Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Lisdarwati
"Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1992 tentang perrkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, oleh karena itu pemakaian alat/cara kontrasepsi menjadi bagian penting untuk mencapai tujuan sesuai Undang-Undang tersebut.
Dari hasil SDKI 1997 terlihat bahwa 57% wanita kawin di Indonesia saat ini memakai alat/cara kontrasepsi, dan sebagian besar memakai alat/cara kontrasepsi modern. Hasil SDKI 1997 selanjutnya menyebutkan bahwa di Propinsi Sumatera Selatan dari 51% wanita kawin yang menggunakan alat/cara kontrasepsi, 3% diantaranya menggunakan alat/cara kontrasepsi tradisional, disamping itu terjadi penurunan pemakaian IUD dibandingkan pada tahun 1994. Dari data diatas terlihat bahwa pemakaian alat/cara kontrasepsi di Propinsi Sumatera Selatan lebih rendah dibandingkan angka nasional. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pemakaian alat/cara kontrasepsi dan faktor-faktor yang berhubungan di Propinsi Sumatera Selatan tahun 1997. Rancangan penelitian adalah crossextional dengan memanfaatkan data sekunder SDKI 1997 untuk Propinsi Sumatera Selatan. Sampel berjumlah 801 responden yang diambil sesuai metode dalam SDKI yang multistage random sampling. Pengolahan dan analisis data (univariat, bivariat dan multivariat) dengan bantuan program komputer.
Hasil penelitian menunjukkan 63,2% responden saat dilakukan survey sudah menggunakan alat/cara kontrasepsi, dengan pemakaian terbanyak adalah Suntikan (31,2%), Pil KB (29,1%), Inplant/Susuk KB (17,8%), dan IUD/Spiral (12,3%), sebagian besar responden (25,4%) yang tidak menggunakan alat/cara kontrasepsi mempunyai alasan karena ingin punya anak lagi. Hasil penelitian juga menunjukkan ternyata tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi dengan pemakaian alat/cara kontrasepsi. faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemakaian alat/cara kontrasepsi yaitu : umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anak yang dimiliki, jumlah perkawinan, kontak media, dan tingkat pengetahuan.
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mempunyai hubungan paling erat dengan pemakaian alat/cara kontrasepsi di Propinsi sumatera Selatan tahun 1997 adalah jumlah perkawinan. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk penanggung jawab program KB di Propinsi Sumatera Selatan untuk mengadakan pelatihan PL KB atau PPL KB agar mereka juga mampu tidak hanya sebagai penyuluh program KB, tetapi juga dapat berperan sebagai penasehat masalah-masalah yang dihadapi dalam keluarga. Sehingga kasus-kasus perceraian akibat ketidakcocokan dalam keluarga dapat dicegah.
Disamping itu meningkatkan promosi KB tentang manfaat alat/cara kontrasepsi, kaitan jumlah anak dengan kesehatan dan perkembangan mental anak, perceraian ditinjau dari sudut agama dan usia yang baik untuk menikah melalui media elektronik (radio dan TV).
Daftar Pustaka: 29 (1957-2000)

Correlation within Some Factors and Contraceptive Method Used in South Sumatera Province year 1997 (Analysis Data of SDKI 1997)Base on Population Regulation no.10 year 1992, the Family Planing program is one efforts to increase awareness and community action trough increase age of the first marriage, setting the fertility, and increase the social welfare of the family, so the contraceptive method used is the important one. SDKI study on 1997 shown that 57% women marriage used one of the method of the contraceptive, in South Sumatera Province are 51% and 3% of them used traditional contraceptive. Information above shown that the number of the current user in South Sumatera less than national, base on this situation I interested to do this study.
The aims of this study are to know overview of the contraceptive method used in South Sumatera and correlation within sorne factors and contraceptive method used. Design of this study is crossectional using the secondary data of the SDKI study in South Sumatera Province year 1997. Number of samples are 801 household and taken by multistage sampling method, and analysis of the data done by computer.
The result of the study shown that 63,2% respondents were used one of the contraceptive method, most of them (31,2%) use injection method, oral method/Pill (29,1%), Implant (17,8%), and IUD (12,3%). Respondents whom didn't use the contraceptive method have the reason that they still want a child (25,4%). The study also shown that no correlation within the economic level and contraceptive method used.
