Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cema, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkangmukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Gilang Edi
Abstrak :
Durian Durio zibethinus merupakan tumbuhan tropis yang terkenal dengan rasa buahnya yang khas dan bentuk yang berduri Terdapat dugaan di masyarakat bahwa mengkonsumsi durian dalam jumlah besar dapat mencetus munculnya penyakit kardiovaskular seperti stroke namun hingga saat ini belum terbukti kebenarannya Studi menunjukkan bahwa durian mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah tinggi yang dapat mengurangi stres oksidatif dan berpotensi mencegah berbagai penyakit inflamasi dan degeneratif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi durian terhadap kadar glutation GSH plasma darah sebagai biomarker stres oksidatif Tiga puluh dua Tikus Sprague Dawley dengan berat 100 150 mg dibagi menjadi 4 grup Grup kontrol hanya diberi makan dan minum ad libitum Grup minggu 1 minggu 2 dan minggu 3 berturut turut diberi 10 ml larutan durian 10 gram 10 ml pada pagi dan siang hari setiap hari per oral selama 1 minggu 2 minggu dan 3 minggu selain makan dan minum normal ad libitum Level GSH plasma diukur dengan metode Ellman menggunakan spektrofotometri Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol kadar GSH plasma pada minggu 1 dan 2 meningkat sedangkan pada minggu 3 lebih rendah dengan selisih minimal Perbedaan kadar GSH antar grup tidak dapat dianalisis karena populasi sampel pada akhir studi tidak mencukupi.
Durian Durio zibethinus is a tropical fruit famous for its exotic taste and thorny shape There are a notion in the community that excessive consumption of durian can aggravate one rsquo s health and cause cardiovascular diseases which has no evidence yet Durian contains abundant amount of antioxidant beneficial in ameliorating oxidative stress promoting the potential to prevent cardiovascular and degenerative diseases This research aims to understand the effect of durian consumption to plasma glutathione GSH level as a biomarker of oxidative stress The study used 32 Sprague Dawley rats weighted 100 150 mg divided into 4 groups control 1 week 2 weeks 3 weeks treatment Control group was given water and normal diet ad libitum while 1 week 2 weeks 3 weeks group were given 10 ml diluted durian juice 10 gram 10 ml twice in the morning and the afternoon daily per oral with water and normal diet ad libitum for 1 week 2 weeks 3 weeks respectively Level of plasma GSH was measured using spectrophotometry following Ellman 39 s method Result showed increase of plasma GSH level in 1st and 2nd week compared to control while 3rd week level was minimally lower than control value The difference between each group was not statistically comparable due to low n number.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Agustina
Abstrak :
This study was carried out to investigate the effect of 4NQO oral induction in oesophagus of male rat. Sixteen male Sprague Dawley rats were divided into three experimental groups and one untreated group as control. The experimental groups were applied with 0.5% 4-nitroquinoline 1-oxide on the dorsal mucosa of tongue thrice weekly for 8, 16 or 24 weeks, one brush stroke per application. At the end of the 36th week, all rats were sacrificed and the tongue and oesophagus were excised and fixed in 10% buffed formalin for 24 hours. The H&E sections were prepared for histological examination. The microscopial assessment showed that all rat tongues whether applied with 4NQO for 8, 16 or 24 weeks were identified having Squamous Cell Carcinoma (SCC). Microscopial examination of oesophagus indicated that 75% or the rats applied with 4NQO for 16 weeks showed hyperkeratosis, and 80% and 20% of the rats applied with 4NQO for 24 weeks showed malignancy changes and hyperkeratosis, respectively. No histological changes were detected either in the tongue or the oesophagus of the control rats. It was concluded that the effect of carcinogenic induction in oral mucosa caused malignant changes in oesophagus.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Faculty of Dentistry, 2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Tiku Kambuno
Abstrak :
