Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evi Sovilawati
Abstrak :
Senyawa Benzodlazepin dalain bidang pengob.atan biasariya digunakan untuk anti ansietas, hipnotik sedatif, anti konvulsi, dan lain—lain. Tetapi sering kali obat-obat senyawa mi pemakaiannya disalah gunakan, mlssinya digunakan dalam takaran yang berlebihan, sehingga menimbulkan keracunn,, dan kadang—kadang kematian. * Karena sering kali terjadl penyalah gunaan obat golongan ml, maka kami inencoba untuk mencarl cara Isolasi yang terbaik dan sederhana dan obat dalam unin, dilanjutkan dengan penentuan secara kualitatif dan kuantitatif, yang dapat rnemberikan hasil yang memuaskan. Cara—cara isolasi yang dicoba diarnbh1 dari 4 bush pustaka, •dhrnana tercantum cars isolasi, balk untuk senyawa Benzodiazepin, inaupun untuk senyawa lain yang sifatnya sama. Dari percobaan—percobaan yang dilakukan, ternyata cars isolasi dengan menggunakan alat Extrelut dan cars isolasi dengan menggu.nakan sedlaan Charcoal dapat digunakan untuk penetapan kualltatif. Untuk penetapan kuantitatii' beluin dapat dilakukan, karena obat dalam urin pads percobaan ml tidak terdeteksl pada pemeriksaan secara spektrofotornetri, sementara pads pexneriksaan senyawa Benzodiazepin yang digunakan sebagal zat standart, seperti Diazepanmm dan Chiordiazepoxydufli dapat terdeteksi dengan balk secara spektrofotometri.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummu Hani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Selama beberapa hari setelah persalinan, retensio urin dengan distensi kandung kemih adalah fenomena yang umum terjadi. Jika pasien tidak dapat berkemih spontan dalam waktu 4 jam setelah bersalin, besar kemungkinan bahwa dia mengalami Retensio Urin Post Partum RUPP . Di beberapa tempat pengukuran residu urin dilakukan 4 jam post partum, sementara di tempat lain dilakukan 6 jam post partum. Ketidakseragaman waktu pengukuran ini akan mempengaruhi diagnosis, tata laksana, serta prognosis. Waktu pengukuran yang lebih lama akan menyebabkan kandung kemih akan terisi lebih banyak urin, sehingga akan terdistensi dalam waktu yang lebih lama, sehingga waktu pemulihan akan lebih lama.Objektif: Diketahuinya lama pemulihan dan volume residu urin pada kelompok pasien dengan retensio urin pasca persalinan dengan beda waktu pengukuran,Desain penelitian dan metode: Penelitian ini menggunakan desai uji klinis acak di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Karawang bulan Maret-Desember 2017. Perermpuan pasca salin dengan risiko retensio urin pasca persalinan, bersedia mengikuti penelitian, dan terdiagnosis retensio urin dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diukur residu urinnya dalam 4 jam, kelompok kedua dalam 6 jam. Pasien lalu diberikan tatalaksana retensio urin sesuai protokol RSUPNCM dan dicatat waktu pulihnya.Hasil: Karakteristik pasien pada kedua kelompok dianggap setara. Median lama pemulihan pasien retensio urin yang diukur residu urin 4 jam adalah 30 jam, berbeda 21 jam dengan pasien yang diukur resiudnya 6 jam, yaitu 51 jam p
ABSTRACT
Introduction Few days after delivery, urinary retention with bladder distention commonly happens. If patient unable to void spontaneously 4 hours after delivery, most likely she will develops post partum urinary retention PPUR . In some hospitals, the urinary residual volume was measured at 4th hour, other measures at 6th hour post delivery. This will affects the diagnosis, management, and prognosis. The longer the measurement will make the bladder filled with much more urine volume, thus the bladde will be distended in longer period, so the recovery time will be prolonged.Objective To know the differrence of recovery time and the urinary residual volume between group of patient with different time of urinary residual collecting.Study design and methode A randomized controlled trial was held at Cipto Mangunkusumo central general hospital and central Karawang hospital between March and Desember 2017. Post partum women with urinary retention risks, willing to contribute to the trial, and diagnosed as post partum urinary retention were divided into 2 groups. Urinary residual volume was meassured in 4th hour and 6th hour in each group. Patient then treated according to RSCM guideline, and the time of recovery was documented.Result Both group have similar characteristic. The median length of recovery in the group which the urinary residual was measured in 4th hour was 30 hours, 21 hours shorter than 6th hour group, 51 hours p 0.001 . The median of urinary residual volume of the 4th hour group was 600 ml, 400 ml lesser than the 6th hour group, 1000 ml p 0.001 Conclussion time of recovery are shorter in the 4th hour group and the urinary residual volume are less in the 4th hour group compared to the 6th hour group.Keywords post partum urinary retention, urine residual, urinary residual collecting time
