Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldo Aditya Pratama
"ABSTRAK
Kepailitan maupun jalan restrukturisasi utang menjadi suatu tindakan yang perlu
diambil apabila debitur mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Apabila
perusahaan tidak melakukannya maka akan timbul wanprestasi atau cacat yang dapat
mengakibatkan masalah yang lebih besar bagi kelangsungan hidup perusahaan
tersebut di masa yang akan datang. Peraturan Kepailitan meski memberikan citra
hukum positif, tetapi dalam prakteknya penyelesaian utang melalui jalan ini
berpeluang untuk merugikan debitur maupun kreditur. Alasan sederhananya, dari
perspektif pihak debitur sendiri ada kendala sosio psikologis berupa rasa malu yang
besar apabila publik mengetahui pihaknya mengadakan penyelesaian utang di
pengadilan melalui jalan kepailitan. Dalam hal ini perusahaan yang digugat pailit
tentu saja akan dicap sebagai perusahaan yang memiliki masalah keuangan sehingga
hal ini dapat mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut di mata publik. Hal ini dapat
menimbulkan kekisruhan publik manakala perusahaan yang digugat pailit adalah
perusahaan yang mengelola kepentingan masyarakat banyak, seperti halnya
perusahaan asuransi atau perusahaan pengembang properti. Alternatif upaya
penyelesaian penunggakan pembayaran utang yang dapat ditempuh selain melalui
langkah kepailitan adalah melalui PKPU atau melalui langkah restrukturisasi utang
secara bilateral antara debitur dan kreditur diluar PKPU. Upaya penyelesaian ini tidak
diatur secara khusus dalam suatu undang-undang seperti halnya kepailitan dan PKPU
yang secara khusus diatur dalam UUK-PKPU. Pada dasarnya skema penyelesaian
utang di luar pengadilan ini merupakan suatu bentuk perjanjian bilateral antara
debitur dan kreditur yang tunduk hanya pada ketentuan perjanjian secara umum yang
diatur dalam KUHPerdata. Yang mana hal ini tidak memberikan kepastian
pelaksanaan dan kepastian hukum bagi kedua pihak dalam melaksanakan
restrukturisasi utang.

Abstract
Bankruptcy or debt restructuring is one of the necesary actions that need to be taken
when debtor faces difficulty on their debt payment. The debt restructuring could
prevent the debtor from caused of default or defects to their company which can lead
to a bigger problems for the future. The regulation under the bankruptcy law, despite
its positive image, but the fact that debt settlement through this kind of procedure has
an impact to ruin the whole business of debtor and creditor. From the perspective of
the debtor itself, debt settlement under the bankruptcy law has a sosio-psychological
problem in the form of a great shame if public find out that the company hold the
settlement of debt in bankruptcy. In this case, the company that being sued for
bankruptcy would be labeled as a company that has financial problems so this could
affect the company's reputation in the public. This could be a trigger to a public
chatocic when the sued party is a public company, publicly-listed property developer,
or an insurance company. An alternative debt settlement can be taken instead of
bankruptcy is through PKPU or bilaterally debt restructuring between debtor and
creditor outside the court. This settlement is not regulated specifically in the
legislation as well as bankruptcy and PKPU which is specifically regulated under the
UUK-PKPU. Basically a debt settlement scheme outside the court is a form of
bilateral agreements between the debtor and creditor which is solely regulated under
the provisions of general agreement in KUHPerdata. This scheme do not provide the
certain kind of execution and legal certainty for both parties on implementing the
debt restructuring."
Universitas Indonesia, 2012
S43145
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Janice Natasha Sinuraya
"Dalam perjanjian utang piutang, Penjamin dilibatkan untuk menjamin utang Debitur. Selain daripada itu, Penjamin juga diminta untuk melepaskan hak istimewanya, khususnya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Dengan dilepaskannya hak tersebut, Kreditur dapat langsung menagih Penjamin jika Debitur Utama lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan Penjamin dianggap sebagai Debitur akibat Penjamin secara tanggung renteng mengikatkan dirinya dengan Debitur Utama. Dari landasan inilah, banyak Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atas Penjamin dengan Debtur secara bersamaan ketika Debitur Utama lalai melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, di Pengadilan Niaga, terdapat diskursus mengenai bisa tidaknya Penjamin dilibatkan sebagai salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur Utama sebagaimana dimuat di dalam Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai akibat hukum pelepasan hak istimewa oleh Penjamin, pertimbangan hakim dalam Studi Kasus Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., dan analisis bisa tidaknya Penjamin yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai salah satu Termohon PKPU (Pasal 1832 KUHPer dan Pasal 254 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”)). Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka guna memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan terkait permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dengan dilepasnya hak istimewa Penjamin (Pasal 1831 KUHPer), Penjamin berkedudukan sebagai Debitur dan Penjamin dapat menjadi salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur karena Pasal 1832 KUHPer serta Pasal 254 UUK-PKPU tidak menjadi penghalang ditariknya Penjamin dalam forum PKPU.