The factors had correlation within contraceptive used were respondent's age, educational level, number of child they have, number of marriage, media contact, and the knowledge level of the contraceptive method.
The conclusion of this study shown that the strong correlation within the contraceptive method is the number of marriage. Base on this result I suggested to the Family Planing Board of South Sumatera to plan the training for the operational provider of the Family Planing (PL-KB), so they can also as the family problem adviser beside as a Family Planing educator. The others one is to increase the Family Planing campaign in Radio and Television.
References: 29 (1957-2000)."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 4026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Rudi Halomoan
"Indonesia memiliki cadangan gas non konvensional berupa shale gas yang cukup besar yaitu sebesar 574 Tcf (hypothetical resources), yang belum diexplorasi hingga saat ini. Potensi shale gas ini perlu untuk segera dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri yang diperkirakan akan meningkat dengan pesat di masa akan datang. Data-data biaya CAPEX dan OPEX akan diambil dari contoh pengembangan shale gas di Marcellus basin sebagai benchmark. Profil produksi gas diestimasi dengan menggunakan model persamaan exponensial menurun.
Dari hasil analisa keekonomian diketahui bahwa pengembangan shale gas di Sumatera Selatan akan potensial menguntungkan secara komersial apabila sales gas dijual pada harga awal 10 USD/MMBTU, FTP (first trance petroleum) sebesar 0% dan profil produksi sedang atau tinggi. Sedangkan bila sales gas dijual dengan harga awal 6 USD/MMBTU akan kurang menguntungkan bahkan pada profil produksi tinggi sekalipun.
Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa perubahan besaran harga gas dan produksi gas memberikan pengaruh positif terhadap IRR dan BEP, sedangkan perubahan besaran CAPEX memberikan pengaruh sebaliknya. Perubahan besaran harga gas memberikan pengaruh yang lebih besar baik terhadap IRR maupun BEP dibandingkan perubahan produksi gas. Pemberian insentif berupa penetapan FTP sebesar 0% (dibandingkan dengan kondisi normal FTP sebesar 20%) memberikan pengaruh yang relatif kecil terhadap IRR dan BEP. Apabila gas dijual pada harga awal 10 USD/MMBTU dan FTP sebesar 0%, maka pada recovery factor sebesar 10% dari potensi kandungan shale gas di Sumatera Selatan, dapat diperoleh potensi pemasukan buat pemerintah Indonesia sebesar 352 trilyun rupiah.

Indonesia has hypothetical resources of unconventional shale gas about 574 tcf that has not been explored yet. The potential of shale gas resources should be utilized to fulfill the fast growing demand of natural gas expected in the future. CAPEX and OPEX cost will be adopted from example of shale gas development of Marcellus shale as a benchmark. Gas production profile will be estimated by using declining exponential model of equation.
The economic analysis result shows that shale gas development in South Sumatera will be feasible if initial price of sales gas is 10 USD/MMBTU, FTP is 0% and gas production profile is medium or high type. On the other hand if initial sales gas price is at 6 USD/MMBTU then it will not be feasible even at high production profile.
Sensitivity analysis result shows that sales gas price and production profile will give positive impact to IRR and BEP. In contrary, CAPEX will give negative impact. Sales gas price will give higher impact than gas production. Government incentive like FTP at 0% (instead of 20% at normal condition) will give insignificant impact to IRR and BEP. In case sales gas is at 10 USD/MMBTU and FTP at 0%, with recovery factor of 10% from hypothetical shale gas resources in South Sumatera, it is estimated that the potential income to Indonesian Government is about 352 trillion rupiah.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T38990
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iskandar Mirza
"Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam masyarakat agraris disamping sebagai faktor produksi, juga memiliki fungsi sosial dan politik. Oleh karenanya. setiap kelompok masyarakat mempunyal mekanisme masing-masing dalam mengatur hubungan antar manusia berkaitan dengan tanah. Implikasi dari masalah hubungan tersebut adalah adanya aturan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Oleh karena itu pula hukum positif atau perundang-undangan formal mengatur hubungan antar manusia dalam hal pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah untuk menghindari terjadinya konflik dalam masyarakat.
