Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luh Putu Listya Paramita
Abstrak :
Latar belakang. Penegakan diagnosis demam tifoid masih sulit dilakukan jika hanya menggunakan gejala klinis. Dibutuhkan skor klinis untuk dapat menegakkan diagnosis di awal dengan tepat. Variabel pada skor Nelwan merupakan data yang dapat diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis secara dini. Penelitian nilai dignostik skor Nelwan untuk mendiagnosis demam tifoid belum pernah dilakukan sebelumnyaTujuan. Mendapatkan nilai titik potong dan nilai diagnostik skor Nelwan dalam penegakkan diagnosis demam tifoid dewasaMetode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pendekatan uji diagnosis. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dari pasien poliklinik, IGD, dan rawat inap RSUP Persahabatan, RSUD Budhi Asih, RSUD Tanggerang Selatan, RS Hermina Ciputat, RS Metropolitan Medical Center dan Puskesmas di daerah Jakarta. Kriteria inklusi adalah pasien dengan keluhan demam selama 3-14 hari, mempunyai keluhan saluran cerna, dan bersedia mengikuti penelitian. Diagnosis demam tifoid didapatkan melalui kultur darah, kultur swab rektal dan PCR. Nilai titik potong skor Nelwan ditentukan berdasarkan kurva Receiver Operating Characteristic ROC . Titik potong tersebut kemudian dianalisis dan didapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif NDP , nilai duga negatif NDN , rasio kemungkinan positif RKP dan rasio kemungkinan negatif RKN .Hasil. Selama penelitian didapatkan 233 sampel dengan proporsi demam tifoid 4,72 . Titik potong skor Nelwan yang optimal adalah 10 dengan AUC 71,3 95 IK 65,9 - 88,7 . Skor Nelwan dengan nilai cut off 10 memiliki sensitivitas 81,8 , spesifisitas 60,8 , nilai duga positif 9,3 , nilai duga negatif 98,5 , rasio kemungkinan positif 2,086, rasio kemungkinan negatif 0,299.Kesimpulan. Skor Nelwan dengan titik potong 10 dapat digunakan sebagai screening pasien dengan klinis demam tifoid.Kata kunci : skor Nelwan, demam tifoid. ......Background. Typhoid fever can be complicated to diagnose if only clinical signs and symptoms are used. By using clinical scores, we can provide an early diagnosis precisel. Variables in Nelwan Scores are derived from history taking and physical examination. Evaluation of diagnostic value of Nelwan score has never been done before.Objectives. To get the cut off point and the diagnostic value of Nelwan score in diagnosing typhoid fever in adult patients.Methods. This study is a diagnostic test with a cross sectional method, involving subjects with fever 3-14 days and gastrointestinal complaints from policlinic, emergency department and hospital ward in Persahabatan Hospital, Budhhi Asih Hospital, South Tanggerang Hospital, HerminaCiputat Hospital, MMC Hospital, Jatinegara and Gambir Primary Health Centre. Diagnosis are confirmed by blood culture, rectal swab culture, and PCR. Cut off analysis was performed using Receiver Operating Characteristic ROC curve and diagnostic value was then analyzed to generate sensitivity, specificity, predictive value and a likelihood ratio.Result. This study involving 233 subjects with a proportion of typhoid fever is 4,72 . The optimal cut off point of Nelwan score is 10 with AUC 71,3 95 IK 65,9 - 88,7 . This cut off point has sensitivity 81,8 , specificity 60,8 , PPV 9,3 , NPV 98,5 , LR 2,086, and LR - 0,299.Conclusion. Nelwan score with cut off point 10 has a good diagnostic value as a screening tool for patients with typhoid fever clinical presentationKeywords :Nelwan score, typhoid fever
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Musnelina
Abstrak :
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain deskriptif mengenai alternatif pengobatan demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta. Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan terhadap Salmolella typhi. Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson merupakan salah satu antibiotika alternatif yang menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak.
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with Typhoid Fever in Fatmawati Hospital Jakarta, 2001-2002. This study was a retrospective study using a descriptive design on the treatment of typhoid fever involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta. Chloramphenicol was still the drug of choice againts Salmolella typhi. It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather frequently for typhoid fever in children.
Institut Sains dan Teknologi Nasional; Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ; Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, T. J.
Abstrak :
ABSTRACT


As most often advocated, treatment of intestinal bleeding caused by typhoid fever is by conservative means. Although it requires meticulous and intensive care, treatment by surgery is rarity Four cases which are treated by surgery was reported and was decided upon after failure of conservative treatment. The fourth cases had resections of the distal ileum extended to a right hemicolectomy.