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aynita Halim
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan data riskesdas 2013, prevalensi batu saluran kemih di Indonesia adalah 0,6 persen. Batu saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor; lingkungan kerja panas dan BJ Urin. Sebagian pekerja dapur RS X Tangerang mengeluh lingkungan kerja yang panas berlebihan sehingga berkeringat dan data medical check up tahun 2014 tidak ada pemeriksaan urin sehingga gambaran status kesehatan pekerja akibat lingkungan panas tidak dapat diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja panas dengan kristalisasi urin pada pekerja dapur RS X Tangerang. Metode: Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional. Pengumpulan data dilakukan di RS X Tangerang dari bulan Januari sampai Maret 2015, dengan menggunakan kuesioner, wawancara, pemeriksaan tanda vital responden sebelum dan sesudah kerja, pemeriksaan urinalisa sebelum dan sesudah kerja serta pengukuran suhu lingkungan kerja dengan menggunakan alat area heat stress monitor Quest Stemp 36 dan perhitungannya berdasarkan Indeks Suhu Bola Basah. Berdasarkan metode total populasi dan setelah mempertimbangkan faktor eklusi dan inklusi didapatkan sampel sebanyak 105 orang. Hasil: Prevalensi kristal urin ditemukan sebesar 6,7% pada pemeriksaan urin sebelum kerja dan 10,5% sesudah kerja. Lingkungan kerja panas tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja (p=0,316). BJ urin mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin (p<0,05), dimana risiko untuk terjadinya kristalisasi urin meningkat 1,8 kali sesudah kerja. Faktor risiko lain seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, Indeks Masa Tubuh, kebiasaan makan dan minum, masa kerja, lama kerja, dan jenis pekerjaan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05). Kesimpulan: Lingkungan kerja panas dan faktor risiko lainnya tidak berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja di bagian dapur RS X Tangerang. BJ Urin responden berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin baik pada pemeriksaan urin sebelum dan sesudah kerja, Ini berarti sebelum kerja responden sudah dehidrasi, mungkin karena kurang minum atau paparan panas sebelumnya. Ditambah lingkungan kerja panas kepekatan urin meningkat, karenanya dianjurkan pekerja mengkonsumsi cairan minimal dua liter perhari.
ABSTRACT
Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples. Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05). Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday., Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples. Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05). Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Hardjadinata
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosiana Waicang
Abstrak :
Inkontinensia urin setelah operasi BPH adalah hilangnya kontrol terhadap buang air kecil karena salah satu katup yang mengontrol urin diangkat bersamaan dengan prostat, apabila katub ini diangkat kemungkinan terjadi kerusakan sraf dan otot sehingga menyebabkan inkontinensia setelah operasi prostat. Inkontinensia urin dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, sosial dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian inkontinensia urin setelah operasi prostat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan pendekatan deskriptif korelatif, dan teknik consecutive sampling pada 90 responden. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara Usia dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,063, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara obesitas dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,020, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan anatara jenis operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara volume prostat dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara lama operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,036, ! = 0,05) dan tidak terdapat hubungan signifikan antara waktu operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,925, ! = 0,05). Pada hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa jenis operasi berhubungan paling dominan dengan kejadian inkontinensia urin nilai OR yang terbesar yaitu (2,39) (95% CI: 0,955-5,988). Diharapkan tenaga keperawatan dapat meningkatkan pemahaman melalui pemberian informasi atau pendidikan kesehatan terkait dengan pencegahan inkontinensia urin umumnya generasi muda khususnya pada generasi tua di Kota Jayapura. ......The increase in the life expectancy of the Indonesian population reaching the age of 66.2 years has contributed to an increase in the number