Latar Belakang : Malnutrisi selama kehamilan dan 1.000 hari pertama kehidupan dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik, fungsi otak dan perkembangan hipokampus. Moringa oleifera (MO), telah digunakan sebagai suplemen makanan pada malnutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas kandungan protein dari ekstrak etanol daun MO (EEMO) dalam mengatasi defisiensi protein pada anakan tikus dari induk defisiensi protein. Metode : Daun MO asal kabupaten Kupang, propinsi NTT diektraksi dengan metode UAE dalam etanol dan dikarakterisasi (EEMO). Anakan tikus Sprangue dawley usia 3 minggu dari induk yang mendapat diet protein rendah (9% protein) diberikan terapi EEMO 400 atau 800 mg/kg BB atau protein normal (KP) selama 5 minggu. Kelompok pembanding adalah anakan dari induk yang diberikan diet protein normal (18% protein) yang tidak diberikan terapi atau diberikan EEMO 800 mg/kg BB selama 5 minggu. Pada akhir pengujian, dilakukan pemeriksaan antropometri, fungsi spasial memori (Y-test), profil biokimia darah dan asam amino darah, analisis histopatologi pada jaringan hati dan hipokampus, serta mikrobiota usus pada feces kolon. Hasil: EEMO yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung protein sebesar 45,5% dan senyawa fitokimia utamanya adalah golongan kaempferol. Pemberian EEMO tidak memberikan perbaikan pada profil antropometrik dibandingkan dengan kelompok KP. Pemberian EEMO 400, 800 mg/kg BB dan KP dapat menormalkan spasial memori, yang diikuti dengan penurunan rasio sel pada daerah CA1-4 hipokampus. Hasil analisis histopatologi jaringan hati menunjukkan bahwa EEMO 800 mg/kg BB memperbaiki perlemakan hati lebih baik vs. EEMO 400 mg/kg BB dan KP. EEMO meningkatkan kadar albumin, Hb, BUN dan menurunkan kadar glukosa mendekati kelompok normal, namun belum dapat menetralkan bilirubin, SGPT, SGOT dan kreatinin. Terdapat tendensi perbaikan pada total asam amino esensial dan BCAA pada plasma darah setelah pemberian EEMO dan KP. Selain itu, EEMO dapat memperbaiki relative abundance mikrobiota di usus. Perbaikan pada spasial memori berkorelasi negatif dengan total asam amino non esensial, asam amino alifatik sederhana, asam amino hidroksi alifatik dan berkorelasi negatif dengan kelimpahan famili Peptostreptococcaceae, Erysipelotrichacea dan Staphylococcaceae. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa induk dengan diet rendah protein selama kehamilan akan melahirkan keturunan dengan karakteristik defisiensi protein (DP), termasuk berat badan lahir rendah (BBLR), BMI di bawah 0,45 g/cm², kenaikan berat badan yang lambat, anemia, hypoalbuminemia, rendahnya kadar BUN, penurunan asam amino darah dan gangguan enzim hati. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pemberian EEMO pada anak tikus sampai dengan usia 8 minggu tidak memperbaiki antropometri anakan, namun dapat menormalkan spasial memori, memperbaiki kerusakan sel hipokampus dan meminimalkan perlemakan hati anak tikus DP. Perbaikan tersebut diikuti dengan perbaikan kelimpahan mikrobiota usus di tingkat filum. ......Background: Malnutrition during pregnancy and the first 1,000 days of life can affect physical growth, brain function, and hippocampal development. Moringa oleifera (MO) has been used as a food supplement in malnutrition. This study aims to evaluate the effectiveness of the protein content of an ethanolic extract of MO leaves (EEMO) in overcoming protein deficiency in rat offspring of protein-deficient rats. Methods: Moringa oleifera leaves from the Kupang district, Nusa Tenggara Timur province were extracted using the UAE method in ethanol and then characterized. Offsping of Sprague Dawley rats, aged 3 weeks from mothers on a low protein diet (9% protein) were given 400 or 800 mg/kg BW EEMO or normal protein (KP) for 5 weeks. The comparison groups were offspring from rats given a normal protein diet (18% protein) without therapy or given 800 mg/kg BW EEMO for 5 weeks. At the end of the study, various assessments were conducted, including anthropometric examinations, spatial memory function using the Y-maze test, analysis of blood biochemical and blood amino acid profiles, histopathological analysis of liver and hippocampal tissue, and assessment of intestinal microbiota in colonic faeces. Results: In this research, the EEMO contained 45.5% protein, with the main phytochemical compound being the kaempferol group. The administration of EEMO did not improve anthropometric profiles compared to