Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Tri Indriasari
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji tiga proposisi terkait regulasi internet di Indonesia dan implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pertama, UU ITE telah membatasi kebebasan berekspresi di ruang publik digital. Dalam konteks ini, penelitian akan menyelidiki dampak pembatasan tersebut terhadap kebebasan berpendapat dan partisipasi masyarakat dalam sistem politik demokrasi. Kedua, dalam implementasi UU ITE, terdapat ketegangan terus menerus antara pemerintah, dewan perwakilan rakyat dan masyarakat sipil yang diwakili aktivis perjuangan kebebasan berekspresi di internet. Ketiga, terdapat fenomena salah guna UU ITE, di mana regulasi yang semula ditujukan untuk mengatur transaksi digital di ranah internet, belakangan dibelokkan sehingga UU tersebut digunakan untuk terutama membatasi kebebasan berkspresi di ranah internet. Penelitian ini akan menginvestigasi dampak dan implikasi dari perluasan cakupan regulasi tersebut. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana proses lahirnya pasal-pasal dalam UU ITE berpotensi melumpuhkan demokratisasi di Indonesia? (2) Apa implikasi dari penerapan UU ITE terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat warga dan (3) Bagaimana dinamika proses tarik-menarik antara berbagai pemangku kepentingan dalam formulasi dan revisi UU ITE, terutama antar pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, tidak ada bukti yang cukup untuk menjelaskan latar belakang dimasukkannya sejumlah pasal bermasalah ke dalam UU ITE pada 2008. Pemerintah maupun DPR sebenarnya semula menyiapkan RUU ITE untuk menertibkan transaksi bisnis elektonik, dan pornografi yang saat itu semakin marak. Namun di saat terakhir, dimasukkanlah pasal-pasal yang mengandung semangat otoritarian. Kedua, setelah UU tersebut disahkan dan dijalankan, tidak ada juga bukti yang menunjukkan bahwa baik pemerintah (pusat) dan DPR memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk kepentingan mereka, mempertahankan kekuasaan. Dalam banyak kasus, yang menggunakan UU ITE adalah sesama masyarakat, perusahaan, kelompok agama, dan para pemimpin agama. Ketiga, yang secara konsisten terus menolak UU ITE ini adalah masyarakat sipil. Sejak kelahiran UU ITE, berbagai LSM dan akademisi secara aktif mengkritisi kelahiran UU ITE beserta pasal-pasalnya. Masyarakat sipil sejak awal sudah bisa menduga ancaman bahaya pasal-pasal bermasalah dalam UU tersebut. Keempat, Sikap pemerintah secara perlahan berubah. Bila pada 2016, pemerintah menganggap bahwa UU ITE tidak mengandung kelemahan substansial yang melemahkan demokrasi, pada 2021 cara pandang pemerintah berubah. Kelima, yang nampaknya belum berubah adalah DPR. Memang benar, DPR tidaklah berwajah tunggal. Di dalam DPR hadir banyak partai-partai politik yang memiliki sikap berbeda-beda. Namun demikian, tidak terlihat ada tanda-tanda bahwa DPR akan mengikuti langkah pemerintah untuk menulis ......This research aims to investigate three propositions related to internet regulation in Indonesia and the implementation of the Electronic Information and Transaction Law (ITE Law). First, the ITE Law has restricted freedom of expression in the digital public sphere. In this context, the research will investigate the impact of such restrictions on freedom of speech and public participation in a democratic political system. Second, in the implementation of the ITE Law, there are continuous tensions between the government, the legislature and civil society represented by activists fighting for freedom of expression on the internet. Third, there is a phenomenon of misuse of the ITE Law, where the regulation that was originally intended to regulate digital transactions on the internet, was later deflected so that the law was used to primarily limit freedom of expression on the internet. This research will investigate the impact and implications of the expansion of the scope of the regulation. The questions to be answered in this research are: (1) How does the process of the articles in the ITE Law potentially cripple democratization in Indonesia? (2) What are the implications of the implementation of the ITE Law on the freedom of expression and opinion of citizens and (3) What are the dynamics of the push-pull process between various stakeholders in the formulation and revision of the ITE Law, especially between the government, the Parliament, and civil society.This research leads to the following conclusions. First, there is insuf icient evidence to explain the background to the inclusion of a number of problematic articles in the ITE Law in 2008. The government and the House of Representatives originally prepared the ITE Bill to bring order to electronic business transactions, and pornography, which was becoming more prevalent at