of elderly people ( Aging Structured Population ). The aging process causes health problems in the elderly, one of which is urinary incontinence. Urinary incontinence is a bladder sphincter defect or neurological dysfunction that causes loss of control over urination. Urinary incontinence can cause physical, psychological, social and economic problems that affect the quality of life of the elderly. This study aims to identify factors associated with urinary incontinence in patients after prostate surgery at the Urology Polyclinic, Jayapura Hospital in 2023. This study used a cross-sectional design, correlative descriptive approach, and consecutive sampling technique in 90 post-prostate post-operative patients at the polyclinic. Jayapura Hospital Urology. The results showed that there was no significant relationship between age and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.063,! = 0,05) , there is a significant relationship between obesity and urinary incontinence ( p-value 0.020,! = 0,05) , there is a significant relationship between the type of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05), there is a significant relationship between Prostate Volume and the incidence of Urinary Incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05) , there is a significant relationship between the length of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.036,! =0,05) and there was no significant relationship between operating time and urinary incontinence ( p-value 0.925,! = 0,05). The results of the multivariate analysis showed that the type of surgery was most dominantly related to the incidence of Urinary Incontinence with the largest OR value (2.39) (95% CI: 0.955-5.988). It is hoped that nursing staff can improve understanding through providing information or health education related to the prevention of Urinary Incontinence in general for the younger generation, especially the older generation in Jayapura City.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadiah
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi ampisilin dalam urin menggunakan metoda kromatografi lapisan tipis dan di analisa secara spektrofotodensitometri. Metoda analisa ini mempunyai batas kepekaan 10 ug/ml dengan cairan pengelusi: Aseton Toluen - Air - Asam Asetat (650 100 100 25) dan larutan penampak noda ninhidriri dalam etanol yang membeni kan bercak berwarna Ungu dan RF 0.37 dengan syarat perebutan kurva baku pada setiap lempeng KLT yang akan dianalisa. Metoda analisa ini telah di pergunakan untuk menentukan bioavailabilitas relatif kaplet Ampisilin dan beberapa parameter farmalokinetikriya. Penentuan parameter farmakokinetik dii akukan terhadap urin kumulatif dari 6 orang sukarelawan sehat setelah pemberian dosis tunggal peroral 500 mg kaplet sampel dan pembanding dengan sedang waktu pemberian satu minggu. Urin sukarelawan di kumpulkan pada selang waktu 0 - 1, 1 - 2, 2 3 - 4, 4- 5, 5 -- 6, 6 - 8, 8 - 12, 12 -18, 18 - 24 jam dan disimpan pada - 20 derajat celcius sampai saat analisa dilakukan. Jumlah ampisilin yang di ekskresikan dalam urin kumul atif 24 jam untuk kaplet sampel dan pembanding setelah pamberian dosis tunggal peroral 500 mg berturut turut 37.89 ± 4.66 X dan 39.72 ± 4.57 X dan bioavaliabilitas relatifnya 95.547 X - Tetapan kecepatan eliminasi kaplet sampel dan pembanding berturut-turut 12.45 + 3.941 jam -1 dan 13.201 ± 2.346 jam -1 Waktu paruh untuk kaplet sample dan pembanding berturut turut 0.105 0..041 jam dan 069 + 0L021 jam dari Parameter farmakokinetik yang diperoleah di simpul kan kaplett sampel mempunyai bi oavailabilitas yang cukup baik dan kaplet pembanding.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gayatri
Abstrak :
Pada Lansia, masalah inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi inkontinensia urin di komunitas pada orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30 % dan angka kejadian pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Appleby, 1995). Menurut Wetle, et all (1995) kemungkinan Lansia bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Di Indonesia data tentang Lansia dengan masalah inkontinensia urin belum ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya laporan dari Lansia tentang masalah ini sehingga petugas kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa rata-rata sampel mempunyai pandangan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan tetapi mereka yakin bahwa inkontinensia urin dapat disembuhkan. Dampak yang dirasakan oleh responden antara lain; merasa kurang percaya diri, malu menemui orang lain, sehingga mereka tidak ingin melakukan perjalanan jauh. Apabila mereka harus pergi keluar rumah sering membatasi minum agar tidak merepotkan bila sedang berkemah. Rasa malu dan menganggap masalah ini bukan sebagai sesuatu yang serius serta anggapan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan menyebabkan mereka tidak pernah menanyakannya pada petugas kesehatan. Pada responden mempunyai tingkat pemahaman tentang inkontinensia urin yang tinggi akan segera mencari pertolongan pada tenaga kesehatan.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Yulia Nastiti
