Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lexington, Ky. : The Council of State Government, 1982
353.9 COU s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fiqi Fatichadiasty
Abstrak :
ABSTRAK
Hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai lembaga penegak hukum administrasi bagi para pencari keadilan, seringkali menemui hambatan atas pelaksanaan/eksekusi putusan. Putusan yang dimaksud ialah dalam konteks putusan tersebut sudah in kracht, terhadap putusan yang sudah in kracht tersebut Pejabat TUN selaku pihak yang kalah seringkali tidak mau mematuhi isi putusan dari para hakim PTUN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder. Terhadap faktor-faktor tidak dilaksanakannya putusan TUN disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti belum adanya pengaturan pelaksanaan terkait uang paksa, penggunaan media massa sebagai upaya pejabat TUN jera ternyata tidak mudah dijangkau oleh penggugat, eksekusi hierarkis yang sering tidak ditindaklanjuti, serta dapat disimpulkan sekalipun terdapat berbagai macam upaya paksa ternyata letak martabat dan daya eksekusi putusan TUN sendiri berada pada kesadaran/self respect dari pejabat TUN. Adapun perbuatan tidak patuh terhadap isi putusan TUN tersebut dapat masuk kedalam unsur perbuatan Contempt of Court yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Adapun jenis perbuatan konstitutif ketidak patuhan pejabat TUN masuk kedalam bentuk penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka atau disebut Obstruction of Justice. Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kemungkinan kriminalisasi Pejabat TUN sesuai Pasal 216 KUHP atas konsekuensi perbuatan tidak patuh tersebut.
ABSTRACT
The presence of the State Administrative Court (TUN) as an administrative law enforcement agency for justice seekers, often faces obstacles to the implementation / execution of decisions. The verdict in question is in the context of the verdict already in kracht, against the verdict that is already in kracht TUN officials as the losing party often do not want to comply with the contents of the decisions of the PTUN judges. This type of research is normative legal research using secondary data. The factors that the implementation of the TUN verdict were not caused by several factors such as the lack of implementation arrangements related to forced money, the use of mass media as a deterrent from TUN officials was apparently not easy to reach by the plaintiff, hierarchical executions were often not followed up, and it could be concluded even though there were various the kind of forced effort turns out that the location of the dignity and power of execution of the TUN decision itself is in the awareness / self respect of the TUN official. The act of not complying with the contents of the TUN decision can be included in the Contempt of Court element of action mentioned in Act Number 14 of 1985 jo Law Number 5 of 2004 concerning the Supreme Court. The type of constitutive act of disobedience of TUN officials goes into the form of open opposition to court orders or called Obstruction of Justice. This can have implications for the possibility of criminalization of TUN Officials in accordance with Article 216 of the Criminal Code for the consequences of such non-compliance.
2020
T54430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdin Tahir
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penerapan pemberhentian tidak dengan hormat pegawai negeri sipil dalam perspektif pengadilan tata usaha negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 87 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan pemberhentian tidak dengan hormat, dapat melakukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang terdiri dari keberatan dan banding administratif. Dalam perspektif PTUN penerapan Pasal 87 ayat (4) UU ASN oleh pejabat tata usaha negara justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagaimana penerapan pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang diberlakukan secara surut (retroaktif) terhadap PNS yang dihukum pidana penjara kejahatan jabatan yakni karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian penerapan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, dalam perspektif PTUN ketentuan ini mengandung arti kumulatif, artinya kedua syarat harus terpenuhi yaitu mendapatkan hukuman pidana paling singkat dua tahun penjara dan pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka terhadap PNS yang bersangkutan tidak dapat diberlakukan ketentuan pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, sementara untuk pidana yang dilakukan dengan berencana hanya dapat ditafsirkan oleh majelis hakim pidana dalam putusannya dan tidak bisa ditafsirkan oleh pejabat lain, tak terkecuali hakim peradilan administrasi.