The histopathologic examination of the all cases, revealed alcerative plaques of Peyer's patches in the distal ileum and caeceum, confirming the diagnosis of typhoid fever.

1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarso Brotosoetarno
Abstrak :
ABSTRAK
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen. Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.

Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis dan ditopang oleh diagnosis laboratorium. Pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid kurang dapat menyokong diagnosis kliniknya. Walaupun menurut literatur pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Pada sebagian besar kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada darah tepi masih dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit kurang dapat menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

Sejak ditemukannya uji serologi Widal lebih kurang 80 tahun yang lalu, uji ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dan masih luas dipergunakan di negara-negara yang sedang berkembang. Uji serologi ini didasarkan atas pemeriksaan adanya antibody dalam serum penderita akibat infeksi oleh kuman Salmonella. Tetapi akhir-akhir ini kegunaan uji serologi Widal masih banyak diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji Widal, antara lain : keadaan gizi penderita, nengobatan dengan antibiotika, pernah mendapat vaksinasi Typhus Paratyphus A-Paratyphus B ( TAB ) atau infeksi sebelumnya, saat pengambilan darah, dan sebagainya.

Dalam upaya untuk meningkatken perawatan penderita tersangka demam tifoid diperlukan suatu hasil pemeriksaan laboratorium sedini mungkin, untuk menyokong penegakkan diagno sis klinisnya. Adapun jenis pemeriksaan laboratorium yang dapat lebih menyokong diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan kuman Salmonella dengan cara mengisolasikannya dari darah, urin, tinja atau cairan badan lainnya. Frekuensi dapat ditemukannya kuman dari darah, urin, tinja ataupun cairan badan lainnya berhubungan dengan patogenesis penyakit. Pada permulaan penyakit lebih mudah ditemukan kuman dalam darah, baru pada stadium selanjutnya dalam tinja, kemudian dalam urin?
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirtha Agus Isnanti
Abstrak :
Rumah Sakit Fikri Medika Dan Rumah Sakit Proklamasi Program Pelayanan Karawang Sehat Tahun 2016 Skripsi ini membahas utilisasi rawat inap kasus typhoid fever pada RS. Fikri Medika dan RS. Proklamasi Program Pelayanan Karawang Sehat tahun 2016 berdasarkan variabel demografi (jenis kelamin, umur, status perkawinan), PPK I (asal rujukan), spesialisasi pelayanan, diagnosis, lama hari rawat dan biaya perawatan berdasarkan komponennya. Desain penelitian ini adalah kuantitaif bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata biaya perawatan yang signifikan antara RS. Fikri Medika dan RS. Proklamasi dan komponen yang berkontribusi adalah pemeriksaan dokter dan obat. Pola utilisasi di kedua rumah sakit sama pada variabel jenis kelamin, status perkawinan, spesialisasi pelayanan dan lama hari rawat. Berdasarkan umur, diagnosis dan PPK I (asal rujukan) terdapat perbedaan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada pola utilisasi, sehingga disarankan kepada program perlunya audit medis dan biaya untuk mencagah fraud dan abuse, meningkatkan kualitas dan kualifikasi sumber daya manusia untuk meningkatkan review utilisasi serta bagi rumah sakit agar mengklaimkan biaya sesuai dengan cinical pathway tarif yang disepakati.
This study discusses the utilization of inpatient case of typhoid fever in hospital Fikri Medika and hospital Proklamasi, Karawang Sehat Service Program 2016 based on demographic variables (gender, age, marital status), basic health services (origin of referral), service specialization, diagnosis, length of stay and maintenance cost by component. The design of this research is quantitative descriptive with cross sectional study design. The results of this study indicate a significant difference in mean maintenance costs between hospitals Fikri Medika and Proklamasi and components that contribute are physician examinations and drug. The utilization patterns in both hospitals are the same in the gender variables, marital status, service specialization and length of stay. Based on age, diagnosis and basic health services (referral origin) there are differences. There are significant differences in utilization patterns, so it is advisable to the program for medical audits and fees for fraud and abuse prevention, improving the quality and qualifications of human resources to improve the utilization review and for hospitals to claim costs in accordance with agreed cinical pathway rates.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S69750
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurleny Sutanto
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Demam tifoid merupakan penyakit endemic di Indonesia. Salah satu masalah utama dalam penanggulangan penyakit ini adalah belum adanya cara diagnosis pemasti yang dapat diandalkan, terutama untuk pengelolaan penderita. Saat ini laboratorium Mikrobiologi FKUI sedang mengembangkan suatu cara diagnosis dengan menggunakan protein membran luar (PML) S.typhi. Untuk itu diperlukan PML dalam jumlah banyak, sehingga perlu dicari cara isolasi yang cepat,mudah dan efisien. Dicoba 2 cara isolasi yaitu menggunakan dapar Hepes dan dinatrium hidrofosfat (Na2HPO4). Kuman dikultur selama 18-24 jam dalam medium kaldu nutrien yang ditambahkan ekstrak ragi 0,2% dan glukosa 1,257 Dengan sentrifugasi 1400xg sus.pensi 1/1000 volume kuman dipanen pada -lase "late logarithmic" dan disonikasi. Pemisahan protein membran Iuar dan protein membran dalam dilakukan dengan sentrifugasi 100.000>:g, selanjutnya dilakukan elektroforesis pada SDS-PAGE untuk membandingkan profil proteinnya. Karakterisasi protein tersebut dilakukan dengan "Western blot". Hasil dan kesimpulan: Jumlah protein yang dihasilkan dengan menggunakan dapar Na2HPO4 rata-rata 0,084x10-7 ug per sel kuman,sedangkan ekstraksi dengan menggunakan dapar Hepes menghasi l kan protein rata--rata 0, 051X10-7 ug per sel kuman. Profil protein pada SDS-PAGE dapat dilihat dengan jelas pada konsentrasi protein 50 ug/ml untuk ekstraksi PML menggunakan dapar Hepes dan 30 ug/ml dengan Na2HPO4. Fraksinasi pada SDS-PAGE dengan kedua cara diatas memperlihatkan pita-pita protein dengan berat molekul antara 26-116 kDA dengan pita protein mayor terletak antara 36-38 kDa . Hasil "Western blot" menggunakan serum pasien tifoid dan serum kelinci yang telah diimunisasi kuman S.typhi menunjukkan adanya reaktivitas yang kuat dengan protein 38 kDa. Tidak ditemukan reaksi silang dengan serum kelinci yang diimmunisasi dengan kuman S.paratyphi A atau B. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa isolasi PML dengan menggunakan dapar Na.2HP04 lebih cepat,mudah dan praktis karena prosedurnya lebih singkat. Selain itu ektraksi cara ini lebih efisien dare pada cara Hepes karena jumlah protein yang diperoleh lebih banyak, dan dibLLtuhkan jumlah yang lebih sedikit.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Puspa Hapsari
Abstrak :