Atas dasar pemikiran diatas, penulis mencoba mempelajari masalah konflik yang berkaitan dengan kepemilikan lahan/tanah dalam tesis yang berjudul: Konflik Kepemilikan atas Lahan Perkebunan Antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan.
Secara umum munculnya masalah kepemilikan tanah di daerah Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan berawal dari perbedaan persepsi dalam menafsirkan hak kepemilikan atas tanah oleh pemerintah dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat setempat. Hal ini sangat dimungkinkan karena pada satu pihak persepsi hak kepemilikan atas tanah atau lahan didasarkan atas persepsi dari ketentuan pokok agraria sementara pada pihak yang lain, masyarakat melihat masalah hak kepemilikan atas tanah atau lahan menggunakan acuan hukum adat yang secara turun temurun ada dan telah menjadi tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kompleksitas persoalan diatas ditambah lagi dengan tidak berfungsinya lembaga adat sebagai institusi masyarakat yang legitimet dan muncul dari tata nilai masyarakat setempat. Ketidak berfungsian lembaga adat yang ada justru disebabkan karena pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan pemerintah desa.
Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan, upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh birokrasi setempat justru tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya. Persoalan ganti rugi seringkali teridentiftkasi sebagai penyebab munculnya konflik, sehingga upaya penyelesaian yang dilakukan hanya sebatas pemberian ganti rugi atas lahan masyarakat yang terpakai. Sementara substansi persoalan adalah pada persepsi kepemilikan tanah yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah maupun perusahaan perkebunan, disamping persoalan hilangnya sumber penghidupan masyarakat Kikim yang disebabkan karena tidak tersubtitusi sumber penghidupan masyarakat dengan pilihan-pilihan lain yang semestinya diberikan oleh pihak perusahaan perkebunan.
Dari hasil analisa mendalam terhadap fenomena-fenomena sosial yang muncul serta persoalan yang dihadapi masyarakat Kikim berkaitan dengan konflik kepemilikan atas lahan perkebunan, maka penulis mencoba menawarkan beberapa rekomendasi penelitian sebagai upaya menjembatani persoalan yang berkembang secara taktis dan strategis dan berorientasi jangka panjang. Beberapa rekomendasi guna penyelesaian konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan Model hubungan antar elemen masyarakat yang terlibat secara langsung dalam proses pembangunan pada umumnya dan khususnya masalah konflik lahan/tanah.
2. Penguatan Kelembagaan Lokal di tingkat masyarakat, dengan menempatkan Lembaga adat sebagai buffer bagi kepentingan pembangunan masyarakat lokal dengan mengembalikan fungsi dan peran lembaga adat dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat.
Beberapa persoalan dan model penyelesaian yang penulis tampilkan tentunya masih perlu pengujian pada tataran implementasinya. Namun demikian, penelitian ini paling tidak mencoba membedah secara mendalam dan subtantif terhadap persoalan-persoalan yang melatar belakangi terjadi konflik, sehingga upaya-upaya penyelesaian yang ditempuh dapat efektif dan tepat sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ubaidillah
"TBC Paru merupakan penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang panting di dunia, khususnya di negara yang sedang berkembang.
Menurut WHO prevalensi penyakit ini didunia adalah sekitar 15-20 juta, dengan insiden sekitar 10 juta dan tidak kurang dari 3 juta kematian setiap tahun. Jumlah penderita TBC Paru di Indonesia terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan ada sekitar 500.000 penderita baru setiap tahun dengan 175.000 kematian.
Di Kabupaten Lahat penyakit ini menduduki peringkat ketiga pola penyebab penyakit untuk semua golongan umur dan merupakan penyebab kematian utama pada golongan umur 60 tahun keatas. Tingginya prevalensi penyakit ini disebabkan masih rendahnya angka kesembuhan penderita (<85%). Salah satu penyebab rendahnya angka kesembuhan penderita ini adalah ketidakteraturan berobat penderita.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita TBC Paru di Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekunder yaitu data yang bersumber dari kartu pengobatan penderita (TB 01) yang ada di puskesmas. Data yang dianalisis adalah data selama 2 tahun yaitu tahun 1999 dan tahun 2000.