ABSTRACT
This thesis studied about the practice of dishonourable dismissal to civil servant from the perspective of state administrative court. This is a research of normative laws using bibliography study and interview in its data aggregation, where the gathered data are analysed using qualitative approach. Dishonourable dismissal is regulated in article 87 section 4 of Law number 5 of 2014 about State Civil Apparatus. Civil servant who believes their self-interest is harmed by the issuing of dishonourable dismissal decision can offer administrative effort first before submitting a lawsuit in State Administrative Court which consist of an objection and an administrative appeal. In the perspective of State Administrative Court, the practice of article 87 section 4 of The State Civil Administration Law by the state administration official in fact cause legal uncertainty. As in the implementation of article 87 section 4 subsection b of The State Civil Administration Law applied in retroactive to civil servant with criminal charge in crime of official occupation, namely the crime of corruption. Then in the implementation of article 87 section 4 subsection d in The State Civil Administration Law, in the perspective of State Administrative Court, this regulation contains cumulative meaning, in the significance that the two conditions have to be completed, namely one has to get criminal charge with minimum imprisonment of 2 years and the crime has to be a premeditated crime. If one of those requirements is not completed, then the regulation in article 47 section 4 subsection d can not be implemented to the civil servant in concern, while the charge for premeditated crime can only be interpreted by the criminal court panel in their verdict and can not be interpreted by any other officials, with no exception to administrative court judge.
2020
T54824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ravy Rasyid
Abstrak :
ABSTRAK
Keberadaan Peradilan Administrasi dalam negara Republik Indonesia adalah suatu "conditio sine qua non" dari Negara Hukum Pancasila. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, Peradilan Administrasi atau yang dapat juga disebut sebagai Peradilan Tata Usaha Negara, secara resmi berdiri. Namun, penerapan dari undang-undang ini masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat berlaku secara efektif. Dan karena itu implementasinya masih akan menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera diatasi sebelum lembaga ini dapat berjalan dan berfungsi. Permasalahan itu, antara lain, belum jelasnya atau belum lengkapnya suatu ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang ini. Hal ini akan menimbulkan berbagai kesulitan apabila ketentuan itu hendak diterapkan. Menyadari bahwa lembaga ini adalah suatu yang relatif baru, maka pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap atau tidak akan dilaksanakan sekaligus. Hal ini akan menimbulkan berbagai implikasi yang jalan keluarnya harus dilakukan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan. Sebab, kalau implementasinya tidak jelas itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan kevakuman hukum. Dapat dimaklumi bahwa kekurangan yang terdapat dalam undang-undang ini, atau keterbatasan wewenang dari lembaga ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasionil. Namun, diharapkan bahwa dalam perkembangannya nanti lembaga ini akan lebih luas kompetensinya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Indra R.
Abstrak :
Konsep welfare state mengakibatkan perluasan peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang bertujuan memajukan kesejahteraan seluruh warga negara, akibatnya setiap aktivitas masyarakat akan selalu bersinggungan dengan pelaksanaan tugas dari badan atau pejabat tata usaha negara. Maka selalu terdapat berbagai bentuk variasi tindakan pemerintah baik faktual maupun berupa keputusan yuridis tidak setiap Keputusan akan diterima oleh warga negara bila menimbulkan kerugian yang mendesak, walaupun pada dasarnya setiap keputusan tata usaha negara itu adalah Presumptio justae Causa (dilaksanakan dengan seketika). keputusan yang sangat merugikan dilaksanakan tersebut dapat diminta penundaan pelaksanannya kepada pengadilan TUN yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan bila ada kepentingan mendesak/dirugikan dan tidak dikabulkan bila ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Dalam penelitian ini, ditemukan kepentingan penggugat yang mendesak/dirugikan itu tidak serta merta terjadi. Kepentingan umum dalam rangka pembangunan adalah merupakan kepentingan seluruh negara/bangsa bukan dalam arti kepentingan lokal yang mengharuskan gugatan ditolak. Untuk mengatasi timbulnya sengketa dikemudian yang timbul akibat ketidakcermatan mengambil keputusan, maka saran yang direkomendasikan adalah (1). Perlunya pemahaman wewenang