Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Pamungkas
Abstrak :
Tren positif pertumbuhan apartemen di provinsi DKI Jakarta, dipandang sebagai suatu potensi untuk menggali Penerimaan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan hunian apartemen di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi derajat kesediaan membayar, besaran surplus konsumen dan mengetahui faktorfaktor apa yang mempengaruhi besaran kesediaan membayar retribusi pelayanan persampahan hunian apartemen di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang digunakan untuk menganalisa secara deskriptif kuantitatif. Teknik untuk pengambilan sampel adalah stratified random sampling dengan 100 responden. Dengan target apartemen yang merata untuk lima wilayah kota Administrasi Jakarta. Dari penelitian ini diketahui besaran kesediaan membayar responden, total kesediaan membayar (Total WTP) dan surplus konsumen. Secara parsial menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap WTP. Sedangkan jumlah tanggungan dan tingkat pendapatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadapWTP. ...... Positive trend growth of apartments in Province of DKI Jakarta, seen as a potential to explore region own source revenue (PAD), through waste/cleaning services retribution residential apartment in Province of DKI Jakarta. The goal from this research is to identify the degree of willingness to pay, amount of consumer surplus and determine what factors affect the amount of willingness to pay for waste/cleaning services retribution residential apartment in Province of DKI Jakarta. This research used primary and seconder data, used quantitive descriptive analysis. Technique for taking sample is stratified random sampling with 100 respondens. With a target that is evenly distributed apartment for five municipalities of Jakarta Administration. From this research we know amount of respondent's willingness to pay, total willingness to pay (Total WTP) and consumer surplus. Partially stated that the education levels had no significant effect on WTP. While the number of dependents and income levels had a significant effect on WTP.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutomo
Abstrak :
ABSTRAK
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa motif ekonomi dan demografi merupakan faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja dengan jam kerja panjang maupun pendek. Keskipun demikian tidak berarti faktor-faktor lain diluar faktor ekonomi dan demografi tidak mempunyai pengaruh pada keputusan seseorang untuk bekerja dengan jam kerja panjang maupun pendek. Faktor-faktor sosial budaya, psikologi dan lingkungan sering mempunyai pengaruh yang cukup untuk menentukan terhadap keputusan seseorang untuk bekerja dengan jam kerja sesuai dengan pilihan mereka.

Berdasarkan penelitian empiris tampaknya faktor ekonomi merupakan faktor yang di pandang dominan mempengaruhi seseorang bersedia menyediakan waktunya untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu. Faktor ekonomi tersebut antara lain tercermin pada tingkat upah dan tingkat pendidikan. Namun demikian faktor demografi seperti halnya umur, jenis kelamin, tempat tinggal dan lainnya tak dapat diabaikan begitu saja dalam analisis jam kerja para pekerja. Untuk itulah tesis ini mencoba menganalisa secara diskripsi maupun inrerensial terhadap jam kerja para pekerja di propinsi Jawa Tengah. Sebagai variabel tidak bebas adalah jam kerja, sedang variabel bebasnya adalah tingkat upah, tingkat pendidikan, kelompok umur, jenis kelamin serta tempat tinggal pekerja.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil Survai Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1987 Jawa Tengah, yang pelaksanaanya dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Analisis dibatasi pada sub sampel kelompok umur 10 tahun atau lebih yang bekerja dan menerima upah. Berdasarkan pembatasan dan kriteria tersebut dapat diketahui bahwa jumlah sampel pekerja yang dianalisis tercatat 4.626 orang, diantaranya 31,73% tinggal di kota dan 68,27% tinggal di desa, terdiri atas 64% pekerja laki-laki dan 36% pekerja perempuan.

Analisis statistik inferensial menggunakan model regresi berganda untuk mengetahui hubungan variabel bebas secara bersama-sama terhadap jam kerja sebagai variabel tidak bebas. Untuk kepentingan analisis digunakan metode Forward program SPSS. Variabel bebas yang diamati, diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap jam kerja para pekerja sebagai variabel tidak bebas. Selain pengaruh variabel utama tersebut, juga diperhatikan adanya pengaruh variabel interaksi antara upah dan pendidikan, upah dan umur, upah dan tempat tinggal serta upah dan jenis kelamin pekerja.

Dari hasil perhitungan menunjukkan adanya hubungan negatif antara umur dengan jam kerja. Pada kelompok umur yang lebih tua ternyata rata-rata jam kerja para pekerja lebih rendah, demikian pula tingkat pendidikan di mana pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih rendah pula rata-rata jam kerja per minggunya.

Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa variabel interaksi Up1Dik1, UplDik2 dan Up2Dikl mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jam kerja para pekerja. Dengan demikian dapat dikatakan terdapat perbedaan pengaruh indikator upah1 terhadap jam kerja antara pekerja yang berpendidikan SD ke bawah dengan SMTA+. Terdapat pula perbedaan pengaruh indikator upahl antara pekerja yang berpendidikan SMTP dengan SMTA+, demikian pula terdapat perbedaan pengaruh indikator upah2 antara pekerja yang berpendidikan SD ke bawah dengan SMTA+. Dari hasil estimasi parsial diketahui bahwa pekerja dengan karakteristik umur 10-24 tahun, pendidikan SD ke bawah rata-rata jam kerjanya adalah 41,25 jam, umur 25-54 tahun 36,99 jam dan umur 55 tahun lebih adalah 35,29 jam per minggu. Untuk pendidikan SMTP secara berturut-turut adalah 44,46 jam, 40,21 jam dan 38,50 jam. Sedang untuk indikator upah2 dengan karakteristik umur sama dengan di atas dan pendidikan SD kebawah diperoleh hasil estimasi secara berturut-turut adalah 54,35 jam, 50,09 jam dan 48,38 jam per minggu.

Adanya pengaruh yang signifikan dari variabel Up1TT menunjukkan adanya perbedaan pengaruh indikator upahl terhadap jam kerja antara pekerja di kota dan di desa. Sedangkan pengaruh yang signifikan variabel Up2TT menunjukkan pula adanya perbedaan pengaruh indikator upah2 terhadap jam kerja antara pekerja yang tinggal di kota dan di desa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja per minggu para pekerja untuk indikator upahl di kota 47,27 jam dan di desa 36,06 jam. Untuk indikator upah2 di kota 55,99 jam dan di desa 47,79 jam.

Selanjutnya, hasil uji statistik terhadap variabel interaksi Up1KLM dan Up2KLM juga signifikan pada a = 0,05 yang artinya variabel interaksi tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jam kerja. Adanya pengaruh variabel Up1KLM menunjukkan pula adanya perbedaan pengaruh indikator upahl terhadap jam kerja antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula untuk variabel Up2KLM yaitu ada perbedaan pengaruh indikator upah2 terhadap jam kerja antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Dari hasil estimasi diketahui bahwa untuk upahl rata-rata jam kerja laki-laki adalah 39,69 jam sedang perempuan adalah 37,15 jam. Untuk upah2 rata-rata jam kerja per minggu pekerja laki-laki 48,03 jam dan perempuan 45,53 jam.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriasari Slamet
Abstrak :
ABSTRAK Nilai perkawinan telah mengalami berbagai pergeseran dalam beberapa waktu terakhir. Perubahan peran dan pengharapan antara suami dan istri membutuhkan banyak penyesuaian dalam perkawinan, akan tetapi kebutuhan mendasar pria, wanita dan anak-anak yang menunjuk ke arah perkawinan tidak pernah berubah: kesetiaan seksual, kemitraan dalam penghematan rumah tangga, persekutuan orangtua, dukungan komunitas yang lebih besar, dan sebagainya (Waitte & Gallagher saduran oleh Yulia, 2003). Hal itu yang menyebabkan perkawinan tetap dipertahankan sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Menurut Hurlock (1980) kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh banyak aspek diantaranya: penyesuaian seksual, keuangan, komunikasi, penyesuaian dengan mertua dan ipar, persamaan latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan. Sementara itu menurut Duvall & Miller (1985) untuk mencapai kepuasan perkawinan diperlukan faktor sebelum dan sesudah perkawinan. Salah satu yang berpengaruh pada faktor sebelum perkawinan adalah latar belakang pendidikan, yaitu sekurang-kurangnya berpendidikan sekolah menengah atas. Beberapa penelitian yang berfokus pada kepuasan perkawinan menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan suami dan istri, maka akan berasosiasi positif dengan kepuasan perkawinan (Blood & Wolfe dalam Piryanti 1988). Walaupun menurut Kirkpatrick (dalam Terman, 1934) menyatakan bahwa persamaan pendidikan yang lebih membuat orang bahagia ketimbang tingkat pendidikan. Tujuan penelitian adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan seseorang dan kepuasan perkawinan serta untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam hal kepuasan perkawinan antara suami dan istri yang berlatar belakang pendidikan sama pada tingkat pendidikan tinggi dan yang menengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe penelitian ex-post facto field study. Jumlah subyek sebanyak 120 orang yang terdiri dari 60 pasang suami dan istri berpendidikan tinggi dan 60 pasang suami dan istri berpendidikan menengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner kepuasan perkawinan yang berbentuk Likert style, dimana data kontrol juga ikut diolah. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan individu dan aspek-aspek kepuasan perkawinan. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kepuasan perkawinan antara suami dan istri yang berlatar pendidikan sama dengan pasangan pada tingkat pendidikan tinggi dan menengah. Dari hasil penelitian ini, peneliti menyarankan untuk memilih pasangan hidup dengan tingkat pendidikan yang setara agar kepuasan perkawinan dapat tercapai. Selanjutnya penulis berharap dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi bagi institusi yang menangani masalahmasalah keluarga untuk tujuan konseling, terapi ataupun penyuluhan. Hal lain yang perlu dikemukakan lebih lanjut dari penelitian ini adalah sejumlah keterbatasan yang diduga dipengaruhi oleh keterbatasan subyek, alat ukur yang kurang menggali informasi, ataupun kekurangterampilan penulis dalam menganalisis hasil data kuantitatif. Selanjutnya yang dapat dikemukakan adalah alat ukur yang lebih dalam menggali informasi sehingga dapat memperkaya hasil penelitian serta memperkaya analisis dengan variabel-variabel lain yang mungkin luput dari jangkauan penelitian pada saat ini.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3357
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
LuLu Nafisah
Abstrak :
Kepatuhan terapi di Indonesia masih dibawah 80 dan dapat berdampak padapeningkatan kejadian infeksi protozoa usus, perkembangan AIDS yang lebih cepat,resistensi obat, kegagalan terapi, dan penularan virus kepada orang lain. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kepatuhan terapiARV pada ODHA di Klinik Yayasan Angsamerah dan Angsamerah Clinic DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif meliputi pengisian kuesioner dan interview dengan pasien yang menerima ARV dan tenaga kesehatan.Sampel ditentukan dengan menggunakan purposive sampling dan diperoleh sampelsejumlah 51 orang. Tingkat pendidikan dilihat berdasarkan lama sekolah dan tingkat kepatuhan dinilai dengan metode laporan diri, hitung jumlah sisa obat, dan viral load. Berdasarkan laporan diri 66,66 ODHA memiliki kepatuhan sedang, berdasarkanhitung jumlah sisa obat 78,43 ODHA memiliki sisa obat kurang dari 3 dosis, dan90,20 ODHA memiliki viral load yang tidak terdeteksi. Sebagian besar ODHA menempuh pendidikan selama >12 tahun 72,55 dan tingkat pendidikan terakhir tamat sarjana 64,71. Hasil analisis menunjukkan proporsi kepatuhan yang lebihtinggi sebesar 4,63 pada ODHA yang menempuh pendidikan >12 tahun dibandingkan dengan ODHA yang menempuh pendidikan le;12 tahun. Pendidikan yang tinggi berperan memfasilitasi kepatuhan ODHA dalam terapi ARV melalui berbagai mekanisme yaitu ODHA akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, mampu memahami informasi dan rekomendasi dari dokter, memiliki daya ingat yang lebih baik, memiliki lebih banyak sumber daya ekonomi termasuk pendapatan yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebihaman dan lebih menjamin, dan sarana untuk tinggal di lingkungan yang lebih sehat yangmendukung kesehatan. Hambatan dalam terapi ARV diantaranya jadwal yang sibuk, sering berpergian, takut terungkap statusnya, informasi yang salah tentang ARV, dan penawaran obat selain ARV. Media KIE yang akurat, informatif, dan menarik, hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dan sistem atau alat pengingat jadwal minum obat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan terapi ARV pada ODHA. ......Therapeutic compliance in Indonesia was still below 80 and may resulted in increased incidence of protozoanal intestinal infection, faster AIDS progression, drug resistance, treatment failure, and transmission of the virus to others. This study was aimed toexplore the relationship between education levels with adherence to Antiretroviral Therapy ART in HIV positive people in the Angsamerah Foundation Clinic and Angsamerah Clinic, Jakarta. This study used quantitative and qualitative approachesincluding questionnaires and interviews with patients receiving ARVs and health workers. Sample was determined by using purposive sampling and obtained a sample of51 people. The level of education is categorized according to years of schooling and compliance rate is assessed by self report method, pill count, and viral load. Based onself report 66,66 of PLWHA have moderate adherence, based on drug counts 78.43 of PLWHA drugs have remaining less than 3 doses and 90.20 of PLWHA have undetectable viral load. Most of PLWHA are educated for 12 years 72.55 and the last education level is under graduate 64,71 . Results of the analysis showed a higher proportion of compliance by 4.63 among PLWHA who study 12 years comparedwith people with PLWHA who study le 12 years. Higher education played a role infacilitating PLWHA compliance in ART through various mechanisms ie PLWHA will have better knowledge, be able to understand information and recommendations fromdoctors, have better memory, have more economic resources including higher income,have safer and more secure work, and living in a healthier environment that supports health. Barriers in ART include busy schedules, frequent travel, fear of exposure,misinformation about ARVs, and offers of drugs other than ARVs. An accurate, informative, and interesting EIC media, a good relationships between physicians and patients, and reminder tools or systems to take medication are needed to maintain and improve ART adherence in people living with HIV.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfathonah Aryana