Metode penelitian adalah desain kasus kontrol dimana kasus adalah penderita yang berobat tidak teratur dan kontrol adalah penderita yang berobat teratur. Jumlah sampel sebanyak 225 prang yaitu 75 kasus dan 150 kontrol (1 kasus : 2 kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penderita TBC paru masih cukup tinggi (32%). Faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan penderita ini adalah a) Tipe penderita (p= 0,0193). Penderita kambuh mempunyai risiko 18 kali lebih besar untuk tidak teratur berobat (OR 18,18 95% CI 2,1 ; 157,4). b) Selang waktu antara penegakan diagnosis dan pemberian obat (p= 0,0059). Penderita yang mempunyai selang waktu mempunyai risiko 3 kali untuk tidak teratur berobat (OR 3,0, 95% CI 1,37 ; 6,57). c) Status Pengawas Menelan Obat (PMO). PMO merupakan faktor pencegah terhadap ketidakteraturan berobat (p=0,132). Penderita yang mempunyai PMO anggota keluarga mempunyai risiko 0,34 kali lebih kecil untuk tidak teratur berobat.
Dalam pengobatan penderita TBC paru perlu memperhatikan tipe penderita dan selang waktu antara diagnosis dan pemberian obat. Penderita kambuh dan penderita yang mempunyai selang waktu perlu diberikan penyuluhan yang lebih intensif agar mereka mengikuti program pengobatan dengan teratur sampai akhir pengobatan. Setiap penderita harus ditunjuk seorang PMO yang dapat mengawasi mereka dalam menelan obat. PMO yang ditunjuk ini sebaiknya adalah anggota keluarga sendiri.
Daftar Pustaka 48 : (1972 - 2000).

Factor Influencing Disobedience of Taking Medicine on Lung Tubeculosis Patients in Lahat District, South Sumatera ProvincesLung Tuberculosis is a communicable disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. The disease is still an important health problem especialy in under devloving countries. According to WHO, the prevalence is about 15 to 20 millions while the incidence is 10 millions which caused nat least 3 millions deaths every year. Indonesia has the third biggest of lung tuberculosis patients after India and Cina. It was estimated that there will be 500.000 new patients every year and 175.000 deaths caused by the disease.
In Lahat district, South Sumatera Provinces, this disease is the third as the disease pattern cause in all age and to first to those above 60 years of age. The prevalence of the disease still high because of the low patients recovery rate (< 85 %). One of the causes is disobedience of patients in taking medicine.
The purpose of this research is to know factors influencing disobedience of lung tuberculosis patient in Lahat district. This research used secondary data which taken from patients card (TB 01) available in public health centers of two years priori, since 1999 to 2000. The design is case control. Cases is the disobey patients while controls is the obey patient. Sample are 225 patients which consist of 75 cases and 150 controls.
The result showed that proportion of disobedience patient is still high (32 %). Factors influencing disobedience of patients of taking medicine are the patients type (p=0,0193), Repeated patients have risk 18 times bigger than new patients. (OR 18,18, 95% CI 2,1 < OR < 157,4). In interval between diagnosis and taking therapy (p=0,0059) The patients which have interval have risk 3 times bigger to be disobey. (OR 3,0, 95% CI 1,37
Considering the result of this research I suggest to focus on patients type as wel as interval between diagnosis and taking therapy. Bisides that, it could be better if they could be given information to follow their medication more intensively and have the supervisor of taking medicine from their own family members.
Refrences : 48 ( 1974 - 2000)."
2001
T9551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Muharini
"Sampel serpih (2), batubara (14) dan fosil resin (1) Formasi Telisa dan Cekungan Sumatera Selatan telah dianalisis dengan metode kromatografi gas - spektrometri massa (GC-MS). Sebagian sampel batubara (4) yang tersedia diantaranya dianalisis lebih lanjut menggunakan metode HPLC (kromatografi cairan penampilan tinggi). Seluruh sampel teranalisis telah diyakini mengandung resin tumbuhan tinggi dari famili Dipterocarpaceae seperti sekobikadinana diaromaik (dimer) dan trikadinana diaromatik (trimer) serta porfirin dari fraksi makromolekul.