In a debt and credit agreement, the Guarantor is engaged to guarantee the Debtor's debt. Other than that, the Guarantor is also required to waive its privilege, in particular Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”). By waiving the privilege, the Creditor can directly collect the Guarantor if the Principal Debtor defaults in performing its obligations and the Guarantor is considered as the Debtor as the Guarantor is jointly and severally bound with the Principal Debtor. From this basis, many Creditors file a Suspension of Debt Payment Obligation ("PKPU") against the Guarantor and the Debtor simultaneously when the Main Debtor fails to perform its obligations. However, in the Commercial Court, there is a discourse on whether or not the Guarantor can be involved as one of the PKPU Respondents together with the Main Debtor as contained in Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Therefore, this thesis will discuss the legal consequences of the waiver of privilege by the Guarantor, the judge's consideration in Case Study of Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., and analysis of whether or not the Guarantor who waives its privilege can be withdrawn as one of the PKPU Respondents (Article 1832 of KUHPer and Article 254 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("UUK-PKPU")). Furthermore, the research method used is doctrinal, where the subject matter will be analyzed and researched based on library materials in order to provide explanations and draw conclusions related to these issues. After conducting the research, the author concludes that with the release of the Guarantor's privilege (Article 1831 KUHPer), the Guarantor has the status of a Debtor and the Guarantor can be one of the PKPU Respondents together with the Debtor because Article 1832 KUHPer and Article 254 UUK-PKPU do not prevent the withdrawal of the Guarantor in the PKPU forum. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Sebastian
"PKPU merupakan upaya hukum untuk mencegah pengadilan menetapkan kepailitan dengan mengajukan rencana perdamaian dan restrukturisasi utang, yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor sebelum putusan pailit diumumkan. Selama proses PKPU, kekayaan debitor dibekukan, kewajiban membayar utang dihentikan, dan tindakan eksekusi ditunda, sementara debitor tidak boleh mengelola asetnya. Penerapan PKPU penting untuk kelangsungan usaha debitor dan kreditor, namun sering terjadi kerancuan dalam penerapan hukum tentang penarikan penjamin sebagai termohon PKPU, seperti yang terlihat dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian analisis-deskriptif untuk menganalisis permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pasal 254 UUK-PKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung, namun ketentuan ini menimbulkan kerancuan dalam kasus PKPU yang melibatkan corporate guarantor. Dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, hakim memutuskan untuk mengikutsertakan corporate guarantor sebagai termohon PKPU yang mana telah mencampurkan konsep kepailitan di dalam perkara PKPU. Penulis menyarankan adanya pedoman tambahan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memperjelas keikutsertaan personal, corporate, dan bank guarantee dalam proses PKPU demi menciptakan kepastian hukum.

PKPU is a legal measure to prevent the court from declaring bankruptcy by proposing a peace plan and debt restructuring, which can be submitted by the debtor or creditor before the bankruptcy decision is announced. During the PKPU process, the debtor's assets are frozen, debt payment obligations are halted, and execution actions are suspended, while the debtor is not allowed to manage their assets. The implementation of PKPU is crucial for the continuity of the debtor's and creditor's businesses, but legal errors often occur especially in Article 254 UUK-PKPU that explains about involving guarantors as PKPU respondents, as seen in Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. The author uses a juridical-normative method with a qualitative approach in descriptive-analytical research to analyze existing issues based on applicable regulations. The study found that Article 254 of the UUK-PKPU states that the postponement of debt payment obligations does not apply for the benefit of co-debtors and guarantors, but this provision creates confusion in PKPU cases involving corporate guarantors. In Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, the judge decided to include the corporate guarantor as a PKPU respondent, thereby mixing the concept of bankruptcy in the PKPU case. The author suggests additional guidelines, such as a Supreme Court Circular, to clarify the participation of personal, corporate, and bank guarantees in the PKPU process to create legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library