Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Heidy
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan PRP autologus banyak dimanfaatkan untuk mempercepat proses penyembuhan berbagai macam luka, namun belum ada kriteria yang mengatur penggunaan tersebut. Penelitian yang menjelaskan bagaimana pengaruh penggunaan PRP terhadap proses tersebut juga masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisa pengaruh PRP terhadap produksi mediator pro dan anti-inflamasi dari kultur makrofag.Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan sampel darah perifer dari subyek sehat yang diambil sebanyak 2x dengan interval waktu 1 minggu. Pada pengambilan darah pertama, dilakukan isolasi sel monosit kemudian dikultur selama 1 minggu menjadi sel makrofag. Pada hari ke-7 dilakukan pengambilan darah kedua untuk dilakukan isolasi PRP dan serum, kemudian dilakukan 5 kelompok perlakuan berbeda terhadap masing-masing subyek. Kelompok I, makrofag ditambah serum. Kelompok II, makrofag ditambah serum dan LPS. Kelompok III, makrofag ditambah serum, LPS, dan PRP. Kelompok IV, makrofag ditambah LPS dan PRP. Kelompok V, makrofag ditambah PRP. Pada hari ke-10 dan ke-14, kadar sitokin TNF-a dan IL-10 yang dihasilkan dari kultur makrofag diukur dengan menggunakan teknik ELISA.Hasil: Terjadi penurunan bermakna kadar TNF-a hari ke-14 dibandingkan hari ke-10 pada kelompok II p=0.001 , kelompok III p=0.011 , dan kelompok IV p=0.000 . Kemampuan sel makrofag untuk memproduksi TNF-a menurun pada hari ke-14 dibanding hari ke-10. Terjadi peningkatan bermakna kadar IL-10 hari ke-14 dibandingkan hari ke-10 pada kelompok I p=0.05 , kelompok II p=0.018 , kelompok III p=0.017 , kelompok IV p=0.030 , dan kelompok V p=0.030 . Kemampuan sel makrofag untuk memproduksi IL-10 meningkat pada hari ke-14 dibanding hari ke-10, namun tidak ada perbedaan bermakna antar tiap kelompok.Kesimpulan: Secara umum, kadar TNF-a menurun pada hari ke-14 dibandingkan hari ke-10 sedangkan kadar IL-10 meningkat pada hari ke-14 dibandingkan hari ke-10. Pemberian PRP dapat meningkatkan produksi kadar TNF-a pada awal aktivasi makrofag dan menurunkan produksi TNF-a pada akhir aktivasi makrofag. Pemberian PRP tidak mempengaruhi produksi IL-10 pada awal aktivasi makrofag dan meningkatkan produksi IL-10 pada akhir aktivasi makrofag.
ABSTRACT
Background Autologous PRP has been used widely to accelerate wound healing, but many are case reports lacking controls. Research explains how the effect of the use of PRP to the process is still very limited. This study was aimed to analyze the effect of PRP on the production pro and anti inflammatory mediators from macrophage culture.Methods This experimental research was prepared from peripheral blood samples collected 2 times from healthy subjects, within an interval of 1 week. In the first blood collection, monocytes were isolated then cultured for 1 week into macrophage Human monocyte derived macrophages . On day 7, the second blood collection was done to isolate PRP and serum, then 5 different treatments were treated to each subject. Group I, macrophage plus serum. Group II, macrophage plus serum and LPS. Group III, macrophage plus serum, LPS, and PRP. Group IV, macrophage plus LPS and PRP. Group V, macrophage plus PRP. On day 10 and day 14, cytokine TNF a and IL 10 that produced by macrophage culture were measured using ELISA technique.Results There was significant decrease of TNF a concentration on day 14 compared to day 10, especially in Group II p 0.001 , Group III p 0.011 , and group IV p 0.000 . Macrophage rsquo s ability to produce TNF a was decrease on day 14 compared to day 10. There was significant increase of IL 10 concentration on day 14 compared to day 10, in Group I p 0.05 , Group II p 0.018 , Group III p 0.017 , Group IV p 0.030 , and Group V p 0.030 . Macrophage rsquo s ability to produce IL 10 was increase on day 14 compared to day 10, but there was no significant difference between each group.Conclusions In general, TNF a concentration decrease on day 14 compare to day 10 but IL 10 concentration increase on day 14 compare to day 10. PRP supplement can increase the production of TNF a in the first phase of macrophage activation and reduce the production of TNF a in the late phase of macrophage activation. PRP supplement doesn rsquo t influence the production of IL 10 in the first phase of macrophage activation but can induce the increasing of IL 10 production in late phase of macrophage activation.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aprilita Rina Yanti Eff
