Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meika Purnamasari
Abstrak :
Tesis ini menganalisa tentang peran North Atlantic Treaty Organization (NATO) pasca Perang Dingin dengan studi kasus NATO dalam perang di Irak dan Suriah. Tesis ini juga menganalisa mengenai relevansi eksistensi NATO bagi stabilitas keamanan kedua negara tersebut. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan Teori Sekuritisasi. Hasil penelitian dari tesis ini antara lain adalah bahwa NATO melakukan proses sekuritisasi sehingga dapat berperan dalam kedua perang tersebut. Eksistensi NATO tidak memiliki pengaruh positif bagi stabilitas keamanan Irak dan Suriah. ......This thesis analyzes the role of the North Atlantic Treaty Organization (NATO) on post Cold War era with case studies NATO at Iraq and Syrian war. This thesis also analyzes the relevance of NATO’s existence for security stabilities of both countries. The research method of this thesis is qualitative research using Theory of Securitization. The results of this research are NATO conduct process of securitization to have a role at Iraq and Syrian war. The existence of NATO at Iraq and Syria has no positive impact for security stabilities of both countries.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hindley, Geoffrey
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012
956.014 HIN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Alvy Sekar Praja
Abstrak :
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis alasan kegagalan sanksi Amerika Serikat dalam skema Caesar Act dalam melakukan perubahan rezim di Suriah tahun 2019-2023. Pada tahun 2019 Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi paling komperhensif terhadap Suriah melalui skema Caesar act. Sanksi Ekonomi dalam Caesar Act secara eksplisit melarang segala bentuk bantuan luar negeri dan investasi di Suriah. Tujuan dari Sanksi Ekonomi dalam skema Caesar Act ini adalah untuk mempengaruhi adanya perubahan rezim atas segala tindakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakatnya di Suriah. Dampaknya, sanksi ekonomi tersebut memberikan dampak buruk terhadap perekonomian Suriah, akan tetapi disaat yang sama Sanksi ekonomi tersebut justru memperburuk kondisi kehidupan masyarakat di Suriah. Secara umum, resistensi suatu negara akan runtuh ketika negara tersebut tidak berhasil memenuhi stabilitas domestik dan kepentingan ekonominya. Akant tetapi Pemerintah Suriah tetap bertahan dan tidak merubah kebijakannya. Sehingga Sanksi Ekonomi Amerika Serikat gagal dalam menacapi political change di Suriah. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan Teknik triangulasi. Artikel ini menemukan bahwa kegagalan sanksi ekonomi Amerika Seriat dalam skema Caesar Act sebagai sanksi paling komperhensif dipengaruhi oleh faktor domestik (Stateness Level) yang membuat Suriah memiliki kemampuan untuk menolak atau mengabaikan economic statecraft tersebut. ...... This article aims to analyze the reasons for the failure of the United States (US) economic sanctions under the Caesar Act project, which were intended to bring about a change in the Syrian administration between 2019 and 2023. In 2019, the US implemented the Caesar Act project, which involved imposing the most comprehensive economic embargo on Syria. The Caesar Act imposed explicit restrictions on all types of foreign assistance and investment in Syria. The primary goal of the economic sanctions implemented under the Caesar Act was to exert pressure on the Syrian regime to bring about a change in government due to its severe breaches of human rights against its own citizens. Consequently, the economic sanctions had adversely affected the Syrian economy, while simultaneously exacerbating the living conditions of the people in Syria. In general, a nation's resilience weakened when it was unable to fulfil its internal stability and economic objectives. However, the Syrian government remains resolute and unwavering in its decisions. The US economic sanctions proved ineffective in addressing political transformation in Syria. This article used a qualitative methodology, utilizing triangulation techniques. This article concludes that the American economic sanctions, namely the Caesar Act, have failed due to the domestic component (stateness level) which allowed Syria to refuse or disregard the economic statecraft.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Wadi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kesimpulan umum tentang kemungkinan entitas politik di wilayah tak berpemerintahan membentuk otoritas alternatif, melalui studi kasus kelompok Ahrar Syam dalam perang Suriah selama 2011-2016. Untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat, pesan-pesan Ahrar Syam dianalisis dengan teori citra dan teori identitas sosial. Temuan menunjukkan bahwa Ahrar Syam adalah metamorfosis gerakan Salafi Jihadi yang terbuka terhadap kelompok luar dan strategi moderat untuk membentuk negara Islam di Suriah. Ahrar Syam tidak menerima negosiasi apa pun yang melibatkan rezim Suriah, sehingga beberapa upaya penyelesaian konflik menemui jalan buntu. Implikasi temuan ini, perang Suriah akan cenderung berlanjut dan solusi apa pun yang dipaksakan dari luar tidak akan