the KP group. However, the administration of 400 and 800 mg/kg BW EEMO, as well as KP, normalized spatial memory and decreased the damaged cell ratio in the CA1-4 area of the hippocampus. Histopathological analysis of liver tissue revealed that EEMO 800 mg/kg BW was more effective in improving fatty liver than EEMO 400 mg/kg BW and KP. In addition, EEMO increased albumin Hb and BUN levels and reduced glucose levels, bringing them close to the normal group. However, it could not neutralize bilirubin, SGPT, SGOT, and creatinine levels. There was a tendency for improvement in total essential amino acids and BCAA’s in blood plasma after the administration of EEMO and KP. Furthermore, EEMO improved the relative abundance of microbiota in the intestine. Notably, improvements in spatial memory were negatively correlated with total non-essential amino acids, simple aliphatic amino acids, aliphatic-hydroxy amino acids, and the abundance of the Peptostreptococcaceae, Erysipelotrichacea, and Staphylococcaceae families. Conclusions: This research showed that rats with a low protein diet during pregnancy gave birth to offspring with characteristics of protein deficiency (PD), including low birth weight (LBW), BMI below 0.45 g/cm², slow weight gain, anaemia, hypoalbuminemia, low BUN levels, decreased blood amino acids and liver enzyme disorders. The results also showed that administering EEMO to rats' offspring up to 8 weeks of age did not improve the anthropometric measurement but did normalize spatial memory, repair hippocampal cell damage, and minimize fatty liver in PD rats offspring. Additionally, a positive impact of EEMO was observed in the abundance of gut microbiota at the pylum level.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zia Ade Achmad
Abstrak :
Latar Belakang: Murraya koenigii (MKE) atau daun kari memiliki efek antihiperglikemik. Akan tetapi, bukti mekanisme molekuler dari efek antidiabetes tumbuhan ini masih belum cukup. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo untuk mengetahui ekspresi relatif mRNA PCK1 pada hati tikus Sprague-Dawley. Kelompok hati tikus dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kelompok normal, kelompok normal + MKE 400 mg/kgBB/hari (NMK), kelompok diabetes, kelompok diabetes + MKE 200 mg/kgBB/hari (MK 200), kelompok diabetes + MKE 400 mg/kgBB/hari (MK 400), dan kelompok diabetes + glibenklamid 1 mg/kgBB/hari (DM). Hasil: Ekspresi mRNA PCK1 pada kelompok DM meningkat daripada kelompok normal secara signifikan. Selain itu, ekspresi mRNA PCK1 pada kelompok MK 200, MK 400, dan GB mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok DM. Ekspresi mRNA PCK1 pada kelompok MK 200 menurun secara signifikan dibandingkan dengan kelompok GB. Sayangnya, tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok MK 400 dan GB. Kesimpulan: Ekspresi PCK1 kelompok diabetes lebih tinggi daripada kelompok normal. Di samping itu, pemberian ekstrak MKE sebanyak 200 mg/kgBB/hari dan 400 mg/kgBB/hari pada tikus diabetes menurunkan ekspresi PCK1. Selain itu, efek pemberian ekstrak MKE tidak bergantung pada dosis. Ekstrak MKE dosis 200 mg/kgBB/hari terbukti lebih efekif menurunkan ekspresi PCK 1 dibandingkan dengan glibenklamid. ......Background: Murraya koenigii (MKE) or curry leave has antihyperglycemic effects, but molecular mechanisms of its antidiabetic effect is still insufficient. Method: This research is in vivo experimental study to determine the relative expression of PCK1 mRNA in Sprague-Dawley rat’s liver tissue.We devided the group of rat’s liver in 6 groups, normal group, normal group + MKE 400 mg/kgBW/day (NMK), diabetic group, diabetic group + MKE 200 mg/kgBW/day (MK 200), diabetic group + MKE 400 mg/kgBW/day (MK 400), and diabetic group + glybenclamide 1 mg/kgBW/day as a positive control (GB). Result: PCK1 mRNA expression in DM group was increased than normal group significantly. Moreover, expression in MK 200, MK 400, and GB groups was decreased than DM group significantly. PCK1 mRNA expression in the MK 200 group was decreased than GB group significantly. Unfortunately, we could not find any significant result in comparison MKE 400 with GB group. Conclusion: PCK1 expression in liver tissue of DM group higher than normal group. Moreover, PCK 1 expression in MK 200 and MK 400 groups are decreased than DM group. Additionally, the effect of MKE extract is not dose dependent. Furthermore, MK 200 appeared to be more effective than glibenclamide in reducing PCK1 expression.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Kamal Nasser