the time. However, at the last moment, articles that contained the spirit of authoritarianism were included. Secondly, after the law was passed and implemented, there is no evidence to suggest that either the government (central) or the House of Representatives (DPR) used the articles for their interests, maintaining power. In many cases, it was fellow citizens, companies, religious groups and religious leaders who used the law. Third, civil society has consistently rejected the ITE Law. Since the birth of the ITE Law, various NGOs and academics have actively criticized the birth of the ITE Law and its articles. Civil society has been able to foresee the danger of the problematic articles in the law from the beginning. Fourth, the government's attitude is slowly changing. If in 2016, the government considered that the ITE Law did not contain substantial weaknesses that weakened democracy, in 2021 the government's perspective has changed. Fifth, what does not seem to have changed is the DPR. It is true that the DPR is not single-faced. There are many political parties in the House that have dif erent stances. However, there is no sign that the DPR will follow the government's lead in rewriting
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mufti Nurlatifah
Abstrak :
Disertasi ini membahas mengenai kebebasan bermedia pada jurnalisme digital. Kebebasan bermedia didefinisikan sebagai prinsip institusi media untuk menyelenggarakan peran dan tanggung jawabnya kepada publik sesuai dengan platform media digital di mana proses produksi dan distribusi informasi berlangsung. Tujuan penelitian adalah menguraikan esensi kebebasan bermedia pada jurnalisme digital melalui analisis kualitas informasi produk jurnalistik, profesionalitas jurnalis, struktur kelembagaan institusi media, partisipasi, deinstitusionalisasi, inovasi, dan entrepreneurship pada platform jurnalisme digital di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian post positivist yang dikembangkan dengan analisis tekstual regulasi media, analisis isi putusan kasus jurnalisme digital, analisis konten media, analisis dokumen, dan wawancara. Sejumlah temuan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, regulasi media di Indonesia melegitimasi kriteria profesional bagi jurnalis, namun tidak memberikan ruang kepada produsen informasi yang tidak memiliki lisensi, pendidikan, dan pelatihan jurnalis, sekalipun mereka berkomitmen terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kedua, regulasi media di Indonesia melegitimasi institusi media dengan struktur kelembagaan yang jelas, namun mengabaikan konsekuensi ekosistem jurnalisme digital yang terbuka bagi semua pihak. Ketiga, isu praktik jurnalisme digital melalui partisipasi, deinstitusionalisasi, inovasi, entrepreneurship teridentifikasi, namun belum terdapat ruang legitimasi yang memadai dalam regulasi media. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsekuensi media digital mempengaruhi ruang redaksi melalui adopsi teknologi yang dilakukan oleh jurnalis dan institusi media. Kontrak sosial atas kebebasan bermedia pada akhirnya tidak berhenti pada regulasi media, namun pada batas toleransi penggunaan teknologi media dalam ruang otonom redaksi, karena hal tersebut juga berdampak bagi fungsi dan peran media untuk publik. ......This dissertation discusses media freedom in digital journalism. Media freedom is defined as a principle attached to media institutions that requires them to carry out their roles and responsibilities to the public in a professional manner, in accordance with digital media platforms, the process of information production and distribution takes place. The research objective is to describe the essence of media freedom in digital journalism through an analysis of the quality of journalistic product information, the professionalism of journalists, the institutional structure of media institutions, participation, deinstitutionalization, innovation, and entrepreneurship on digital journalism platforms in Indonesia, and to explain the implications of media regulation on media freedom in digital journalism through digital journalism cases resolved through the press and judicial disputes in Indonesia. This research uses Tambini's Media Freedom Theory, Schnider's Media Freedom Analyzer, and Kreiss and Brennen's Normative Theory of Digital Journalism. This post-positivist research was developed with textual analysis of media regulations, content analysis of digital journalism case decisions, media content analysis, document analysis, and interviews. This study found several significant findings. First, media regulations in Indonesia legitimize professional criteria for journalists but do not provide space for information producers who do not have a journalist's license, journalist education, or journalist training, even if they