Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Caesaria Ayu Ramadhani
"ABSTRAK
Pendinginan cepat mengambil bagian penting dalam proses perlakuan panas yang mengontrol struktur mikro, sehingga meningkatkan sifat mekaniknya. Proses perlakuan panas dimulai dengan pemanasan pada suhu tinggi, menahan waktu kemudian pendinginan cepat ke suhu kamar. Dibutuhkan media dengan konduktivitas termal yang baik yang dapat dicapai dengan penambahan nanopartikel ke media pendinginan, disebut sebagai nanofluida. Dalam penelitian ini, partikel karbon disiapkan dengan metode top-down, di mana pengurangan partikel karbon dilakukan oleh planetary ball-mill selama 15 jam pada 500 rpm. Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide digunakan sebagai surfaktan kationik untuk mengurangi aglomerasi pada partikel tersuspensi sehingga meningkatkan efisiensi pendinginan. Field-Emission Scanning Electron Microscope (FE-SEM), dan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX) digunakan untuk mengamati komposisi bahan, ukuran partikel dan morfologi partikel, dan perubahan permukaan. Karakterisasi awal oleh FE-SEM menunjukkan bahwa ukuran partikel setelah penggilingan rata-rata sekitar 15 μm, oleh karena itu, masih belum dalam kisaran nanometer. Namun, hasil EDS menegaskan bahwa bubuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99% karbon. Partikel karbon mikro ditambahkan sebagai partikel pada aquadest sebagai basis mikrofluida. Mikrofluida karbon berbasis air dengan volume 100 ml diproduksi dengan metode dua langkah, dengan mencampurkan partikel mikro karbon pada 0,1% wt%, dan 0,5 wt% dalam berbagai konsentrasi surfaktan kationik 1 wt%, 3 wt, dan 5 wt% masing-masing. Sampel baja karbon AISI 1045 atau JIS S45C diberi perlakuan panas dengan austenisasi pada 1000oC dalam tungku pemanas, diikuti dengan pendinginan cepat dalam cairan mikro sebagai pendinginan sedang yang menghasilkan diagram laju pendinginan. Sifat mekanis dan struktur mikro dari sampel yang dipadamkan akan diamati dengan melakukan pemeriksaan kekerasan dan pengamatan metalografi untuk menganalisis pengaruh berbagai karbon dan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam media quench mikrofluida karbon berbasis air.

ABSTRACT
Microstructure, thus enhance its mechanical properties. The heat treatment process starts with heating at an elevated temperatur, holding time then rapid cooling to room temperatur. It requires a medium with a good thermal conductivity that can be achieved by the addition of nanoparticles to the quench medium, referred to as nanofluids. In this research, carbon particles were prepared by the top-down method, where the reduction of carbon particle was done by planetary ball-mill for 15 hours at 500 rpm. Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide is utilized as a cationic surfactant in order to reduce agglomeration at suspended particles thus increase quenching efficiency. Field-Emission Scanning Electron Microscope (FE-SEM), and Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX) were used to observe the composition of material, particle size and particle morphology, and the change of the surface. Initial characterization by FE-SEM showed that the particle size after milling was averaged roughly at 15 µm, therefore, it was still not in the nanometer range. However, EDS result confirmed that the powder used in this research were 99% carbon. Carbon microparticles were added as the particle to distilled water as the microfluid base. Water-based carbon microfluid with a volume of 100 ml was produced by the two-step method, by mixing carbon microparticles at 0.1 wt%, and 0.5 wt% in various concentration of cationic surfactant of 1 wt%, 3 wt%, and 5wt % respectively. Samples of AISI 1045 or JIS S45C carbon steels were heat treated by austenizing at 1000oC in a heating furnace, followed by rapid quenching in microfluid as the medium quench resulting on cooling rate diagram. Mechanical properties and microstructures of the quenched samples will be observed by conducting hardness examination and metallography observation to analyze the effect of various carbon and surfactant concentration used in the water-based carbon microfluid quench medium."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effionora Anwar
"Niosom adalah salah satu vesikel surfaktan nonionik yang dapat membawa obat yang sekarang ini sedang dikembangkan. Salah satu eksipien yang digunakan dalam niosom adalah maltodektrin. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan penjerapan obat oleh niosom yang menggunakan maltodekstrin DE 5-10 dart pati singkong sebagai bahan pembawa. Maltodekstrin dengan ukuran 60 mesh (250 um) ditambah surfaktan non ionik menghasilkan proniosom. Proniosom tersebut bila dihidrasi akan menghasilkan niosom. Proniosom dan niosom yang dihasilkan dievaluasi secara mikroskopik dan analisis kuantiatatif terhadap obat yang dijerap, sebagai bahan obat digunakan klorfeniramin maleat (CTM) sebagai model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa maltodekstrin DE 5-10 dari pati singkong dapat digunakan sebagai pembawa dalam pembuatan proniosom dan proniosom yang dihasilkan tersebut dapat digunakan untuk membuat niosom, dan dapat menjerap obat sebesar 45,54% pada konsentrasis urfaktan lOmMdanCTM ImM.