Abstrak :
Radikal bebas merupakan molekul yang mengandung oksigen dan bersifat sangat reaktif. Peningkatan radikal bebas di dalam tubuh menyebabkan kerusakan oksidatif. Salah satu organ yang rentan terhadap kerusakan oksidatif adalah testis karena laju pembelahan sel yang cepat pada proses spermatogenesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bekatul varietas IPB3S terhadap organ testis tikus yang diinduksi karbon tetraklorida CCl4 menggunakan parameter glutation GSH . Duapuluh empat ekor tikus Sprague-Dawley jantan berusia 6-8 minggu dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol, CCl4 0,55 mg/KgBB, bekatul 150 mg/KgBB, bekatul 150 mg/KgBB CCl4 0,55 mg/KgBB, bekatul 300 mg/KgBB, bekatul 300 mg/KgBB CCl4 0,55 mg/KgBB. Setelah perlakuan dilakukan pengambilan organ testis tikus untuk dihitungan kadar GSH dengan menggunakan metode Ellman kemudian dianalisis menggunakan software SPSS. Hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar GSH pada kelompok pemberian bekatul dan penurunan GSH pada kelompok yang diinduksi CCl4 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan tertinggi dimiliki kelompok dengan perlakuan bekatul dosis 300 mg/KgBB. Peningkatan kadar GSH pada kelompok perlakuan bekatul mengindikasikan potensi ekstrak bekatul sebagai antioksidan. ...... Free radical is a molecule containing oxygene which is very reactive. Increase in free radical in the body cause oxidative damage. One of the organs which at risk to have oxidative damage is testes due to high cell division rate in spermatogenesis process. The present study was aimed at evaluating the protective effects of IPB3S rice bran extract against carbon tetrachloride CCl4 induced oxidative stress and testes injury in male adult Sprague Dawley. The parameter used was glutathion GSH levels. Twenty four male Sprague Dawley were devided equally into 6 groups for the assesment. Rats of group I received no treatments. Rats of group II were treated with CCl4 0,55 mg KgBB. Rats of group III were treated with rice bran extract 150 mg KgBB. Rats of group IV were treated with rice bran extract 150 mg KgBB CCl4 0,55 mg KgBB. Rats of group V were treated with rice bran 300 mg KgBB, and rats of group VI were treated with rice bran 300 mg KgBB CCl4 0,55 mg KgBB. GSH levels in testes organ were measured using Ellman rsquo s method after the intervention. The results showed elevation of GSH levels in bekatul treated group and decrease of GSH levels in CCl4 treated group with respect to control group. Group of rice bran extract 300 mg KgBB showed the highest elevation of GSH levels. Those results indicates a potential rice bran extracts as antioxidants.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Rahmadiani Nugrahadi
Abstrak :
Myasthenia gravis merupakan penyakit auto-antibodi yang menyebabkan gangguan pada transmisi neuro-muskular. Pengobatan saat ini hanya untuk jangka pendek, tidak memberikan efek yang cukup pada gejala, atau memiliki efek berbahaya. Acalypha indica merupakan tanaman herbal yang telah terbukti memiliki efek neuroprotektif. Penelitian ini mengidentifikasi efek terapeutik ekstrak akar Acalypha indica pada Sprague Dawley yang telah diinduksi rocuronium bromide. Tikus dibagi menjadi kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, serta Acalypha indica. Efek diukur dengan mengidentifikasi perubahan denyut jantung serta kuantitas reseptor asetilkolin. Perubahan denyut jantung pada masing-masing kelompok, perubahan denyut jantung antar kelompok, serta perbedaan jumlah reseptor asetilkolin dianalisa untuk signifikansi. Kelompok Acalypha indica mengalami perubahan denyut jantung yang tidak signifikan (p>0.05), kecuali pada sepuluh menit pertama hari pertama percobaan dimana denyut jantung meningkat secara signifikan (p<0.05). Perubahan denyut jantung kelompok kontrol positif secara signifikan lebih tinggi pada sepuluh menit pertama hari kedua jika dibandingkan dengan kelompok Acalypha indica (p<0.05). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin antara Acalypha indica dan semua kelompok lainnya (p>0.05). Ekstrak akar Acalypha indica memiliki kemampuan untuk melawan efek positif kronotropik rocuronium setelah beberapa lama. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin bila dibandingkan dengan kelompok lainnya. ......Myasthenia gravis is an autoantibody disease that causes disruption in the neuromuscular junction transmission. Current treatment is either short termed, have inadequate effect on the symptoms, or have harmful effects. Acalypha indica is an herbal plant that have been shown to have a neuroprotective effect. This research identifies therapeutic effects of Acalypha indica root extract in rocuronium-bromide induced Sprague Dawley. The rats are divided into normal, negative control, positive control, and 0, 0) Acalypha indica group. Effects are measured by identifying the heart rate (HR) changes as well as the quantity of acetylcholine receptors (AchR). Result of the HR measurement of each group, HR changes between groups, and the amount of AchR are analised for significance. Acalypha indica group had an insignificant change of HR (p>0.05), except for the first ten minutes of day one experiment in which the HR increased significantly (p<0.05). Change in HR of positive control group was significantly higher (p<0.05) in the first ten minutes of day 2 when compared to Acalypha indica group. There were no significant differences (p>0.05) in the amount of AchR between Acalypha indica and all other groups. Acalypha indica root extract has the ability to counterract the positive chronotropic effect of rocuronium after some time. However, it does not have a significant difference in the amount of AchR when compared to other control groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizal Dzaky Rahmadika
Abstrak :
Latar Belakang: Terbatasnya ketersediaan obat antidiabetes menjadi masalah dalam pengobatan diabetes di Indonesia. Indonesia yang memiliki berbagai tanaman yang berpotensi sebagai antidiabetes dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya adalah Malus domestica yang berpotensi sebagai antidiabetes. Tujuan: Mengetahui pengaruh ekstrak daun apel (Malus domestica) terhadap penurunan kadar gula darah dan perubahan histopatologi hati tikus Sprague Dawley yang diinduksi aloksan. Metode: Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih Sprague Dawley yang dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kelompok normal (tidak hiperglikemik), kelompok kontrol positif dengan Metformin, kelompok kontrol negatif dengan akuades, dan tiga kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun Malus domestica pada dosis 200mg. /kgBB, 400mg/kgBB, dan 600mg/kgBB. Mencit disuntik aloksan dengan dosis 120mg/kgBB secara intraperitoneal. Kemudian tikus diperiksa gula darahnya setelah 4 hari sejak penyuntikan. Tikus dikategorikan hiperglikemik jika kadar gula darahnya mencapai >200 mg/dL dan diberi perlakuan dalam waktu 16 hari. Kadar gula darah tikus diperiksa pada hari ke 4, 8, 12, dan 16. Setelah 16 hari, tikus dibedah dan diambil hati untuk pemeriksaan histologis menggunakan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE). Data kadar gula darah yang diperoleh akan diuji dengan one way ANOVA. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh ekstrak daun apel (Malus domestica) yang dapat menurunkan kadar gula darah dan mempengaruhi histopatologi hati tikus hiperglikemik. Dosis yang menunjukkan penurunan kadar gula darah paling baik adalah 200 mg/KgBB. Semua dosis ekstrak (200, 400, dan 600 mg/KgBB) menunjukkan perbaikan struktur histopatologi hati, sedangkan dosis 400 mg/KgBB dan 600 mg/KgBB menunjukkan efek protektif terhadap komplikasi kerusakan hati. Kesimpulan: Ekstrak daun apel (Malus domestica) dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dan mempengaruhi struktur histologi hati tikus hiperglikemik. ......Background: The limited availability of antidiabetic drugs is a problem in the treatment of diabetes in Indonesia. Indonesia which has various plants that have the potential as antidiabetic can be used to overcome this problem, one of which is Malus domestica which has the potential as antidiabetic. Objective: To determine the effect of apple leaf extract (Malus domestica) on reducing blood sugar levels and histopathological changes in the liver of Sprague Dawley rats induced by alloxan. Methods: This study used 24 white Sprague Dawley rats which were divided into 6 groups, namely