Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Could a feminist perspective change the shape of tax laws? Feminist reasoning and analysis are recognized as having tremendous potential to affect employment discrimination, sexual harassment, and reproductive rights laws - but they can likewise transform tax law (as well as other statutory or code-based areas of the law). By highlighting the importance of perspective, background, and preconceptions on reading and interpreting statutes, this volume shows what a difference feminist analysis can make to statutory interpretation. Feminist Judgments: Rewritten Tax Opinions brings together a group of scholars and lawyers to rewrite tax decisions in which a feminist emphasis would have changed the outcome, the court's reasoning, or the future direction of the law. Featuring cases including medical expense deductions for fertility treatment, gender confirmation surgery, tax benefits for married individuals, the tax treatment of tribal lands, and business expense deductions, this volume opens the way for a discussion of how viewpoint is a key factor in statutory interpretation."
United Kingdom: Cambridge University Press, 2017
e20529243
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Romy Afandi
"Perkembangan dunia usaha di Indonesia tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi informasi. Dengan adanya teknologi informasi tersebut memberikan kemudahan kepada dunia usaha untuk melakukan aktivitas bisnisnya. Salah satunya adalah peranti lunak (software) yang digunakan untuk kelancaran proses bisnis sehingga akan mempercepat pekerjaan dan menciptakan biaya operasional yang murah pada suatu perusahaan.
Sehubungan dengan berkembangnya software dalam dunia bisnis maka terdapat peluang dan tantangan dalam dunia perpajakan Indonesia. Banyaknya software-software dari negara lain yang masuk ke Indonesia mengakibatkan terjadinya perdagangan yang melewati batas-batas wilayah negara. Dalam hal ini aspek tentang perpajakan harus diatur dengan jelas karena masih sering terjadi perbedaan interpretasi tentang penghasilan atas software yang dijual oleh reseller kepada pengguna akhir yaitu dianggap royalty atau bussiness income.
Terkadang negara pembuat software memiliki peraturan yang berbeda dengan peraturan perpajakan di Indonesia. Fenenoma yang terjadi di lapangan sering banyak perbedaan persepsi anatar pihak Ditjen Pajak dan Wajib Pajak yang dalam hal ini diwakili oleh Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (ASPILUKI). Dalam penelitian ini, peneliti membandingkan perlakuan perpajakan atas software dengan negara India dan China.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perlakuan perpajakan atas software di India dan China. Kemudian menganalisis penyebab perbedaan intrepretasi pemajakan atas software di Indonesia dan menganalisis perlakuan perpajakan yang seharusnya diterapkan pada software di Indonesia. Kemudian juga dianalisis bagaimana kasus/isu-isu kontemporer yang terjadi yang terkait royalty software yang terjadi di Indonesia.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisa komparatif dan deskriptif analitik Analisa komparatif yaitu membandingkan antara perlakuan perpajakan di India dan China dengan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan atas software di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan perlakuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

The progress of business world in Indonesia cannot be separated from the effect of the progress of information technology. Information technology has provided the world of business with facilities to conduct business activity. One of the facilities is the software that is used to accelerate business process so that it will in turn accelerate work accomplishment and create effective operating cost in a company.
With respect to the progress of use of software in the world of business, there are chances and challenges in the world of taxation in Indonesia. A lot of software entering Indonesia from other countries has resulted in they occurrence of trade that passes the territorial borders of countries. In this respect, the taxation aspects must be provided in expressly because there is still different interpretation to the income generated from software sold by reseller to end users, i.e. it is considered as royalty or business income.
Sometimes, a software-making country maintains a regulation that is different from taxation regulation applicable in Indonesia. The phenomenon that often occurs on site is that there is often different perception between Directorate General of Tax and Tax Payers, who, in this matter, are represented by the Association of Indonesian Software (ASPILUKI). In this research, the researcher compares taxation treatment for software between that in India and that in China.
This research is aimed to compare taxation treatment to software in India and in China, and analyze the causes of the different interpretation of taxing for software in Indonesia and analyze taxation treatment that should be applied to software in Indonesia. This is also to analyze how contemporary cases/concerns relating to royalty software often occur in Indonesia.