Niosomes are nonionic surfactant vesicles as carrier for drug, that developed by researcher. One of the exipient can be used in niosom is maltodextrin. The aim of this research was to study entrapment ability of drug by niosom that used maltodextrin DE 5-10 from tapioca starch as carrier substance. The maltodextrin DE 5-10 with particle size 60 mesh (250 um) was added non ionic surfactant for proniosomes preparation. The proniosomes when hydrated could be produced niosomes. Both proniosom and niosomes had been evaluated by microscopic and quantity entrapment drug method, and was used chlorpheniramin maleat as a drug model. Results of this research show that maltodextrin DE 5-10 from tapioca starch can be used as the carrier in the proniosome preparations and can be used for producing niosomes, and could entrapped drug 45,54% at 10 mM surfactant concentration and 1 mM CTM."
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2004
SAIN-9-3-2004-18
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarjanto
"ABSTRAK
Saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama. Sebagai sumber energi yang tidak dapat diperbaharui maka minyak bumi yang dihasilkan semakin berkurang pada masa, yang akan datang. Proses pengurasan minyak bumi dengan cara. cc primer" dan "sekunder" memberikan hasil yang terbatas (± 35%), sedangkan minyak bumi yang tersisa pada reservoar masih cukup banyak *(± 65%). Nlinyak bumi yang tersisa, tedebak di dalam pori-pori batuan reservoar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan. suatu surfaktan untuk menarik beberapa jenis minyak bumi dari pori-pori beberapa jenis batuan reservoar ke dalam. fasa air formasi buatan dengan melihat perubahan sudut kontak yang terjadi dari sistem air fonnasi/minyak bumi/batuan reservoar. Surfaktan yang dipakai mempunyai gugus a-olefin sulfonat. Dengan memvafiasikan konsentrasi surfaktan di dalam air formasi buatan dilihat pengaruh surfaktan terhadap sudut kontak yang terbentuk pada sistem air formasi/minyak bumi/batuan reservoar. Temperatur yang dipakai disesuaikan dengan keadaan reservoar pada umumnya yaltu 50'C dan 60'C. Alat yang digunakan untuk mellhat sudut kontak adalah Goinonieter. Digunakan tiga jenis minyak butni yaltu A, B dan C serta dua jenis batuan reservoar yaltu batuan pasir dan batuan kapur. Sifat fisika darl batuan reservoar yaltu porositas, permeabilitas dan ukuran pori-porinya ditentukan dengan dengan porosimeter, permeameter dan scanning mikroskop elektron. Hasil darl penguk-uran sudut kontak sistern air formasi/minyak bumi/batuan reservoar mernberikan hasil yang baik pada konsentrasi surfak-tan 10 mg/100ml balk pada temperatur 50'C dan 60T. Sudut kontak pada subu 50'C ada'iah 25,50' dan pada suhu 60'C adalah 59,17' untuk minyak burni A dengan batuan. pasir,- minyak bumi A dengan batuan kapur pada suhu 50'C adalah 42,91' dan pada subu 60'C adalah 46,45'; minyak bumi B dengan batuan pasir pada suhu 50T adalah 54,40' dan pada suhu 60T adalah 65,500; minyak bumi B dengan *batuan kapur pada suhu 50'C adalah 40,57' dan pada suhu 60'C adalah 47,71', minyak bumi C dengan batuan. pasir pada suhu SOT adalah 70,44' dan pada suhu 60*C adalah 78,40'; minyak bumi C dengan batuan kapur pada suhu 50T adalah 43,50' dan pada suhu 60'C adalah 49,66'. Surfaktan yang mempunyai gugus cc-olefin sulfonat dapat memberikan peningkatan sudut kontak. Batuan dengan pori-pori yang lebih besar dan. n^nyak burni yang bersifat lebih polar memberikan peningkatan sudut kontak yang lebih besar."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryo Abyoga Adhyaksa
"ABSTRAK
The interaction of cationic surfactant (CTAB, Cationic surfactant hexadecyl
trimethyl ammonium bromide ((C₁₆H₃₃)N(CH₃)₃BR and TTAB, Tetradecyl