Penelitian menganalisis impelementasi Clinical Pathway (CP) Typhoid fever melalui deskripsi utilisasi pelayanan serta tagihannya pada periode sebelum dan sesudah implemenatsi CP. Studi dilakukan di RS PMI Bogor bertujuan untuk mengeksplor siklus pembuatan CP serta utilisasi pelayanan kesehatan yang diberikan sehingga menimbulkan tagihan. Metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam pembuatan CP dan metode kuantitatif digunakan untuk mengeksplor utilisasi layanan dan tagihan yang ditimbulkan serta melihat signifikansi implementasi CP terhadap utilisasi pelayanan dan billing. Simulasi INA-CBG dilakukan akibat temuan dalam penelitian. Data berasal dari sistem informasi rumah sakit, billing dan rekam medis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada signifikansi/perubahan pada utilisasi pelayanan secara statistik p-value >0.05 antara kelompok pada periode sebelum dan sesudah implementasi CP melalui Uji T dan Uji non parametrik Mann-Whitney U dengan tingkat kepercayaan 95%. Namun secara substansi terjadi perubahan tagihan pasca implementasi clinical pathway Typhoid fever dari Rp. 4,269,051 meningkat menjadi Rp. 5,225,384. Setelah dilakukan penyesuaian obat yang berfungsi terapeutik dan simtomatik terhadap Typhoid fever, maka total tagihan menjadi Rp. 4,771,016 dan meningkat menjadi Rp. 5,959,796. Proses pencatatan diagnosis di dalam rekam medis menjadi isu di RS PMI Bogor. Adanya potensi undercode yang mempengaruhi severity level kasus INA-CBGs (A-4-14), rumah sakit berpotensi kehilangan sebesar Rp. 485,200 hingga Rp. 1,450,400.