Abstrak :
Latar Belakang. Mortalitas akibat sepsis di ICU masih cukup tinggi meskipun telah semakin cepatnya diagnosis dan perbaikan perawatan suportif dan angkanya semakin meningkat dengan insiden acute kidney injury yang merupakan bagian dari disfungsi organ akibat sepsis. Asam askorbat dikatakan dapat memperbaiki disfungsi organ disebabkan efeknya yang sinergis terhadap patofisiologi sepsis. Peranan asam askorbat dalam menurunkan disfungsi organ masih kontroversial. Penelitian ini ingin menganalisis efek pemberian asam askorbat intravena terhadap perbaikan fungsi ginjal pada pasien sepsis/ syok sepsis yaitu dengan melihat efek terhadap kadar urin neutrophil gelatinase associated lipocalin (uNGAL), produksi urin dan balans kumulatif. Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan desain penelitian uji acak terkontrol, dilakukan pada pasien usia > 18 tahun dengan sepsis berdasarkan kriteria sepsis-3 yang masuk ICU dalam 6 sampai 24 jam pascaresusitasi setelah diagnosis sepsis. Kriteria penolakan yaitu pasien dengan gangguan ginjal kronik dengan hemodialisis, kelainan batu ginjal, dengan masalah ginjal dalam 3 bulan terakhir. Pasien akan dikeluarkan apabila diberikan kortikosteroid dan mendapatkan terapi pengganti ginjal dalam < 72 jam observasi. Penelitian dilakukan di ICU Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada April 2019-Juli 2019. Sebanyak 33 sampel dirandomisasi secara randomisasi sederhana dan dikelompokan menjadi kelompok perlakuan (18 sampel) dan kontrol (15 sampel). Data demografik dasar dicatat saat masuk ICU. NGAL urin (ng/mL) diperiksa pada jam 0, 24, 48 dan 72 setelah terapi. Produksi urin (ml/kg/jam) dan balan kumulatif (L) dicatat pada jam 24, 48 dan 72 setelah terapi. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney untuk data numerik dengan persebaran tidak normal, uji T independen untuk data dengan persebaran normal dan uji Fisher untuk data kategorik perbandingan antara kedua kelompok intervensi. Analisis multivariat untuk pengukuran serial menggunakan generalized estimating equations (GEE) untuk membandingkan antara kedua kelompok dalam waktu pengukuran yang berulang. Nilai signifikansi dengan nilai p < 0,05. Hasil. Tidak terdapat perbedaan pada kadar NGAL urin, produksi urin, balans kumulatif antara dua kelompok di setiap jamnya. Kesimpulan. Pada penelitian ini pemberian asam askorbat intravena tidak mempunyai efek terhadap kadar NGAL urin, produksi urin, balans kumulatif. ......Background. Sepsis-related mortality in intensive care unit (ICU) remains despite improved diagnostic technology and supportive treatment. Acute kidney injury, one of frequent organ dysfunctions in sepsis, increases risk of mortality. Ascorbic acid could improve organ dysfunction because its direct effect on sepsis pathophysiology. The role of ascorbic acid on improving organ dysfunction remains controversial. This study wished to analyze the effects of intravenous ascorbic acid on kidney function improvement among septic patients by evaluating urine neutrophil gelatinase associated lipocalin (uNGAL), urine output and cumulative fluid balance. Method. This study was randomized controlled trial held in Cipto Mangunkusumo Hospital from April to July 2019. The inclusion criteria were adult patients aged > 18 years who met sepsis-3 criteria and were admitted to the ICU within 6-24 h after resuscitation and sepsis recognition. The exclusion criteria were patients with hemodialysis-dependent chronic kidney disease, kidney stones or other kidney problems within last 3 months. The drop out criteria were patients underwent renal replacement therapy in the ICU and given corticosteroid less than 72 h after recruitment. Subjects were randomized using simple randomization and divided into two groups with treatment (18 subjects) and control (15 subjects). Baseline demographic data was recorded on the first day. Daily measurements of urine NGAL (ng/ mL) was started as baseline level and continued at 24, 48 and 72 h after treatment. Urine output (ml/kg/h), cumulative fluid balance (L) was recorded at at 24, 48 and 72 h after treatment. Comparison between both groups was analysed by using Mann Whitney test (not normally distributed data), T independent test (normally distributed data) for numerical data and Fisher test for categorical data. Multivariate analysis using generalized estimating equations was used for serial measurement analysis. Level of significant was determined at p-value <0.05. Result. There were no significant differences in uNGAL, urine output, cumulative fluid balance between the two groups at each hour respectively. Conclusion. This study showed that intravenous vitamin CMultin administration had no effect on urine NGAL, urine output, cumulative fluid balance.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Setiadi Dharmawan
