Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fira Janice Natasha Sinuraya
Abstrak :
Dalam perjanjian utang piutang, Penjamin dilibatkan untuk menjamin utang Debitur. Selain daripada itu, Penjamin juga diminta untuk melepaskan hak istimewanya, khususnya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Dengan dilepaskannya hak tersebut, Kreditur dapat langsung menagih Penjamin jika Debitur Utama lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan Penjamin dianggap sebagai Debitur akibat Penjamin secara tanggung renteng mengikatkan dirinya dengan Debitur Utama. Dari landasan inilah, banyak Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atas Penjamin dengan Debtur secara bersamaan ketika Debitur Utama lalai melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, di Pengadilan Niaga, terdapat diskursus mengenai bisa tidaknya Penjamin dilibatkan sebagai salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur Utama sebagaimana dimuat di dalam Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai akibat hukum pelepasan hak istimewa oleh Penjamin, pertimbangan hakim dalam Studi Kasus Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., dan analisis bisa tidaknya Penjamin yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai salah satu Termohon PKPU (Pasal 1832 KUHPer dan Pasal 254 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”)). Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka guna memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan terkait permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dengan dilepasnya hak istimewa Penjamin (Pasal 1831 KUHPer), Penjamin berkedudukan sebagai Debitur dan Penjamin dapat menjadi salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur karena Pasal 1832 KUHPer serta Pasal 254 UUK-PKPU tidak menjadi penghalang ditariknya Penjamin dalam forum PKPU. ......In a debt and credit agreement, the Guarantor is engaged to guarantee the Debtor's debt. Other than that, the Guarantor is also required to waive its privilege, in particular Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”). By waiving the privilege, the Creditor can directly collect the Guarantor if the Principal Debtor defaults in performing its obligations and the Guarantor is considered as the Debtor as the Guarantor is jointly and severally bound with the Principal Debtor. From this basis, many Creditors file a Suspension of Debt Payment Obligation ("PKPU") against the Guarantor and the Debtor simultaneously when the Main Debtor fails to perform its obligations. However, in the Commercial Court, there is a discourse on whether or not the Guarantor can be involved as one of the PKPU Respondents together with the Main Debtor as contained in Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Therefore, this thesis will discuss the legal consequences of the waiver of privilege by the Guarantor, the judge's consideration in Case Study of Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., and analysis of whether or not the Guarantor who waives its privilege can be withdrawn as one of the PKPU Respondents (Article 1832 of KUHPer and Article 254 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("UUK-PKPU")). Furthermore, the research method used is doctrinal, where the subject matter will be analyzed and researched based on library materials in order to provide explanations and draw conclusions related to these issues. After conducting the research, the author concludes that with the release of the Guarantor's privilege (Article 1831 KUHPer), the Guarantor has the status of a Debtor and the Guarantor can be one of the PKPU Respondents together with the Debtor because Article 1832 KUHPer and Article 254 UUK-PKPU do not prevent the withdrawal of the Guarantor in the PKPU forum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Aditya Pratama
Abstrak :
ABSTRAK
Kepailitan maupun jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu diambil apabila debitur mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Apabila perusahaan tidak melakukannya maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang dapat mengakibatkan masalah yang lebih besar bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut di masa yang akan datang. Peraturan Kepailitan meski memberikan citra hukum positif, tetapi dalam prakteknya penyelesaian utang melalui jalan ini berpeluang untuk merugikan debitur maupun kreditur. Alasan sederhananya, dari perspektif pihak debitur sendiri ada kendala sosio psikologis berupa rasa malu yang besar apabila publik mengetahui pihaknya mengadakan penyelesaian utang di pengadilan melalui jalan kepailitan. Dalam hal ini perusahaan yang digugat pailit tentu saja akan dicap sebagai perusahaan yang memiliki masalah keuangan sehingga hal ini dapat mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut di mata publik. Hal ini dapat menimbulkan kekisruhan publik manakala perusahaan yang digugat pailit adalah perusahaan yang mengelola kepentingan masyarakat banyak, seperti halnya perusahaan asuransi atau perusahaan pengembang properti. Alternatif upaya penyelesaian penunggakan pembayaran utang yang dapat ditempuh selain melalui langkah kepailitan adalah melalui PKPU atau melalui langkah restrukturisasi utang secara bilateral antara debitur dan kreditur diluar PKPU. Upaya penyelesaian ini tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang seperti halnya kepailitan dan PKPU yang secara khusus diatur dalam UUK-PKPU. Pada dasarnya skema penyelesaian utang di luar pengadilan ini merupakan suatu bentuk perjanjian bilateral antara debitur dan kreditur yang tunduk hanya pada ketentuan perjanjian secara umum yang diatur dalam KUHPerdata. Yang mana hal ini tidak memberikan kepastian pelaksanaan dan kepastian hukum bagi kedua pihak dalam melaksanakan restrukturisasi utang.
Abstract
Bankruptcy or debt restructuring is one of the necesary actions that need to be taken when debtor faces difficulty on their debt payment. The debt restructuring could prevent the debtor from caused of default or defects to their company which can lead to a bigger problems for the future. The regulation under the bankruptcy law, despite its positive image, but the fact that debt settlement through this kind of procedure has an impact to ruin the whole business of debtor and creditor. From the perspective of the debtor itself, debt settlement under the bankruptcy law has a sosio-psychological problem in the form of a great shame if public find out that the company hold the settlement of debt in bankruptcy. In this case, the company that being sued for bankruptcy would be labeled as a company that has financial problems so this could affect the company's reputation in the public. This could be a trigger to a public chatocic when the sued party is a public company, publicly-listed property developer, or an insurance company. An alternative debt settlement can be taken instead of bankruptcy is through PKPU or bilaterally debt restructuring between debtor and creditor outside the court. This settlement is not regulated specifically in the legislation as well as bankruptcy and PKPU which is specifically regulated under the UUK-PKPU. Basically a debt settlement scheme outside the court is a form of bilateral agreements between the debtor and creditor which is solely regulated under the provisions of general agreement in KUHPerdata. This scheme do not provide the certain kind of execution and legal certainty for both parties on implementing the debt restructuring.
Universitas Indonesia, 2012
S43145
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library