This research elaborated Typhoid fever Clinical Pathway (CP) implementation which were described using service utilization and the incurred billing before and after the implementation of CP. Study was conducted in PMI hospital Bogor and aimed to explore CP development cycle and the later service utilization delivered and hence, the incurred billing from each period (before and after CP implementation). Qualitative method was used to explore stages in CP development and quantitative method was used to explore the significance of CP implementation to service utilization and the billing. INA-CBGs grouping simulation was conducted due to a research finding. Data were derived from hospital information system, billing, and medical records. Study resulted in no significance of service utilization before and after CP implementation and it was predicted using T-test and Mann-Whitney U test showing p-value >0.05. However, changes in billing substantially changed from IDR 4,269,000 to IDR. 5,225,384. Adjustment was done by excluding drugs other than for therapeutic and symptomatic pursposes resulting in the increment of billings (e.g. IDR. 4,771,016 before and IDR. 5,959,796 after CP implementation). Simulation through INA-CBGs grouping showed that there were potential undercoding from higher severity level of Typhoid fever case (A-4-14). Hospital might subsequently lose IDR 485,200 up to IDR.1,450,400 each case reimbursed.

2019
T54055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Studi penentuan genotip (pulsotip) terhadap isolat-isolat Salmonella typhi (S. typhi) telah dilakukan menggunakan elektroforesis medan listrik berpulsasi (PFGE = Pulse-Field Gel Electrophoresis). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari diversitas genetik dan hubungan antara karakter genetik dengan manifestasi kliniknya. Sebanyak 66 isolat S. typhi yang berasal dari kasus demam tifoid yang dirawat di rumah sakit telah dianalisis. Empat isolat ditemukan identik dan hasil konstruksi dendogram menunjukkan terdapatnya 33 pulsotip dimana 13 di antaranya dapat dipisahkan dalam 30 subtip. Keragaman genetik di antara mereka relatif tinggi yang ditunjukkan dengan koefisien Dice 0,486-1,000. Pada derajat similaritas 65%, analisis sidik gerombol menunjukkan adanya 2 sidik gerombol utama, sehingga timbul dugaan bahwa S. typhi yang beredar bukan berasal dari klon tunggal. Pada derajat similaritas 90%, dari 9 sidik gerombol yang beranggotakan > 3 isolat, didapatkan manifestasi klinik yang sangat bervariasi dari ringan sampai berat tersebar diantara 9 sidik gerombol tersebut. Walaupun data rekam medis yang didapat kurang lengkap, 2 dari 4 pasien demam tifoid dengan S. typhi yang berasal dari sidik gerombol 1 memperlihatkan kenaikan total bilirubin yang tidak ditemukan pada 19 pasien yang berasal dari 8 sidik gerombol yang lain. Dengan adanya temuan ini, diduga adanya kemungkinan suatu trofisme pada system hepatobilier dari kuman S. typhi pulsotip I1dan I2 yang berasal dari sidik gerombol 1. (Med J Indones 2003; 12: 13-20)
A study of genotyping (pulsotyping) of Salmonella typhi (S. typhi) isolates using pulse-field gel electrophoresis (PFGE) methods was performed to examine their genetic diversity, and relationship between genetic characteristics and clinical outcomes. Sixty-six S. typhi isolates obtained from sporadic hospitalized typhoid fever cases were used in this study. Four isolates were found identical and the dendogram constructed showed 33 pulsotypes in which 13 of them can be divided into 30 subtypes. Diversity among them were high as shown by the Dice coefficients that ranged from 0.486 to 1.000. Cluster analysis showed 2 main clusters with 65% degree of similarity, suggested that they were not originated from one clone. Further, at 90% degree of similarity, 9 clusters containing at least 3 isolates were determined to explore any possible existence of relationship between genetic profile and particular clinical outcomes. Clinical manifestations ranged from mild to severe were in fact distributed diversely among these clusters. Although the clinical data obtained were incomplete, 2 out of 4 patients infected by the S. typhi belonged to cluster 1 showed an elevation of total bilirubin, whereas it was not found in 19 other patients distributed in other 8 clusters. Even though specific clinical manifestations were apparently not found to relate with particular clusters of genotypes, S. typhi isolates grouped in cluster 1 seemed to show trophism to hepatobiliary system. (Med J Indones 2003; 12: 13-20)
Medical Journal of Indonesia, 12 (1) January March 2003: 13-20, 2003
MJIN-12-1-JanMar2003-13
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Surahman
Abstrak :
Pembangunan kesehatan di negara sedang berkembang pada umumnya menghadapi masalah rendahnya alokasi anggaran untuk sektor kesehatan. Hal ini diperberat dengan tingginya laju inflasi di bidang kesehatan. Faktor lain yang mengakibatkan meningkatnya biaya kesehatan adalah transisi epidemiologi, semakin tingginya proporsi usia lanjut, meningkatnya teknologi kedokteran, serta sistem pembiayaan dan pembayaran yang tidak efisien.