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Glukokortikoid memiliki efek penting terhadap proses seluler dan metabolik yang berperan dalam respon imun dan inflamasi. Masalah utama dalam penggunaan glukokortikoid adalah dalam timbulnya efek samping yang sering terjadi pada pemberian jangka panjang dengan dosis menengah. Penggunaan liposom sebagai pembawa obat, dalam hal ini metilprednisolon palmitat (MPLP) diharapkan dapat menurunkan efek samping yang ditimbulkan. Metilprednisolon palmitat adalah senyawa yang berhasil diinkorporasi ke dalam membran liposom, membentuk L-MPLP. Penelitian ini bertujuan: 1) menilai efek biologik L-MPLP sebagai senyawa Baru, yaitu dengan menilai secara kuantitatif kadar TNF a yang diperoleh dari kultur limpa mencit jantan galur C3H menggunakan ELISA, setelah 48 jam pemberian MPLP intravena dengan dosis 2 mg/kg BB, 8mg/kg BB dan 16 mg/kg BB dan pemberian L-MPLP ke dalam kultur secara in vitro dengan konsentrasi 5x 10"3 mM, 5 x10`2 mM dan 5 x104 mM, dibandingkan dengan kontrol metilprednisolon (MPL). 2) Mengetahui apakah MPLP atau metabolitnya akan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan MPL pada jangka waktu dan pemberian yang sama, yang diukur dengan menggunakan TLC. Perhitungan kadar diiakukan menggunakan grogram Presto Page Manager dan Adobe Photo Shop 5.0. Hasil dan Kesimpulan : Pada kultur in vivo, L-MPLP dengan dosis 8 nag/kg BB dan 16 mg/kg BB setelah 48 jam pemberian, menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a), yang berbeda bermakna (pc-0,05) dibandingkan kontrol MPL. Sedangkan pada kultur in vitro, L-MPLP dengan konsentrasi 5 x 10-1 mM menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a) yang berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kontrol MPL . Distribusi MPLP atau metabolitnya di hepar dan limpa, walaupun tidak bermakna secara statistik (p>0,05), tetapi menunjukkan kecenderungan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol MPL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ibnu Kahtan
Abstrak :
ABSTRAK
Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara tropis, karena angka kesakitan dan kematiannya yang tinggi. Gejala yang berat sampai kematian akibat malaria dipengaruhi respon imun setiap individu maupun ketepatan pengobatan malaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek respon imun (TNF-α) mencit terinfeksi Plasmodium berghei yang diberi ekstrak akar pasak bumi sebagai antimalaria. Jenis penelitian ini adalah eksperimental in vivo dengan membagi 5 kelompok perlakuan yang berbeda (kontrol, Plasmodium berghei dan akuades, CMC, Plasmodium berghei dan CMC, Plasmodium berghei dan ekstrak akar pasak bumi). Pemeriksaan tingkat parasitemia menggunakan pemeriksaan darah tipis dan tebal. Hasil pemeriksaan TNF-α menggunakan teknik bead based multiplexing technique didapatkan nilai mean flourescence intensity (MFI) yang digunakan sebagai ukuran kadar TNF-α. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan ekstrak akar pasak bumi sebagai antimalarial, dengan nilai rerata growth inhibit sebesar 88,93%. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan bermakna antara tingkat parasitemia dengan TNF-α (Uji Spearman, r= - 0,838; p=0.002). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akar pasak bumi dapat mengaktivasi TNF-α yang bekerja sebagai imunoproteksi. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak akar pasak bumi meningkatkan ekspresi TNF-α yang berhubungan dengan menurunnya tingkat parasitemia pada mencit yang diinfeksi plasmodium berghei.