Kedua kelompok dieter (C27 dan C30) dan trimer (C42 dan C45) telah diidentifikasi berdasarkan pada bukti spektra-massa dan waktu retensi kromatografi gas (GC). Perbedaan tiga atom karbon dengan massa 42 sma pada setiap kelompok diyakini berstruktur isopropil. Kelimpahan relatif dari dimer dan trimer bergantung pada kematangan termal sedimen dengan kematangan relatif moletas dimetilnaftil yang meningkat secara sistematik seiring dengan kenaikan kematangan termal sedimen.
Perubahan ini akibat proses deisopropilasi fraksi kadalenil (yang cenderung kurang stabil) menjadi dimetilnaftil (senyawa aromatik yang lebih stabil). Parameter baru berdasarkan pada kelimpahan relatif dari masing-masing analisis dimer dan trimer diusulkan dalam penelitian ini. Parameter baru ini merupakan rasio kuantitas isomer C27 terhadap kuantitas isomer sejenisnya (C27 dan C30), sekobikadinana diaromatik dan rasio kuantitas isomer C42 terhadap kuantitas isomer sejenisnya (C42 dan C45), trikadinana diaromatik, disebut RS dan RT masing-masing untuk dimer dan trimer.
Perubahan nilai RS dan RT terjadi di dalam zona jendela minyak-bumi. Batasan ` tak matang" dan "matang" ditentukan berdasarkan referensi, parameter kematangan baku Ro-vitrinite reflectance dan komputer pemodelan cekungan). Hasil penelitian ini, nilai RS = 52% dan RT = 2% merupakan rasio kematangan termal sampel dari Cekungan Sumatera Selatan. Parameter RT khususnya sangat berguna untuk penentuan kematangan termal pada zona "pascamatang" karena reaksi-deisopropilasi masih terus berlangsung pada zona tersebut.
Penelitian fraksi makromolekul telah dilakukan terhadap sebagian sampel batubara (4) yang tersedia. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa senyawa porfirin belum atau tidak ditemukan. Hal ini disebabkan prasarana yang digunakan tidak sesuai dengan literatur yang digunakan. Dengan perkataan lain, penelitian terhadap fraksi makromolekul tidak berhasil mengelusidasi porfirin."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawaty
"Derajat kesehatan masyarakat khususnya keluarga, sangat ditentukan oleh derajat kesehatan ibu dan anak, yang merupakan kelompok penduduk yang rawan terhadap gangguan kesehatan. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Menurut SDKI 1994 390 per 100.000 kelahiran hidup dan SKRT 1995 373 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun ada penurunan, tetapi masih berada jauh di atas rata-rata.AKI di negara tetangga (ASEAN). Penyebab utama tingginya AKI adalah perdarahan, keracunan dan infeksi, sedangkan faktor lain yang dapat menambah resiko kematian adalah umur ibu yang terlalu muda atau terlalu tua, jumlah paritas yang tinggi dan jarak antar kehamilan yang pendek. Menurut Menteri UPW (1996) faktor lain yang dapat mempengaruhi tingginya AKI adalah pendidikan dan pengetahuan ibu, sosial ekonomi, sosial budaya, geografis, lingkungan dan aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan modern.
Sejak tahun 1989/1990 pemerintah menetapkan kebijaksanaan pengadaan dan penempatan bidan di desa, dalam rangka meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu dan kelahiran bayi dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penerimaan masyarakat - khususnya ibu hamil - terhadap keberadaan bidan di desa di Kabupaten Musi Banyuasin.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif karena masalah yang dikaji merupakan suatu proses dari kesatuan yang menyeluruh. Informan penelitian ini. adalah ibu hamil, tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat. Tehnik pengumpulan data dengan fokus grup diskusi dan wawancara mendalam. Pengolahan data dengan menggunakan analisis tema.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil menerima keberadaan bidan di desa dengan perasaan senang, dapat mengikuti kegiatannya dengan jelas. Namun masih ada kegiatan bidan yang kurang menyenangkan. Waktu pemeriksaan telah dijadwalkan, ibu hamil mematuhinya, tempat pemeriksaan di rumah bidan, Motivasi ibu hamil memeriksakan dirinya dengan bidan karena kemauan sendiri, tidak ada yang memaksa. Persiapan menghadapi persalinan dilakukan ibu hamil dengan mengikuti petunjuk dan nasehat yang diberikan. Banyak manfaat dan perubahan yang diperoleh masyarakat setelah ada bidan di desa. Sebagian kecil ibu hamil menyatakan bidan jarang di tempat, pelayanan kurang menyenangkan dan kegiatan administrasi kurang dilaksanakan.