Ketika pasien tidak menanggung biaya karena dibayar oleh perusahaan tempat bekerja atau oleh perusahaan asuransi komersial dan pembayaran dilakukan secara fee .for service maka dengan mudah provider menciptakan permintaan baru. Situasi ini mendorong permintaan yang lebih tinggi oleh konsumen dan memberi insentif kepada provider untuk memberikan pelayanan kesehatan secara berlebihan.

Untuk memotret perbedaan biaya dari ke tiga jenis pembayar dalam penanganan pasien penyakit demam tifoid yang dirawat inap di kelas satu rumah sakit MMC Jakarta tahun 2001. Dilakukan studi perbandingan penanganan pasien antara ke tiga jenis pembayar tersebut.

Desain penelitian ini menggunakan desain non eksperimental dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan terhadap pasien demam tifoid yang dirawat inap di kelas satu rumah sakit MMC Jakarta pada tahun 2001. Jumlah pasien 65 orang karena adanya kriteria inklusi penelitian maka jumlah populasinya tinggal 56 orang. Oleh karena populasinya yang relatif kecil maka dilakukan pengambilan sampel secara total sampling.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Tidak ada perbedaan pemberian pemeriksaan penunjang medis dan biaya pemeriksaan penunjang medis antara ke tiga jenis pembayar, di antara subvariabel pengobatan dan jenis pembayar ditemukan satu perbedaan bermakna dalam pemberiaan obat antitusive dan ekspektoran namun secara keseluruhan tidak ada perbedaan dalam pemberiaan obat dan biaya obat antara ke tiga jenis pembayar tersebut, tidak ada perbedaan rata-rata lama hari rawat dan biaya sewa kamar antara ke tiga jenis pembayar. Tidak ada perbedaan total biaya perawatan pada ketiga jenis pembayar.

Saran yang diberikan adalah bagi rumah sakit sebaiknya perlu kehati-hatian dalam menulis resume kelas perawatan dan kode ICD pasien yang di rawat, bagi pihak asuransi perlu melakukan kesepakatan dengan rumah sakit dalam hal penentuan biaya administrasi dan penetapan jenis obat yang diberikan pada pasien, sedangkan bagi rumah sakit perlu mengadakan resume medis bila rata-rata biaya perawatan demam tifoid melebihi rata-rata total biaya perawatan demam tifoid di kelas satu.
Treatment Cost Analyses for Typhoid Fever Patient at Inpatient Hospitalized at MMC Jakarta Based on type of Payment Determined for Year 2001Health development in developing country in general is facing the problem of low budget allocation for health sector. It also burdened by the high rate of inflation on the field of health. Which also affect the risk of epidemiological transition, the proportion of elderly, and medical technology, also inefficiency on the fee and payment system.

When the patient is not paying for the fee since it is paid by the company where they work or the health insurance company and the payment is conducted by fee of service, so the provider easily create new request. This situation in encourages to the high of request by consumer and gives the provider incentive in providing unnecessary health services.

To describe the different cost form three kinds of payment in handling the patient of typhoid fever that hospitalized at I-class of MMC Hospital in 2001, it has been conducted comparison study in handling the patient among the three kinds.

The study design used non-experimental with quantitative approach. This study is conducted on the patient of typhoid fever that hospitalized at I-class of MMC Hospital in 2001. The number of patient is 65 people, since there were criteria in inclusion study, so the population is only 56 peoples. Because the sample is relatively small, so the study is conducted on the sample total sampling.

Based on this study, it can be concluded that there is not many different in giving medical support examination and the fee of medical supporting examination among the three kinds of payment system. Between sub-variable of treatment and the kind of payment, it was found one significant different in giving antitusive medicine and expectorant, however in the entire perspective there is no different in giving medicine and medicine fee among the three kinds of payment system. There is no different on the average between the day of hospitalized and fee of room rental among the three payment system. So it can be concluded that there are no significant different in on the total fees of treatment on the three kinds of payment system.

It is recommended to the Hospital that it code ICD patient must be written with care. For insurance party should conduct agreement with the hospital in stating the administration fee and kind of medicine that should be given to the patient. While for hospital, should conduct medical summary if the average cost of treatment of typhoid fever went over the average total cost of treatment of typhoid fever at I-class.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T11481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>