oleh setiap badan atau pejabat TUN dalam pembuatan keputusan; (2) perlunya adanya sanksi berupa pemberian ganti rugi secara pribadi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Wellfare state resulted in the concept of expending the role of government in all aspects of a society. That aims to promote the welfare of all citizens. A result that every community will always with the implementation of the tasks of the agency or official. Therefore always different forms of government action variations both factual and juridical decisions. Is that not every decisions can be received by citizens when the loss of an urgent cause although basically every decisions (can be) a decisions which is very harmfull for the delayed can be sued to court. That granted will can have an urgent interest/ injured and not granted if there is public interest in the frame work of development. In this research found that the interest of plaintif urgent/ disadvantaged not necessarily occur. Is in the public interest of all citizens/ nation as whole Rather than local interest to addres the incidence of disputes due to decisions that are carefull. the suggestion is recommended (1) The need for the authorities in decisions making (2) The need to sanction the provision of compensation from the time the guilty officials.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22586
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Budi Athira
Abstrak :
Surat Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dengan inkonsistensi jawaban akan dasar obyek, subyek, dan permohonan yang sama dari Penyidik tentunya memiliki akibat hukum yang fatal bagi notaris maupun pihak-pihak lainnya yang terkait. Hal ini disebabkan Surat Keputusannya harus senantiasa memiliki jawaban yang konsisten demi tercapainya suatu kepastian hukum. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai peran dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berkaitan dengan penerbitan Surat Keputusannya, serta pelanggaran aspek formal substansial di dalamnya yang menjadi dasar pembatalan Surat Keputusan tersebut berdasarkan Putusan Nomor 569 K/TUN/2019 jo. Putusan Nomor 13/G/2018/PTUN-TPI. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis dari penelitian ini, menunjukkan bahwa peran dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dalam kasus ini belum tercermin secara sempurna, dikarenakan di dalamnya masih terdapat pelanggaran pada aspek formal dan substansial dari Peradilan Tata Usaha Negara. Padahal, penerbitan Surat Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sebagai hasil tanggapan persetujuan atau penolakan tersebut berperan sangat penting dan merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi Notaris. Dengan demikian, saran yang dapat diberikan adalah agar Majelis Kehormatan Notaris dapat memberikan pertimbangan yang lebih matang, berhati-hati dan cermat dalam memberikan penilaian, serta perlunya pertimbangan hakim yang lebih mendalam dengan tidak mengabaikan adanya pelanggaran aspek prosedural dalam Peradilan Tata Usaha Negara. ......A Regional Notary Honorary Council Decree with inconsistent answers on the basis of the same object, subject, and application from the Investigator will certainly has fatal legal consequences for the notary and other related parties. This is because the Decree itself should always have a consistent answer in order to achieve legal certainty. The issues raised in this study are regarding the role of the Regional Notary Honorary Council in relation to the issuance of its Decree, as well as the violation of substantial and formal aspects in it, which became the basis for the cancellation of the Decree based on the Verdict Number 569 K/TUN/2019 jo. Verdict Number 13/G/2018/PTUN-TPI. To answer these problems, a normative juridical legal research method is used along with an explanatory research type. The result of the analysis in this study is that the role of the Regional Notary Honorary Council in this case has not been perfectly reflected, because apparently there are still some violations in the formal and substantial aspects of the State Administrative Court. This happens even though, the issuance of the Regional Notary Honorary Council Decree as a result of the approval or rejection response plays a very important role as a form of legal protection for Notaries. Thus, the advice that can be given is that the Notary Honorary Council can provide more mature, and careful considerations in providing assessments, as well as the need for more in-depth judges considerations by not ignoring violations of the procedural aspects in State Administrative Courts.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hatigoran, Rikson
Abstrak :