mencerminkan realitas di dalam wilayah Suriah dan berakhir dengan kegagalan berulang. ...... This study aims to find a conclusion about the possibility of political entities in the ungoverned territories forming an alternative authority, through case studies of Ahrar Sham group in Syria's war during the 2011-2016 war. To get an accurate conclusion, the messages of Ahrar Sham analyzed by image theory and social identity theory. The findings indicate that the Ahrar Sham is the metamorphosis of Salafi Jihadi movement that opens itself to the outside groups and implement a moderate strategy to establish Islamic state in Syria. Ahrar Sham does not accept any negotiations involving the Syrian regime, so some efforts to resolve the conflict ended in a stalemate. Implications of these findings, Syria's war would be likely to continue and any solution imposed from outside may not reflect the realities inside Syria and ended up with repeated failure.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astuti Nurjanah
Abstrak :
Tesis ini akan membahas kewarganegaraan ditinjau dari perspektif hukum nasional Indonesia dan hukum internasional, dampak hak kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia yang turut serta sebagai Foreign Terrorist Fighters (FTF), serta saran perlindungan terhadap kewarganegaraan anak-anak dari warga Negara Indonesia yang terlibat sebagai FTF di Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang dapat menjamin kepastian hukum dan mendukung kepentingan hak asasi manusia di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif dengan metode penafsiran sistematis. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebijakan untuk mencabut kewarganegaraan eks ISIS di Indonesia masih menimbulkan kontradiksi. Hukum internasional tidak memaksakan Negara kebangsaan secara langsung kewajiban untuk memulangkan anggota keluarga FTF. Meskipun demikian, beberapa komitmen yang relevan didirikan di bawah berbagai bidang internasional, hukum nasional yang mendukung repatriasiasi, sebagai pilihan terbaik untuk bertindak sesuai dengan internasional yang ada dalam kerangka kerja nasional. Dalam mengkaji status kewarganegaraan eks ISIS ini, penting untuk membedakan anak-anak dari orang dewasa karena hak atas kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan peraturan internasional Article 15 Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Article 24 Section 3 the International Covenant on Civil and Political Right, serta Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Meskipun demikian, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan mencabut kewarganegaraan anak-anak dari warga negara Indonesia eks ISIS, bisa saja mereka melakukan hal itu karena tidak dalam kondisi bisa memilih. Jika mereka diterima, maka pemerintah harus siap dengan beberapa konsekuensi. Pertama, pemerintah perlu melakukan identifikasi dan pemilahan anak-anak yang dapat dibawa kembali ke Indonesia. Kedua, menyediakan fasilitas pelayanan Kesehatan dengan sumber daya manusia kesehatan jiwa yang memadai untuk intervensi psikologis anak-anak tersebut. Ketiga, menyiapkan program sosialisasi dan dukungan agar masyarakat dapat menerima anak yatim piatu kombatan ISIS, sebagai bentuk pemenuhan kewajiban pelindungan anak yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah perlu memandang anak-anak sebagai korban, bukan pelaku. Jangan sampai mereka harus menanggung dosa yang dilakukan orang tua mereka, seperti yang terjadi pada anak-anak bekas tahanan politik. ......This thesis is aimed to discuss citizenship from the perspective of Indonesian national law and international law, the impact of citizenship rights on Indonesian citizens who participate as Foreign Terrorist Fighters (FTF), as well as advice on protecting the citizenship of children from Indonesian citizens who are involved in the FTF in the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) which can guarantee legal certainty and support the interests of human rights in Indonesia. This research is a normative legal research and uses secondary data which is analyzed descriptively with a systematic interpretation method. The results of the study revealed that the policy to revoke ex-ISIS citizenship in Indonesia still creates contradictions. International law does not impose a national State directly on the obligation to repatriate FTF family members. Nonetheless, several relevant commitments were established under various international, national laws supporting repatriation, as the best option for acting in accordance with existing international frameworks. In reviewing the ex-ISIS citizenship status, it is important to distinguish children from adults because the right to citizenship has been regulated in Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, and international regulations Article 15 of the Universal Declaration of Human Rights in 1948 and Article 24 Section 3 of the International Covenant on Civil and Political Rights, as well as the Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Nonetheless, the government needs to review the policy of revoking the citizenship of children of ex- ISIS Indonesian citizens, not in a state of being able to choose. If they are accepted, then the government must be prepared with some consequences. First, the government needs to identify and sort out children who can be brought back to Indonesia. Second, providing health service facilities with adequate mental health human resources for psychological intervention for these children. Third, prepare a socialization and support program so that the community can accept ISIS combatant orphans, as a form of fulfilling the obligation to protect children as regulated in Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. The government needs to view children as victims, not perpetrators. Do not let them have to bear the sins of their parents, as happened to the children of former political prisoners.