trimethyl ammonium bromide ( )), a prevalent chemical in the industrial
and natural processes, with water ( ) has been studied using GROMACS
program and VMD program. In the following project, to simulate the CTAB and
TTAB at air-water interface, GROMACS (Groningen Machine for Chemical
Simulations) software is used. GROMACS is a molecular dynamics package
designed for primary use of simulation of biochemical molecules like proteins,
lipids, and nucleic acids that have a many complicated bonded interactions
(GROMACS, 2010). Furthermore, to model and display the simulation, VMD
(Visual Molecular Dynamics) program is used. VMD is intended for modeling,
visualization and analysis of biological systems such as proteins, nucleic acids,
lipid bilayer assemblies, etc. In this research project 13 simulations, 6 of these are
successive simulations and the other 7 simulations have been included in the
appendix. The simulations have been simulated to prove the following 3
hypotheses which are ssurfactants has an amphiphilic nature, surfactants adsorb
on the interface between oil and water, lowering the interfacial tension and
promoting mixing and surface potential measurement at the air-water interface
increases surfactant-dependent manner in the air-water expanded transition region.
Therefore with the addition of surfactant to the air-water interface, there will be a
sudden increase of surface potential. The first seven simulations that have been
included in the appendix were simulated to find the right charge distribution. All
the observed results shown by these 13 simulations are not yet predictable or
reliable; this is due to not the right amount of simulation time or the charge
distribution of the cationic surfactant. The three kinds of observations (the density
profile of the cationic surfactant, the surface tension of the cationic surfactant with
water, and the surface potential of cationic surfactant with water) are very
uncertain and therefore many more simulations are required to be completed in
the future."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43554
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yose Rizal
"ABSTRAK
Pada studi ini, nanokomposit perak/mangan (II, III) oksida (Ag/Mn3O4) digunakan sebagai fotokatalis untuk mendegradasi limbah organik di bawah paparan cahaya. Sebelumnya, nanokomposit Ag/Mn3O4 telah berhasil dibuat dengan dua tahap, yaitu sintesis nanopartikel Mn3O4 melalui metode konvensional sol-gel dan kemudian sintesis perak dengan penambahan Mn3O4 melalui teknik hidrotermal. Fotokatalis Ag/Mn3O4 dibuat dengan tiga variasi molar dan dua variasi surfaktan seperti cetyltrimethylammonium bromide (CTAB) dan sodium dodecyl sulfate (SDS). Nanopartikel dan nanokomposit tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan X-ray Diffraction (XRD), X-ray fluorescence (XRF), energy dispersive X-ray spectroscopy (EDX), N2 adsorption-desorption, ultraviolet-visible diffuse reflectance spectrophotometer (UV-Vis DRS), dan Raman spectroscopy. Hasil pengukuran UV-Vis DRS memperlihatkan semua fotokatalis berada pada rentang cahaya tampak, dan pada pengukuran N2 adsorption-desorption memperlihatkan penambahan surfaktan mengakibatkan peningkatan pada surface area dan pore volume dari nanokomposit Ag/Mn3O4. Keberadaan Ag dan surfaktan juga memengaruhi spektrum Raman. Fotokatalis-fotokatalis yang dibuat mempunyai stabilitas yang baik dan mampu mendegradasi model pewarna organik Congo red. Efektivitas proses photocatalytic meningkat pada fotokatalis Ag/Mn3O4 yang disintesis dengan bantuan surfaktan. Peran spesies yang aktif berkontribusi dalam proses degradasi pewarna organik yang diamati melalui scavenger test menunjukkan urutan sebagai berikut: holes, elektron, superoxide radicals, hydroxil radicals.