Abstrak :
Tuberkulosis dan diabetes melitus masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena angka kematian akibat dua penyakit ini masih tinggi. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara kedua penyakit ini. Penulis ingin mengetahui besar angka kejadian TBDM dan hubungan dari faktor pendapatan dan tingkat pendidikan terhadap kejadian TBDM di Jakarta. Subjek yang diteliti adalah pasien tuberkulosis di 12 puskesmas di Jakarta dan 2 klinik dokter keluarga FKUI. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 242 orang. Data diperoleh melalui pengisan kuesioner dan melakukan pengecekan kadar glukosa darah puasa. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji bivariat pada SPSS 20.0. Dari 236 pasien tuberkulosis yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 65 orang (27,5%) mengalami DM, 171 orang (72,5%) tidak mengalami DM. Kejadian diabetes melitus berdasarkan kategori pendidikan, sebanyak 46 orang pasien memiliki karakteristik pendidikan rendah dan 28 orang pasien berasal dari subjek yang memiliki pendapatan rendah-menengah. Pada analisis bivariat antara tingkat pendidikan dan TBDM diperoleh hasil adanya perbedaan proporsi bermakna sedangkan analisis bivariat tingkat pedapatan dan TBDM tidak diperoleh perbedaan proporsi bermakna. Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran individu untuk melakukan pengecekan kesehatan dengan kata lain mempengaruhi kesadaran pasien akan faktor risiko dari TBDM. Rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh subjek tidak memberikan dampak yang berarti bagi kejadian TBDM.
Tuberculosis and diabetes mellitus are still a health problem in Indonesia because the number of deaths are still high. Several studies have revealed the relation between tuberculosis and diabetes mellitus. From this study, the writer want to know the prevalence of diabetes mellitus among tuberculosis patients and the relation between income and educational levels on the prevalence of diabetes mellitus in tuberculosis patients in Jakarta. The subjects were tuberculosis patients at 12 Puskesmas in Jakarta and 2 Family Physician Clinics Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Data obtained by questionnaires and checking fasting blood glucose levels. Then, from 242 subjects were analysed using bivariate test in SPSS 20.0. The 236 tuberculosis patients who met the inclusion criteria, as many as 65 people (27.5%) had DM, 171 (72,5%) did not have diabetes. Based on the category of education, as many as 46 patients had characteristics of low education and 28 patients had a low-middle income. Level of education and diabetes mellitus showed significant proportion difference in bivariate analysis, income level and diabetes mellitus not showed a significant proportion difference. The level of education affects the awareness of individuals to perform health checks, or in other words will affect the tuberculosis patient's awareness of the risk factors of diabetes mellitus. Low income did not give a meaningful impact for patients.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soefiannagoya Soedarman
Abstrak :
ABSTRAK
Skabies merupakan penyakit kulit infeksius utama yang sering ditemukan di tempat padat penghuni yang memungkinkan kontak fisik antar orang misalnya di pesantren. Tujuan riset ini adalah untuk mengetahui prevalensi skabies dan hubungannya dengan perilaku kebersihan dan tingkat pendidikan santri. Studi ini dilaksanakan di sebuah pesantren di Jakarta Selatan menggunakan desain cross sectional. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli-September 2013 menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai perilaku kebersihan dan pemeriksaan dermatologi. Data diolah dengan SPSS 20 dan diuji dengan Fischer exact test. Hasilnya menunjukkan dari 98 santri, 67 positif skabies (prevalensi 68,4%). Dari 16 santri yang berperilaku baik 10 orang terinfeksi skabies dan dari 82 santri yang berperilaku buruk 57 orang mengidap skabies. Santri dengan pendidikan ibtidaiyah paling banyak terinfeksi skabies (52%), diikuti tsanawiyah (32%) dan aliyah (16%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi skabies dengan perilaku kebersihan (uji fischer, p=0.571) dan pendidikan (uji fischer p=0.384). Disimpulkan prevalensi skabies tidak berhubungan dengan perilaku kebersihan dan pendidikan.
