Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marbun, Rismaya
"Walaupun para pendatang dari Inggris tidak pernah membayangkan akan mendirikan institusi perbudakan terhadap orang-orang Negro, tak sampai seabad setelah kedatangan mereka di koloni, dasar-dasar dari suatu institusi yang ganjil telah dibentuk (Jordan,1968: 44).
Orang-orang Selatan menyebut institusi perbudakan sebagai suatu institusi yang ganjil dalam pengertian bahwa institusi itu unik dalam kehidupan orang-orang Selatan. Alam serta iklim selatan cocok untuk pertanian, sementara orang-orang Negro dapat memenuhi tenaga kerja yang diperlukan. Jadi seolah dijumpai keadaan yang saling mengisi, di mana kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan.
Keadaan alam serta iklim daerah selatan memungkinkan untuk diusahakannya perkebunan dalam skala besar dan pendatang-pendatang tersebut segera mengusahakan pertanian, seperti; tembakau, padi dan indigo. Segera setelah mereka mengusahakan pertanian yang lebih intensif, para petani itu dihadapkan pada suatu masalah serius, yaitu kurangnya tenaga kerja. Pengusahaan perkebunan ternyata memerlukan tenaga kerja yang banyak; mulai dari pembersihan hutan; pengurusan dan pemetikan memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit, sementara teknologi belum maju sehingga semua pekerjaan harus dikerjakan dengan tenaga manusia.
Kedua keadaan ini, yaitu keadaan alam yang cocok untuk pertanian perkebunan dan tersedianya orang-orang Negro untuk di pekerjakan telah mengakibatkan semakin berkembangnya usaha pertanian besar yang telah menghasilkan cash crop di daerah selatan, dan telah mendorong orang-orang untuk melakukan usaha pertanian secara besar-besaran. Maka muncullah apa yang kemudian kita kenal dengan perkebunan. Dan akibatnya ialah orang-orang Negro harus didatangkan dalam jumlah yang lebih besar.
Ketika jumlah orang-orang Negro di koloni semakin banyak, orang-orang putih mulai merasakan kecemasan kalau-kalau kehadiran orang-orang Negro ini akan mengaburkan kebudayaan mereka.
Dengan masuknya suatu suku bangsa yang baru, biasanya cara hidup dan kebudayaan suku bangsa tersebut akan terbawa dan berbaur dengan cara hidup dan kebudayaan masyarakat yang didapatnya, sehingga seringkali akan mengaburkan keaslian budaya masyarakat terdahulu tersebut. Orang-orang putih di Selatan tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Mereka menginginkan agar daerah Selatan tetap sebagai daerah orang putih, baik dalam cara hidup maupun kebudayaannya. Hal ini telah menimbulkan niat dalam pikiran orang-orang putih untuk membuat undangundang khusus untuk mengatur kehidupan orang-orang Negro berbeda dari orang putih. Keinginan ini ditunjang pula oleh kenyataan bahwa orang-orang Negro adalah dari ras yang berbeda; bahwa mereka telah dibeli dengan status yang tidak bebas; dan bahwa mereka bukan orang orang kristen. Pada masa itu ada anggapan bahwa memperbudak orang-orang yang tidak beragama bukanlah suatu kejahatan atau dosa."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henning, Hansjoachim
Paderborn: Ferdinand Schoningh, 1977
305.5 HEN q (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati Hamzah
1985
S2185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S6152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam masyarakat saat ini, sangat umum jika ada pemisahan beberapa sekelompok orang. Kelas segregasi dapat didasarkan pada status sosial, aspek ekonomi, pendidikan dan faktor-faktor lain yang dianggap penting oleh masyarakat. Makalah ini mengkaji penggunaan teori kelas Marxisme untuk menganalisa fenomena kelas segregasi dalam film Snowpiercer. Sebagian besar plot film yang dianalisa adalah tentang pemberontakan beberapa sekelompok orang di kereta yang memperjuangkan kesetaraan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji teori kelas Marxisme terhadap adegan, latar belakang dan tema film Snowpiercer. Dalam konsekuensi dari penindasan oleh pemimpin kereta api, beberapa kelompok marjinal orang yang tinggal di bagian ekor kereta memutuskan untuk mematahkan peraturan yang da di dalam kereta dan pindah ke setiap masing-masing gerbong depan kereta. Makalah ini menyimpulkan bahwa teori kelas Marxisme menjadi kebalikan dari banyak adegan film Snowpiercer ini di mana banyak despotisme terjadi karena kelompok yang memiliki kekuatan lebih dominan dan menguasai setiap aspek sumber daya di kereta.