Abstrak :
Pencegahan parut ginjal di kemudian hari pada tata laksana PNA belum memuaskan. Mekanisme vitamin E dalam menekan inflamasi dan sebagai antioksidan pada tata laksana anak dengan febrile UTI belum diteliti. Penelitian ini menelaah efek inhibisi vitamin E terhadap IL-6, IL-8, dan MDA urin. Efek perancu seperti usia, ASI, riwayat ibuprofen, dan infeksi E. coli, juga diteliti. Uji klinis acak tersamar ganda (n = 40) dilakukan di RS Fatmawati pada anak berusia 6?60 bulan dengan febrile UTI. Kelompok kasus diberikan 40 UI DL-α- tocopherol dan kelompok kontrol diberikan saccharum lactis selama 10 hari. Kedua kelompok mendapat terapi antibiotik yang sama. Pemantauan demam, leukosit darah, IL-6, IL-8, dan MDA urin dilakukan pada H0, H3 dan H10. Analisis IL-6 dan IL-8 dan MDA urin dilakukan di Laboratorium Biokimia FKUI. Kadar IL-6 urin lebih rendah pada kelompok vitamin E. Vitamin E menurunkan IL-8 urin namun tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Vitamin E tidak terbukti menurunkan demam lebih baik dibanding plasebo. Leukosit darah pada kelompok vitamin E lebih menurun dibanding kelompok plasebo, namun keduanya dalam batas normal. Perubahan MDA urin kedua kelompok tidak berbeda. Pemberian ASI menurunkan IL-6 dan IL-8 urin secara bermakna. Riwayat ibuprofen meningkatkan IL-6 dan IL-8 urin secara bermakna. Infeksi E. coli lebih meningkatkan MDA urin dibanding uropatogen lain. Manfaat penambahan vitamin E pada tata laksana febrile UTI masih perlu diteliti lebih lanjut.
Prevention of subsequent renal scarring in APN treatment has not been encouraging. The mechanism of vitamin E in suppressing inflammation and as an anti-oxidant in pediatric febrile UTI patients has not been studied. This study aimed to examine the inhibitory effects of vitamin E on urinary IL-6, IL-8, and MDA. Confounding effects of age, breastfeeding, previous treatment with ibuprofen, and E. coli infection were studied. A randomized double blind placebo controlled clinical trial (n = 40) was conducted in Fatmawati Hospital on 6 to 60 months old subjects with febrile UTI. The intervention group received 40 IU DL- α-tocopherol while the control received saccharum lactis as placebo for 10 days. Both groups were treated with antibiotics equally. Fever monitoring as well as blood leukocyte, urinalysis, and urinary IL-6, IL-8, and MDA were performed on day 0, day 3 and day 10. Analyses of urinary IL-6, IL-8 and MDA levels were conducted at Biochemistry Laboratory of Faculty of Medicine University of Indonesia. Urinary IL-6 levels were lower in the vitamin E group. Vitamin E suppressed urinary IL-8 but this result was not statistically significant compared to that of the placebo group. Vitamin E was not proven to reduce fever better than placebo. Leukocyte was lower in the vitamin E group compared to the placebo group, but both counts were within normal limit. Changes of urinary MDA levels between the two groups was statistically insignificant. Breastfeeding significantly lowered urinary IL-6 and IL-8 levels. Ibuprofen withdrawal significantly increased urinary IL-6 and IL-8 levels. E. coli infection increased urinary MDA more than any other uropathogens. The supplementation of vitamin E in the treatment of febrile UTI in children needs to be further investigated.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arel Sutan Sjachriar Iskandar
Abstrak :
Dewasa ini, banyak beredar minuman yang menandung alkohol. Karena minuman tersebut mudah didapat, maka pemakaiannya banyak disalah gunakan orang dan dapat mengakibatkan orang tersebut mabuk. Seseorang dikatakan dalam keadaan mabuk apabila didalam darah atau urinnya didapatkan alkohol dengan kadar tertentu, sehingga untuk memastikan mabuk atau tidaknya seseorang, perlu diperiksa darah atau urinnya baik secara kualitatif maupun kuantitaif. Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar alkohol dalam urin dengan menggunakan metoda Dikhromat. Alat yang digunakan adalah sel Conway. Sebagai larutan penoksid digunakan larutan dikhromat dalam asam sulfat. Selanjutnya untuk menentukan kelebihan larutan dikhrornat tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu cara titrasi dan cara spektrofotometri.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1982
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>