ABSTRACT
Malaria is still the main health problem in the world, mainly in tropical countries since its incidence of illness and death is high. The severe symptoms, which may lead to death, are affected not only by the immune response of each individual but also by the efficacy in the malaria treatment. The purpose of this research is to investigate the effect of immune response (TNF-α) of the Plasmodium berghei infected mice which was treated with the pasak bumi root extract as antimalaria. This was in vivo experimental study in which the experimental animals were divided into five different groups (control, Plasmodium berghei and aquades, CMC, Plasmodium berghei and CMC, Plasmodium berghei and pasak bumi root extract). The level of parasitemia were determineted by using thin and thick blood staining. The bead based multiplexing technique was used in the TNF-α examination in order to obtain mean fluorescence intensity (MFI) which was later used as TNF-α standard. The results of this research showed the potential of the pasak bumi root extract as antimalaria with the mean percentage of growth inhibition was 88.93%. The correlation analysis showed a meaningful relation between the parasitemia level and TNF-α (Spearman test, r= - 0,838; p=0.002). This means that the pasak bumi root extract could activate TNF-α which acts as immune protector. In conclucion, the pasak bumi root extract could enhance the TNF-α expression as shown by the decline of the parasitemia level in the Plasmodium berghei infected mouse
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanik Sundari
Abstrak :
Latar belakang: Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) merupakan salah satu tanaman herbal di Indonesia dan ekstrak air buah mahkota dewa telah terbukti memiliki efek hepatoprotektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan mekanisme kerja ekstrak air buah mahkota dewa dalam mencegah terjadinya fibrosis hati. Metode: Penelitian dilakukan pada tikus Sprague-Dawley jantan yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl4) secara intraperitoneal setiap 3 hari sekali selama 8 minggu. Hewan coba dibagi menjadi 6 kelompok: normal, CCl4, n-Acetyl cysteine (NAC) dosis 150 mg/kgBB, ekstrak air buah mahkota dewa dosis 50, 100 dan 150 mg/kgBB. Penilaian dilakukan terhadap parameter aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (ALP), histopatologi hati, kadar malondialdehid (MDA), rasio GSH/GSSG, kadar Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan kadar Transforming Growth Factor (TGF)-β1 Hasil: Hasil studi menunjukkan bahwa ekstrak air buah mahkota dewa dan NAC secara bermakna dapat melindungi hati dari cedera melalui penurunan aktivitas enzim ALT, AST, ALP dan penurunan persentase jaringan ikat pada pemeriksaan histopatologi. Ekstrak air buah mahkota dewa dan NAC dapat menghambat stress oksidatif melalui penurunan kadar MDA hati dan peningkatan rasio GSH/GSSG hati. Ekstrak air buah mahkota dewa dan NAC dapat menekan inflamasi melalui penurunan kadar TNF-α dan menghambat aktivasi sel stelata hati (HSC) yang ditandai dengan penurunan kadar TGF-β1. Kesimpulan: Ekstrak air buah mahkota dewa dapat mencegah fibrosis hati pada tikus yang diinduksi CCl4. Pencegahan terhadap fibrosis tersebut terutama melalui aktivitas antioksidan dan kemampuan menekan sitokin inflamasi TNF-α, serta menghambat aktivasi HSC melalui penurunan sitokin fibrogenik TGF-β1.