Masyarakat khususnya ibu hamil sangat berkepentingan dengan keberadaan bidan di desa. Oleh karena itu perlu tambahan fasilitas dan sarana pelayanan kegiatan bidan dan perlu dipikirkan pengembangan karier bidan yang lebih dari 3 tahun. Pada pelaksanaan pendidikan bidan, perlu ditambah beban materi pengajaran untuk ilmu kesehatan masyarakat dan sosial budaya.

Perception Community Acceptance to Midwives' Existance in Rural Areas of Musi Banyuasin Regency, South SumateraPublic health status, especially of the family's is greatly determinated by the health level of mothers and children as they are the group who are prone to sickness. Maternal mortality rate (MMR) in Indonesia is relatively high. According to SDKI 1994, it is 390 out of 100.000 life at birth, and to SKRT 1995, 373 out of 100.000. It has decreased, yet, it's still far above the average MMR in other ASEAN countries. The main reason has been haemorage, drugged and infection, while other factors increasing mortality are that the mothers are either too young as too old, the parity is too high, and the short time span between pregnancies. According to the Minister of UPW (1996) other factors may have affected the high MMR are mother's education and knowledge, socio-economy, socio-culture, location, environment, and their accessibility to modern health facilities.
Since 1989/1990, the government's policy has been educating and placing midwives in rural areas in order to enhance the equalization of health services, and decreasing the MMR and BR (birth rate) as well as increasing the social awareness of healthy life behaviors.
This research has been intended to gain the description of public acceptance - especially the pregnant mothers' - to the presence of midwives in rural areas in Musi Banyuasin regency. Qualitative method has been used in this study because the problems studied have been a process of wholistic unity. Data resources have been pregnant mothers, medical staff and social figures. Techniques for data collection were focused on group discussion and indepth interviews, while the data analysis have implemented thematic analysis.
The result of the research show that (1) most pregnant mothers welcome the presence of midwives in rural areas, and can follow their activities well. (2) However, some of their activities are less accepted. (3) Examination is scheduled, well followed by the pregnant mothers, located in the midwives' home. (4) The pregnant mothers have come for examination voluntarity. (5) Preparation for giving birth has been conducted by following the instructions and advices given, (6) Many advantages and changes have been attained by mothers since the exixtance of midwives in rural areas. Yet, few mothers hope that improvement should be made in midwives' presence in clinic and services, and the administration.
The people, mainly pregnant mothers, are very concerned in midwives' presence in the villages. For that reason, facilities and equipment for service should be improved and midwives' career development - should be thought of In the education for midwives, the load of teaching items on public health and socio-culture subjects should be increased.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Fanada
"Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik secara kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan bukti tertulis bahwa proses asuhan keperawatan telah dilaksanakan dalam asuhan keperawatan pasien di rumah sakit. Kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan masalah sebelum mereka menyadari faktor-faktor yang berhubungan dengan pendokumentasian asuhan keperawatan antara lain faktor individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, status perkawinan), faktor psikoiogis (pengetahuan, sikap) dan faktor organisasi (supervisi, pelatiban, kegiatan tidak langsung).