a normal group (not hyperglycemic), a positive control group with Metformin, a negative control group with distilled water, and three treatment groups given Malus domestica leaf extract at a dose of 200 mg. /kgBW, 400mg/kgBW, and 600mg/kgBW. Mice were injected with alloxan at a dose of 120mg/kgBW intraperitoneally. Then the mice were checked for blood sugar after 4 days since the injection. Mice were categorized as hyperglycemic if their blood sugar levels reached >200 mg/dL and were given treatment within 16 days. Blood sugar levels of rats were examined on days 4, 8, 12, and 16. After 16 days, rats were dissected and livers were taken for histological examination using hematoxylin and eosin (HE) staining. The blood sugar level data obtained will be tested with one way ANOVA. Results: The results of this study showed the effect of apple leaf extract (Malus domestica) which can reduce blood sugar levels and affect the histopathology of hyperglycemic rat liver. The dose that shows the best reduction in blood sugar levels is 200 mg/KgBW. All extract doses (200, 400, and 600 mg/KgBW) showed improvement in the histopathological structure of the liver, while doses of 400 mg/KgBW and 600 mg/KgBW showed a protective effect against complications of liver damage. Conclusion: Apple leaf extract (Malus domestica) can cause a decrease in blood sugar levels and affect the histological structure of the liver of hyperglycemic rats.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jody Felizio
Abstrak :
Stroke telah menjadi penyakit yang menduduki peringkat tiga sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. Pasien yang telah sembuh dari stroke masih mengalami gejala neurologis sisa dari penyakit tersebut. Piracetam merupakan obat yang digunakan untuk mengobati gejala neurologis paska stroke, namun penggunaan piracetam menimbulkan banyak efek samping. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping dari penggunaan piracetam, dilakukan penelitian mengenai efek neuroterapi dari kombinasi akar kucing dan pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu kefektifan penggunaan kombinasi ekstrak 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) dan 150 mg pegagan (Centella asiatica) terhadap neurogenesis neuron pasca hipoksia di hipokampus girus dentatus. Penelitian merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan kontrol positif berupa piracetam, dan kontrol negatif berupa akuades. Penelitian ini menggunakan uji One Way Anova yang dilanjutkan dengan Post Hoc. Didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada jumlah sel normal paska perlakuan dibandingkan dengan kontrol negatif (p=1,000), dan kontrol positif (p=0,184). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penggunaan kombinasi 150 mg akar kucing dan 150 mg pegagan tidak memiliki efek yang bermakna dibandingkan dengan pemberian akuades dan pirasetam.
Kata kunci: hipoksia, Acalypha indica Linn, Centella asiatica, piracetam, neurogenesis, hipokampus girus dentatus ......Stroke has become a disease that was ranked third as a cause of death in the world. Patients who have recovered from the stroke still experience residual neurological symptoms from stroke. Piracetam is a drug used to treat post-stroke neurological symptoms. However, its usage cause many side effects. Therefore, to reduce side effects from the usage of piracetam, a research on the effect of combination of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) extract for hippocampus neuron regeneration of Sprague Dawley mouse is conducted. This research aims to find out the effectiveness of the usage of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) on neurogenesis in the hippocampus gyrus dentatus. This research is an experimental study using a piracetam as the positive control, and aquades as the negative control. This research uses One Way Anova test followed by Post Hoc test to determine the results. Results showed that there was no significant difference in the number of normal cells post-treatment compared to negative controls (p=1.000) and positive controls (p=0,184). The conclusion to be drawn is that the use of combination of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) has no significant effect compared with the provision of aquades and piracetam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>