are committed to complying with the journalistic code of ethics and carrying out journalistic work on a regular basis. Second, media regulation in Indonesia legitimizes media institutions with clear institutional structures but ignores the consequences of digital journalism ecosystem that is open to all parties. Third, the issue of digital journalism practices through participation, deinstitutionalization, innovation, and entrepreneurship has been identified but does not yet have adequate legitimacy in media regulation. This research shows that digital media technology influences newsrooms through the adoption of technology by journalists and media institutions. The social contract on media freedom ultimately does not stop at media regulation but at the limits of tolerance for the use of media technology in the autonomous editorial space, because it also has an impact on the function and role of the media for the public.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Ramadhanti
Abstrak :
Penelitian ini melihat strategi advokasi masyarakat sipil dalam mendorong revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menganalisis kasus dan fenomena strategi masyarakat sipil dengan teori Policy Advocacy Organization Gen dan Wright (2013). Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dari wawancara dan pengolahan data sekunder. Penelitian ini menunjukkan strategi advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil meliputi taktik-taktik dengan membangun koalisi, melobi pembuat kebijakan, dan melakukan kampanye informasi. Upaya strategi advokasi yang dilakukan masyarakat sipil bergerak dengan sistematis dan terstruktur meskipun pada hasil akhirnya tidak semua tuntutan masyarakat sipil dapat berhasil dipenuhi. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa sumber daya koalisi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi kebijakan tidak terlalu kuat untuk dapat memperoleh akomodasi tuntutan secara menyeluruh. Taktik yang dilakukan dalam strategi-strategi masyarakat sipil kurang dilakukan secara maksimal untuk mencapai kemaksimalan tujuan koalisi masyarakat sipil. ......This study examines civil society advocacy strategies in the pursuit of a revision of the Information and Electronic Transactions Act. It examines cases and events of civil society strategy using the theory of Policy Advocacy Organization by Gen and Wright (2013). Utilizing primary data sources from interviews and subsequent data processing, qualitative research methods are applied. This study demonstrates that civil society employs lobbying strategies that involve coalition building, persuading lawmakers, and information campaigns. The advocacy approach of civil society is methodical and planned, despite the fact that not all of its requests are ultimately met. This study shows that the civil society coalition's policy advocacy resources are insufficient to secure a thorough accommodation of claims. In order to optimize the goals of the civil society coalition, fewer methods are used in civil society strategies.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esthi Maharani
Abstrak :
Ujaran kebencian (hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan seorang individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan terhadap individu atau kelompok lain terkait berbagai aspek, di antaranya yaitu warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau lainnya. Di Indonesia, ujaran kebencian semakin masif terjadi terutama di tahun 2017 yang disebut sebagai tahun ujaran kebencian. Di tahun yang sama, aparat pemerintah pun semakin serius untuk menangani ujaran kebencian, terutama di media sosial Facebook yang menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai sasaran utama. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada penanganan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo di Facebook pada 2017 berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menggunakan teori implementasi kebijakan publik Merilee S Grindle yang menekankan bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementations). Dengan metode kualitatif, penelitian ini fokus pada sepak terjang kelompok Saracen yakni kelompok yang merupakan sindikat penyebar ujaran kebencian dan hoaks. Ada tiga kasus ujaran kebencian terkait kelompok Saracen yang diteliti. Ketiga kasus tersebut menggambarkan implementasi UU 19/2016 tentang ITE lewat regulasi turunan yang dibuat oleh Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari penelitian ini dapat diketahui adanya persoalan teknis dalam penanganan ujaran kebencian di 2017. Selain itu, penelitian ini memperlihatkan adanya pesan politis lebih besar yakni memberikan peringatan sekaligus rasa takut pada para pengunggah ujaran kebencian tetapi disaat yang sama justru memunculkan ancaman terhadap hak kebebasan berpendapat. 