In the society nowadays, it is very common if there is separation of some group of people. The separation of people can be based on their social status, economy aspects, education and other factors which are considered important by the society. The paper examines the use of Marxism class theory in order to analyze class segregation phenomenon in Snowpiercer film. Most of the film plot is about the rebellion of some group of people in the train that fight for the equality. The purposes of this paper is to examine the Marxism class theory to the scenes, backgrounds and theme of the snowpiercer film. In consequence of the opression by the train leader, some marginalized group of people who live in the tail section of the train decide to break the regulation of the train and move to every each front wagon of the train. The paper concludes that Marxism class theory become the opposite of many scene of this Snowpiercer film where many despotism happen because of the group who have more dominant power and controlled every resource aspect on the train.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Nugraha
"Skripsi ini membahas status sosial dan kekuasaan narapidana di penjara dalam novel Kisah Para Ratib karya Arswendo Atmowiloto. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan pendekatan sosiologi sastra. Dari penelitian ini dapat dilihat adanya perbedaan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam penjara. Tingkatan status sosial narapidana di dalam novel hampir serupa dengan struktur sosial narapidana di dalam dunia nyata. Dimensi tingkatan status sosial yang berpengaruh terhadap kekuasaan narapidana di dalam penjara adalah dimensi kekuasaan dan kekayaan. Struktur paling atas dalam dimensi kekuasaan ditempati oleh napi kepala kamar/yang dituakan/brengos. Selain itu, struktur paling atas dalam dimensi kekayaan ditempati oleh napi kelas bos besar. Jadi, status sosial narapidana yang berkuasa di dalam penjara adalah kepala kamar/yang dituakan/brengos dan napi golongan bos besar.

This study focuses on the social status and the power of prisoners in the novel Kisah Para Ratib (Story about the Prayers) by Arswendo Atmowiloto. This study uses the analityc-descriptive method and the sosiology of literature approach. Based on the characters, characterizations, and settings, this study shows that there are different statuses and powers among the prisoners in the prison. The social stratification in the novel is almost the same with the one in the prisoners real life. The dimensions of the social status which determine the prisoners power are the power and the economic dimension, in which the highest position in the dimensions is occupied by kepala kamar/brengos and bos besar. As a result, the social status of the prisoners who have the power in the prison are kepala kamar/yang dituakan/brengos and bos besar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiya Rohmah Asyahida
"Depresi antenatal merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sering kali
luput dari perhatian. Penelitan ini dilakukan karena mengingat dampak yang ditimbulkan
oleh depresi antenatal baik bagi ibu maupun janinnya dan belum adanya penelitian
mengenai pengaruh status sosial ekonomi terhadap depresi antenatal menggunakan data
sekunder berskala nasional yaitu IFLS V. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh status sosial ekonomi terhadap depresi antenatal di Indonesia. Desain penelitian
yang digunakan adalah cross-sectional yang dilakukan pada bulan Desember 2020 –
Januari 2021. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kejadian antenatal di Indonesia
yaitu sebesar 21.4%. Setelah dikontrol oleh confounder, nilai rasio odds terjadinya
depresi antenatal lebih besar 1,32 kali pada status sosial ekonomi kuintil 3 (menengah ke
atas) dibandingkan dengan status sosial ekonomi kuintil 4 (kaya), dan odds tersebut
meningkat pada kuintil status sosial ekonomi 2 dan 1. Terlihat pada status sosial ekonomi
kuintil 2 (menengah kebawah), odds terjadinya depresi antenatal 1.95 lebih besar dan
pada status sosial ekonomi kuintil 1(miskin), odds terjadinya depresi antenatal lebih besar
1.84 jika keduanya dibandingkan dengan status sosial ekonomi kuintil 4 (Kaya).
Kesimpulannya, prevalensi depresi antenatal di Indonesia tinggi dan terdapat pengaruh
status sosial ekonomi terhadap kejadian depresi antenatal, oleh karena itu perlu dilakukan
penyuluhan mengenai dampak, faktor risiko dan upaya pencegahannya, terumata pada
ibu hamil dan keluarganya yang berada pada status sosial ekonomi rendah

Antenatal depression is a public health problem that often goes unnoticed. This research
was conducted because considering the impact of antenatal depression on both the mother
and the fetus and the absence of research on the effect of socioeconomic status on
antenatal depression using national-scale secondary data, namely IFLS V. This study
aims to determine the effect of socioeconomic status on antenatal depression in Indonesia.