ABSTRACT
In this work, silver/manganese (II, III) oxide (Ag/Mn3O4) nanocomposites were used to degrade organic pollutant under light irradiation. Prior, Ag/Mn3O4 nanoparticles have successfully synthesized in two steps, typically synthesis of Mn3O4 nanoparticle by conventional sol-gel process and then synthesis of Ag featuring Mn3O4 by hydrothermal technique. Ag/Mn3O4 photocatalysts were synthesized using three various molar ratios and two various surfactants such as cetyltrimethylammonium bromide (CTAB) and sodium dodecyl sulfate (SDS). The nanoparticles and nanocomposites were characterized by X-ray diffraction (XRD), X-ray fluorescence (XRF), energy dispersive X-ray spectroscopy (EDX), N2 adsorption-desorption, ultraviolet-visible diffuse reflectance spectrophotometer (UV-Vis DRS), and Raman spectroscopy. The UV-Vis DRS results showed all photocatalysts energy gap are in the visible range, and N2 adsorption-desorption analysis showed the addition of surfactants was enlarged the surface area and pore volume of Ag/Mn3O4 nanocomposites. The presence of Ag and surfactants also influenced the Raman spectra. The as-synthesized photocatalysts have excellent stability and were able to degrade Congo red dye. The effectiveness of photocatalytic process was enhanced in the Ag/Mn3O4 photocatalysts with surfactant-assisted synthesis method. The role of active species contributing to the degradation process that was studied by scavenger test results in the following order: holes, electrons, superoxide radicals, hydroxyl radicals."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Asih Ramadhani
"Osteoarthritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan kronis yang ditandai dengan gejala klinis dan distorsi jaringan sendi. Ketoprofen oral merupakan obat golongan Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) yang mendominasi dalam tatalaksana gejala OA namun memiliki faktor risiko terhadap iritasi lambung. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah memformulasikan ketoprofen menjadi suatu sediaan transdermal berupa dissolving microneedle (DMN). Akan tetapi ketoprofen merupakan obat golongan Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II yang memiliki kelarutan buruk sehingga penambahan surfaktan dalam formulasi diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah memformulasikan ketoprofen dalam DMN dengan penambahan surfaktan dan mengetahui profil farmakokinetik dari sediaan tersebut. DMN ketoprofen dengan penambahan surfaktan dibuat dengan kombinasi polimer poli(vinil alkohol) (PVA) dan poli(vinil pirolidon) (PVP) dengan menambahkan surfaktan berupa Tween-80 (T-80) dan Poloxamer-188 (P-188) dalam berbagai konsentrasi. Dari hasil evaluasi fisik, kehilangan massa setelah pengeringan, uji kemampuan insersi dan mekanik, uji pelarutan jarum dalam kulit didapatkan bahwa F7 (P-18: 0,5%; PVA: 5%; dan PVP: 10%), F8 (P-18: 0,5%; PVA: 10%; dan PVP: 10%) dan F11 (P-18: 2%; PVA: 5%; dan PVP: 10%) memiliki hasil evaluasi fisik yang optimum. Hasil uji penetapan kadar didapatkan bahwa F7, F8 dan F11 memiliki kadar ± 15 mg dan hasil uji permeasi in vitro didapatkan bahwa F7 memiliki jumlah kumulatif permeasi tertinggi (2,79 ± 0,974 mg). Pengujian bioavailabilitas dilakukan pada F7 dibandingkan dengan oral ketoprofen, didapatkan profil farmakokinetik berupa AUC0-t, AUC0-inf, T½ , Tmaks, Cmaks dari F7 dan oral ketoprofen berturut-turut adalah 2602,42 µg.jam/mL; 2605,71 µg.jam/mL; 10,19 jam; 5 jam; 48,87 µg/mL untuk F7 dan 2454,91 µg.jam/mL; 2456,43 µg.jam/mL; 5,05 jam; 1,5 jam; 102,20 µg/mL untuk oral ketoprofen. Berdasarkan profil farmakokinetik tersebut DMN ketoprofen berpotensi sebagai bentuk sediaan lepas lambat.