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davindra Fadhlurrahman Widardjo
Abstrak :

Dalam hubungan antarnegara sebagai sebuah komunitas internasional yang hidup dalam perdamaian, negara-negara diwajibkan untuk menahan diri dari ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab utama atas pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional diberikan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Dewan Keamanan. Dalam menjalankan mandat tersebut, Dewan Keamanan memiliki kewenangan yang spesifik untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif, sebagaimana dipertegas dalam Bab VII Piagam PBB, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata dari negara-negara anggota. Dewan Keamanan telah mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata pada berbagai kasus, seperti pada Perang Teluk, operasi negara-negara di Afrika, dan intervensi militer di Mali terhadap teroris. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk menguraikan kewenangan Dewan Keamanan untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara melalui resolusi yang diadopsi, kemudian mengamati praktik Dewan Keamanan pada kasus-kasus terdahulu, dan pada akhirnya menganalisis penggunaan kekuatan bersenjata pada kasus perang melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak dan Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2249 (2015). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan tidak mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata terhadap ISIS di Irak dan Suriah, namun memberikan perkembangan mengenai teori hak bela diri terhadap aktor non-negara apabila negara teritorial tidak mampu atau tidak mau mengatasi ancaman tersebut. Penelitian ini menyarankan bahwa hendaknya otorisasi Dewan Keamanan tidak serta merta dianggap sebagai cap persetujuan atas operasi militer di negara lain dimana negosiasi dan pembahasan yang panjang akan selalu diperlukan, dan respon militer atas dasar bela diri tetap harus sesuai dengan pembatasan dalam hukum internasional.


In the relationship between states as an international community living in peace, states must refrain from the threat or use of force. The primary responsibility for the maintenance of international peace and security is conferred by the members of the United Nations (UN) on the Security Council. In carrying out its mandate, the Security Council has specific powers to take effective collective measures, emphasized in Chapter VII of the UN Charter, including the use of force of member states. The Security Council has authorized the use of force in many cases, such as in the Gulf War, the state operations in Africa, and the military intervention in Mali against terrorists. By using juridicial-normative method and secondary data, this study attempts to elaborate the power of the Security Council to authorize the use of force by states through adopted resolutions, then examines the practice of the Security Council in the previous cases, and eventually analyses the use of force in the case of war against Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria based on Security Council Resolution 2249 (2015). This study concludes that the Security Council did not authorize the use of force against ISIS in Iraq and Syria, but it provides a development on self-defence theory against non-state actors if the territorial state is unable or unwilling to suppress the threat. This study advises that the Security Council authorization should not be considered as approval stamp for military operation in other state, where long negotiations and discussions will always be needed, and that military response as self-defence must be in accordance with the limitations in international law.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faqih Hindami