Introduction: Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) is one of the Indonesian herbal plants. Hepatoprotective effect of aqueous extract of mahkota dewa fruits have been studied previously. This study was conducted to evaluate the activity of water extract of mahkota dewa in the prevention of liver fibrosis and its mechanism of action. Method: Male Sprague-Dawley rats were induced by carbon tertrachloride (CCl4) given every 3 days by intraperitoneal injection for 8 weeks. Rats were randomly allocated into 6 groups: control group, n-acetyl cysteine/NAC (150 mg/kgBB), aqueous extract of mahkota dewa (50, 100 and 150 mg/kgBB). Aspartate aminotransaminase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline phosphatase (ALP), liver histopathology, malondialdehyde (MDA), ratio GSH/GSSG, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α and Transforming Growth Factor (TGF)-β1 were examined. Results: This study demonstrates that aqueous extract of mahkota dewa and NAC significantly protects the liver from injury by reducing the activity of AST, ALT, ALP and by reducing fibrosis percentage in histopatological examination. Aqueous extract of mahkota dewa and NAC attenuates oxidative stress by reducing the levels of MDA and increasing GSH/GSSG ratio. Aqueous extract of mahkota dewa and NAC suppresses inflammation by reducing the levels of TNF- α and inhibits hepatic stellate cells (HSC) activation by reducing the levels of TGF-β1. Conclusions: Aqueous extract of mahkota dewa prevents CCl4-induced fibrosis in rats. The prevention of liver fibrosis most possibly through its antioxidant activities, suppression of inflammatory cytokines TNF-α and inhibition of HSC activation by reducing fibrogenic cytokines TGF-β1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Mujadid
Abstrak :
Penggunaan DMPS sebagai filler material berdasar pada anggapan bahwa DMPS merupakan biomaterial yang bersifat inert terhadap sistem imun tubuh. Berbagai kasus pada individu dengan injeksi DMPS memicu timbulnya granuloma yang kemudian diikuti oleh fibrosis. Berbagai kemungkinan penyebab mengenai kemunculan respon imun akibat DMPS pun muncul. Mulai dari kontaminasi oleh komponen bakteri, seperti LPS, cara injeksi yang tidak tepat, volume DMPS yang diinjeksikan tidak sesuai hingga mekanisme seluler, seperti oksidasi DMPS, yang menyebabkan molekul tersebut menjadi imunogenik. Data yang didapat dari penelitian ini akan mencoba menjelaskan mekanisme respon imun seluler dari resipien terhadap DMPS yang diinjeksikan dengan metode secara in vitro untuk mengetahui gambaran respon imun yang terjadi di dalam tubuh akibat pajanan DMPS hingga dapat memicu timbulnya granuloma hingga fibrosis. PBMC diambil dari pasien normal dan pasien dengan granuloma akibat injeksi DMPS. Kemudian, dikultur selama 72 jam dengan kelompok perlakuan RPMI sebagai kontrol negatif, PHA dan LPS sebagai kontrol positif, DMPS dan DMPS dengan penambahan plasma autolog. Tujuan dari kultur PBMC tersebut adalah untuk mendapatkan gambaran aktivitas sitokin TNF-a, IFN-g, IL-6, IL13 dan IL-10 yang diperoleh dengan analisis menggunakan Milliplex map kit Luminex serta proliferasi PBMCdengan menggunakan pewarnaan acridine orange. Tidak ada peningkatan proliferasi limfosit maupun monosit yang signifikan (p>0,05) pada kelompok perlakuan DMPS, baik pada pasien normal maupun pasien dengan granuloma. Peran plasma autolog pun tidak teramati dalam meningkatkan proliferasi pada kedua sel. Meskipun demikian, plasma autolog berperan dalam peningkatan aktivitas TNF-a dan IL-6 secara signifikan (p<0,05) sebagai respon terhadap pajanan DMPS, baik pada pasien normal maupun pasien dengan granuloma. Data penelitian ini menunjukkan bahwa DMPS mampu memicu timbulnya inflamasi yang dimediasi oleh aktivitas TNF-a dan IL-6 dan sangat bergantung pada protein plasma setiap individu, meskipun data berupa proliferasi PBMC belum dapat menggambarkan gambaran respon imun terhadap DMPS.