Osteoarthritis (OA) is a degenerative and chronic joint disease characterized by clinical symptoms and distortion of joint tissue. Oral ketoprofen is a nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) that dominates in the management of OA symptoms yet has a risk factor of gastrointestinal irritation. To overcome these limitations, ketoprofen can be formulated in the form of dissolving microneedles (DMN). However, ketoprofen is a Biopharmaceutical Classification System (BCS) class II drug which has poor solubility, so its solubility must be improved by adding surfactants to the formulation. The aim of this research was to formulate DMN containing ketoprofen with the addition of surfactant and determine the pharmacokinetic profile of this preparation. DMN ketoprofen with the addition of surfactants was fabricated by using a combination of poly (vinyl alcohol) (PVA) and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) polymers and surfactants, namely Tween-80 (T-80) and Poloxamer-188 (P-188), were added at various concentrations. The result of physical evaluation, loss of mass after drying, insertion and mechanical ability tests, in skin dissolution test showed that F7 (P-18: 0.5%; PVA: 5%; and PVP: 10%), F8 (P-18: 0.5%; PVA: 10%; and PVP: 10%) dan F11 (P-18: 2%; PVA: 5%; and PVP: 10%) has optimum physical evaluation. DMN assay showed that F7, F8 and F11 have 15mg ketoprofen concentration and in vitro permeation test showed that F7 has the highest cumulative permeation (2.79 ± 0.974 mg). The bioavailability study conducted to F7 compared to oral ketoprofen. The pharmacokinetic profiles obtained are AUC0-t, AUC0-inf, T½, Tmaks, Cmaks of F7 and oral ketoprofen respectively: 2602.42 µg.jam/mL; 2605.71 µg.jam/mL; 10,19 jam; 5 jam; 48.87 µg/mL for F7 dan 2454.91 µg.jam/mL; 2456.43 µg.jam/mL; 5.05 jam; 1.5 jam; 102.20 µg/mL for oral ketoprofen. Based on its pharmacokinetic profile, DMN-ketoprofen has potential as a sustained-release dosage form."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hartono
"Sebagai surfaktan, lesitin banyak digunakan di dalam berbagai industri sebagai senyawa pembentuk sistem emulsi. Pada tahun 1981 konsumsi lesitin dunia mencapai 100.000 ton, 30.000 ton diantaranya dalam bentuk telah dimodifikasi. Selain banyaknya jumlah kebutuhan, variasi pemakaian lesitin juga sangat beragam. Keadan ini mendorong upaya modifikasi karakter lesitin dari sifat awalnya. Dasar utama modifikasi lesitin adalah merubah komposisi senyawa-senyawa penyusun. Dan berbagai literatur dan laporan hasil penelitian terdahulu, modifikasi lesitin menggunakan enzim dapat dilakukan akan tetapi melibatkan jumlah dan konsentrasi lesitin sangat sedikit.
Ternyata bahwa reaksi hidrolisis lesitin menggunakan enzim fosfolipase D dapat berlangsung pada jumlah dan konsentrasi lesitin 7,5 kali lebih banyak. Reaksi hidrolisis mencapai konversi optimum pada konsentrasi awal lesitin 600 mg dalam 8 ml pelarut dietileter. Sedangkan waktu aktiv optimum enzim fosfolipase D berlangsung hingga 180 menit. Lesitin awal mengandung 64,1 % senyawa fosfatidilkolin (PC) dan 26,3 % fosfatidiletanolamin (PE) serta 9,6 % berupa lima senyawa lain. PC dan PE sebagai dua senyawa utama penyususn lesitin temyata dapat dihidrolisis oleh enzim fosfolipase D.
Secara umum kecepatan hidrolisis PE lebih besar dari PC. Dan jumlah kandungan tersebut menunjukkan [PC]/[PE] lesitin awal 2,4 mampu menurunkan tegangan permukaan air dad 71,6 dyne/cm menjadi 65,1 dyne/cm pada konsentrasi 2,0 g/f. Sedang kemampuannya mengemulsikan asam lemak C8/C10 dalam air pada perbandingan volume air : asam lemak 15 : 1 sebanyak 29,9 % volume asam lemak yang digunakan. Hasil modifikasi dengan variasi konsentrasi awal lesitin maupun waktu reaksi menghasilkan nilai [PC]/[PE] bervariasi. Kemampuan sampel basil modifikasi menurunkan tegangan permukaan air, menunjukkan pads nilai [PC]/[PE] sekitar 2,2 hingga 2,6 lebih rendah dad awalnya. Untuk nilai [PC]I[PE] diluar daerah tersebut menunjukkan kemampuan sebaliknya_ Sedang kemampuan sampel mengemulsikan asam lemak dalam air, pada nilai [PC]/[PE] di bawah 2,4 meningkat dari awalnya hingga lebih dari 50 % volume asam lemak yang diemulsikan. Pada nilai [PC]/[PE] lebih dari 2,4 kemampuan sampel mengemulsikan asam lemak ke dalam air lebih besar dari awalnya akan tetapi kurang dari 50 % volume asam lemak yang digunakan.