Tujuan dari penelitian ini untuk dapat mengidentifikasi gambaran faktor-faktor dari variabel individu, faktor psikologis, variabel organisasi terhadap kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian Non-Eksperimental dengan disain cross sectional sampel berjumlah 74 orang yang memenuhi kriteria pemilihan sampel, yang merupakan perawat pelaksana di 8 ruang inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Selatan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dengan uji statistik chi square dan multivariat dengan uji regresi logistik dan tingkat kemaknaanα= 0,05. Tampilan distribusi frekuensi dan persentasi kinerja, proporsi kinerja perawat yang didapatkan kurang baik lebih besar dari proporsi kinerja perawat yang baik. Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, masa kerja, sikap, iatihan, kegiatan tak langsung, rasio tenaga, secara statistik tidak mempunyai hubungan, tetapi secara proporsional ada perbedaan. Selanjutnya pada analisis bivariat variabel pengetahuan dan supervisi secara statistik terbukti mempunyai hubungan bermakna dengan kinerja perawat, sedangkan pada analisis multivariat variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan yang berhubungan dengan kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan kepada penentu kebijakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Selatan untuk dapat lebih meningkatkan kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan yaitu dengan cara meningkatkan pengetahuan perawat dengan mengadakan kursus-kursus, penyegaran, seminar-seminar serta meningkatkan pengetahuan dengan memberikan literatur-literatur mengenai cara pendokumentasian asuhan keperawatan.

Performance is presentation of a person's work quantitatively and qualitatively in an organization. Performance could be an individual presentation or group presentation. Nursing care documentation is written evidence showing that the nursing care process has been implemented in the hospital. Nurse performance in documenting the nursing care is problem before they realize factors related to the documentation of nursing care including individual factors (age, sex, education level, length of work, and marital status), psychological factors (knowledge, attitude), and organizational factors (supervision, training, indirect activities).
The objective of this study is to identify factors related to individual variables, psychological variables, and organizational variables and their relationship with nursing care documentation in ward unit of South Sumatera Mental Hospital. The study is non-experimental cross sectional design with sample of 74 individuals who fulfill sample selection criteria, all of there are nurses in 8 wards of South Sumatera Mental Hospital.
Collected data was then analyzed with univariate analysis, bivariate analysis using chi square and multivariate analysis using logistic regression at α = 0.05. The distribution frequency of performance showed that the proportion of poor performance was higher than the proportion of good' performance. Age, sex, marital status, education, length of work, attitude, training, indirect activities, worker ratio were not statistically associated to performance but in proportion showed differences between those who performed well and those who performed poorly. In the bivariate analysis, knowledge and supervision were significantly related to performance while the multivariate analysis showed that knowledge was the most dominant variable related to nursing care documentation in ward unit of South Sumatera Mental Hospital.
Based on study results, it is recommended to policymaker in South Sumatera Mental Hospital to improve nurse performance in documenting nursing care through trainings, refreshing courses, seminars, and enhance their knowledge by providing literatures about nursing care documentation method.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrizal
"Penyakit Tuberkulosis Para sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia maupun banyak negara lain di dunia. Salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit ini dengan menerapkan program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcouse) di seluruh dunia. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 583.000 kasus baru dengan kematian 140.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan penyakit Tuberkulosis Paru penyebab kematian nomor 3 (tiga) setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Indonesia mulai mengadopsi program DOTS tahun 1995 dan Propinsi Sumatera Selatan pada tahun itu juga melaksanakan strategi program DOTS. Evaluasi dari laporan Kabupaten / Kota tahun 2002 didapat angka kesembuhan 75, 45 % dan cakupan penemuan penderita 29, 45 %. RS. Khusus Paru merupakan rumah sakit rujukan dari semua Puskesmas yang ada di Propinsi Sumatera Selatan dalam bidang penyakit Paru dan gangguan pernafasan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan berobat, mengetahui ada tidaknya hubungan faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor penguat dengan kepatuhan berobat dan mengetahui faktor yang paling dominan dengan kepatuhan berobat. Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru - Paru Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2002.
Desain penelitian adalah potong lintang dengan jumlah sampel 90 responden, metode sampel secara purposif. Kriteria sampel penelitian adalah penderita TBC Paru BTA Positif kategori 1 dan 2 yang telah menelan ohat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2002 di Poliklinik Rumah Sakit Khusus Paru - Paru Propinsi Sumatera Selatan.
