Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Carolus Bitho Wirawan
"Pemenuhan kebutuhan akan sarana transportasi udara tentu menjadi sangat penting. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara ini adalah dengan melakukan sewa pesawat. Untuk memberikan suatu proteksi kepada pemberi sewa agar aman untuk menyewaan pesawatnya lintas negara maka Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment memberikan suatu upaya pemulihan yang dikenal sebagai tindakan sementara. Tindakan sementara ini merupakan suatu upaya pemulihan yang dapat dimintakan sebelum putusan final diberikan saat terjadi cidera janji. Permasalahan yang muncul dalam perkara tindakan sementara ini adalah forum manakah yang berwenang untuk mengadili tindakan sementara ini. Penelitian ini menyajikan penjelasan (i) Bagaimana kewenangan pengadilan terhadap tindakan sementara berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia. (ii) Bagaimana pertimbangan hakim di pengadilan Indonesia dalam kewenangan pengadilan dalam menetapkan permohonan kasus tindakan sementara. Dengan metode penelitian doktrinal serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, pengertian mengenai tindakan sementara sendiri berbeda dalam Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment dan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Kedua, berdasarkan HPI Indonesia untuk menentukan kualifikasi mana yang tepat maka hakim seharusnya menggunakan lex fori berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia terkhusus mengikuti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Oleh karena itu dalam hal ini forum yang berwenang adalah pilihan forum para pihak.
Meeting the need for air transportation is certainly very important. One way to address this need is by renting a plane. To provide protection to lessors and ensure the safety of renting aircraft across countries, the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment offers a remedy known as interim measures. This interim measure serves as a remedy that can be sought before a final decision is made when a breach of contract occurs. The challenge that arises in this interim measure case is determining which forum has the authority to adjudicate this matter. This research aims to provide an explanation of two key aspects: (i) How the court exercises authority over interim measure based on the Indonesian Private International Law. (ii) How judges in Indonesian courts consider the court's authority when deciding on requests for interim measure. Employing doctrinal research methods and a qualitative approach, the study concludes that: First, the definition of interim measure differs between the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment and Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Second, based on the Indonesian HPI, judges should determine the appropriate qualifications by using lex fori based on Indonesian Private International Law, specifically following Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Therefore, in this case, the authorized forum is the forum chosen by the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yasmin Sultana
"Peningkatan angka permohonan perkara kepailitan dan PKPU di Indonesia pada era pandemi Covid-19 membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk melakukan moratorium Undang–Undang Nomor 37 tahun 2004 selama tiga tahun. Menurutnya, diperlukan suatu regulasi seperti moratorium yang dapat dijadikan solusi utama dalam mengatasi peningkatakan angka permohonan perkara kepailitan dan PKPU. Usulan yang diajukan oleh Apindo ini tidak sepenuhnya didukung oleh beberapa pihak. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menawarkan solusi lain seperti pengaturan tindakan sementara pada kepailiatan yang telah berhasil dilakukan oleh Singapura dan Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan tipe penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa moratorium Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bukanlah solusi yang utama bagi debitur dan kreditor dalam menyelesaikan permasalahan kepailitan dan PKPU, justru hal ini akan berdampak pada ketidakpastian pembayaran utang para kreditor dan dapat menghilangkan jaminan bagi para investor yang ingin melakukan investasi di Indonesia. Tindakan sementara pada kepailitan dapat menjadi solusi yang lebih tepat untuk memberikan kemanfaatan yang seimbang bagi para pihak.
Requests for bankruptcy and Debt Payment Obligation postponement cases in Indonesia during the Coronavirus pandemic era are mounting that causing the Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) to ask the government to do a moratorium on Law Number 37 of 2004 for three years. According to Apindo, a regulation such as a moratorium is needed to be the main solution in overcoming the increasing number of applications for bankruptcy cases and Debt Payment Obligation postponement. The proposal submitted by Apindo was not fully supported by several parties. Hence, this research was conducted to offer other solutions to this matter, such as temporary action arrangements for bankruptcy that have been successfully carried out by Singapore and United Kingdom. The research method used is library research with the type of juridical-normative research. The results of the research show that the moratorium on Law Number 37 of 2004 is not the main solution for debtors and creditors in resolving bankruptcy and Debt Payment Obligation postponement problems, in fact this will have an impact on uncertainty in paying creditors debts and can eliminate guarantees for investors who want to invest in Indonesia. Temporary action in bankruptcy could be a more appropriate solution to provide balanced benefits for the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library