Hasil pengukuran kedua aktivitas permukan pada berbagai sampel dapat disimpulkan bahwa modifikasi komposisi [PC]/[PE] mampu meningkatkan aktivitas permukaan lesitin. Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa kemampuan PC membentuk sistem emulsi minyak dalam air (O/W) lebih besar dibandingkan PC.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T2433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Budianto
"Ukuran partikel merupakan salah satu faktor yang menentukan sifat polimer emulsi. Untuk aplikasi coating, dibutuhkan polimer emulsi dengan ukuran partikel yang kecil agar diperoleh hasil coating yang halus, kekuatan adhesi dan ketahanan terhadap air yang baik, serta kestabilan yang cukup lama. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh dari surfaktan natrium dodesil benzena sulfonat (SDBS) rantai bercabang serta beberapa teknik polimerisasi emulsi terhadap ukuran partikel kopoli(stirena/butil akrilat/metil metakrilat) dengan menggunakan kombinasi surfaktan anionik dan nonionik (nonil fenol, EO|U) serta inisiator ammonium persulfat.
Hasil pengukuran DSC, solid content, dan IR menunjukkan bahwa terbentuk kopoli (stirena/butil akrilat/metil metakrilat). Dari hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa terbentuk grit yang banyak. Teknik batch dapat menghasilkan solid content tertinggi yaitu 38,47%. Teknik semi kontinyu secara umum menghasilkan viskositas yang tinggi yaitu 128 mPas. Surfaktan SDBS rantai bercabang secara umum menghasilkan polimer emulsi dengan ukuran partikel yang kecil tetapi grit yang terbentuk lebih banyak. Banyaknya persen seeding monomer dan inisiator yang ditambahkan ke dalam initial charge mempengaruhi ukuran partikel polimer emulsi yang terbenluk, dan jumlah inti yang dihasilkan."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2006
SAIN-11-3-2006-13
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Effionora Anwar
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan penjerapan klorfeniramin maleat (CTM) yang bersifat ampifilik oleh niosom. Niosom adalah pembawa obat yang menyerupai liposom dalam bentuk enkapsul serta berperan dalam sistem pelepasan obat. Niosom dan liposom mempunyai masalah kestabilan, hal itu dapat diatasi oleh proniosom yang merupakan bentuk kering dari niosom. Proniosom dibuat menggunakan maltodekstrin DE 5-10 yang berasal dari pati garut (Maranta arundinaceae Linn.), yang dikombinasi dengan Span 60 dan kolesterol sebagai surfaktan non ionik dalam enam formula. Tingkat penjerapan CTM tergantung pada kombinasi surfaktan dalam proniosom, konsentrasi zat aktif dan jumlah proniosom yang digunakan, suhu dan lama hidrasi. Niosom yang dibuat dari sejumlah proniosom formula 3 dengan cara hidrasi menggunakan air demineral hingga konsentrasi 10 mM pada suhu 80oC selama 2 menit mampu menjerap CTM yang ditambahkan 1mM sebesar 94,04%. Konsentrasi proniosom formula 3 ditingkatkan sampai menghasilkan surfaktan 30 mM dan mengandung CTM 10 mM dalam niosom, ternyata meningkatkan penjerapan CTM.

Study of the Capability of Niosomes that Used Maltodextrin from Garut Starch (Maranta arundinaceae Linn.) as a Chlorpheniramine Maleate Carrier. The aim of this research was to study the entrapment ability of ampiphylic drug, chlorpheniramine maleate (CTM), by niosome. Like liposomes, niosomes is an encapsulated drug carrier that has important role in a drug release system. Niosomes and liposomes are unstable, but niosomes could be handled by proniosomes. Proniosomes in this research was prepared using the combination of maltodextrin DE 5-10 from arrowroot starch (Maranta arundinaceae Linn.), Span 60 and Cholesterol as non ionic surfactant in six formulas. The entrapment level of CTM depends on combination of surfactant in proniosomes, drug substance concentration and proniosomes quantity, temperature, and hydration times. Niosomes (10mM) that was prepared by proniosomes in formula 3 has been hydrated at 80 oC for 2 minutes using demineralized water could entrapped 94,04%, of 1 mM CTM. The proniosomes in formula 3 was increased up to 30 mM surfactant and 10 mM CTM in niosomes, could increase the entrapment of CTM. "
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>