ABSTRACT
Scabies is one of infectious skin disease that mostly finds in crowded environment, which cause high possibility of direct contact between peoples inside, one of the example is Pesantren. Purpose of this research is to know the prevalence of scabies, and its association with behavior, and level of education of santris. This study was performed in A pesantren in South Jakarta by using crosssectional design. Data in this research took from July until September 2013 by using questionnaire consists of questions regarding hygiene, and dermatological examination. The data was analyzed with SPSS 20, and was tested by Fischer exact test. Results showed form 98 santris, 67 of them are positive from scabies (64.8% prevalence). Moreover, 10 from 16 good behavior santris were infected. On the other hand, 57 from 82 santris with bad behavior suffered from scabies. Ibtidaiyah became the highest level of education that suffered from scabies (52%), followed by tsanawiyah, and aliyah (32%, and 16% respectively). There is no significant difference between prevalence of scabies with behavior (Fischer exact test, p=0.571), and level of education of santris (Fischer exact test, p=0.384). It can be summarize that there is no significant association between prevalence of scabies with behavior, and level of education of santris.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobar. M. Johari
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat literasi keuangan syariah pada penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data diperoleh dengan metode angket/ kuisioner yang diberikan kepada 100 responden penyandang disabilitas. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis Chi-Square. Dalam penelitian ini terdapat 4 variabel independen yang digunakan yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pengeluaran, sedangkan variable dependen yang digunakan adalah literasi keuangan. Berdasarkan hasil uji statistik menyatakan bahwa penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tingkat pengetahuan dan kemampuan di kategori rendah. Variabel jenis kelamin menunjukkan tidak terdapat perbedaan sedangkan usia, tingkat pendidikan dan pengeluaran terdapat perbedaan literasi keuangan syariah pada penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2019
330 AJSFI 13:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Arifullah
Abstrak :
ABSTRAK
Banyak studi telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dan fertilitas. Namun, sebagian besar studi tersebut hanya berfokus pada pendidikan salah satu perempuan atau laki-laki saja. Masih belum banyak studi yang menggunakan pendidikan sebagai perspektif pasangan, dan biasanya studi tersebut dilakukan di negara maju. Namun di Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, belum banyak studi yang menggunakan pendekatan pasangan ini. Studi ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat pendidikan pasangan memengaruhi childlessness di Indonesia. Selain itu, akan ditambahkan juga karakteristik sosial ekonomi sebagai variabel kontrol. Dengan menggunakan data IFLS 2014, studi ini menginvestigasi pasangan menikah dengan usia 24 tahun atau lebih. Model regresi Probit digunakan untuk mengestimasi efek kovariat. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara tingkat pendidikan pasangan dan childlessness. Sementara pada tingkat pendidikan yang tidak setara antara suami dan istri, pasangan hypogamy lebih cenderung untuk menjadi childless.
ABSTRACT
There are many studies to explore the relationship between education and fertility. However, most of them focus on the education of women or men only. And only a few studies examine education from a couple rsquo s perspective, and they usually analyzed in the case of developed countries. Yet in Indonesia, as a developing country, not many studies use this approach. This study aims to investigate whether couples 39 educational level affect childlessness in Indonesia. Besides that, it is considered to include the socioeconomic characteristics of a couple as control variables. Using data from the Indonesian Family Life Survey IFLS 2014, this study investigates married couples aged 24 or older and uses a Probit regression model to estimate the predictors. The result shows that in Indonesia couples 39 educational level is positively associated with childlessness. Regarding inequality on the couples rsquo joint educational level, the hypogamy couples tend to be childless.
2018
T50765
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Sagita
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan tingkat pendidikan pasien dengan kanker payudara stadium dini di instalasi rawat inap Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta tahun 2012 dengan menggunakan desain studi cross sectional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data rekam medik Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan pasien memiliki hubungan dengan stadium dini kanker payudara (OR 2,25) dan risiko meningkat (7,69) setelah dikontrol oleh status pekerjaan, penggunaan alat kontrasepsi hormonal, serta keikutsertaan jaminan kesehatan. ......The purpose of this research is to examine association between patient’s educational level with early diagnosis of breast cancer at inpatient care of Ciptomangunkusumo’s Hospital year 2012. This research applied cross sectional design. Data were collected from secondary sources, using medical record data. The result of the research shows that patient’s educational level associated with early diagnosis (OR=2,25) and that risk will be higher if it controlled with employment status, hormonal contraceptive use, and participation of health insurance. (OR=7,69)
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45763
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>