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang latar belakang keterlibatan Federasi Rusia dalam Perang Sipil di Suriah. Dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, penulis berupaya untuk memahami keterlibatan Federasi Rusia sebagai great power dalam menyelesaikan konflik Perang Sipil di Suriah melalui dokumen-dokumen hasil negosiasi Rusia bersama negara-negara yang terlibat di dalam konflik. Dokumen-dokumen tersebut menyatakan bahwa Perang Sipil di Suriah hanya dapat diselesaikan melalui proses negosiasi politik di bawah pengawasan PBB untuk mengembalikan stabilitas keamanan. Melalui keterlibatannya dalam Perang Sipil di Suriah, Rusia senantiasa memiliki intensi untuk mempertahankan diri dan kepentingannya dengan menjadi hegemoni dalam sistem internasional. ......This study disdusses the background ot the involvement of the Russian Federation in Syrian Civil War. Using Norman Fairclough's Critical Discourse Analysis method, the author seeks to understand the involvement of the Russian Federation as a great power in resolving the Civil War conflict in Syria through documents from the Russian negotiations with the countries involved in the conflict. These documents state that the Syrian Civil War can only be resolved through a process of political negotiations under the supervision of the United Nations to restore security stability. Through its involvement in the Civil War in Syria, Russia has the intention to defend itself and its interests by becoming a hegemony in the international system.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Mayasaphira Hakim
Abstrak :
Krisis Suriah tidak hanya melahirkan perpecahan secara domestik, tapi juga di tataran komunitas internasional. Ketika Amerika Serikat bersama dengan aliansinya menjadi pendukung utama pergerakan oposisi dalam menurunkan rezim Bashar al-Assad, Rusia justru berada di posisi yang berlawanan dengan mayoritas negara-negara di dunia. Tujuan utama dari skripsi ini adalah memaparkan proses konstruksi dalam pembentukan kebijakan luar negeri Rusia di Suriah. Dengan meneliti proses konstruksi tersebut, skripsi ini mencoba untuk menemukan hubungan yang sebelumnya tidak terlihat antara norma dan identitas yang dipegang Rusia dengan kebijakan di dalam kasus Suriah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keputusan Rusia untuk melindungi rezim al-Assad dikonstruksi oleh (1) struktur lingkungan dan aktor yang berada disekitar; (2) persepsi diri sebagai global power dan adanya keinginan untuk mendapat pengakuan dari pihak lain; dan (3) adanya kepentingan untuk melindungi negara eks-Soviet dengan mayoritas Muslim dari risiko kemunculan Islamic renaissance. ...... The Syrian crisis has not only torn the domestic society into pieces, but also the international community. United States and its allies are the main supporters of opposition movement in toppling Bashar al-Assad regime, while Russia stands on the opposite of the majority. The primary aim of the thesis is to provide the constructive process within the formation of Russian foreign policy in Syria. By exploring the constructive process, the thesis seeks to uncover the unseen relations between Russia‟s norms and identity with its policy in Syria. The results show that Russia's decision to defend al-Assad regime is constructed by (1) the structure of environment and actors surround the conflict; (2) self-perception as global power and how to get the recognition from others; and (3) an interest to protect the Muslim-majority ex-Soviet countries from the risk of Islamic renaissance.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Ramawan Adipura
Abstrak :
Foreign-Imposed Regime Change (FIRC) atau intervensi perubahan rezim merupakan salah satu instrumen kebijakan keamanan Amerika Serikat (AS) dalam mengejar kepentingannya. Dalam Perang Sipil Suriah, AS menjadi salah satu negara pengintervensi dan dengan tujuan untuk mengganti pemerintahan Suriah. AS menggunakan intervensi perubahan rezim tertutup di Suriah. Kajian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan “mengapa AS menggunakan intervensi perubahan rezim tertutup alih-alih terbuka di Suriah?” Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi dokumen. Kerangka analisis yang digunakan adalah Logika Strategi Perubahan Rezim oleh Lindsey O’Rourke (2018) yang terdiri dari pertimbangan taktis dan keuntungan strategis intervensi. Peneliti berargumen bahwa AS menggunakan intervensi perubahan rezim tertutup karena pertimbangan taktis AS di Suriah dan rekam jejak di negara-negara target sebelumnya dan pertimbangan keuntungan strategis akan hasil yang didapat di Suriah serta posisi negara-negara rival membuat AS enggan menggunakan operasi terbuka dan memilih operasi tertutup. ......Foreign-Imposed Regime Change is one of the United States’ (US) security policy instruments to pursue their national security interests. During the Syrian Civil War, the US intervenes with a purpose of overthrowing the incumbent Syrian government. The US uses a covert regime change for that purpose. This research is aiming at answering the question of “why does the US use a covert regime change instead of an overt regime change in Syria?” This research relies on qualitative approach to answer the research question and uses primary and secondary data collected from official documents and open-source information. This research employs the concept of the strategic logic of regime change developed by Lindsey O’Rourke (2018; 2019) to analyze the case. This research focuses on the tactical considerations and strategic benefits of an intervention and argues that US uses covert regime change operation because of the heavy cost of their previous overt regime change polices in Afghanistan, Iraq, and Libya as well as the fear of rival states’ intervention, especially from Russia, in Syria that might endanger their current geopolical standing.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library