The use of DMPS as a filler material based on the assumption that DMPS is a biomaterial that is inert to the immune system. Various cases in individuals with DMPS injection, trigger granuloma formation, followed by fibrosis. Possible causes of the emergence of the immune response due to DMPS are appeared. Start from contamination by bacterial components, such as LPS, improper injection method, the volume of injected DMPS does not conform, and cellular mechanisms, such as oxidation of DMPS, which causes that molecule becomes immunogenic. The data obtained from this study may try to explain the mechanism of cellular immune response of DMPS-injected recipients with in vitro-based method to get the description of immune responses that occurs in the body due to exposure of DMPS which can lead to granuloma formation, followed by fibrosis. PBMC is taken from normal patients and patients with granulomas due to injection of DMPS. And then, it was cultured for 72 hours with RPMI treatment as a negative control, PHA and LPS as a positive control, DMPS and DMPS with the addition of autologous plasma. The purpose of the PBMC culture was to describe the activity of TNF-a, IFN-g, IL-6, IL13 and IL-10, which were obtained by analysis using Milliplex map kit Luminex and PBMC proliferation using acridine orange staining. There is no increase in proliferation of lymphocytes and monocytes were significantly (p> 0.05) in the DMPS-treated group, both in normal patients and patients with granulomas. The role of autologous plasma was not observed in the increase both cell proliferation. Nonetheless, autologous plasma had a role in the increased activity of TNF-a and IL-6 significantly (p <0.05) in response to exposure DMPS, both in normal patients and patients with granulomas. The data of this study indicated that DMPS is able to trigger inflammatory activity mediated by TNF-a and IL-6 and it was very dependent on each individual plasma proteins, although the data from proliferation of PBMC has not been able to describe immune response against DMPS.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Crystal Gayle Paduli
Abstrak :
Latar Belakang : Penyakit dekompresi disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya peningkatan biomarker inflamasi. Adanya Nitrox-2 diharapkan dapat mengurangi insiden DCS pada penyelaman, namun terdapat berbagai kontroversi mengenai pemakaian Nitrox-2 dikaitkan dengan peningkatan stress oksidatif yang lebih tinggi. Pengaruh Nitrox-2 terhadap biomaker inflamasi belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efek Nitrox-2 sebagai media nafas dibandingkan dengan Udara terhadap kadar TNF- ? ? ? pada penyelaman tunggal dekompresi. Metode : Penelitian ini merupakan true experimental dengan desain double-blind pada 36 penyelam pria terlatih yang dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok, dimana kelompok Udara sebagai kontrol memakai Udara kompresi dan kelompok Nitrox-2 sebagai perlakuan memakai Nitrox-2. Kedua kelompok melakukan penyelaman tunggal dekompresi 28 msw, bottom time 50 menit dalam RUBT. Kadar TNF- ? ? ? diukur menggunakan teknik ELISA, sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil : Terdapat peningkatan kadar TNF- ? ? ? baik kelompok Udara p=0,124 dan kelompok Nitrox-2 p=0,943 . Selisih rerata kadar TNF- ? ? ? kelompok Udara lebih besar dari kelompok Nitrox-2 p=0,394 . Tidak terdapat perbedaan bermakna p > 0,05 setelah perlakuan pada status TNF- ? ? ? antara kedua kelompok. Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan efek antara penggunaan Udara dengan Nitrox-2 pada penyelaman tunggal dekompesi 28 msw, bottom time 50 menit. ...... Background : Decompression sickness DCS is caused by many factors, one of which is the increase of inflammatory biomarkers. Invention of Nitrox 2 was expected to reduce DCS incidence in diving, but there are controversy about Nitrox 2 usage since it produce higher oxidative stress. Effect of Nitrox 2 towards inflammatory biomarkers has not been studied. This study aims to determine the varying effect of Compressed Air Breathing compared to Nitrox 2 on TNF levels in single decompression dive. Methods : Double blind experiment study was conducted on 34 trained trained male divers, which divided into two groups, control and treatment, using block randomization. The control group undergo the intervention using compressed air breathing, while the treatment group using Nitrox 2. Both group performed a single decompression dive, at 28 msw bottom time 50 minute in hyperbaric chamber using each breathing medium. TNF levels measured before and after the intervention, using ELISA technique. Results : There are increase of TNF levels in both group, Compressed Air group p 0,124 and Nitrox 2 p 0,943. Mean difference of TNF levels on control higher than treatment group p 0,394. There is no significant difference p 0,05 after treatment on TNF status between the two groups. Conclusion : There is no varying effect between Compressed Air breathing and Nitrox 2 on single decompression dive at 28 msw bottom time 50 minutes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Faisal