The research design used was cross-sectional, which was conducted in December 2020 -
January 2021. The results showed that the prevalence of antenatal incidence in Indonesia
was 21.4%. After being controlled by confounders, the odds ratio value of antenatal
depression was 1.32 times greater in the socioeconomic status quintile 3 (middle and
upper) compared to the socioeconomic status quintile 4 (rich), and the odds increased in
the socioeconomic status quintile 2 and 1. It can be seen that in the socioeconomic status
of quintile 2 (middle to lower), the odds of antenatal depression are 1.95 greater and in
quintile 1 (poor) socioeconomic status, the odds of antenatal depression are 1.84 greater
if both are compared with the socioeconomic status of quintile 4 (Rich ). In conclusion, the prevalence of antenatal depression in Indonesia is high and there is an effect of socioeconomic status on the incidence of antenatal depression, therefore it is necessary to do counseling regarding the impact, risk factors and prevention efforts,
especially for pregnant women and their families who are in low socioeconomic status.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Rinawati
"Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan korpus berbahasa Melayu, yakni Hikayat Indraputra yang disalin pada abad XVII M suntingan S.W.R Mulyadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemakaian pronomina persona dan sapaan dalam bahasa Melayu di samping untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi perubahan pemakaiannya bila dihubungkan dengan status sosial partisipan. Penelitian ini menerapkan metode deskriptif. Untuk itu analisis dilakukan dengan tiga tahap, yakni (1) membuat klasifikasi dan identilikasi pronomina persona dan sapaan yang ada, (2) melihat pemakaian pronomina persona dan sapaan dalam hubungannya dengan status sosial, seperti kedudukan. usia, dan hubungan kekerabatan, dan (3) menghubungkan pemakaian pronomina persona dan sapaan dengan dua dimensi sosial, yakni dimensi vertikal dan horisontal. Kesimpulan yang dihasilkan darl penelitian ini adalah bahwa perubahan pemakaian pronomina persona dan sapaan berhubungan dengan status sosial partisipan, dan faktor dominan yang sangat mempengaruhinya adalah faktor kedudukan. Sopan santun dengan pemakaian pronomina persona dalam bahasa Melayu dapat ditunjukkan dengan pemakaian pronomina persona semu atau diraja, yakni kata ganti untuk orang kesatu patik, hamba, dan beta; untuk orang kedua tuan, tuan hamba. dan diri; dan untuk orang ketiga patik itu. Pemakaian sapaan dalam bahasa Melayu untuk tujuan sopan santun sangat terbatas, yakni bentuk sapaan yang digunakan khusus di lingkungan kerajaan raja. Akhirnya, dengan penelitian ini dlharapkan kita dapat mengetahui pengungkapan kebahasaan yang pernah dituturkan masyarakat Melayu, khususnya pemakaian pronomina persona dan sapaan. Untuk itu penelitian lebih lanjut mengenai bahasa Melayu dan masyarakatnya perlu mendapat perhatian sehingga akar budaya Melayu yang berharga sebagai cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia tidak akan hilang seiring dengan perkembangan bahasa yang semakin maju."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S10827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inda Citraninda Noerhadi
"Setelah diadakan hasil pembagian kategori pakain yang dibagi menjadi lima bagian, ternyata terlihat ada perbedaan dalam penggunaan pakain terutama untuk golongan atas dan golongan rendah. Pada umumnya pada golongan rendah status sosialnya ada keengganan di samping ketidak mampuan untuk memakai pakaian yang jadi ciri khas golongan yang lebih tinggi ataupun memang ada larangan walaupun tidak dinyatakan secara tertulis. Dengan demikian fungsi pakaian memperoleh peran penting. Tampak sekali bahwa secara umum dalam masyarakat suatu elite atau kalangan atas hendak menekankan keistimewaan mereka lewat pakaian yang istimewa pula, di lain pihak bagi kalngan yang lebih rendah pakaian ini diluar jangkuan karena berbagai sebab, karena tidak mampu atau karena ada larangan..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S11589
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmiyanti
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu gambaran yang mendalam tentang pola hubungan sosial antar kerabat di perkataan dengan membandingkan antara galangan bawah dan menengah. Untuk itu dipilih Kampung Pula sebagai kamunitas yang mewakili galangan bawah dan pemukiman real estate mewakili galangan menengah. Didalam melihat pala hubungan sosial antar kerabat ini, digunakan dua pendekatan berbeda. Pertama, adalah pendekatan yang bersifat mengukur hal-hal nyata dalam hubungan antar kerabat, seperti frekuensi, cara dan tujuan interaksi. Untuk itu digunakan cara survei dalam menjaring datanya. Kemudian, kedua adalah pendekatan yang bersifat kwalitatif. Artinya yang ingin diungkapkan tidak sekedar kulit luarnya saja tetapi hal-hal mendasar yang ada dalam hubungan tersebut. Untuk itu digunakan cara studi kasus, mendalami responden secara penuh. Dari kedua pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih mendalam tentang pola hubungan antar kerabat ini. Responden survai berjumlah 43 orang dari golongan bawah dan 40 orang dari golongan menengah. Sedangkan untuk studi kasusnya, masing-masing golongan diambil dua keluarga. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar dari kedua golongan responden ini didalam hubungan antar kerabat mereka, baik dari pola interaksi maupun dari kwalitas hubungannya. Hubungan antar kerabat di kalangan responden golongan bawah lebih mendalam daripada yang diperlihatkan oleh reponden golongan menengah. Responden golongan bawah ini lebih luas mendefinikan hubungan tersebut. Perbedaan ini, jika dilihat lebih luas sebenarnya merupakan hasil dari kondisi-kondisi yang melingkupi responden yang dibentuk oleh variabel Status Sosial Ekonomi. Kondisi-kondisi ini adalah komunitas pemukiman, kshidupan sosial dan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan memahami kondisi-kondisi tersebut akan lebih utuh pengertian yang dicapai didalam melihat perbedaan pola hubungan sosial antara kerabat yang ditemukan penelitian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>