Pemenuhan hak pilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, sering memunculkan permasalahan yang selalu berulang. Mulai dari tindakan sewenang-wenang penyelenggara pemilu dalam mengupayakan pemenuhan hak pilih, sampai dengan berkurangnya kemurnian hak pilih. Bahkan di beberapa tempat, tak jarang wajib pilih yang kehilangan hak pilihnya. Melalui tesis berjenis yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan bertipologi prespektif evaluatif, tesis ini akan menjawab dan memberikan solusi atas pertanyaan “Bagaimanakah penerapan Hukum Administrasi Negara dalam pemenuhan hak pilih, dan bagaimanakah penegakan sanksi atas pelanggaran norma pemenuhan hak pilih dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak?”.Penerapan Hukum Administrasi Negara melalui pengaturan tiga pengaturan Undang-Undang untuk melindungi pemenuhan hak pilih, sudah berjalan, namun kepatuhan untuk tunduk dan melaksanakan pengaturan tersebut masih jauh dari ekspetasi masyarakat. Demikian halnya dengan penegakan sanksi  atas pelanggaran norma pengaturan pemenuhan hak pilih yang tidak dijalankan secara menyeluruh dan konsekuen, baik dalam sanksi administrasi, etik dan pidana. Oleh sebab itu, Penerapan dan Penegakan Sanksi seluruh norma pengaturan pemenuhan hak pillih, seharusnya dijalankan secara murni dan konsekuen, sehingga permasalahan-permasalahan yang selalu berulang dalam pemenuhan hak pilih dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala Daerah dapat diminimalisir, bahkan tidak terjadi kembali.

 


Fulfillment of voting rights in the implementation of Regional Head Elections, often raises problems that always recur. Starting from the arbitrary actions of the election organizers in seeking the fulfillment of their right to vote, to the reduction of the purity of their right to vote. Even in some places, it is not uncommon to choose those who lose their voting rights. Through a normative juridical thesis, with a statutory approach and evaluative perspective, this thesis will answer and provide solutions to the question "How is the Implementation Of State Administration Law And Law Enforcement Infringement Of Voting Rights Norm Fulfilment In Simultaneous The Election Of The Head Of Local Government? The application of State Administrative Law through the regulation of three regulations to protect the fulfillment of the right to vote, has been running, but compliance to submit and implement the regulation is still far from the expectations of the community. Likewise with the enforcement of sanctions for violating the norms for regulating the fulfillment of voting rights that are not carried out thoroughly and consequently, both in administrative, ethical and criminal sanctions. Therefore, the Implementation and Enforcement of Sanctions for all norms for regulating the fulfillment of rights should be carried out purely and consequently, so that the problems that are always recurring in the fulfillment of the right to vote in the Regional Head Election can be minimized, not even recurring.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Febri
Abstrak :
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang di dalam keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan hasil pengawasan aparat intern pemerintah salah satunya adalah terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara karena dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan mengandung ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang memiliki kompetensi absolut untuk melakukan pengujian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 mengatur pengujian unsur penyalahgunaan wewenang namun dengan frasa tambahan sebelum adanya proses pidana. Frasa tersebut menimbulkan problematika terhadap penyelesaian pengujian unsur penyalahgunaan wewenang. Hakim dalam memutuskan perlu membuat pertimbangan (ratio decidendi) dan kriteria ideal mengenai penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahana adminstratif. Dan juga putusan PTUN dalam tataran eksekusi tidak dijalankan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Penelitian tesis dengan menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis normatif, tipologi penelitiannya adalah preskriptif, dan hasil penelitiannya berbentuk preskriptif-analitis.Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa kriteria ideal atau pertimbangan dalam putusan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 didasarkan pada maksud dan tujuan permohonan, kompetensi PTUN, legal standing, dan pertimbangan hukum terhadap hasil pengawasan APIP, asas legalitas, penilaian kerugian negara berdasarkan potential loss (hukum materiil) bukan lagi actual loss sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, serta kriteria ideal lainnya adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam keputusan dan/atau tindakan yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahan administrasi. Terhadap putusan PTUN mengenai pengujian unsur penyalahgunaan wewenang sesuai sifatnya bahwa putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap maka putusan tersebut merupakan putusan eksekutorial yang dapat dilaksanakan, selain itu bersifat mengikat semua orang (erga omnes). Sementara itu frasa sebelum adanya proses pidana dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 menimbulkan implikasi berupa pembatasan terhadap kompetensi absolut peradilan lain dalam hal terjadinya kerugian negara karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak mengatur seperti hal tersebut, sehingga ditinjau dari hukum perundang-undangan terjadi konflik norma dengan adanya frasa sebelum adanya proses pidana. Putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat dan eksekutorial namun sulit dieksekusi meskipun sudah ada pengaturan upaya paksa, selain itu daya mengikatnya adalah erga omnes. ......Government Agencies and/or Officials are prohibited from committing abuse of authority in decisions and/or actions determined and/or carried out. Article 20 of Law Number 30 of 2014 determines the results of supervision of internal government apparatus, one of which is that there are administrative errors that cause losses to state finances because the decisions and/or actions of Government Officials contain whether or not there is an element of abuse of authority. Based on Article 21 paragraph (1) of Law Number 30 of 2014, the one that has absolute competence to examine whether or not there is an element of abuse of authority is the State Administrative Court. Article 2 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 regulates testing for elements of abuse of authority but with an additional phrase prior to criminal proceedings. This phrase raises problems with the completion of testing elements of abuse of authority. Judges in deciding need to make considerations ( ratio decidendi ) and ideal criteria regarding the abuse of authority which causes state losses due to administrative errors. And also PTUN decisions at the execution level are not carried out by Government Agencies and/or Officials. Thesis research uses normative juridical research methods, the research typology is prescriptive, and the research results are prescriptive-analytical. The results of this study are that the ideal criteria or considerations in the decision to evaluate elements of abuse of authority that are detrimental to state finances based on Article 16 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 are based on the intent and purpose of the application, competence of the State Administrative Court, legal standing , and legal considerations of the results of APIP supervision. , the principle of legality, the assessment of state losses based on potential loss (material law) is no longer an actual loss according to the Constitutional Court Decision Number 25 of 2016, as well as other ideal criteria is the presence of an element of unlawful act in decisions and/or actions that cause state losses due to administrative errors . Regarding the PTUN's decision regarding the examination of elements of abuse of authority according to its nature that the PTUN's decision has permanent legal force, the decision is an executorial decision that can be implemented, besides that it is binding on everyone (erga omnes). Meanwhile, the phrase before criminal proceedings in Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 has implications in the form of restrictions on the absolute competence of other courts in the event of state losses because Law Number 30 of 2014 does not regulate such matters, so that in terms of statutory law there is a conflict of norms with the phrase before the criminal process. Administrative Court decisions have binding and executorial powers but are difficult to execute even though there have been coercive measures in place, in addition to that their binding power is erga omnes.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Misqa Imtiyaz Rohman
Abstrak :
Terdapat konsekuensi hukum terkait pengalihan dan pengubahan bentuk bangunan cagar budaya yang dikuasai secara pribadi, yang tidak bisa dilakukan tanpa izin pemerintah yang berwenang. Sengketa TUN berkaitan dengan penetapan status bangunan cagar budaya tanpa izin ditemukan di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg dengan pihak penggugat para ahli waris Alrmarhum ES melawan Bupati Sumedang. Tesis ini berbasis metode penelitian doktrinal, dengan mengangkat dua pembahasan masalah yakni permasalahan mengenai kesesuaian penerbitan penetapan status bangunan cagar budaya pada putusan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perlindungan hukum yang dapat dilakukan pemilik bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tanpa persetujuan. Sesuai peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Pemerintahan dan UU PTUN serta UU Cagar Budaya, penetapan status cagar budaya pada putusan PTUN Bandung Nomor 121/G/2019/PTUN.Bdg cacat prosedur dan substansi. Tersedia penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif (antara lain berupa keberatan dan banding administrasi) dan gugatan ke PTUN. Masih dapat ditemukan kekosongan hukum dalam penetapan bangunan cagar budaya sehingga seharusnya pemilik dilibatkan dalam proses penetapannya dan selain diberitahukan penetapannya pada pemilik tanah status cagar budaya juga harus dicatatkan dalam buku tanah. Hal ini menjadi sorotan guna terselenggaranya kepastian hukum sebagai perlindungan hak kepada penguasa bangunan. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pendaftaran cagar budaya, sehingga pengaturan mengenai pendataan dan publikasi cagar budaya perlu diatur lebih lanjut dan membutuhkan kerjasama antara BPN dan Dinas Budaya. Penting juga untuk memperhatikan keterlibatan profesi Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas bangunannya. ......Legal consequences exist related to the transfer and change of form of privately controlled cultural heritage buildings. The dispute relating to determining the status of cultural heritage buildings was found in the Bandung State Administrative Court (PTUN) Decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg between the bulding owner against the Regent of Sumedang. Based on doctrinal research methods, this thesis spotlights specifically about the conformity of publication of the determination of the status of cultural heritage buildings based on applicable laws and regulations and the legal protection that can be done by cultural heritage building owner without owner’s approval. Based on the Government Administration Law and PTUN Law as well as the Cultural Heritage Law, the determination of cultural heritage status in the Bandung PTUN decision Number 121/G/2019/PTUN.Bdg is procedurally and substantively flawed. TUN settlements are available through administrative measures (including approval and administrative appeals) and lawsuits to the PTUN. Legal vacuum exists in determining cultural heritage buildings, so apart from involvement of the owner in the determining process and notifying the owner with the result, the status of cultural heritage land must also be recorded in the land book. This is highlighted in order to emphasize legal certainty as a protection for the rights of building owners. Legislative regulations only regulate the registration of cultural heritage, so regulations regarding data collection and publication of cultural heritage need to be regulated and require cooperation between BPN. It is also important to pay attention to the involvement of the Notary profession and Land Deed Officials.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldi
Abstrak :
Dari penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif diperoleh kesimpulan bahwa terhadap putusan yang dikeluarkan oleh majelis Pengawas Pusat Notaris mengenai adanya pelanggaran kode etik dan penjatuhan sanksi didalamnya. Apabila putusan dalam tingka Majelis Pengawas Wilayah, hal itu dapat di banding ke Majelis Pengawas Pusat berdasarkan Undang Undang Jabatan Notaris. Apabila putusan dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Pusat, Undang Undang Jabatan Notaris tidak mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan. Namun dalam kajian yang dilakukan terhadap 2 (dua) putusan Pengadilan Tata Usaha Negara serta wawancara yang dilakukan kepada anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris, maka yang seharusnya diajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara adalah putusan penjatuhan sanksi yang bersifat final, yaitu putusan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana rekomendasi dari putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris. Hal ini karena telah terpenuhi unsur final di dalamnya sehingga masuk kedalam objek Tata Usaha Negara
This research, conducted in normative juridical way, concludes that the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council regarding the violation of code of ethics and the application of sanctions in it. If the verdict is conducted in the level of Region Notary Supervisory Council, it can appeal to the Central Notary Supervisory Council as contained in Notary Law. If the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council, then basically the Notary Law does not regulate what legal effort option that can be done. But in a study conducted on two (2) the decision of the State Administrative Court as well as interviews to member of the Central Notary Supervisory Council1.In this case the decision of the Minister law and Human Rights as well as the recommendations of the verdict by Central Notary Supervisory Council. This is because it has fulfilled the final element in it that goes into object of State Administration.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>