Abstrak :
Latar Belakang: Kehilangan massa tulang pada artritis reumatoid (AR) terjadi akibat ketidakseimbangan proses resorpsi dan formasi tulang. Tumor necrosis factor-α (TNF-a) adalah salah satu sitokin proinflamasi utama yang secara langsung dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, namun peranannya pada proses formasi tulang belum secara jelas diketahui. Aktivitas formasi tulang dapat dihambat oleh Dickkopf-1 (DKK-1) yang meningkat pada pasien AR. Penilaian turnover tulang dapat dilakukan dengan mengukur kadar C-terminal telopeptide (CTX) dan N-terminal propeptide (PINP) yang saat ini menjadi standar untuk penanda turnover tulang. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran aktivitas turnover tulang pada pasien AR dengan melihat korelasi antara TNF-α dengan DKK-1 dan CTX untuk penilaian resorpsi tulang, dan korelasi antaran TNF-α dengan DKK-1 dan P1NP untuk penilaian formasi tulang. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 38 subjek artritis reumatoid perempuan premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinik reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan TNF-α, DKK-1, CTX, dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median durasi menderita penyakit adalah 5 tahun. 60,5% pasien berada dalam kondisi remisi atau aktivitas penyakit rendah, 36,8% dalam kondisi aktivitas penyakit sedang, dan 2,6% pasien dalam kondisi aktivitas penyakit tinggi. Didapatkan median kadar TNF-a adalah 10.6 pg/mL, rerata kadar DKK-1 adalah 4027 pg/mL, rerata kadar CTX adalah 2,74 ng/mL, serta median nilai P1NP adalah 34 pg/mL. Kadar DKK-1 dan CTX dijumpai lebih tinggi sedangkan kadar P1NP lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar pasien AR pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP, sedangkan variabel lain tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Simpulan: Pada penelitian ini ditemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP. Dijumpai kadar TNF-a yang rendah, DKK-1 yang tinggi, dan CTX yang tinggi dengan kadar P1NP yang rendah yang menunjukkan respon perbaikan tulang pada pasien AR tidak dapat mengimbangi tingginya aktivitas resorpsi tulang.
Background: Bone mass loss in rheumatoid arthritis (RA) is due to the imbalance of bone resorption and formation process.Tumor necrosis factor-α (TNF-a) is one of the main proinflammatory cytokines that can directly increase bone resorption, but its effect on bone formation is still uncertain. Bone formation could be inhibited by Dickkopf-1 (DKK-1) that is increased in RA patients. Bone turnover could be determined by assessing the level of C-terminal telopeptide (CTX) and N-terminal propeptide (PINP), both are standard measurement for bone turnover markers. Objective: This study aims to examine bone turnover in RA patients by analysing correlation between TNF-α with DKK-1 and CTX for assesment of bone resorption, and correlation between TNF-α with DKK-1 and P1NP for assesment of bone formation. Methods: This is a cross-sectional study with 38 subjects of RA premenopausal women. The subjects were collected with consecutive sampling technique in rheumatology outpatient clinic in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum TNF-α, DKK-1, CTX, and P1NP levels were done using ELISA technique. Results: The median duration of RA in this study is 5 years. 60,5% of the patients were in remission or low activity disease, 36,8% were in moderate activity disease, and 2,6% were in high activity disease. The median value of TNF-a was 10.6 pg/mL, mean value of DKK-1 was 4027 pg/mL, mean value of CTX was 2,74 ng/mL, and mean value of P1NP was 34 pg/mL. DKK-1 and CTX levels were increased while P1NP level was lower compared to the RA patients in previous studies. This study found weak positive correlation between TNF-α and P1NP, while the other variables showed no significant correlation. Conclusions: This study demonstrated weak positive correlation between TNF-α and P1NP. We found low level of TNF-α, high level of DKK-1, and high level of CTX with low level of P1NP that indicate that the bone repair response could not keep up to the high bone resorption activity in RA patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiarto
Abstrak :
Latar Belakang: Subyek diabetes melitus (DM) tipe 2 mengalami peningkatan risiko fraktur akibat penurunan kekuatan tulang. Bone mineral density (BMD), sebagai parameter kuantitas tulang, tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada subyek DM tipe 2 karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat dibandingkan dengan subyek bukan DM, sehingga peningkatan resiko fraktur pada subyek DM tipe 2 lebih disebabkan oleh penurunan kualitas tulang. Salah satu unsur penentu kualitas tulang adalah turnover tulang. Beberapa faktor yang berpengaruh pada turnover tulang, antara lain tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan sclerostin. Kajian TNF-α dan sclerostin pada subyek DM perempuan pernah dilaporkan namun melibatkan subyek pascamenopause, sehingga tidak dapat dipisahkan efek TNF-α dan sclerostin terhadap turnover tulang. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil kadar TNF-α dan sclerostin serum pada subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 dan bukan DM. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 80 subyek perempuan pramenopause yang terdiri dari ini 40 subyek DM Tipe 2 dan 40 subyek bukan DM. Data yang dikumpulkan antara lain: karakteristik subyek, riwayat penggunaan obat-obatan, HbA1C, SGPT, kreatinin, dan eGFR. Pemeriksaan TNF-α dan sclerostin serum dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil: Median (rentang interkuartil) kadar TNF-α serum pada subyek DM tipe 2 [43,0 pg/mL (14,4-101,31)], lebih tinggi dibandingkan subyek bukan DM [23,86 pg/mL (11,98-78,54)] namun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0.900). Rerata (simpang baku) kadar sclerostin serum pada subyek DM tipe 2 [132,05 pg/mL (SB 41,54)], lebih tinggi bermakna (p<0.001) dibandingkan subyek bukan DM [96,03 pg/mL (SB 43,66)]. Tidak didapatkan hubungan antara kadar TNF-α dan sclerostin serum baik pada subyek DM tipe 2 (p=0,630) maupun subyek bukan DM (p=0,560). Kesimpulan: Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar TNF- α serum lebih tinggi namun tidak bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM. Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar sclerostin serum lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM. ......Background: The subject of type 2 diabetes mellitus (T2DM) has an increased risk of fracture due to a decrease in bone strength. Bone mineral density (BMD), as a parameter of bone quantity, cannot describe bone fragility in T2DM subjects because it shows normal or increased results compared to non-DM subjects, so an increased risk of fracture in T2DM subjects is due to a decrease in bone quality. One element that determines bone quality is bone turnover. Some factors that influence bone turnover include tumor necrosis factor-α (TNF-α) and sclerostin. TNF-α and sclerostin studies in female DM subjects have been reported but involve postmenopausal subjects, so that the effects of TNF-α and sclerostin cannot be separated from bone turnover. Objective: This study aims to obtain a profile of serum TNF-α and sclerostin levels in premenopausal women with T2DM and non-DM. Method: A cross-sectional study was carried out on 80 premenopausal female subjects consisting of 40 T2DM subjects and 40 non-DM subjects. Data collected included: subject characteristics, history of drug use, HbA1C, SGPT, creatinine, and eGFR. Serum TNF-α and sclerostin examination was carried out by the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. Results: The median (interquartile range) of serum TNF-α levels in T2DM subjects [43.0 pg/mL (14.4-101.31)], was higher than non-DM subjects [23.86 pg/mL (11.98 -78.54)] but the difference was not significant (p= 0.900). The mean (standard deviation) of serum sclerostin levels in T2DM subjects [132.05 pg/mL (SD 41.54)], was significantly higher (p< 0.001) than non-DM subjects [96.03 pg/mL (SD 43.66)]. There was no association between serum TNF-α and sclerostin levels in both T2DM subjects (p= 0.630) and non-DM subjects (p= 0.560). Conclusions: Subjects of premenopausal women with T2DM had higher serum TNF-α levels but were not significant compared to non-DM subjects. Subjects of premenopausal women with T2DM had significantly higher serum sclerostin levels compared to non-DM subjects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>