Hate speech is speech which attacks others on grounds of their race, nationally, religious identity, gender, sexual orientation or other group membership, where this group membership is a morally arbitrary distinguishing characteristic. In Indonesia, hate speech is increasingly massive occurring especially in 2017. The year even referred to as the year of hate speech. In the same year, government officials become more serious to tackle hate speech. Especially in social media such as Facebook who targeting President Joko Widodo. Thus, this study focuses on the managing of hate speech against Joko Widodo on Facebook in 2017 under Law No. 19 of 2016 on Electronic Information and Transactions (UU ITE). With qualitative methods, this study focuses on Saracens group who had known as a syndicate of hate speech and hoax in Indonesia. There are three cases of hate speech related to the Saracen group being researched with politic of policy implementations theory. It described how Law 19/2016 of the ITE is implemented through derivative regulations created by the National Police and the Ministry of Communication and Informatics. This study also described technical issues about how government officials mistreated hate speech in 2017. Moreover, it showed bigger political messages about how government officials can be threatening freedom of expression.                                                                                                         
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Amira Hanan
Abstrak :
Hak untuk dilupakan (RTBF) sebagai salah satu perkembangan hukum baru-baru ini yang dibangun sebagai pengembangan hak privasi dan perlindungan data penting bagi masyarakat informasi zaman sekarang dan perkembangan teknologi informasi. Berbagai sistem hukum di dunia termasuk Indonesia telah memasukkan RTBF dalam kerangka hukum mereka yang dilengkapi dengan sejumlah masalah. Oleh karena itu, Penulis mencoba untuk menganalisis peraturan hak tersebut dalam sistem hukum Indonesia yang terkandung dalam undang-undang dan menganalisis posisinya dalam undang-undang dengan membandingkannya dengan peraturan RTBF dari sistem hukum lain. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. Studi ini menemukan bahwa peraturan perlindungan data yang mendasari pembentukan RTBF di Indonesia bersifat sporadis dan belum ada peraturan yang terharmonisasi tentang perlindungan data. Perumusan RTBF dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bermasalah. Meski begitu, di berbagai negara, RTBF telah diimplementasikan sebagai alat penyeimbang melalui pendekatan kontekstual dalam menangani kasus. Untuk alasan ini, maka perlu untuk melakukan analisis hukum perumusan RTBF di Indonesia dengan mengacu pada perumusan hak yang sama yang diterapkan di sistem hukum lain. ......The right to be forgotten (RTBF) as one of the recent legal developments that is constructed as a development of the right to privacy and data protection is crucial in this day and age information society and development of information technology. Various jurisdictions in the world including Indonesia’s have incorporated the RTBF in their legal frameworks which comes with a number of problems. For that reason, the Author tries to analyze the Indonesian regulatory framework on the RTBF contained in the legislation and analyze its position in the law by comparing and contrasting other jurisdictions’ regulatory frameworks against it. This research is a normative legal research that uses descriptive analytical research method. This study found that the data protection regulation which underlies the establishment of the RTBF in Indonesia is sporadic and that no harmonized regulation on data protection has not yet been established. The formulation of the RTBF in Article 26 paragraph (3) of Law Number 19 Year 2016 on The Revision to Law Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE Law) is problematic. Even so, in various jurisdictions, a balancing tool has been made out of the RTBF through contextual approach on dealing with cases. For this reason, it is necessary to conduct a legal analysis of the formulation of the RTBF in Indonesia with the reference to the formulation of the same right that is applied in other jurisdictions.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library