yang notabene adalah suaminya sendiri. Dengan kata lain, Pariyem hanya dijadikan selir. Pengakuan Pariyem memang penuh dengan adegan seks atau pembicaraan mengenai adegnn seks (ada 24 halaman). Meskipun demikian, penilaian bagus atau tidaknya sebuah karya sastra tidak hanya tergantung pada ada atau tidaknya seks dalam karya tersebut, melainkan wajar atau tidaknya pembicaraan seks dalam karya tersebut. menurut hemat penulis, penggambar_an seks dalam Pengakuan Pariyem sangat wajar dan tidak dipaksakan. Sikap Pariyem yang sangat terbuka dan pasrah dalam hidup merupakan salah satu ciri nanusia Jawa pada umumnya. Ini tidak berarti bahwa semua wanita Jawa bersikap seperti Pariyem, melainkan hanya beberapa saja yang ber_sikap demikian, atau bisa jadi hanya Pariyem (tokoh imajiner Suryadi) saja yang bersikap demikian.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S11256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Pimawati
Abstrak :
Perkembangan fashion di Jawa memiliki ciri-ciri khusus pada setiap masa. Di pulau Jawa dapat dilihat beberapa masa pemerintahan besar yang dapat mempengaruhi fashion, seperti masa kerajaan-kerajaan nusantara, pemerintahan kolonial Belanda, pemerintahan pendudukan Jepang dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Skripsi ini lebih memfokuskan pada fashion di masa pendudukan Jepang, tetapi juga sedikit membahas fashion di masa pemerintahan kolonial Belanda untuk perbandingan dan melihat perubahan atau perkembangannya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, wanita Jawa (pribumi) umumnya berpakaian kain panjang, kebaya dan selendang; kain panjang dan kutang; kain panjang dan kemben. Wanita Jawa (Eropa) umumnya berpakaian gaun, rok dan blus. Tekstil yang digunakan adalah tekstil impor dari Eropa dan Asia serta tekstil lokal. Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang, fashion di Jawa berubah secara cepat sehingga mengakibatkan kekagetan di masyarakat. Fashion di Jawa pada masa pemerintahan pendudukan Jepang memiliki 2 ciri utama yaitu pertama, mencerminkan kemakmuran bersama Jepang di bawah Asia Timur Raya berupa monape dan batik Jawa Hokokai. Kedua, mencerminkan kesengsaran akibat eksploitasi Jepang di Jawa berupa pakaian goni, kentel, dan kain karet. Pakaian yang mencerminkan kemakmuran sengaja diterapkan oleh pemerintahan Jepang untuk menggantikan dan menghilangkan budaya Belanda (Barat) contohnya Batik Jawa Hokokai dan efisiensi pakaian di masa perang contohnya mompe. Penerapan mompe pada awalnya sulit untuk diterima oleh para wanita, baik di Jepang maupun di Jawa. Untuk dapat diterima oleh para wanita tersebut, pemerintah pendudukan Jepang mernperbolehkan untuk memodifikasi mompe dengan pakaian khas mereka sebelumnya. Untuk wanita Jepang, penggunaan mompe dipadu dengan kimono sedangkan di Jawa mompe terbuat dari kain batik dan dipadu dengan kebaya. Pembuatan batik mengalami pasang surut dan terjadi perubahan yang kemudian memunculkan batik Jawa Hokokai. Di Jawa ada aturan-aturan yang mengatur penggunaan batik, seperti pada masa pemerintahan Hindia Belanda penggunaan batik disesuaikan dengan simbol-simbol dari motif yang mencerminkan status sosial si pemakainya, tetapi pada masa pemerintahan pendudukan Jepang karena beberapa faktor aturan-aturan tersebut mulai berubah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12184
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library