The approach applied is qualitative approach using comparative and descriptive analysis, namely comparing between taxation treatment in India and China and that in Indonesia. The result of the research shows that taxation treatment to software in Indonesia has been conducted in accordance with the treatment by the applicable laws and regulations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T25859
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sortalina S
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priambodo Setiono
"Salah satu fungsi utama bank umum adalah sebagai intermediasi. Nasabah penyimpan memanfaatkan jasa bank untuk menyimpan dana sedangkan debitur memanfaatkan jasa bank untuk mendapatkan dana pinjaman. Transaksi simpan-pinjam di perbankan (bank konvensional) termasuk transaksi yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai padahal kebijakan pengecualian pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam sektor keuangan ini dapat menyebabkan distorsi dalam perekonomian. Beberapa metode pendekatan untuk mengenakan PPN pada sektor perbankan pernah dikemukakan, salah satunya adalah metode reverse charging yang dikemukakan Howell H. Zee.
Tujuan penelitian adalah untuk meiakukan evaluasi atas kemungkinan diterapkannya teori 'reverse charging' dalam transaksi simpan-pinjam di perbankan. Metodologi penelitian yang digunakan adalah Metode Deskriptif Kualitatif yaitu melakukan penelitian alas transaksi simpan-pinjam yang dilakukan di bank konvensional. Dari beberapa literatur, ada beberapa hal yang mendasari dilakukannya exemption atau pengecualian atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada sektor jasa keuangan salah satunya adalah masalah kompleksitas administrasi. Untuk mengetahui ada tidaknya nilai tambah pada aktivitas simpan-pinjam di perbankan nasional, dilakukan pengkajian mengenai definisi 'Nilai Tambah' dalam transaksi simpan-pinjam di bank konvensional dikaitkan dengan Legal Character dari PPN.
Metode pendekatan untuk pengenaan PPN pada transaksi simpan-pinjam dimulai dari dasar pemikiran penggunaan metode cash flow. Inti dari metode Cash Flow ini adalah memperlakukan anus kas yang terjadi pada transaksi keuangan sama seperti transaksi non-keuangang (arus kas masuk adalah penjualan, arus kas keluar adalah pembelian). Pemikiran dan usulan metode untuk pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada sektor perbankan mengalami perkembangan. Dimulai dari metode Arus Kas , metode reverse Charging dan yang terakhir metode Modified Reverse Charging. Konsep metode reverse charging adalah mengalihkan tanggungjawab untuk memungut PPN dari nasabah penyimpan ke bank. Pada umumnya usulan metode pengenaan PPN masih mengkaitkan antara nasabah penyimpan dengan debitur padahal faktor tersebut yang menjadi penyebab kompleksitas administrasi pengenaan PPN.
Besarnya prosentase PPN dari sektor perbankan (untuk transaksi simpan-pinjam) sama seperti prosentase PPN pada transaksi lainnya (saat ini 10%). Alas PPN 10% tersebut kemudian dibebankan kepada nasabah penyimpan dan debitur dengan porsi tertentu. Porsi yang dibebankan kepada debitur lebih besar dibandingkan porsi yang dibebankan ke nasabah penyimpan karena jasa yang diberikan bank kepada debitur lebih besar daripada yang diberikan kepada nasabah penyimpan.

Main function of a banking sector is an intermediary. The bank-funding customer will need bank to deposit their money while the debtor will borrow the money from the bank. Bank transactions is exemption from Value Added Tax (VAT) charging, whereas the exemption policy of VAT on this financial sector shall cause distortion in economic. Some approaches method to charge VAT on banking sector has ever been presented, one of the methods is ?reverse charging?, which presented by Howell H. Zee.
The aim of the thesis is to evaluate probability of implementing the theory of reverse charging in banking sector. Therefore the research method was conducted through Qualitative Descriptive Method and the object of the research are loan and saving transaction in commercial bank. From some literatures, there are several reason stipulated due to the exemption on VAT in Financing Service including banking sector. Value added in bank transaction was discussed many times. Is there any value added in banking sector? To answer the question we have to understand the meaning of terminology 'value added' and 'value added' in banking sector. Approaching method to charge VAT on banking sector especially on Loan and Saving activity is begun from the logical basic of using cash flow method.
The essence of 'cash flow' method is treating the flow of cash same as transaction in non-banking sector (cash in-flow treated as Sales and cash out-flow treated as purchases). Method and theory to charge VAT on banking sector has developed. Starting from cash flow method with Tax Calculation Account' (TCA). Using truncating then developed this TCA method. Zee (2005) proposed a new approach for charging VAT in banking sector using "Reverse Charging" Method before modified it by "Modified Reverse Charging" method.
The major idea of 'reverse charging is to shifting the obligation to collect the VAT from bank customer (funding customer) to the bank. Background of the idea was because there is many number of the bank-funding customer and a lot of them is a non tax- register. VAT rate from banking sector shall be same as the VAT rate in other industry (10%). And shall be charge to both side of bank customer (funding customer and debtor).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library