Dari variabel kepatuhan di dapat: yang patuh (63,3 %) yang tidak patuh (36,7 %), umur muda (58,9 %), laki - laki (75,6 %), bekerja (77,8 %), pendidikan rendah (58,9 %) , pengetahuan kurang baik (65, 6 %), jumlah anggota keluarga besar (62,2 %), jarak dekat (90 %), transportasi mudah (94,4 %), ketersediaan obat banyak (91, 1 %), pengawas menelan obat ada (91, 1 %), pelayanan petugas baik (70 %), penyuluhan petugas ada (97,8 %). Pada basil bivariat dari tiga betas variabel independen ternyata hanya enam variabel independen yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p < 0,25) / variabel pendidikan / pengetahuan / pekerjaan / ketersediaan obat / pelayanan petugas / pengawas menelan obat. Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari enam variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna paling kuat (p < 0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO) P value (Sig) = 0,039, OR = 6,00 (1,09 - 32,87).
Kesimpulan yang di dapat adalah bahwa variabel independen yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di Rumah Sakit Khusus Paru - Pam Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2002 adalah tingkat kepatuhan sebesar 63,3 % dan variabel pengetahuan dan PMO yang bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TBC Pam BTA Positif dan yang paling dominan terhadap variabel dependen adalah variabel Pengawas Menelan Obat.
Selanjutnya disarankan bahwa variabel PMO sangat besar pengaruhnya dalam kepatuhan berobat teratur maka penderita harus didampingi PMO agar pengobatannya berjalan baik dan tidak terputus. Rumah Sakit juga memantau penderita yang lalai dalam pengobatan sehingga mengakibatkan pasien drop out, maka dilaksanakan kegiatan rumah sakit di luar gedung yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten sehingga terbentuk jejaring antara Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kota I Kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan.
Dinas Kesehatan Propinsi / Kota / Kabupaten tetap menyediakan obat anti Tuberkulosis kategori I dan 2 dan 3.

Up to now, TB is still considered as health problem in Indonesia, as well as in other countries around the world. One effort to combat this disease is by applying the DOTS (Directly Observed Treatment Short course) program. WHO had estimated that in Indonesia, there was 583000 new cases of TB with mortality of 140000 persons per year. The SKRT (1995) showed that TB was ranked third as cause of death after cardiovascular and respiratory tract diseases, and ranked first among other infectious diseases. Indonesia started to adopt DOTS in 1995, and in the same year South Sumatera Province had also adopted DOTS strategy. Evaluation reports from District/Township in 2002 showed 75.45% of treated cases and 29.45% of discovery coverage.
This study was aimed to understand the level of compliance, and to investigate the relationship between predisposing factors, enabling factors, and reinforcing factors with compliance, as well as to know which was the most dominant factor related to the compliance among BTA positive TB patients in South Sumatera Lung Hospital in the year 2002.
Design of the study was cross sectional with 90 respondents chosen purposively. Inclusion criteria was category 1, 2 BTA positive TB patient who had taken medication and aged more than 1 4 years old, registered in between 1 January to 31 December 2002 in South Sumatera Lung Hospital.
Univariate analysis among the 90 respondents, showed that there were 63.3% good compliance, 36.7% poor compliance, 58.9% young patients, 75.6% male, 77.8% working, 58.9% low educated, 65.6% poor knowledge, 62.2% big family size, 90% close distance, 94.4% easy transportation, 91.1% drugs available, 91.1% monitor person available, 70.0% good service from health personnel, and 97.8% with extension from health personnel. Bivariate analysis showed that there were 6 out of 13 independent variables that had statistically significant relationship (p < 0.25) with compliance, i.e. education, knowledge, working status, drug availability, health personnel service, and monitor person. Multivariate analysis using logistic regression method showed that the there were two factors with p<0.05, i.e. knowledge and the existence of monitor person, the most dominant factor was the existence of monitor person, with p0.039 and OR =6.00 (1.09 -- 32.87).
It is suggested that the existence of monitor person should be maintained and intensive extension and education should be targeted to cadre, family member, PKK at all level, and health personnel in a continuous way and to improve the skill of TB program organizer and management in South Sumatera Lung Hospital. To improve the knowledge of patient and his family, guidelines and leaflet should be distributed. To reduce poor compliance rate, it is suggested to plan out building activity in collaboration with Health Office in township/district level as to ensure the availability of Category 1, 2,and 3 TB drugs."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>